9. Sang Keponakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 9 Sang Keponakan  

“Tekanan darahnya tiba-tiba naik. Setelah meminum obat, beliau akan merasa lebih baik,” ujar dokter sebelum berpamit pergi. 

Cave mendekati sang adik yang duduk di tepi ranjang. Memegang tangan sang mama dengan kecemasan berlebih seperti biasa.

“Semua ini gara-gara wanita itu, kan?”

Wajah Cave seketika mengeras. “Kau ingin membuatku kesal?”

Ivie memberengut, kembali menatap Elva yang masih memejamkan mata. “Kau selalu membuat mama menderita meski kau selalu menjadi kesayangan mama,” gerutnya kemudian.

“Tak cukup untuk mendapatkan restu menikahi wanita yang kuinginkan.”

“Kau tahu alasannya. Karena dia …” Langkah kaki yang terdengar menghentikan kalimat Ivie. Lily masuk ke dalam dengan segelas air putih yang kemudian diletakkan di nakas.

Gerakan tangan Elva seketika mendapatkan perhatian kedua kakak beradik itu. Kesadaran wanita paruh baya itu mulai kembali. Menyadari dirinya berbaring di tempat tidur. “Apa yang terjadi?”

“Mama pingsan di meja makan.”

“Karena melihat istriku bergabung di meja makan.”

Wajah pucat Elva menatap raut datar sang putra, dan perlahan beralih pada Lily yang berdiri di samping Cave dengan wajah sedikit tertunduk. Sekali lagi menahan diri ketika kalung familiar itu masih menghiasi leher sang menantu. “Tidak. Ini tidak ada hubungannya dengan dia. Ehm, istrimu. Mama memang sedikit kurang enak badan.”

Ketegangan di wajah Cave perlahan melunak. “Ada alasan mama memberikan hadiah untuk pernikahan kami, kan?” 

Tatapan Elva bertemu dengan Lily. Dan akhirnya kebencian sang menantu lebih besar dari yang ia perkirakan. Bukan hanya karena menghancurkan hubungan wanita itu dengan Egan.

‘Apa yang bisa diberikan oleh wanita itu selain menjadi beban untuk masa depanmu yang cerah. Dia tak bisa dibandingkan dengan putriku.’

Egan tampak meragu. Bibir Elva menipis keras. 

‘Tak ada kesempatan lain. Sekarang juga kau putuskan. Kau bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan Ivie atau tak pernah melihat anakmu untuk selamanya.’

Akan tetapi, kalung itu … 

“Apakah kalung itu?” Ivie menunjuk ke arah Lily. Bibirnya mengerucut kesal. “Kenapa mama hanya memberikan padanya? Ini tidak adil.”

“Cukup, Ivie. Kembali ke kamarmu,” desis Elva.

“Seharusnya mama memberiku …”

“Ivie.” Desisan Elva lebih tajam, juga tatapannya pada Ivie yang seketika membuat sang putri terkejut ketakutan. 

Ivie bangun terduduk, berjalan keluar dengan langkah yang dihentakkan ke lantai.

“Dia masih saja kekanakan,” gumam Elva lirih. “Ke mana papamu?”

“Bicara dengan dokter.”

“Seharusnya kalian sudah berangkat ke kantor.”

Cave membuka laci teratas nakas dan mengeluarkan botol obat berwarna putih. Mengambil satu butir dan memberikannya pada Elva. “Dokter bilang tekanan darah mama naik.”

Elva mengangguk. Menelan obatnya dan menyisakan air putih. “Bisakah mama bicara dengan di … istrimu?”

Cave menatap Lily, yang memberikan satu anggukan pelan. “Kami butuh meluruskan kesalah pahaman ini, kan?” bisiknya dan mengelus lengan Cave. Meyakinkan pria itu ia bisa menghadapinya. Cave pun berjalan keluar.

“Bagaimana kau mendapatkan benda itu?”

Lily menyentuh bandul kalungnya. “Hadiah pernikahan?”

“Banyak perhiasan di penyimpananku dan kau mencuri yang satu itu? Lancang sekali” desis Elva. Memastikan suaranya tak sampai terdengar dari luar meski pintu kamar tertutup rapat.

“Yang satu itu?” Lily mengulang. “Sepertinya kalung ini memiliki arti yang khusus.”

Elva mengerjap.

“Apakah ini hadiah pernikahan yang sudah turun menurun dari keluarga Zachery?  Seingatku itu bukan kalung batu rubi. Cave bilang itu cincin zamrud.”

“Kau tak pantas mendapatkannya.”

“Aku tak memiliki kepercayaan diri sebesar itu, mama.”

“Berhenti memanggilku mama.”

“Mama mertua.”

Bibir Elva menipis menahan getar amarahnya.

“Dan kalung berlian yang … tidak diturunkan pada Anda.”

“Tutup mulutmu.”

“Karena alasan yang tak pernah diketahui siapa pun.”

Elva mengerjap terkejut. Wajahnya yang pucat tak bisa lebih pucat lagi. “Lancang sekali kau …”

“Apakah alasan itu ada hubungannya dengan kalung ini?” Ujung jemari Lily bergerak memutar di bandul kalungya.

“A-apa?” Napas Elva tertahan. Di antara banyaknya pertanyaan, bagaimana mungkin wanita satu ini melontarkan pertanyaan yang berhasil membuatnya terperangah. Elva segera menguasai ekspresi wajahnya. “Apa yang kau katakan?”

“Dan … aku tidak mencurinya. Ini kalung pemberian mamaku.”

Seperti petir yang menyambar, Elva kesulitan menghadapi keterkejutannya. Waktu disekitarnya berhenti, hanya untuk memutar ingatan masa lalu yang sudah ia kubur rapat-rapat.

‘Apa ini?’

‘Hadiah ulang tahun pernikahan kalian. Kau harus memberikannya agar dia berhenti curiga.’

‘Kau tak perlu melakukannya, Elva. Aku dan Ginny berencana pergi ke toko perhiasan besok siang.’

‘Aku sudah melakukannya untukmu. Jadi besok adalah waktu untuk kita bersenang-senang.’

Kaelan terdiam.

‘Kruz pergi ke luar kota untuk turun ke lapangan. Akan kembali pada sore hari.’

Kaelan tak langsung menjawab. Menatap Elva.

‘Ada apa?’

‘Ada yang ingin kubicarakan denganmu.’

‘Jika ini tentang itu, aku tak ingin membicarakannya. Dan jika kau tidak datang, aku sendiri yang akan memberitahu Ginny. Dia sedang hamil, kan? Anak kedua kalian.’

“K- kau …” Suara Elva tercekat dengan keras, mencekik tenggorokannya. “S-siapa sebenarnya kau?”

Lily tersenyum. Membungkukkan punggung hingga pandangan keduanya sejajar. “Aku tak tahu panggilan mana yang lebih tepat. Mama mertua? Atau … tante Elva?”

*** 

“Kau baik-baik saja?” Cave langsung mendekatiya begitu Lily keluar dari kamar tidur sang mama.

“Ya, tentu saja.” Lily lengan Cave yang hendak masuk ke dalam kamar. “Mamamu sedang istirahat.”

“Istirahat?”

“Ya.”

Kedua alis Cave berkerut. “Kau yakin?”

“Kau tak percaya padaku?”

Cave menggeleng. “Hanya … bagaimana kau melakukannya? Pembicaraan kalian tampaknya berakhir dengan baik.”

“Aku sudah bilang akan melakukan yang satu ini untuk hubungan kita, kan?”

Cave tersenyum. “Ya. Kau melakukan tugasmu dengan baik.”

Lily sedikit berjinjit ketika kepala Cave tertunduk untuk mendaratkan kecupan di bibirnya. “Kita kembali ke meja makan. Kau belum sarapan dan harus segera ke kantor.”

*** 

“Kau memberinya hadiah pernikahan?” Kruz menatap sang istri yang duduk bersandar di kepala ranjang dan tenggelam dalam lamunannya. “Setelah membuat lengannya patah, kau memberinya hadiah.”

Elva menoleh. Tak terkejut dengan tindakannya yang terkadang diluar kendali. “Lengannya tidak patah.” Dan tak mungkin memberitahu Kruz itu bukan kalung miliknya.

Ginny Hart, adik tirinya yang mendesain kalung itu. Yang selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Kaelan, pria yang dicintai dan mencintainya. Dan bagaimana mungkin anak mereka masih hidup. Setelah kecelakaan itu, ia melempar Lilyana ke panti asuhan. Sebelum kemudian memastikan tak ada pewaris perusahaan Kaelan dengan membakar panti asuhan tersebut.

“Jika Cave tahu tentang ini, pastikan saja kau sudah memiliki alasan yang bagus agar dia tidak pergi dari rumah ini, Elva. Kau tahu hanya dia yang diharapkan ayah sebelum memberikan semua aset keluarga padaku.”

“Itu karena kau tak bisa mengambil kepercayaan ayahmu sendiri.”

Wajah Kruz seketika mengeras. “Jadilah akrab dengan menantumu. Sekarang dia kunci bagimu untuk memenangkan hati Cave. Dia terlihat tak bisa hidup tanpa wanita itu?”

“Seperti kau?”

Kruz terdiam. “Katakan apa pun yang kau inginkan.”

“Kau bisa menikahiku dan memiliki anak dariku meski kau tak pernah memberikan hatimu untuk pernikahan ini, Kruz. Kenapa dia tak bisa melakukan itu?”

“Karena Cave akan melakukan apa pun untuk wanita yang diinginkannya. Itu perbedaannya. Dia bukan seorang pengecut yang terjebak tipu muslihatmu.”

“Aku tak pernah menipumu.”

“Kau tahu aku tak pernah menolak keinginan mamaku. Termasuk seorang istri yang diajukannya padaku. Hanya kau yang tahu apa yang kau lakukan padanya.”

“Itu tiga puluh tahun yang lalu. Tidak bisakah kau melupakannya? Hanya keluarga ini yang tersisa untukmu. Untuk kita berdua. Aku berusaha memperbaiki semuanya.”

Kruz mengedikkan bahunya. “Sebaiknya begitu,” ucapnya kemudian berjalan keluar.

Elva menahan jeritannya di tenggorokan. Bahkan sudah 20 tahun berlalu, semua masih tak ada yang memuaskannya. Kruz masih menginginkan Ginny. Meski wanita itu sudah membusuk di bawah tanah. Meski hidup adik tirinya sudah hancur, oleh tanganna sendiri. Kenapa semua itu masih tak membuatnya mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan sekarang …

Masa lalu itu kembali hidup. Seperti rumput liar yang akan kembali mengusik ketenangan hidupnya.

Bagaimana mungkin anak itu masih hidup?

Berhasil merayu putranya, seperti ibunya berhasil merayu miliknya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohon, bukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro