17. Kapan Hamil?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 17 Kapan Hamil?

Lima bulan kemudian …

Dengan wajah yang merah padam, Elva menerobos masuk ke ruangan Cave. Tanpa mengetuk pintu dan mengabaikan sekretaris Cave yang menolak kedatangannya.

“Kau dipecat,” berang Elva, mendorong wanita muda yang wajahnya segera memucat sempurna. Membanting pintu di depannya, mendekati meja Cave yang bahkan tak memalingkan perhatian dari berkas di hadapannya.

“Apa yang kau lakukan, Cave? Kau bilang akan membantu Egan.”

“Aku sudah mempertimbangkannya. Dan rupanya Barron Izzan lebih mampu memegang kendali atas perusahaan itu.”

Elva melempar telapak tangannya di meja. Wajahnya tak bisa tampak lebih geram lagi. Emosi membludak di dalam dadanya.

Cave akhirnya mengangkat kepalanya, menatap sang mama. “Aku hanya memiliki satu syarat. Mama tak tertarik jadi aku tak punya alasan untuk lebih tertarik.”

Bibir Elva mengeras. “Syaratmu tidak masuk akal.”

“Ya, sama tidak masuk akalnya dengan saham mama di perusahaan itu. Aku tidak bodoh, Ma. Perlukah aku mencari tahu lebih dalam kenapa mama terlalu condong pada perusahaan itu dibandingkan galeri?”

Elva mengerjap, menekan gerahamnya demi menahan kecemasan yang tiba-tiba menyerang.

“Aku tak peduli dana ilegal yang mungkin saja berputar di balik perusahaan itu, atau bahkan jika perusahaan itu hanyalah cangkang kosong. Tapi aku tidak main dalam hal semacam itu.”

“K-kau pikir mama akan melakukan hal sejahat itu?”

“Tidak, aku hanya mengatakan kenapa semua tentang perusahaan itu terlalu bersih. Di balik proyek dan kerjasama yang gagal dipertahankan oleh Egan, semuanya terlalu bersih.”

“Itu karena memang tidak ada apa pun yang kau pikirkan. Mama mengatakan yang sejujurnya.”

“Ya, mungkin. Atau mungkin yang tidak kuketahui dan Barron sedikit tahu lebih banyak dibandingkan aku.”

Napas Elva tertahan dengan keras, seluruh tubuhnya menegang dan ia berhasil menguasai ekspresi wajahnya dengan cekatan. Keahlian yang tak pernah luntur bahkan setelah 30 tahun berlalu.

“Jika memang tidak ada apa pun, lalu apa yang perlu mama cemaskan?” Cave menyilangkan kedua tangannya. Bersandar di punggung kursi tanpa melepaskan tatapannya pada kedua mata sang mama. “Nilai perusahaan itu bahkan tak bisa dibandingkan dengan galeri. Meski ya memiliki klien dan kolega yang eksklusif, tetap saja mama tak mendapatkan kerugian apa pun. Keuntungan yang mama dapatkan dari keluarga Egan sudah lebih dari cukup.”

“Perusahaan itu sangat berarti bagi keluarga Egan.”

Cave tertawa kecil. “Mama jelas bukan tipe orang yang akan bersikap sentimentil seperti ini.”

Elva terdiam. Sepenuhnya kehilangan kata-kata untuk berdebat dengan sang putra. “Baiklah, mama akan berusaha merelakannya. Lalu bagaimana dengan Egan? Dia tetap adik iparmu, dia harus memiliki posisi yang bagus jika tak ingin mempermalukan adikmu.”

“Kakek sudah memberinya posisi yang layak di perusahaan ini. Meski harus belajar sedikit lebih banyak.”

Sekali lagi Elva mempertahankan kesabarannya. Lima detik penuh keduanya terdiam. Ia tak akan bisa mendebat sang putra untuk yang ini. Jika Cave mencari tahu lebih dalam, ia sendiri yang akan terjebak dengan semua kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Akan tetapi, ada satu hal yang selalu sukses mengusik Cave. Ia pun menegakkan punggungnya. Sedikit mengangkat dagu dan dengan ketenangan yang sangat cepat menyelimuti wajahnya. “Ini sudah lima bulan sejak kau menikahi istrimu. Apakah sudah ada kabar bahagia?”

Wajah Cave seketika membeku.

“Kapan istrimu hamil?”

*** 

Lily menatap berkas yang diletakkan di meja. Di antara dirinya dan Barron. Masih tak mempercayai apa yang dilakukan Cave pada mereka berdua. Di akhir permainan, Cave tiba-tiba mundur. Dan di tengah konflik yang semakin memanas, mendesak Egan pada akhirnya menyerahkan perusahaan itu pada Barron.

Ditambah kekecewaan para pemegang saham terhadap janji Elva, akan nama Cave yang bertanggung jawab menyelesaikan semua permasalahan. Membuat mereka semua merasa dikhianati. Meski memiliki saham terbesar, tetap saja Elva dan Egan tak cukup untuk memiliki setengah suara.

“Setidaknya kita beruntung mereka sudah kehilangan loyalitas dan tak ada pemegang saham yang memihak keduanya.”

Barron menghela napas. “Sekarang giliranmu untuk mendapatkan perhatian mereka. Agar aku punya alasan yang bagus untuk membawamu duduk dan menggantikan Egan.”

Lily mengangguk. Tangannya mengepal, menguatkan dirinya sendiri.

“Setidaknya reputasimu sebagai istri Cave akan membantu.”

Lily menggeleng. “Aku tak ingin menggunakan itu.”

“Meski tak ingin, tetap saja itu memberimu setengah bantuan,” tawa Barron setengah bercanda meski kedua matanya menyiratkan keseriusan.

Lily tak menyangkal. Pada akhirnya, nama Zachery sudah tercantum sebagai nama belakangnya.

“Ah, satu lagi.” Nada Barron sedikit mengambang, ada hal lain yang dipertimbangkan pria itu sebelum memulai. “Aku merasakan satu kejanggalan dengan ini semua.”

“Apa maksudmu?”

“Cave.”

“Kenapa dengannya?”

“Ada seseorang yang berusaha menggali perusahaan dan aku tak sengaja melihat Cave bicara dengan orang itu di restoran. Sekitar seminggu yang lalu.”

Kedua alis Lily menyatu.

“Sebelum aku tahu Cave akan mengajukan keberatan dengan semua syarat-syarat yang diajukan Egan. Dan saat Cave meninggalkan gedung Carim, aku juga tak sengaja melihatnya bicara dengan Cave.”

“Siapa?”

“Juan Widjaja. Dia pemilik perusahaan keuangan yang kredibilitasnya tak bisa ditolak siapa pun.”

Lily tak mengatakan apapun.

“Apa kau sudah menyiapkan semuanya jika pada akhirnya Cave mengetahui semuanya?”

“Dia akan tahu saat Elva terpaksa memberikan saham itu padaku. Dan aku memang akan melakukannya.”

*** 

Lily terbangun oleh rasa haus yang membuat tenggorokannya tercekik. Air putih di kamar rupanya sudah habis ketika ia melihat jam di dinding yang menunjukkan jam sebelas. Wanita itu menggeliatkan tubunya. Ya, ia ketiduran lagi setelah membaca beberapa email yang masuk dan pintu balkon belum ditutup.

Hanya ada dirinya di kamar tersebut. Meski biasanya Cave pulang terlambat, pria itu tak pernah pulang di atas jam sepuluh. Pun begitu, tak akan mengejutkannya walaupun pria itu tak pulang ke rumah.

Hubungan mereka tak pernah membaik sejak Cave tahu hubungannya dan Egan. Dan itu memudahkannya untuk tidak terus menerus menjadi pasangan yang saling mencintai. Memang jauh lebih mudah jika mereka tak melibatkan emosi dalam pernikahan tersebut.

Suara mesin mobil yang terdengar dari arah teras rumah sempat menghentikan langkah Lily yang menyeberangi ruang tengah. Ia tak perlu memastikan yang datang adalah Cave.

Ketika ia kembali dari dapur, pria itu muncul, namun tidak sendirian. Bersama Monica yang sedikit kewalahan membopong pria itu.

“Istriku?” racau Cave dengan senyum terlalu lebar. Yang membuat Monica cemberut, bahkan dari jarak yang hampir sepuluh meter, Cave masih mengenali keberadaan Lily di seberang ruangan.

“Hati-hati, Cave.” Monica mengejar langkah Cave yang melepaskan lengan dari lehernya. Mengikuti langkah pria itu hingga berhenti di depan Lily. Menangkap tubuh wanita itu hingga air di tangan Lily tumpah. “Dia terlalu banyak minum.”

Lily berusaha melepaskan lengan Cave yang terkekeh dari lehernya. Tetapi kemudian tubuh pria itu limbung ke samping, menarik tubuh Monica ke belakang yang memaksa Lily untuk membantu wanita itu. Naik ke lantai dua.

“Kenapa? Kenapa kau tidak hamil,” racau Cave tepat di telinga Lily “Dokter pasti melakukan kesalahan, kan?”

Lily melirik tak nyaman ke arah Monica.

“Ah, ini sudah seminggu?” Cave terkekeh.

“Apa?” Kali ini Monica menyahut. Mengikuti gerak tubuh Cave yang masih kesulitan menyeimbangkan tubuh.

“Datang bulan sialan itu.” Cave terkekeh lagi.

Monica terdiam, kedua alisnya bertaut. Jadwal bulanan Lily. Ah, ya. Sudah lima bulan, kan? Dan Lily masih belum hamil. Ini alasan Cave terlalu gelisah dan banyak minum. Meski Cave masih ingin Lily hamil, bahkan setelah wanita itu menipunya. Tetap saja waktu mereka semakin sempit. Hanya tersisa satu bulan dan Lily akan diusir dari rumah ini.

“Kau tahu …” Cave tertawa. Mendorong tubuh Lily menjauh hingga membentur dinding di samping pintu kamar mereka. Kemudian melepaskan lengannya Monica. “Ini sudah hari Kamis, kan?”

Lily menggenggam erat gelas di tangan yang airnya tersisa setengah karena berceceran di lantai. “Tidak.”

“Sekarang hari Rabu, Cave.” Monica kembali mendekat. Tangannya terulur, hendak mengambil tangan Cave. Tetapi kemudian pria itu maju ke arah Lily. Menangkap wajah wanita itu dan menciumnya.

“H-hentikan, Cave.” Lily mendorong dada Cave menjauh dan segera menghindar ke samping. Membuat tubuh Cave membentur dinding. “Sekarang masih hari Senin. Aku belum selesai.”

Cave tertawa. “Kau bohong! Ini sudah tengah malam.”

Lily menggeleng. Ya, pria ini benar-benar sudah mabuk. Ia melirik ke samping, ke arah Monica yang tampak terbengong. Ya, bagaimana mungkin ia menjelaskan masalah ranjangnya pada wanita itu. Meski pada akhirnya Monicalah yang akan hamil untuk keluarga ini.

Lily membuka pintu kamar mereka. Ia tahu apa yang diinginkan Cave dengan semua racauan pria itu. Lalu kenapa mereka harus pulang ke rumah? Mereka bisa ke hotel seperti biasanya. Tanpa membuat keributan semacam ini.

“Ayo, Cave.” Ketika Lily membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar, ia mendengar Monica yang kembali mengurus pria itu. Ya, Monica juga pasti tahu apa yang dibutuhkan Cave malam ini. Kehangatan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro