Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Merenungkan kembali perbincangan dengan Sebastian ternyata memakan waktu yang lama bagi Phil, antara Gejayan sampai Pasar Beringharjo. Dia menolak tawaran Sebastian untuk diantar ke toko naik sepeda motor, lebih suka bergerak setelah makan. Maka sekali lagi dia melewati jalan demi jalan yang tak begitu diperhatikannya.

Betul, mati perlu bukti. Dia kian percaya segala sesuatunya perlu bukti. Identitasnya perlu bukti. Yang dimilikinya adalah kartu penduduk dan paspor Australia. Terselip di dalam dompetnya, tersimpan di laci kamarnya. Dia telah menerobos masuk ke negara orang, visanya kedaluwarsa, dia berpura-pura jadi guru. Tak mungkin lagi dia mendapat surat-surat legal kecuali ditangkap terlebih dahulu. Hidup perlu bukti—sekadar ada saja perlu bukti. Sampai mati pun perlu bukti.

Plang DJAGO atau DJ GO yang selalu dikritisinya itu sudah tampak saja di depan mata, padahal pikirnya baru semenit lalu dia menyembulkan perut buncitnya yang kekenyangan dari tenda bakso, berpisah jalan dengan Sebastian yang langsung melaju dengan sepeda motornya. Bagian depan toko sepi orang. Dia memutar kunci, membalik tanda TUTUP menjadi BUKA.

Sesaat setelah dia mencabut kunci, dia pun teringat bunyi yang didengarnya semalam ketika menunggu Pramista di samping minivan. Bunyi logam bergesekan. Tiba-tiba saja, dia tercerahkan, paling tidak sembilan puluh satu persen dia yakin bahwa bunyi yang didengarnya itu disebabkan logam yang dimasukkan ke lubang kunci, dengan cara paksa dan tergesa. Bisa jadi seseorang memasukkan anak kunci yang keliru. Namun, pikirnya seiring tebakan itu berkembang, bagaimana bila semalam seseorang mencoba masuk ke rumah yang bukan miliknya? Dengan kata lain, maling!

Phil menimbang dan terus menimbang. Dia tidak pandai berspekulasi atas sesuatu yang bukan urusannya. Karena itu, menjelang ditutupnya toko, dia tepis segala sangka, setidaknya untuk sore itu saja.

Seperti hari-hari yang lewat, keuntungan toko tak banyak. Dua tumpuk kecil uang lembaran dia rapikan ke dalam tas pinggang milik Pramista. Pramista mengiriminya pesan singkat, seperti biasa, berisi daftar barang yang harus dia kemas dan bawa pulang; barang-barang yang lebih berharga dibanding yang lainnya, alias masih ada nilai seni atau antiknya.

Kurang lebih setengah jam dia memuat barang-barang itu ke dalam minivan. Etalase-etalase dia kunci, lemari-lemari dia gembok. Barulah kemudian lampu-lampu bisa dia padamkan. Dia menuju pintu, menyandang ransel kanvasnya. Dilihatnya kendi-kendi di kaca depan tergolek lesu, seperti batu-batu bukit bertopang satu sama lain, leher bertemu pantat. Terpikir olehnya, begitu saja, untuk membawa pulang satu kendi itu. Akan dia jadikan vas, atau hiasan saja juga boleh. Diambilnya satu yang paling atas, lalu membungkusnya dengan plastik, supaya aman di dalam ransel.

Dia menarik gerbang lipat sesampainya di luar, sekuat tenaga karena relnya sudah seret, sama seperti kerongkongannya yang lupa diberi air. Rantai pengunci dia kalungkan pada gagang gerbang, lalu digemboknya. Semua gembok sudah terpasang, kunci-kunci sudah di dalam sakunya, maka dia bisa menyandarkan punggung pegalnya di belakang setir. Dia sebaiknya mengemudi cepat, sebelum sayur nangka atau apa pun yang dimasak Pramista hari itu menjadi dingin.

Radio minivan dia putar sampai menemukan saluran jernih, dan dia naikkan volumenya sampai puncak. Seorang dokter pernah mewanti-wanti agar dia jangan sampai mendengar musik kelewat kencang. Sekali pun tak pernah dia indahkan peringatan itu. Dia bernyanyi selantang yang dia bisa. Entah suaranya terdengar seperti apa sekarang, dia sendiri tak dapat mendengarnya sejelas dulu.

Dahulu, orang membuat bunyi-bunyi lantang untuk mengusir para setan. Phil bermaksud membuktikannya, tetapi rupanya setan-setan masih membuntut, tak gentar pada nyanyiannya, kian rangkap membenamkannya; wajah anak-anak gadis itu bermunculan, pinggul mereka, aroma mereka. Minivan memelesat kian pesat. Sebentar lagi, cahaya kota yang meriah akan berganti dengan lampu-lampu temaram permukiman warga. Tiba-tiba saja, nyanyiannya yang cumengkling itu patah ketika melewati jalan yang kemarin malam dilaluinya. Bukan karena dia bermaksud lebih hati-hati guna menghindari paku yang lain, tetapi karena dia baru saja melewati sesuatu, sesosok putih berambut hitam.

Bukan lampor. Yakin dia bahwa yang dilihatnya itu perempuan. Nyaris dia berpikir mungkin Imar memang telah mati dan kembali ke rumahnya. Dia kerap mendengar cerita-cerita tentang kuntilanak di negeri ini. Di tempat asalnya pun ada mitos dedemit semacam itu. Selalu dia bertanya-tanya sendiri, mengapa perempuan lebih gampang jadi hantu, menggentayangi orang-orang sampai pikiran mereka menjadi gila. Karena tak mau menjadi gila itulah dia tak menghentikan minivan-nya. Namun, bagaimana kalau oranglah yang dilihatnya itu? Tentu bukan hanya kuntilanak yang bisa berbaju putih dan berambut hitam panjang. Karena khawatir dia akan tetap gila juga akhirnya, dia memutuskan gila yang lebih rasional. Dia berhenti.

Sosok itu masih berdiri di tempatnya ketika Phil mendekat—tidak kabur, tidak menghilang, tidak terbang seperti di cerita-cerita. Seorang perempuan. Di bawah jaket putihnya itu, dia mengenakan celana jins. Tak jauh darinya, ada sebuah sepeda motor.

"Selamat malam," sapa Phil, cukup berhati-hati supaya perempuan itu tak mengira dirinya orang mesum.

"Malam," sahut si perempuan.

"Sedang apa, Mbak?" tanya Phil. Suaranya kaku, dia merasakan itu. Dan, si perempuan dalam keremangan itu juga pasti sudah menyadari bahwa dia orang asing.

Phil bertanya lagi, "Mbak ada perlu dengan orang sini?"

Perempuan itu kentara sedang tak ingin bercakap-cakap. Matanya yang bulat kecil itu bergetar sejenak sebelum dia berkata, "Iya. Aku ada perlu di rumah ini." Dia menunjuk rumah Imar.

"Ini rumah kosong, Mbak," ujar Phil.

"Aku tahu Mas, eh ..., Pak, Sir," perempuan itu tergagap. "Maksudku, aku nyari orang yang bisa aku mintai tolong supaya aku bisa masuk."

"Bu Meliana yang pegang kuncinya, kalau aku enggak salah," kata Phil lagi. "Tapi, kenapa Mbak mau masuk?"

Perempuan itu tak segera menyahut. Phil bisa lihat dia sedang menimbang masak-masak. Ketika perempuan itu berbicara lagi, jawabannya tak pernah Phil bayangkan sebelumnya.

"Ini rumah ibuku. Aku anak Imar Mulyani," ujar perempuan itu.

Phil mengusap setengah wajahnya dengan kalut. "Aku enggak tahu Bu Imar punya anak. Enggak ada yang tahu."

Perempuan itu mengerjap, seperti berusaha mencerna perkataan Phil. "Aku tahu. Ibuku pasti enggak cerita-cerita."

Phil menggeleng. Seolah perlu mencari cara agar obrolan menjadi ringan, dia memperkenalkan diri. "Aku Phil. Kalau boleh tahu, nama Mbak siapa?"

"Yasmin," jawab perempuan itu. Dia dan Phil berjabat tangan. "Tadi kamu bilang kunci rumah ibuku ada di mana?"

"Bu Meliana," jawab Phil. Dia masih melihat keraguan dan kehati-hatian perempuan itu. Dia berbalik, menunjuk salah satu rumah di deretan seberang. "Rumahnya yang di ujung itu. Mbak tahu Bu Imar enggak pulang sudah satu tahun?"

"Aku tahu, Phil—boleh aku panggil Phil? Makanya aku ke sini, aku perlu lihat rumah ibuku," ujar Yasmin.

"Tapi ...." Phil dipusingkan oleh beribu pertanyaan. "Seingat aku, rnggak ada keluarga Bu Imar yang datang waktu itu. Sudah satu tahun, Mbak baru ke sini?"

"Nanti kapan-kapan aku cerita. Kalau ketemu lagi. Mungkin besok saja aku datang lagi, enggak enak kalau jam segini mengganggu ... siapa tadi? Bu Meliana, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Phil, Yasmin meraih helm dan menyusupkan kepalanya. Sepeda motor itu dia hidupkan cepat-cepat, dan selekas itu pulalah dia memacu roda dua itu, tanpa pamit kepada Phil.

Jangan-jangan benar, Phil mulai berpikir, jangan-jangan benar hantulah yang dilihatnya itu. Kemudian, dia menggeleng, mengusir debu-debu dalam kepalanya yang mulai lelah. Andai semudah itu penyelesaiannya. Yasmin bukan hantu dan, dengan begitu, perkaranya jadi lebih pelik.

Di rumah, Phil menjumpai Pramista sedang duduk di sofanya, menonton TV sambil makan. Aroma lezat membungkus ruangan pengap itu, sungguh tak biasa.

"Ada nasi goreng itu, Phil," begitulah cara Pramista menyambut Phil. "Kerupuknya ada di kaleng wafer."

"Terima kasih, Pramista." Phil meletakkan tas pinggang Pramista di sofa, lalu menuju kamarnya. "Di jalan tadi ada perempuan. Kamu pasti enggak nyangka. Dia ngaku anaknya Bu Imar."

Benar, Pramista tak menyangka itu. Sendoknya berkelontang jatuh ke lantai. "Oh, ya?" itu saja yang dikatakannya.

Phil menutup pintu kamarnya dan memproses segala hal yang dilaluinya sehari itu, terutama yang barusan. Soal Pramista yang tak kunjung memungut sendoknya yang jatuh itu. Juga soal Yasmin yang dia yakin betul berada di rumah Imar kemarin malam, mengutak-utik lubang kunci pintu dengan sebuah alat logam panjang, mungkin jepit rambut.

Gelatiknya sudah berteriak kesenangan, menyangka akansegera dapat makan. Phil membuat si gelatik kecewa karena tak langsung bereaksikali ini, melainkan berdiri membelakangi sangkar, lalu mengeluarkan kendi daridalam tasnya. Dia mengamat-amati kendi itu. Pikirnya, Pramista tak akan keberatankendinya diambil satu, sebab yang diambilnya itu sudah bopeng pada permukaanpantatnya. Dia mengerik bopeng itu—berpasir. Sebilah cahaya bulan membelahkendi itu ketika Phil meletakkannya di atas meja. Si gelatik belum menyerah,kian nyaring dia berteriak.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro