10. Barron Izzan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 10 Barron Izzan

"Ya, anak itu seharusnya mati. Tapi ..."

"Seharusnya?" Elva benar-benar kesulitan mengendalikan amarahnya. Giginya bergemertak. "Aku membayarmu bukan hanya untuk hal receh ini. Sekarang dia ada di rumahku. Menikmati udara di rumahku."

"Dante Izzan. Dia adalah wali tak tertulis yang mengurus anak itu. Satu-satunya yang selamta dari kebakaran tersebut. Dan yang tidak tertulis juga. Karena anak itu belum sempat tercatat di sana."

"Bagaimana kau melakukan ketololan semacam ini?"

"Kau hanya memintaku menghabisi semua yang ada di panti asuhan itu, Elva. Memastikan tak ada yang selamat. Dan aku melakukan yang kau inginkan. Siapa yang tahu kalau dia belum termasuk penghuni panti sialan itu."

"Izzan?"

"Pemilik Izzan Company. Dan sekarang yang perusahaan itu dipegang oleh putra tunggalnya, yang juga diadopsi. Barron Izzan."

"Jadi karena itu seseorang dari panti asuhan bisa mendapatkan jabatan seeksklusif itu di salah satu perusahaan besar di kota ini?"

Pria berkaca mata bulat itu mengangguk. "Mereka berasal dari panti asuhan yang sama," tambahnya lagi.

Kali ini Elva benar-benar kesulitan mengendalikan dirinya sendiri. Jalan yang sudah ia tutup rapat agar satu-satunya keturunan Ginny maupun ahli waris yang tersisa tak lagi mengganggu hidupnya. Kini siapa yang menyangka adiknya itu masih tak membiarkannya tenang meski sudah mati.

"Kali ini aku akan memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu di masa lalu, Ricky."

Ricky menelengkan kepalanya. "Setelah kecelakaan itu, sekarang kau berniat membereskannya?"

"Kenapa? Kau tak mampu?" Elva menegakkan punggung. Ujung bibirnya membentuk seringai mencemooh.

Ricky terkekeh. "Suamimu sudah mengendusnya. Aku tak ingin mengambil resiko. Jika kali ini aku tertangkap, aku akan memastikan namamu terseret."

Elva mendelik tajam. Teringat pembicaraannya dengan Kruz yang tak pernah berakhir baik. "Dan kau pikir tak ada orang lain yang akan melakukannya untukku?"

Ricky mendengus, tetapi kemudian tampak mempertimbangkan. Elva Zachery, satu-satunya pelanggan yang berani membayar lebih untuk pekerjaannya. Bagaimana mungkin ia akan membiarkannya lepas begitu saja. "Aku akan melakukan hal lain. Kau tahu aku selalu mendapatkan informasi yang bagus untuk kau manfaatkan, kan?"

Elva tak langsung menjawab. Mungkin untuk sementara waktu ia membutuhkan suasana menjadi tenang, kan. "Tiga hari."

***

"Hart Corporation. Apakah itu yang kauinginkan?" Elva menerobos masuk begitu pintu kamar sang putra dibuka dari dalam.

Lily membalas dengan senyum menjengkelkan. "Itu memang milikku."

Elva mendengus. "Jadi bukan hanya itu? Mendadak kau menjadi serakah hanya karena semua kemajuan yang kau dapatkan hari ini?"

"Apakah tidak boleh?"

Elva maju satu langkah. "Kalau begitu kita lihat, berapa banyak yang bisa kau ambil dengan tangan ..." Elva mendengus ketika pandangannya bergerak menatap lengan Lily yang masih dipasangi perban meski tidak membutuhkan penyangga lagi. "... kecilmu itu."

Lily tersenyum. Tak ada lagi beriak ketakutan di sana. "Cukup untuk membuat mama terkejut."

Elva tak membalas apa pun. Kedua matanya menatap penuh cemooh akan jawaban sang menantu. Sebelum kemudian berbalik dan berjalan keluar.

***

"Tanganmu baik-baik saja?" Barron menyesap kopinya. Yang masih mengepulkan asap di tengah siang. Menikmati rasa pahit yang membuat lidahnya mengeluarkan erangan lirih dan mendapat decakan ringan dari Lily. "Kenapa? Aku tak boleh menikmati semua ini setelah semua yang kulakukan untukmu?"

Lily menunjukkan lengannya yang tak perlu dibebat perban. Setelah Cave mengantarnya kontrol ke rumah sakit, pria itu harus kembali ke kantor dan sementara dirinya, yang baru memulai pekerjaan Senin lusa, tak akan membuang waktu untuk berbaring menikmati semua fasilitas yang disediakan rumah megah keluarga Zachery.

"Kabar terbaru?"

Barron tersenyum. "TD memutus hubungan dengan Carim. Secara sepihak. Kau bisa bayangkan berapa banyak hutang yang harus ditanggung Egan?"

"Apakah mama Cave tahu?"

"Segera."

Lily tersenyum tipis. Mengambil sepotong daging di piring dan mengunyahnya dengan lembut.

Barron ikut tersenyum. Mengamati wajah Lily. "Kau terlihat ... ehm tidak bahagia?"

"Apakah aku harus merasa seperti itu?"

Barron mengulurkan tangan, memberikan genggaman yang lembut.

"Tidak ada dalqm daftar rencanaku, Barron. Jadi tak ada yang perlu kau cemaskan."

"Oke. Tapi apa kau sudah memperkirakan jika Cave tahu tentang semua ini?"

Lily bernapas lebih berat dengan pertanyaan yang satu ini. "Kemungkinan besar dia akan menceraikanku dan akan lebih mudah jika kami tak memiliki anak."

"Ya, aku sudah mengatakan padamu."

"Tapi ..."

"Tapi?"

"Waktu kita 6 bulan untuk menyelesaikan semuanya."

"Kenapa begitu mendadak?"

"Mama Cave. Jika aku tidak memberikan calon cucu, kemungkinan sudah ada calon yang dipersiapkan. Aku tak terlalu peduli."

"Atau memang sudah ada sejak awal?"

"Mungkin." Lily mencoba mengingat. Sebelum ia benar-benar menyelinap masuk ke dalam hidup Cave, tak ada wanita yang benar-benar dekat dengan pria itu meski ada banyak wanita yang memuja seorang Cave Zachery. Kesempurnaan wajah dan semua yang ada di belakang pria itu. Tak ada yang harus Lily cemaskan jika pria itu.

"Berhenti tentangku. Bagaimana kencan butamu?"

"Pengalihan topik yang bagus." Barron melepaskan pegangannya, memutar kedua bola matanya. "Menikah juga tak ada dalam daftar rencanaku. Dalam waktu dekat."

Lily tertawa kecil. Ketika pandangannya tiba-tiba menangkap seseorang yang duduk beberapa meja darinya, menyembunyikan kamera yang terarah padanya. Begitu pria itu menyadari pandangannya, gegas melompat berdiri dan berlari menuju pintu restoran.

Lily mengejar, diikuti Barron. Dan kehilangan pria itu tepat ketika keduanya berhenti di teras restoran.

"Ada seseorang yang mengawasimu?"

Lily terdiam sejenak. "Mungkin kita berdua. "

"Cave?"

Lily menggeleng. Meski Cave kerap kali cemburu akan kedekatannya dengan Barron maupun pria manapun. Pria itu tidak akan melakukan hal semacam ini. "Aku harus kembali."

***

Lily melihat mobil Cave sudah terparkir di carport ketika memarkirkan mobilnya. Gegas masuk ke dalam rumah ketika mendengar suara cekikikan dari arah halaman belakang.

Ia harus menyeberangi ruang tengah, yang mengarah ke kolam renang sebelum mendekati tangga.

"Dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Elva muncul dari samping tangga, mengikuti arah pandangan Lily yang sempat berhenti ketika melihat seseorang yang duduk di samping Ivie. "6 bulan waktu yang cepat. Jadi semua harus dipersiapkan dengan baik."

Lily memasang senyum terbaik seperti biasa untuk mengusik kejengkelan sang mertua sekaligus tante tirinya tersebut. "Kuharap Cave menyukainya."

"Tentu saja. Ivie dan Monica tumbuh bersama sejak kecil. Kedua orang tua Monica sangat menyukai Cave."

Lily sedikit memajukan tubuhnya. "Apakah mereka juga tahu tentang masa lalu, Tante?"

Raut licik Elva seketika membeku. Lily menegakkan punggungnya dan tertawa kecil. "Tenanglah, Mama. Aku pandai menyimpan rahasia," ucapnya kemudian berjalan melewati sang mertua. Tersenyum penuh kepuasan.

Sampai di kamar, Cave baru keluar dari kamar mandi. "Kau pulang lebih awal."

"Ya, seperti yang kau lihat." Cave melempar handuk ke tempat tidur. Menghampiri sang istri dan menangkap pinggangnya dan langsung menangkap ciuman di bibir. "Kau tak bilang akan singgah ke suatu tempat. "

"Kau terburu-buru dengan panggilanmu, jadi tak sempat memberitahumu."

"Urusan pekerjaan?" Cave mendorong tubuh Lily ke ranjang, setengah menindih tubuh wanita itu. "Lagi."

"Hanya membawakan desain untuk Barron, Cave. Dan sejak kapan kau tertarik urusan pekerjaanku," senyum Lily geli oleh ciuman Cave yang merambat ke lehernya. Menggigit lembut di cekungan lehernya.

"Aku hanya berusaha menghormati keprofesionalanmu, istriku."

"Aku pun." Lily menahan tangan Cave yang mulai menyelinap ke balik pakaiannya. "Cave, aku belum bersih."

Cave memaksa kepalanya terangkat. Menarik tubuhnya terduduk sembari menekan gairah yang sudah mulai naik ke permukaan.

"Aku ganti pakaian dulu." Lily bergerak turun dari ranjang. Tepat ketika ponsel Cave di nakas bergetar pelan. Pria itu langsung menanggapi, membuka pesan berisi gambar dari nomor yang tak terdaftar di kontaknya.

Kedua alisnya berkerut menatap gambar Lily yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakan wanita itu saat ini. Duduk di salah satu meja, saling berhadapan dengan Barron. Tetapi yang membuat pemandangan tersebut tampak mesra adalah tangan keduanya yang saling berpegangan.

Lily yang tak sengaja menangkap pesan tersebut seketika membeku. Dan semakin jelas ketika Cave menunjukkan gambar tersebut padanya.

"Aku tak tahu seorang bos bisa memegang tangan bawahannya dengan cara seperti ini. "













Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro