A Road to Pain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A Road to Pain

Scrisă de: a_pathetic0524

Selalu ada kegilaan dalam cinta. Tetapi selalu ada alasan dalam kegilaan.❞ - Friedrich Nietzsche

AKU benci rasa sakit, dan Kumis mengetahuinya. Baik sekadar nyeri karena tertusuk jarum ataupun sakit luar biasa tiap kali aku lupa makan karena terlalu asyik bermain game. Aku benci merasa sakit. Baik itu di luar atau di dalam tubuh, atau saat aku tersinggung tiap kali Herman, teman baikku, mengatakan kalau Fortnite adalah sampah jika dibandingkan dengan PUBG, padahal tiap kali bermain pun Herman selalu gagal mendapatkan Victory Royale.

Kumis tahu aku benci rasa sakit, karena itu dia pernah panik ketika aku malah mengiris telunjukku ketimbang timun saat aku membantu Kumis memasak. Kumis tahu aku benci merasa sakit, dan itu membuat dia selalu mengalah tiap kali libido mengambil alih akal sehat hingga kami lupa bahwa di kitab suci agama manapun hubungan badan di luar nikah adalah haram. Seperti juga hubungan di antara sesama jenis.

Aku tahu aku benci rasa sakit. Benci merasa kesakitan. Sayang, aku membiarkan diriku untuk jatuh cinta.

Kumis tahu aku benci rasa sakit. Benci merasa kesakitan. Sayang, Kumis tetap memilih untuk mengatakannya: "Lebih baik kita udahan, Dit."

Hujan baru saja berhenti merundung Jakarta tepat sebelum sebagian orang meninggalkan kampus atau tempat mereka bekerja. Matahari sore mengintip dari celah di antara tirai abu-abu yang dibiarkan sedikit terbuka, dan sedikit menyembunyikan hubungan kami dari rekan mahasiswa dan dosen di kampus seberang apartemen Kumis; dan sinarnya menerpa tubuh Kumis lembut, dan memberikan kesan sedih, mungkin karena aku yang melihatnya.

"Gue nggak ngerti. Maksud lu apa, Mis?" Aku mengernyit, menatap lekat-lekat kekasihku.

Mis. Kumis. Karena kumis tipis di atas bibir pria berusia 36 tahun itulah aku memanggil Bagas Prayoga dengan nama itu. Bagas merupakan dosen ekonomi di kampusku. Siapa sangka memilih masuk ke Jurusan Bisnis dan Manajemen, yang asal kupilih karena aku hanya tertarik untuk menjadi orang kaya secepat mungkin tanpa perlu kerja keras, malah mempertemukanku dengan pria yang membuatku berpikir hidup miskin dan banting tulang pun bukan masalah selama Kumis, selama Bagas Prayoga ada di sisiku. Ibarat aku baru saja menelan lumat-lumat tumpukan novel romansa seperti Twilight dan 50 Shades of Grey atau sebangsanya.

Kumis terkekeh pelan dan bila saja fokusku tidak tertuju pada Kumis, maka teriakan karakter entah siapa di sinetron Walking Dead yang sebelum ini masih kami tonton lah yang akan memenuhi telingaku.

"Kamu ngerti maksudku," tanpa menatapku Kumis berkata. Suara Kumis terdengar lebih serak, seperti beberapa hari terakhir bukan cuma setengah bungkus rokok sehari yang dihabiskan oleh Kumis tapi sepuluh.

Aku menyandarkan punggung ke sofa dan menggeleng sambil melipat tanganku di dada, "Nggak, nggak ngerti. Udahan itu maksudnya apa? Udahan nonton Walking Dead? Udahan nangkring di sini dan ayo kita cari makan? Ayo, gue laper."

"Aditya," Kumis memanggilnya dengan nada khas dosen yang mengingatkan agar lebih baik dia meninggalkan kelas daripada sibuk membicarakan soal hasil pertandingan bola semalam dengan Herman.

Dan, Kumis masih tetap memilih untuk menunduk, sesekali mengintip layar televisi dari balik helaian poni dari rambut hitam bangun tidurnya tapi sedetik pun, mata itu belum sekalipun tertuju padaku semenjak Kumis membukakan pintu apartemennya untukku.

Hari ini sengaja aku mampir, sekaligus membolos dari kelas akuntansi yang kubenci, setelah aku mendapatkan kabar bila kelas ekonomi makro dibatalkan. Kumis tidak memberitahuku. Belum juga memberitahuku, walau aku mengulang berkali-kali pertanyaanku, mengapa hari ini kelas diliburkan dan apa Kumis sakit?

Sekarang aku mengerti.

"Apa?"

Walau di saat yang sama, aku tidak ingin mengerti.

"Dit ...." Kumis memanggilku lirih.

Aku hanya terdiam mengamati kekasihku. Mereka bilang diam adalah emas, buatku, diam adalah hanya karena aku bingung harus mengatakan apa. Karena aku terdiam, Kumis berakhir menenggelamkan diri dalam suara-suara tangisan aktor dan aktris di drama tentang mayat hidup tersebut.

Dibandingkan dengan nyeri menusuk di ulu hatinya, digerogoti perlahan oleh mayat hidup bisa kubayangkan akan lebih menyenangkan.

"Nggak mau." Aku mendecak. "Kalau maksud lu itu, gue nggak mau."

Sekilas aku melihat Kumis tersenyum tipis. "Karena kamu belum dengar alasannya."

"Gue nggak peduli."

"Dit."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Gue udah tahu apa alasannya." Bukan karena Bagas menemukan laki-laki lain. Bukan karena masalah perbedaan usia mereka.

"Gue udah sering bilang, 'kan? Gue nggak bingung soal orientasi gue apa." Walaupun Kumis adalah kekasih pertamaku. "Karena itu gue nemu lu di sana."

Di aplikasi lokal mirip Grindr.

"Karena itu gue ada di sana."

Bagas memijat dahi dan masih tetap menunduk.

"Jadi lu nggak usah mikirin soal itu." Aku mendekat pada Kumis. Aroma pekat asap rokok menyambutku.

Berapa banyak linting telah kauhabiskan sebelum aku datang mengetuk pintu jam delapan pagi tadi?

Kumis tersentak, saat aku menyentuh bahunya dan aku mencoba untuk menenangkan dengan meremas bahu kurus di balik kemeja putih lusuh itu lembut.

"Atau karena lu takut gue bakal bernasib sama kayak lu dulu?"

Tidak ada jawaban.

Pusing mulai kurasakan dan nyeri di ulu hati memberitahuku bila aku harus segera mengisi lambung.

Aku menyentuh pipi Kumis -- pipi Bagas dengan tangan kananku, dan menyeka keringat dinginnya dengan ibu jari lembut.

"Liat gue," pintaku.

Ketimbang menuruti permintaanku seperti biasa Bagas justru mencengkeram dan menjauhkan tanganku dari wajahnya, kemudian dia mendorong dadaku agar aku menjauh sebagai sebuah penekanan.

"Pulanglah," dia berkata.

Februari tahun ini diwarnai bukan saja oleh warna merah muda melainkan juga warna merah sebagai perlambang cinta, kasih sayang, kebahagiaan dan kemakmuran. Akan tetapi, keempat hal tersebut terasa begitu jauh dari jangkauanku, padahal jarak di antara kami hanya kurang dari tiga puluh sentimeter.

"Gue bener, bukan? Kalau lagi-lagi lu mikirin soal hal itu." Di tiap kali Bagas bertanya apa aku benar-benar yakin menjalin hubungan dengannya, ralat, dengan seorang laki-laki, aku sadar betul bila bayang-bayang masa lalu pria asal Yogyakarta itu masih menghantui. Padahal enam belas tahun telah berlalu semenjak Bagas Prayoga meninggalkan kediaman orangtuanya.

Bagas mengatakan hal serupa padaku saat aku meminta untuk memberi label pada kedekatan kami yang telah berlangsung selama dua bulan. Aku begitu tertarik dan berakhir jatuh hati dengan mudah dan cepat pada sosok hangat dan dewasa dosen yang dijuluki Killer oleh mahasiswa dan mahasiswinya, termasuk aku di semester pertama di tahun pertamaku. Semua berkat ketegasan dan betapa sulitnya mendapatkan sekadar nilai B minus di kelas Pak Bagas.

Aku meraih remote dan mematikan televisi. "Gue benci rasa sakit, lu tahu itu, 'kan?" Remote aku letakkan di meja sebelum menoleh pada Bagas yang masih memunggungiku. Dua cangkir kopi, hanya milikku yang hampir habis.

Kutatap dan perhatikan sejenak sosok kekasihku, bagaimana bahu kurusnya yang gemetar bergerak naik turun dalam tempo lambat. Sesekali kutangkap Bagas memijat pelipis dan mengusap wajahnya kasar.

"Kalau gue pikir pacaran sama lu bakalan lebih sakit, gue nggak bakal ngajak lu pacaran dari awal."

Bagas menggeleng.

"Apa? Lu pikir gue naif? Nggak pikir panjang?" Nada bicaraku meninggi seiring bertambah cepat dan kuat hantaman detak jantungku di balik rusuk. Satu rusuk di sana, tidak pernah diciptakan untuk seorang wanita.

Sejak usiaku sepuluh tahun aku selalu bermimpi menikahi Pak Andreas, guru olahragaku di sekolah dasar ketimbang Bu Tuti, guru kesenianku yang disebut cantik, ramah dan baik hati hingga mampu membuat kawan-kawanku memasuki masa pubertas lebih cepat. Saat Pak Andreas menikahi Bu Tuti, aku memilih berpura-pura sakit dan membolos sampai ibuku menyeretku ke sekolah.

Aku menggertakkan gigi. "Liat gue. Ngomong sama gue, padahal biasanya lu selalu maksa kita buat ngomong di kelas." Aku mengepalkan tangan erat-erat, mencoba menyembunyikan fakta bila aku gemetar karena aku mulai gentar.

Meskipun aku kehilangan kontrol akan emosiku, Bagas masih tetap bungkam, kecuali lagi-lagi tertawa miris.

Siapa yang kaukasihani?

Aku memejamkan mata, mendengarkan alunan tak harmonis dentum jantung cepat dan napas memburuku. Asam lambung membuatku mengecap pahit yang mati-matian kutolak jika itu harus menyangkut hubunganku dengan Bagas.

"Kumis," aku memanggil, suaraku begitu lirih, "jangan sok jadi jagoan."

Aku mendecak, sekilas aku mengalihkan pandang ke arah televisi meski fokus tak kuberikan ke sana. "Lu pikir dengan begini lu bakal nyelamatin gue dari ngulang kesalahan lu, bukan? Padahal gue tahu sebenarnya lu cuma mau nyelamatin diri lu sendiri. Karena lu takut merasa sakit."

Jika dia berakhir menyakitiku dengan cara yang sama seperti ketika Bagas menyakiti dirinya sendiri: mengakui bila dia tertarik hanya pada laki-laki pada orangtua, kerabat dan bahkan teman baiknya.

Aku menghela napas dan berdiri. "Gue benci sakit, tapi gue nggak takut sama rasa sakit kalau itu soal hubungan kita." Aku terkekeh pelan. Bukan menertawakan Bagas, bukan pula meremehkan masalah, tapi karena aku berbohong. "Apalagi cuma karena hal sepele kayak gini."

Apa aku bersikap kekanakan? Tapi bukankah anak-anak selalu berani melakukan apapun yang mereka inginkan? Bila mereka terjatuh dan terluka karena berjalan, maka mereka akan berlari setelah menangis dan kembali tertawa.

Ponsel kuraih dari saku belakang. Tanganku masih belum berhenti gemetar, tapi percayalah, itu karena aku takut bila apa yang kulakukan justru gagal membawa kembali Bagas padaku. Aku takut. Ya, aku takut.

Aku takut akan masa depan tanpa Bagas Prayoga di sisiku.

Karena itu menuju Twitter aku membuat sebuah pengakuan. Aku tahu bila yang kulakukan akan menyakitiku, dan aku masih membenci merasa sakit. Akan tetapi, manusia selalu dipaksa oleh takdir untuk memilih.

Aku menoleh pada Bagas, mengabaikan satu demi satu dering dan getar notifikasi. Ponsel kudekatkan ke telinga usai aku memanggil satu nomor.

"Kumis, kalau lu bener-bener mau kita pisah, tatap gue. Ngomong sekali lagi." Aku menelan saliva, membasahi kerongkongan keringku. "Tapi kasih gue alasan lain, karena alasan lu udah nggak guna."

Senyum mengembang tipis di wajahku saat aku mendengar suara lembut seorang wanita. "Ma," aku memulai, dan dia, dengan alis hampir bertaut pada akhirnya berakhir menatapku, "Mama di rumah sekarang? Oke."

Sepasang bola mata hitam milik Bagas menatapku dengan berkaca-kaca, penuh rasa tidak percaya. Bibirnya yang berwarna merah muda membuka dan mengatup menggumamkan namaku tanpa suara.

'Aditya', gumamnya.

"Aku perlu bicara, Ma. Penting." Ibuku bertanya penuh kekhawatiran dan mengatakan bila bibi dari pihak ayahku sedang ada di rumah. "Kalau begitu, biar Tante Amay dengar juga nggak apa-apa."

Bagas berdiri dan terhuyung melangkah ke arahku, seperti mayat hidup disempurnakan dengan wajah pucat pasi miliknya.

"Dengarkan, Adit baik-baik, Ma." Aku masih tetap mengernyit dan tersenyum, tatapanku lurus menatap pada satu-satunya pria yang memiliki hatiku.

Jika Bagas pergi dari kehidupanku, aku tahu, aku bisa membayangkan seperti apa sakit ketika mayat-mayat hidup itu mengoyak dadaku, mencabut jantung dan hatiku, dan lalu belatung-belatung kemudian berpesta memakan apa yang tersisa dariku.

Sekadar hujatan, cacian dan makian bukan lah apa-apa. Diusir dan kehilangan masa depanku pun bukan masalah, nyatanya aku berkuliah hanya karena paksaan.

Jika aku perlu dihukum cambuk di Aceh dan digantung di Iran sekalipun aku tidak akan keberatan, selama aku bisa bersama dengan seorang Bagas Prayoga selamanya.

Tanpa Bagas. Tanpa Kumis, pria yang kucintai, aku hanya akan menjadi mayat hidup.

Aku melangkah mendekat pada Bagas. Kuulurkan tangan padanya dan menarik Bagas ke pelukanku. Aroma asap dan keringat memenuhi indera, ketika aku membenamkan hidung ke pucuk kepala Bagas usai aku mengecupnya. Aku memejamkan mata,

"Aku gay."

Pelukanku kupererat dan Bagas pun memelukku sama eratnya. "Aku mencintai seorang pria."

Aku benci rasa sakit dan masih tetap membencinya. Selama Bagas ada di sampingku, aku akan tetap bertahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro