14. Kesepakatan Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Part 14 Kesepakatan Baru

“Kau belum tidur?”

Lily memperhatikan Cave yang menutup pintu, melewatinya dan ia bisa mencium aroma alkohol yang begitu pekat dari pria itu. Bercampur parfum dan rokok dari pakaian pria itu. “A-aku menunggumu.”

Cave melepaskan jas dan dasi yang simpulnya sudah terurai dari kerah kemeja pria itu. Melemparnya sembarangan ke lantai kemudian membanting tubuhnya di sofa. Berbaring menatap langit-langit kamar.

Lily berjalan mendekat, dengan langkah penuh kehati-hatian. “Aku akan melepas sepatumu.”

Cave tak menjawab, lengan pria itu menutupi mata dan kesunyian menyelimuti keduanya. Terlalu sunyi hingga Lily bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang. 

Sesekali ia meremas tangannya yang bergetar hebat ketika melepaskan kaos kaki Cave. Wajahnya tertunduk meski sudut matanya sesekali melirik ke wajah pria itu yang setengah tertutup lengan.

“Kau ingin minum?”

Cave tak menjawab. Lily masih mematung di ujung sofa. Membiarkan kegugupan merambati dadanya. Keduanya tahu apa yang sudah membentangkan jarak di antara mereka. 

Lily membungkuk untuk mengambil pakaian Cave yang berserakan di lantai. Memungutnya satu persatu ketika tiba-tiba tubuhnya didorong ke arah tempat tidur. Setengah dibanting dalam sekejap mata. Saat Lily menyadari semua itu, tubuh besar Cave sudah menindihnya dan wajah pria itu membayang di atas wajahnya.

“Jadi kau sudah tahu?” desis Cave tajam. Bibirnya yang menipis nyaris tak bergerak.

Lily merasakan sesak di dadanya oleh tekanan tubuh Cave. Rahang pria itu mengeras dengan kilat yang menyambar di sepasang manik hijau pria itu yang tampak menggelap. “Aku tak akan menjelaskan apa pun sebagai pembelaan.”

Cave menggeram. Semudah itu Lily menyulut amarah yang sudah setengah mati ia tekan kuat-kuat. “Semua ini hanya untuk dendammu?”

“Pertama kalinya kau ingin memulai hubungan ini, kau tak peduli apa yang kuinginkan darimu, Cave. Termasuk untuk setiap sen uang yang kau miliki, selama aku menjadi milikmu.”

Lonjakan amarah itu kembali menyerbu dada Cave. Akan tetapi tak ada sepatah kata pun yang salah dari kata-kata Lily. 

‘Sebagai pria yang pertama yang menidurimu, bertanggung jawab atas dirimu, atau bahkan jika kau menginginkan uangku. Aku tak akan mempermasalahkan semuanya selama kau menjadi milikku. Cari alasan apa pun untuk bertahan di sisiku.’

Kalimat itulah yang ia katakan agar Lily menerima cintanya. Menerima hubungan baru mereka.

“Semua itu semacam permainan tarik ulur yang kau mainkan padaku.”

Lily tak menyangkal. “Kau tertarik pada wajahku dan menginginkan tubuhku, Cave. Dan aku memberikannya.”

Cave tertawa dengan jawaban tersebut. Tawanya terdengar begitu dingin dan dipenuhi kegetiran. Ketika tawa pria itu berhenti, raut pria itu kembali dipenuhi ketegangan. Dengan seringai di ujung bibirnya. “Kau benar. Kau sudah menjadi milikku.”

Napas Lily tertahan dengan keras dengan kalimat tersebut.

“Kau sudah bersih, kan?”

Kepanikan seketika menyergap Lily. Tak siap dengan pertanyaan yang hanya memiliki satu arti. “C-cave aku …”

Cave sudah terlanjut menarik pakaian depan Lily. 

“T-tunggu, Cave.” Lily berusaha menahan dada Cave, yang keduanya langsung ditangkap dan dipaku di atas kepalanya. Bibir pria itu segera membungkam penolakannya. Berat tubuh Cave menahan rontaannya sementara tangan pria itu melucuti pakaian keduanya secepat gairah mengaliri aliran darah di nadinya.

Lily tentu saja tak berdaya dengan hasrat Cave, menginginkan tubuhnya dengan cara yang rakus. Menjelajahi setiap jengkal tubuhnya dengan cumbuan, ciuman, dan gigitan. Dan ketika pria itu berhasil menyatukan tubuh keduanya, Cave bergerak dengan cepat. Bernapas dengan berat dan menggebu. Hingga akhirnya pria itu berhasil mencapai puncak, erang kenikmatan mengakhiri gerakan pria itu di atas tubuhnya. Membiarkan napas terengah pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Lily yang memerah. Begitu pun dengan peluh pria itu yang berjatuhan di pipinya.

Cave menarik diri dan berguling ke samping, menatap langit-langit kamar sembari mengejar napasnya. Sedangkan Lily menarik helaian pakaiannya yang sudah robek dan hendak beringsut menjauh ketika lengannya ditahan oleh Cave.

“Aku tak suka kau meninggalkanku seperti ini, ingat?”

Lily kembali membaringkan tubuhnya di samping pria itu. Wajahnya berpaling ke samping dan untuk pertama kalinya merasa buruk ketika Cave menyentuhnya. Ia menggigit bibir bagian dalamnya, menahan gumpalan yang mulai membentuk di kedua matanya agar tak sampai meleleh. Tidak. Ia tidak perlu menjadi emosional seperti ini. Cave menginginkan tubuhnya dan ia akan memberikannya. 

“Kenapa? Apakah terasa berbeda?”

Lily tak menjawab.

“Tak ada yang berubah, sayang. Kau menyerahkan tubuhmu dan aku tak akan mempermasalahkan apa pun yang kau inginkan dariku.”

Lily menelan gumpalan yang terasa mencekik tenggorokannya. Ya, Cave benar. Tak ada yang berubah.

Cave bangkit terduduk. Napas pria itu sudah kembali normal ketika turun dari tempat tidur dan berkata, “Dendammu pada Egan. Lakukan apa yang kau inginkan.”

Lily memperhatikan Cave yang berjalan menuju kamar mandi. Mengulang kalimat itu dua kali. Meskipun ia merasa sedikit lega karena Cave tak akan mengakhiri hubungan mereka secepat ini. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang telah berubah dalam diri Cave.

*** 

Pagi itu Lily terbangun dengan Cave yang masih tidur dengan posisi tengkurap di sampingnya dan posisi kepala membelakanginya. Berusaha tak menciptakan suara sekecil apa pun, wanita itu bergerak turun. Menarik pakaian tidurnya yang dibuang Cave ke lantai.

Ya. Setelah keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya yang robek dengan baju tidur, pria itu kembali melucutinya. Kembali menuntaskan gairah dan tak membiarkannya tertidur hingga dirinya kewalahan. Dan sekerang ia tak ingin membangunkan Cave hanya  untuk kembali menjadi pelampiasan nafsu pria itu yang seolah tak ada habisnya. Seolah pria itu tak lagi menahan diri dan tak peduli atas ketidaknyamanan yang ia rasakan. Seperti yang sebelumnya selalu pria itu lakukan untuknya.

Tubuhnya terasa remuk redam, ia butuh berendam meski hanya beberapa menit saja. Sebelum Cave bangun.

Apakah ini yang dimaksud Cave tentang membiarkannya melakukan apa pun selama tubuhnya tetap menjadi milik pria itu? Sebagai bayaran untuk kebohongannya? Semalam, Cave jelas-jelas tak melewatkan kesepakatan itu begitu saja.

Lily berusaha menepis pemikiran itu dari kepalanya. Ia masih punya waktu. Meski tidak akan banyak, tetap saja masih ada waktu untuk merebut Carim Corporation dan membuat Elva membayar semua kejahatan wanita itu.

Pintu kamar mandi terbuka ketika Lily baru saja keluar dari bath up. Meraih handuknya dan sedikit menundukkan pandangannya karena Cave masuk tanpa mengenakan pakaian apa pun.

“Bersiaplah, kita harus ke butik.”

“A-apa?”

Cave melirik ke samping, membuat pandangan mereka bertemu di cermin. “Kau mendengarku.”

“Mamamu bilang kita akan membatalkan resepsi.”

“Ini bukan pertama kalinya aku menentang keputusan mama.”

Lily terdiam. Memberikan satu anggukan pelan sebelum Cave masuk ke bilik, membiarkan tubuhnya disiram air dingin.

Dan tentu saja keputusan tersebut membuat Elva berang bukan main. Ketika Lily menurunin anak tangga, ia mendengar Elva dan Cave berdiri berhadap-hadapan. Wajah sang mertua dihiasi ketegangan.

“Sejak awal mama sudah mengetahuinya. Menyembunyikannya dari Ivie. Bukankah kita hanya perlu membiarkan semuanya seperti semula?”

“Kau tidak mengerti selicik apa wanita itu, Cave.”

“Aku bisa mengurus urusanku sendiri. Termasuk pernikahanku dan istriku sendiri,” pungkas Cave mengakhiri pembicaraan tersebut. Ketika tubuhnya berbalik, pandangannya bertemu dengan Lily. Sebelum kemudian berjalan menuju pintu utama.

Sementara Elva, yang wajahnya dipenuhi ketegangan menghadang langkahnya. “Apa aku sudah mengatakannya, mama. Diinginkan putramu adalah keberuntungan terbesar yang datang di antara semua penderitaan yang kau berikan pada hidupku,” seringai Lily penuh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro