RIAK KALBU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

RIAK KALBU

Scrisă de: Abiyasha

Selalu dengarkan hatimu, karena meski dia berada di bagian kirimu, dia selalu benar." - Nicholas Sparks

Tirai kuning gading yang melambai oleh embusan angin menyambutku saat membuka mata. Sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka memberitahuku bahwa hari ini akan sejuk meski langit tampak begitu cerah. Aku mengerang pelan sembari menutup wajah dengan bantal. Cerah tidak selaras dengan hangat di negara dengan empat musim.

Memutar tubuh perlahan, aku mendapati Saga masih tengkurap, pipinya menempel pada bantal, bibirnya sedikit terbuka, dagu dan rahangnya mulai dihiasi rambur-rambut tipis, lengannya mendekap guling erat, sementara sebagian mata kirinya terhalang beberapa helai rambut. Dengan leluasa aku bisa mengumbar keresahan yang seminggu ini menguntit tanpa takut sepasang mata cokelat itu akan memergoki. Aku memang bersikap pengecut.

Menyingkap selimut sepelan mungkin, aku menggunakan tenaga yang belum terkumpul untuk duduk di tepi tempat tidur. Jam meja menunjukkan pukul 7 lebih 20 menit ketika ekor mataku menangkap benda itu berganti menit. Mengusap wajah sembari menarik napas dalam, otakku dengan lekas bekerja dan yang pertama hinggap adalah janji temu malam ini.

Aku mengumpat. Cukup keras untuk bisa aku dengar, tetapi terlalu pelan untuk membangunkan Saga.

Rutinitas Sabtuku tidak akan berubah banyak. Aku akan merapikan apartemen, membawa pakaian kotorku dan Saga ke penatu, melanjutkannya dengan makan siang di bistro sebelum menghabiskan siang dan sore dengan bermalas-malasan sambil menunggu waktu makan malam tiba. Kami biasanya menghabiskan sisa hari dengan menonton film atau serial televisi ditemani satu botol wine.

Sayangnya Sabtu malam ini, aku dan Saga akan menghadapi canggung.

Kikuk itu bernama Stefano. Aku dan Saga setuju bertemu dengannya untuk makan malam. Menyebut nama itu dalam diam merambatkan gugup dalam diriku. Alasannya singkat: lima tahun aku menjalani hubungan dengan Stefano sebelum bersama Saga.

Delapan bulan lalu, aku masih terbangun di samping Stefano. Sentuhan dan kecupannya ditanggapi setiap jengkal tubuhku dengan sempurna. Aroma oregano dan daun basil kerap mengambang di dapur. Hambar kemudian menempel pada tiap sudut apartemen. Punggungnya lebih sering menghadapku di tempat tidur. Lengan dan bibirnya berhenti menjelajahi kulitku. Bau jahe, terasi, daun jeruk, dan cabai dengan kuat menguar dari panci. Intimasi di antara kami merenggang. Pada satu senja, kami sepakat duduk berseberangan dan bicara.

Segala yang mengganjal hati tumpah tak bersisa. Aku menemukan lelah dalam tatapan Stefano, lengannya terkulai berkali-kali, kepalanya lebih sering tertunduk. Pandangannya mengembara ketika mengakui percikan dalam hatinya untukku meredup. Rasa bersalah dan letih membuntutinya, menempatkannya pada persimpangan. Aku menatapnya, berusaha menemukan kesalahan dalam hubungan kami. Stefano meyakinkanku tidak ada pribadi lain yang menyelinap. Aku memercayainya. Kami sepakat menyalakan kembali api yang terancam padam. Kami mencoba. Namun terlambat. Keputusan mengakhiri hubungan adalah yang terbaik.

Kabar tentangku dan Stefano beredar dengan cepat. Entah dari siapa, berita itu sampai di telinga Saga. Dia mengirimiku pesan tidak lama setelah hubunganku dan Stefano berakhir, mengungkapkan keprihatinan dan berharap aku akan baik-baik saja. Aku cuma membalasnya dengan ucapan terima kasih. Aku yakin dia melakukan hal serupa kepada Stefano.

Sebulan berlalu dan aku mendapatkan satu pesan dari Saga.

Dia ingin bertemu.

Aku sempat mengerutkan kening karena sepengetahuanku saat itu, dia tidak berada di kota—bahkan negara—yang sama denganku. Saga menjelaskan singkat alasan kehadirannya di M. Aku mengiyakan ajakannya sebagai ucapan selamat datang.

Kami—aku dan Saga—lahir, besar, dan familier dengan kultur yang hampir seragam. Kami berbagi tanah air sebelum aku melepasnya 15 tahun lalu. Persamaan itu tidak berarti aku sering membicarakannya saat masih bersama Stefano. Saga hanya sesekali mengisi perbincangan kami. Berjumpa dengannya, terlebih sesaat sesudah hubunganku dan Stefano berakhir, menimbulkan kerisauan dalam diriku. Apa yang akan kami bicarakan?

Aku dan Saga sepakat bertemu di sebuah malam yang basah dan hangat. Saga menggugurkan bayanganku tentangnya yang selama 7 tahun terpatri dalam ingatan. Dia tampak lebih percaya diri, bugar, dan ceria. Kegelisahanku tidak terbukti karena obrolan kami mengalir tanpa putus. Nama Stefano absen sepenuhnya. Aku lebih rinci mengetahui alasan kepindahannya ke M. Kantor Saga sudah cukup lama menginginkannya menempati satu divisi di kantor pusat, tetapi Saga selalu punya dalih—terutama soal bahasa. Aku menggodanya perkara bahasa, dan Saga menanggapinya dengan memesan makan malam kami dengan pelafalan yang sempurna. Mustahil untuk tidak terkesan.

Semenjak malam itu, kami menyisihkan satu malam dalam seminggu untuk sekadar meredakan penat. Menghindari nama Stefano terlontar dari mulut kami adalah kemustahilan. Saga meminta maaf dengan tulus jika dia kelepasan menyebut nama itu. Aku meresponnya dengan senyum. Hingga pada suatu petang, Saga dengan rumit menerangkan perasaannya. Menggunakan banyak analogi, mencampurnya dengan kenangan saat aku dan Stefano belum resmi menjalin hubungan, dan menjejalkan kisah cintanya, Saga menumpahkan hati di depanku.

Erangan pelan Saga membuatku menoleh, menghentikan sejenak lamunanku. Lengannya memperat guling di pelukannya. Dia masih tertidur.

Beranjak dari sisi tempat tidur, aku membuka jendela sedikit lebih lebar agar bisa menyandarkan lengan. Embusan angin tidak cukup kencang untuk membangunkan Saga.

Berada di lantai 15, apartemenku terhindar dari bising yang memekakan pendengaran. Taman di bawah seperti mati. Tidak ada aktivitas yang biasanya riuh oleh anak-anak. Aku mendesah pelan.

Aku menanggapi pengakuan Saga sore itu dengan diam. Kebingungan menguasaiku. Dia mengajukan maaf jika pernyataannya mengejutkanku. Aku punya segudang alasan menepis Saga, menggunakan Stefano sebagai tameng. Aku memilih waktu sebagai tanggapan. Memakai kedekatan kami yang belum terbentuk, aku memberi Saga—dan juga diriku—kesempatan mengenal lebih jauh. Sempat tebersit bahwa reaksiku akan memunculkan harapan bagi Saga, atau memanfaatkannya sebagai pelarian, tetapi aku menampiknya. Aku hanya tidak ingin menghalau cinta menghampiriku. Aku dan Stefano gagal mempertahankannya setelah lima tahun, dan aku menolak bersikap pesimis atas hatiku sendiri.

Tiada lagi Saga menyinggung soal hatinya selepas curahan hatinya yang mengagetkanku itu. Kami masih pergi ke pub atau makan malam tiap Rabu malam, tidak pernah di salah satu apartemen kami, dan lebih nyaman membicarakan pekerjaan atau hal-hal temeh lainnya, layaknya dua teman bertukar cerita pada tengah minggu.

Dua bulan sejak kami bertemu pada malam yang hangat itu, Saga mulai menggelitik hatiku. Dia tertawa lepas—aku lupa apa yang memicunya—dan semua benteng yang aku dirikan dengan nama Stefano sebagai fondasinya, perlahan runtuh. Hanya karena sebuah tawa.

Persepsi yang selama enam tahun dibangun oleh Stefano tentang Saga melalui cerita-ceritanya roboh. Saga bukan manusia yang gemar mengumbar kemalangannya demi meraih simpati. Saga memamerkannya karena baginya lebih mudah melewati hari tanpa menyembunyikan apa pun. Stefano menganggap Saga terlalu serius menanggapi hidup. Bagiku, Saga bersikap praktis soal hidupnya. Naif menjadi kata favorit Stefano saat menyimpulkan Saga. Untukku, kata itu bukan hanya tidak pantas, tetapi mengherankan.

Memasuki bulan keempat, aku yang lebih dulu mendekatkan bibir untuk mencium Saga. Tawa kecilku pecah kala menyaksikan wajahnya yang linglung. Beberapa hari sesudahnya, kami bercinta. Selang satu bulan, aku memintanya memindahkan barang-barangnya ke apartemenku. Ada ketegangan yang sempat meruncing, tetapi kami menyelesaikannya. Keraguan yang menyusup tentang kami selalu berhasil aku tampik. Aku bersama Saga, bukan Stefano.

Dua minggu lalu, Stefano mengirimiku pesan. Komunikasi yang terputus begitu kakinya menapak keluar dari apartemen, seperti tersambung. Aku menafsirkan pesan-pesan Stefano sebagai rasa ingin tahu yang ingin dipuaskannya. Dia masih sendiri, pekerjaan menghalanginya punya waktu lebih untuk yang lain. Aku sungguh mencoba tidak peduli, tetapi ada secuil penasaran yang menolak pergi. Terlebih ketika dia meneleponku dan menebak dengan tepat aktivitasku. Ada secuil bagian dari hatiku yang girang mengetahui ingatannya masih tajam. Aku sadar seharusnya bersikap tegas, mengingatkan Stefano tentang Saga—yang hanya disinggungnya sekali—dan bertanya dengan jelas alasannya menghubungiku. Alih-alih, kami bicara layaknya dua orang yang lama tidak saling bertukar kabar.

Perasaan bersalah terhadap Saga mengemuka begitu aku menutup telepon.

Aku memalingkan muka. Saga masih terlelap. Dia sudah mengubah posisi tidurnya, telentang, dada telanjangnya ditutupnya dengan guling.

Semestinya aku memberitahu Saga soal panggilan dari Stefano dengan segera, tapi aku menyimpannya. Aku bertindak seolah itu tidak pernah terjadi dan tidak punya pengaruh terhdap hubungan kami. Aku mengenakan topeng di sekitar Saga dan melepasnya saat aku seorang diri. Aku bersikap tidak acuh ketika Saga memberitahu Stefano ingin bertemu. Ada sebuah harapan kecil Saga akan membatalkan keinginannya bertemu Stefano, tetapi hingga kami terlelap semalam, ucapan itu tidak muncul.

Aku membasahi tenggorokan, memikirkan betapa asingnya pertemuan kami nanti. Percakapan macam apa yang bisa menghubungkanku dan Stefano? Saga dengan jelas akan menangkap kikukku. Oleh karena itu, aku berniat memberitahunya tentang panggilan Stefano hari ini juga. Bersikap terbuka kepadanya akan jauh lebih melegakan.

Namun, cukupkah nyali yang aku punya?

Menyisir rambut, aku menggeleng. Menjawab sendiri pertanyaanku.

Dengan langkah pelan, aku menuju pintu. Ditemani kopi lebih baik dibanding hanya melamun tanpa apa-apa.

Aku mengusir desakan mengambil dua gelas wine serta botol Chardonnay dari atas meja dan mencucinya. Suara keran akan bisa membangunkan Saga. Aku masih membutuhkan waktu untuk sendiri pagi ini.

Meraih toples berisi kopi bubuk, aku langsung menuang dua sendok makan kopi ke dalam moka pot. Mengisinya dengan air, aku menyalakan kompor dan mengambil satu cangkir dari dalam kabinet dinding. Aku melabeli diri sebagai orang yang tidak cukup sentimental, tetapi aku tertegun begitu tanganku memegang cangkir favorit Stefano. Tidak ada yang istimewa dari keramik berusia tahunan ini. Warna hitamnya masih jelas, garis putihnya mulai terkikis. Bukan pertama kalinya tanganku bersentuhan dengan benda ini, tetapi ada yang berbeda. Tanpa ragu, aku membuka tempat sampah dan membuangnya.

Seraya menunggu air mendidih, aku mengambil satu cangkir lain. Saga penggemar kopi, tapi dia lebih suka merebus air dan menyeduh kopi yang sudah diisinya dengan gula. Stefano selalu menikmati kopinya tanpa gula dan menggunakan moka pot untuk membuat kopi. Aku terbiasa dengan moka pot karena Stefano. Berpindah apartemen bukan berarti tidak ada yang mengingatkanku akan dirinya. Seluruh sudut kota ini memajang kenanganku bersamanya. Aku tidak bisa menghindar.

Begitu kopiku siap, aku menuangnya. Hidungku dimanjakan dengan uap yang menguar dari cairan hitam pekat di depanku. Duduk di salah satu kursi, aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja makan. Tidak ada pesan masuk. Aku membuka galeri, berniat menghapus foto-foto yang memenuhi kartu memori dan tidak lagi punya fungsi. Foto gado-gado yang aku masak dua malam lalu, foto mendung yang menggantung seminggu lalu, foto Saga sedang meringkuk di sofa karena ketiduran serta foto-foto buram yang entah karena alasan apa masih tersimpan di ponsel.

Ibu jariku menggantung kala tersadar satu foto Stefano masih tersimpan. Aku sepenuhnya yakin telah membuang semua foto bersamanya, baik di ponsel maupun di laptop. Melihat satu foto ini, keningku mengerut. Mengacungkan jempol, Stefano tersenyum lebar. Latar belakangnya buram, yang tampak jelas adalah kerutan di dahi, kacamata hitam yang tersampir pada kerah kaus putihnya, dan topi kep yang dipakainya terbalik. Sudah terlalu lama aku tidak melihat Stefano menyunggingkan senyum sebahagia itu. Tidak setelah dia mengakui perasaannya kepadaku meluntur. Tidak juga sesudah kami sadar kesia-siaan mencoba menambal hubungan yang terlanjur retak. Rasa rindu yang seharusnya tidak lagi mengusik, merayap kuat.

Aku meletakkan ponsel dan memukuli pelipis dengan pelan. Tidak semestinya aku membiarkan kenangan Stefano mengetuk sekeras ini. Aku menghapus foto itu—mungkin terbawa emosi hingga terdengar suara tuk—dan mendorong ponsel ke tengah meja. Membiarkan panas membakar telapak tangan, aku menempelkan bibir pada tepi cangkir dan menyesap kopi, tidak peduli jika lidahku terbakar.

Mengernyit akibat pahit yang menendang rongga mulut, aku memutuskan akan membuang setiap benda yang membawa Stefano dalam ingatan jika melihatnya.

Aku disadarkan bahwa kehadiran Stefano dua minggu terakhir adalah semu. Tanpa maksud, Stefano berusaha memerangkap kenanganku tentangnya yang masih tersisa. Dari sana, akan timbul ragu akan hubunganku dengan Saga. Hatiku akan bertanya dengan lantang bermacam kemungkinan andai aku dan Stefano tidak pernah berpisah. Bimbang akan menjadi konsekuensi, hari-hari damaiku dengan Saga akan terancam. Puncaknya, penyesalan akan membuntutiku atas keputusan yang keluar karena keputusasaan.

Menyesap kopi sekali lagi, aku berdiri, mengarahkan kaki kembali ke tempat tidur.

Saga belum juga bangun. Dia masih memegang guling erat, tapi aku akan membangunkannya.

Naik ke atas tempat tidur sepelan mungkin, aku merebahkan tubuh di samping Saga. Tanganku dengan pelan mengelus lengannya, tatapanku tidak beranjak dari wajahnya. Aku menyaksikan dia mengerang sembari berusaha memiringkan badan, tetapi aku tidak berhenti. Mungkin karena gerah, Saga membuka mata. Pandangannya tampak bingung, aku memberinya senyum tipis. Aku mengangkat lengannya dan mendaratkan kecupan singkat lantas membisikkan selamat pagi. Aku mengabaikan linglung yang menguasai ekspresi Saga.

Aku pantang membiarkan memori Stefano serta segala fatamorgana yang menampilkan angan-angan dan ketidakpastian menghancurkan perasaanku dan Saga. Aku dan Saga masih bisa memiliki masa depan. Aku dan Stefano telah mengantongi masa lalu.

Pertanyaan pertama yang diajukan Saga begitu sadar aku ada di sebelahnya adalah waktu. Aku menanggapinya dengan godaan. Haram peduli dengan waktu di akhir pekan, ucapku. Dia tergelak. Saga mengucek mata sebelum mengalihkan perhatiannya dengan penuh ke arahku.

Dengan suara yang masih dikuasai kantuk, dia bertanya rencana hari ini. Aku membeberkan kebiasaan akhir pekan kami—dan menambahkan Stefano. Dia menatap langit-langit tanpa ada kalimat yang meluncur. Aku menunggu dia menyuarakan pikiran.

"Stefano akan keberatan nggak kalau kita ngebatalin janji? Hari ini aku pengen makan malam di rumah."

Ada banyak jawaban yang bisa aku berikan. "Aku yakin dia nggak akan keberatan," balasku.

Saga bergumam.

Memandang diamnya mengukuhkan hatiku untuk menyingkap resah yang sudah seminggu menguntit. Aku akan memahami reaksi Saga. Aku tidak akan membela diri. Aku siap jika Saga menjatuhiku vonis.

Aku dengan sigap menahan lengan Saga saat dia akan meraih ponsel di atas nakas. "Masih pagi. Kamu bisa ngasih tahu dia nanti." Aku menggeser tubuh, mendekatkan jarak di antara kami. Tanganku menyusup di balik selimut, merasakan hangat kulit perut Saga. "Do you mind having a sexy morning?"

Saga menggeleng bersamaan dengan tanganku yang menuruni pusarnya. "Go ahead," ucapnya sambil menggapai tengkukku. Saga menarikku mendekat, dan berbisik, "Alasan yang sempurna buat nggak bangun dari tempat tidur," ujarnya.

Bayangan Stefano karam saat lidahku dan Saga beradu.

* F I N *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro