22. Menghindar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 22 Menghindar

Perubahan ekspresi wajah Lily yang terlihat jelas di depan mata kepalanya sendiri, tentu saja meruncingkan keyakinan Cave akan hubungan sang istri dan mamanya. Cave meletakkan gelas air putihnya dan memutar tubuh pada sang istri.

“Sebelum mengenalmu?” ulang Lily. Berhasil mengeluarkan suaranya dengan normal. “Saat mamamu terang-terangan mengusirku dari apartemen Egan?”

“Pernikahan Ivie dan Egan sudah hampir dua tahun.”

“Hmm, mungkin. Aku tak menghitungnya.”

Mata Cave memicing, mengamati lekat-lekat setiap ekspresi di wajah Lily. Ada banyak lapisan emosi yang berusaha wanita itu pendam. Siapa sebenarnya wanita yang ia nikahi ini? Pertanyaan tersebut mendorongnya ingin menggali lebih banyak dan lebih banyak lagi.

Lily menandaskan isi piring dan gelasnya. Masih ada waktu beberapa menit untuk meninggalkan tempat ini. Yang tampaknya tak akan berlalu dengan cepat ketika tiba-tiba Cave bicara lebih banyak dari biasanya. Dan kali ini, pembahasan yang dipilih Cave benar-benar di luar dugaan wanita itu.

“Aku memikirkan tentang bayi tabung.”

Bibir Lily kelu, membuatnya tercenung untuk waktu yang lama ketika mengulang dua kali pernyataan tersebut. 

“Kita akan menemui dokter Lana akhir minggu ini. Sepulang kerja aku akan langsung menjemputmu.”

“Tidak,” tolak Lily mentah-mentah. “Apa wanitamu masih belum hamil?”

Ujung bibir Cave mengeras.

“Ah, karena anak itu akan lahir di luar pernikahan? Aku tak keberatan menggunakan namaku sebagai ibu …”

Cave menangkap rahang Lily dan membungkam kalimat wanita itu dengan lumatan yang panjang.

“C-cukup, Cave.” Lily mendorong dada Cave. Berusaha melepaskan ciuman pria itu yang semakin membuatnya kehilangan napas. Tetapi pria itu hanya membiarkannya mengambil napas untuk ciuman yang lebih dalam.

Cave mendorong tubuh Lily hingga berbaring di sofa. Dorongan di dadanya sama sekali bukan gangguan dengan tubuhnya yang besar dan lebih berat dari tubuh Lily. Tangannya mulai melepaskan kancing kemeja wanita itu, yang membuat sang istri semakin panik dan meronta. Mengerahkan seluruh tenaganya.

“Hentikan, Cave!” Suara Lily lebih kuat di tengah napasnya yang terengah. Yang pada akhirnya juga berakhir dibungkam oleh ciuman. Kali ini lebih singkat, ciuman Cave merambat di rahang dan turun ke leher. “Kubilang hentikan, Cave.”

Cave tak menggubris. Napas pria itu semakin memberat, bersama hasrat yang semakin mencuat. Menginginkan Lily lebih dari sekedar cumbuan. 

“Cave!”

Cave mengangkat kepalanya, hanya untuk melonggarkan simpul dasi dan melepaskan sabuknya. Sementara setengah tubuhnya mempertahankan posisi Lily berbaring di bawah tubuhnya..

Begitu Cave berhasil menangkap bibirnya kembali tangan lain pria menyusup ke baling pinggangnya. Menarik resleting rok dan membuka kedua kakinya. Lily tahu tak bisa lolos dari keinginan Cave. Pria itu masih dan tak pernah berhenti menginginkannya. Menidurinya di mana pun dan kapan pun. Bergerak semakin cepat di atas tubuhnya.

Hingga akhirnya Cave berhasil melimpahkan seluruh hasrat dan mencapai puncaknya, pria itu membiarkan Lily mendorong tubuhnya dan bersandar di sofa. Mengembalikan napasnya sementara Lily segera bangkit menuju kamar mandi.

Lily tercenung di depan cermin wastafel. Kedua tangannya berpegangan di meja wastafel, air mengucur deras, menyamarkan suara napasnya yang keras dan berantakan. Pintu kamar mandi terbuka, Cave bersandar di pinggiran pintu dengan kedua lengan bersilang di dada. 

“Jika aku tak salah ingat, bukankah sekarang tanggal 7?”

Napas Lily baru saja kembali normal dan sedetik kemudian tertahan dengan keras oleh pertanyaan tersebut. 

“Kau tidak pendarahan.” Kepala Cave miring ke samping, matanya menyipit ketika membalas tatapan Lily di cermin. “Jadi bulan ini kau selesai tiga hari lebih cepat atau terlambat tiga hari?”

Lily menelan ludahnya. Dua pilihan yang menjebak dan betapa tolol dirinya tak ingat tentang jadwal datang bulannya untuk menyembunyikan kehamilannya. Pikirannya benar-benar dipenuhi oleh pekerjaan, hingga melupakan tanggal penting di setiap bulannya untuk hubungan ranjangnya dan Cave.

“Terlambat tiga hari, tapi bukan berarti aku hamil.” Lily mencuci wajah untuk memutus kontak mata tersebut. Tak ingin membiarkan satu gurat pun kebohongannya tertangkap oleh pria itu.

Cave terdiam sejenak. “Kita lihat akhir minggu ini.”

Lily tak membalas. Merapikan rambut dan pakaiannya dengan terburu dan lekas keluar dari kamar mandi. Meninggalkan ruangan tersebut dengan cepat. Tak berhenti merutuki dirinya sepanjang perjalanannya kembali ke kantor.

*** 

“Mungkinkah Cave akan menyeretmu ke rumah sakit?” Barron memecah kebisuan Lily sejak duduk di ruangannya setengah jam yang lalu. 

Lily menggeleng, tapi hatinya tak yakin. Tekad Cave rasanya semakin hari semakin memuncak untuk membuatnya hamil. Bahkan setelah ia tak peduli dengan hubungan pria itu dan Monica. Yang juga rasanya semakin hari semakin dekat dan tak ada batas. Perselingkuhan di antara pria itu dan Monica sudah menjadi rahasia umum di tengah keluarga Zachery. Terutama Elva dan Ivie yang mendukung hubungan tersebut. Tak sabar menunggu Monica untuk segera hamil anak Cave.

Lily tak berhenti menggigiti ujung kukunya. Kegelisahannya semakin menjalar, memenuhi dadanya sejak ia meninggalkan kantor Cave. “Minggu depan adalah rapat pemegang saham. Aku tak akan mengacaukan semuanya.”

“Selama kau yakin bisa menolak Cave.” Barron mengedikkan bahunya. “Jika dia mengamati perutmu lebih lekat, aku yakin dia akan tahu, Lily.”

Lily menunduk. Ya, saat ia bercermin, tentu saja ia menyadari perubahan tersebut.

“Kau memang harus pergi ke rumah sakit. Setidaknya untuk memastikan kandunganmu baik-baik saja.”

“Dokter yang kau sarankan itu.” Lily tiba-tiba teringat.

“Ehm, dokter … Rama?”

“Bisakah kau mengantarku ke sana besok?”

“Oke.”

Lily berdiri. “Aku akan kembali ke ruanganku.”

Barron menangkap pergelangan tangan Lily. “Kau tak berpikir untuk menggugurkannya, kan?”

Lily melepaskan pegangan tersebut. “Ck, aku hanya memikirkan sebuah rencana.”

“Lanjutkan.” Barron menarik kembali lengan Lily untuk duduk.

“Proyek TD, aku akan memeriksanya langsung di sana.”

Barron membeliak. 

“Aku butuh surat ijin dari dokter untuk penerbangannya.”

*** 

“Tiba-tiba?” Cave mengamati koper Lily yang sudah dipenuhi pakaian ganti.

“Ya.”

“Berapa hari?”

“Seminggu. Bisa lebih cepat atau lebih lama.”

“Aku tak mengatakan akan mengijinkanmu pergi.”

“Kau tak punya hak melarangku, Cave. Ini pekerjaan.”

“Apa kau akan pergi dengan Barron?”

“Barron? Kenapa kau bertanya tentang dia?”

“Jawab saja.” Cave menekan suaranya.

“Tidak.” Lily memasukkan pakaian terakhirnya dan menutup koper tersebut. Mendorongnya ke sudut ruangan.

Ekspresi wajah Cave lebih lunak. “Aku akan mengantarmu ke bandara.”

“Tidak perlu.”

“Aku yang mengantarmu atau kau tidak pergi.” Cave berbalik dan Lily tak membantah. Rencana berjalan sempurna. Perjalanan ke negara tetangga menyibukkannya dengan pekerjaan. Selama delapan hari penuh. Meski sebenarnya hanya butuh lima hari, ia sengaja mengulur waktu. Toh Cave juga tak mencarinya.

*** 

Langkah Lily terhenti. Memegang perutnya yang kembali terasa kaku. Ia berhenti, duduk di atas kopernya dan menunggu hingga rasa kaku itu perlahan berkurang.

“Apa yang terjadi? Kupikir kau tertidur di pesawat?” Barron terkekeh dan mengambil alih koper Lily.

“Sedikit kendala,” jawab Lily singkat. Keduanya berjalan menuju mobil Barron diparkir sambil mengobrol ringan. Dan rasa kaku itu kembali muncul ketika mobil baru saja meninggalkan area bandara.

“Ada apa?” Barron melihat wajah Lily yang meringis menahan sakit mulai terlihat pucat.

Lily menggeleng. Kepalanya tertunduk dalam, beberapa kali menarik dan mengembuskan napas. Rasa kaku itu perlahan berkurang, lebih lama dari sebelumnya.

“Kandunganmu?”

Lily menggeleng tak tahu. “Bisakah kita singgah di rumah sakit sebentar.”

“Rumah sakit terdekat hanya ada di pusat kota. Kau yakin akan ke sana?”

Lily menggeleng. “Klinik dokter Rama saja.”

“Kau bisa menahannya?”

Lily tak yakin. Kecemasan mulai menggerogoti dadanya ketika rasa kaku tersebut kembali muncul untuk ketiga kalinya. Tetapi ia berusaha mengenyahkan semua pikiran buruk yang bermunculan. Semuanya baik-baik saja. Akan baik-baik saja. Hanya beberapa saat pemikiran positif itu muncul. Tiba-tiba kepala Lily pusing dan kegelapan menyelimuti pandangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro