29. Tak Punya Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 29 Tak Punya Pilihan

Hanya setengah detik setelah Lily mengucapkan jawabannya, tubuhnya jatuh terdorong di tengah ranjang. Tubuh Cave yang melayang ke arahnya jatuh menindih tubuh mungilnya. Bibirnya mendarat di bibir Lily, melumatnya kasar dan satu-satunya pembelaan diri yang bisa dilakukannya hanyalah dengan menggigit bibir pria itu.

Cave mengerang, melepaskan ciumannya dan amarah yang berkobar di mata pria itu semakin terpancar jelas. Meski tak membuat keberanian Lily menyusut sedikit pun. “Kau menolakku?” Suaranya dipenuh getaran yang kuat.

“Lepas,” desis Lily. Suaranya sama bergetarnya dengan Cave. Dan belum pernah ia merasa semarah  dan sekecewa ini pada pria itu. Sekalipun pria itu hanya menginginkan tubuhnya. Tapi menidurinya di tempat ini adalah hal sudah melewati batas harga dirinya bisa menerima. Dan belum pernah ia merasa direndahkan serendah ini.

Cave tentu merasa tertantang dengan penolakan dan amarah Lily. Seharusnya ialah yang lebih berhak marah. Wajahnya kembali tertunduk, tetapi kali ini Lily melawan dengan satu tamparan di wajahnya.

“Kau masih mabuk?” Lily mendorong tubuh Cave yang masih tercengang. Berguling ke samping dan turun dari ranjang. Dompetnya jatuh di ujung kasur, dengan posisi terbuka dan beberapa perhiasan serta ponselnya berhamburan di sekitarnya. Kantong pakaiannya yang berisi gaun juga jatuh di tengah ruangan, dan bagian atasnya robek ketika Cave menyeretnya naik ke atas.

“Aku tak peduli dengan siapa dan wanita mana pun kau bersenang-senang. Tapi haruskah kau melakukannya di sini?” Lily memperbaiki kancing kemejanya. Salah satunya sudah lepas dan jelas tak bisa diperbaiki. Seperti pernikahan mereka kalau pun ia memiliki niat tersebut.

“Dan hotel pilihanmu?”

Lily tak menjawab, apalagi menjelaskan. Wanita itu pun berjalan ke kamar mandi. Meninggalkan Cave yang terduduk di tengah ranjang. Baru menyadari ranjang mereka yang berantakan. Bahkan ujung spreinya  terlepas dan bantal yang jatuh ke lantai.

Tapi haruskah kau melakukannya di sini?

Kepala Cave seketika tertunduk, teringat apa yang ia lakukan pada Monica sebelum kemudian tersadar dan meminta wanita itu keluar sebelum alkohol benar-benar menguasai kesadarannya dan tidur. Bahkan kepalanya masih pusing, isi kepalanya seperti dikocok. Dan yang mengherankan, bagaimana mungkin ia bisa sampai di hotel dan menyeret Lily kembali pulang. Dengan sepenuh kesadarannya.

Getar ringan dari ponsel Lily terdengar. Amarahnya bahkan belum padam, tetapi lagi-lagi benda sialan itu sukses kembali mengobarkan kecemburuannya. Cave langsung menyambar ponsel tersebut. Yang langsung masuk ke ruang chat Lily dan Barron.

‘Kau baik-baik saja?’

‘Ya, tentu saja. Aku bisa mengurusnya..’

‘Ini perbuatan mertuamu. Aku akan mengirim CCTV hotel, setidaknya bisa kau gunakan bukti untuk membantah tuduhan mertuamu. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padamu.’

Video berdurasi sekitar satu menit tersebut menampilkan Lily dan Barron masuk ke dalam satu kamar, tak lama kemudian Barron keluar dan masuk ke dalam lift. Sementara di video kedua, durasinya lebih lama. Barron kembali datang di jam dan menit yang sudah berselang beberapa jam, sebelum kemudian dirinya dan sang mama sampai dan kekacauan itu dimulai.

‘Terima kasih sudah mencemaskanku. Tapi tidak. Aku tidak peduli dengan wanita yang ditidurinya, jadi untuk apa aku harus menjelaskan urusan yang bukan urusannya.’

‘Dia sangat marah, Lily. Dan gelap mata.’’

‘Dia selalu marah.’

Sekarang, amarah itu dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya. Bergulung-gulung di dadanya. Dan meski semuanya sudah begitu jelas, ketidak pedulian Lily pada kesalah pahaman tersebut membuatnya semakin marah. Ia membanting ponsel tersebut ke pintu balkon, menciptakan retakan yang cukup parah di kaca tebal tersebut. Tetapi jauh lebih baik ketimbang kondisi ponsel itu sendiri. Hampir seluruh retakan memenuhi layar ponsel tersebut, yang dalam hitungan detik langsung menggelap.

Melompat turun dari ranjang, dengan gemuruh di dadanya yang membuat semakin sesak. Satu-satunya pikiran warasnya menyuruhnya untuk menjauh dari Lily. Atau ia benar-benar akan kendali dan melakukan sesuatu yang akan disesalinya. Ia butuh ruang untuk dirinya sendiri.

“Semua sudah jelas, kan?” Elva lekas menghampirinya begitu ia menutup pintu kamar di belakangnya. “Mama tak ingin seorang pel*cur …”

“Sebaiknya mama meminta pengembalian pada pria bodoh itu.”

“A-apa?”

“Mama mendengarnya.” Cave berjalan melewati sang mama. Berbelok ke samping dan masuk ke dalam ruang kerja pria itu yang ada di ujung lorong. Suara bantingan pintu terdengar sampai di tempat Elva berdiri dengan wajah merah padam.

Ponselnya bergetar, panggilan dari Ricky. “Ada apa?” bentaknya dengan jengkel. Sudah pasti berita yang dibawa pasti akan mengecewakannya.

‘Barron, pria itu mendapatkan rekamannya.’

Pegangan Elva pada ponselnya menguat. Berbalik dan berjalan ke arah sebaliknya. “Hal sekecil ini saja kau tak becus.”

‘Aku sudah mengatakan kalau mereka tidak tidur di tempat yang sama. Barron bermalam di ruang istirahat aula. Bukan tugasku memastikan drama ini seperti yang Anda inginkan, Nyonya Zachery.’

“Tutup mulutmu, sialan.” Elva mengakhiri panggilan tersebut. Dengan wajah yang semakin merah padam. Ia menggedor pintu di depannya.

“Bukan pintunya, Ivie.” Kepalan tangannya menghujani gedoran di pintu tersebut. Meluapkan kedongkolannya.

“Mama?” Ivie bersandar di pinggiran pintu sambil mengucek matanya yang masih diselimuti kantuk. “Ini masih pagi, Ma. Tidak mungkin meja makan sudah …”

Elva menerobos masuk. Melihat Egan yang masih tengkurap di balik selimut. Gaun pesta dan setelan jas berserakan di sekitar tempat tidur. “Mama sangat kesal dan tak mungkin mama membangunkan papamu untuk meluapkan kegagalan ini. Ambilkan mama minuman. Seperti biasa.”

Ivie membelalak.

“Sekarang, Ivie,” tandas Elva. Tak peduli dengan gerutuan Ivie yang meraih jubah tidur sebelum berjalan keluar. Kedua tangannya masih mengepal di atas pangkuannya. Tak berhenti mendesahkan gumaman tak jelas dari celah bibirnya.

Dan setelah meneguk dua gelas cairan bening yang dibawa sang putri, ketenangan mulai membuatnya lebih rasional. Tak membiarkan satu kegagalan ini membuatnya terpuruk. Hanya satu dua rencana yang gagal. Selanjutnya ia akan membuat drama ini benar-benar terjadi.

Ivie mendesah panjang dan rendah. Cerita sang mama cukup singkat, tak butuk detail lebih banyak untuk mengartikan kegagalan tersebut. “Cave memang tidak sebodoh itu, Ma. Jika mama memberitahuku tentang rencana ini, tentu saja aku akan membantu.”

“Rencana itu begitu mendadak. Tak ada waktu dan mama pikir ini adalah kesempatan yang pada akhirnya datang.”

“Kesempatan untuk kembali gagal.” Delikan sang mama seketika kembali merapatkan mulut Ivie. Sebelum kemudian ekspresi Elva berubah lebih lunak. “Semalam kau dan Monica datang ke sana bukan untuk merayakan kemenangannya, kan? Dia mencuri posisi suamimu, Ivie.”

Ivie menelan ludahnya. Ia sudah berjanji akan membantu Monica sebelum ekspektasi sang mama yang berlebihan benar-benar tercapai. “Aku hanya menemani Egan,” jawabnya sambil membuang wajahnya ke samping. Menghindari tatapan menelisik sang mama. “Jika seperti ini, apakah Cave akan menceraikan Lily meski Monica berhasil hamil?”

Sekarang Elva tak bisa memastikan jawaban tersebut. Tampak berpikir dalam sebelum kemudian berucap. “Kita harus memastikan perselingkuhan itu ada dan mendapatkan bukti yang tak bisa disangkal oleh mereka.”

“Anak itu?”

“Buat anak itu menjadi milik pria itu.”

“Caranya?”

“Apa pun caranya.” Elva bangkit berdiri dan berjalan keluar.

“Kau sudah bangun?” Ivie tersentak melihat Egan yang bangun terduduk. Wanita itu pun menghampiri sang suami. “Kau mendengar semuanya?”

Egan menyingkap selimutnya. Menurunkan kedua kakinya. “Berhentilah membuat masalah dengannya.”

“Dengannya? Siapa?”

“Kau tahu.” Egan mengenakan celana karetnya dan berdiri.

“Lily?”

Egan berjalan ke kamar mandi, tanpa jawaban. Yang membuat Ivie kesal dan menyusulnya.

“Ini ketiga kalinya kau memperingatkanku untuk tidak membuat masalah dengan wanita itu? Dialah masalahnya. Dia masalah di rumah ini.”

“Apa dia pernah mencari masalah denganmu?”

Mata Ivie memyipit. “Ada apa sebenarnya antara kau dan dia? Kenapa aku mendengar ada rahasia di antara kalian? Aku istrimu.”

Egan mendengus. Berjalan ke depan watafel dan mengguyur wajahnya dengan air dingin.

Ivia menyentakkan pundak Egan hingga menghadapnya. “Jangan bilang dia merayumu dan sekarang kau mulai tergoda …”

“Dia bukan wanita seperti itu.”

Ivie tercengang. Mulutnya menganga ketika mencerna pernyataan tersebut. “Apa?”

“Saat kau menggodaku, kau tahu aku sudah memiliki tunangan, kan?”

Napas Ivie tercekat. Matanya membelalak lebar.

“Ya, dia tunanganku. Yang harus kucampakkan karena kau hamil. Karena kau berhasil menjebakku dan membuat dirimu hamil. Aku tak punya pilihan.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro