Part 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 30 

Dengan air mata yang membanjiri wajahnya, Ivie menerobos masuk ke dalam kamar Monica. Langkah wanita itu terhenti, isakannya tertahan melihat kekacauan yang ada di kamar tersebut. Semua barang-barang di meja rias berhamburan di lantai. Cermin riasnya pecah, botol-botol wiski yang sudah kosong berserakan di meja dan karpet. Bantal, selimut dan sprei. Semua tidak berada di tempatnya. Sementara sang pemilik kamar, berbaring tengkurap di sofa. Dengan rambut berantakan dan gaun yang tampak robek di beberapa tempat.

Dari semua kekacauan ini, ia bisa mengendus kegagalan Entah bagaimana semua kegagalan terjadi dalam waktu yang beruntun seperti ini. Membuat kebencian dan kedengkiannya pada wanita licik itu semakin menggunung.

Mantan Egan? Bukan salahnya jika Egan berpaling dari wanita itu? Ia lebih cantik, lebih kaya, dan tentu saja lebih menyenangkan hati Egan. Jika tidak, tak mungkin Egan akan lebih memilihnya dibandingkan wanita itu, kan?

“Monica?” Ivie menghindari pecahan gelas di karpet, menggoyang pundak Monica. Ini sudah jam 10 dan wanita itu masih berbaring seperti orang mati. “Bangun, Monica.”

Monica mengerang, tak bergerak dari baringnya kecuali hanya membalik wajahnya ke arah sebaliknya.

“Bangun, Monica.” Kali ini suara Ivie lebih keras dan goncangannya lebih kuat. “Kau lebih suka menjadi menyedihkan seperti ini dan membiarkan wanita itu berjingkrak karena berhasil mengalahkan kita?”

Mata Ivie terbangun meski enggan dan terasa berat. Tetapi Ivie menarik kedua lengannya, memaksanya duduk. “Bangun.”

Monica melepaskan pegangan Ivie dan bersandar di punggung sofa. “Apa Cave sudah bangun?”

“Ya, dia mengurung diri di kamar. Tadi pagi kacau sekali. Rencana mama juga gagal.”

“Mamamu punya rencana?”

Ivie mengangguk, ikut bersandar. “Sekarang sudah tak penting untuk diceritakan.”

Monica mendesah, menjatuhkan kepalanya. “Obat itu bekerja dengan baik, aku bisa merasakan pria itu yang mulai kepanasan saat menyetir mobil. Tapi saat aku mulai mendekatkan diri, Cave menolakku. Benar-benar menolakku. Dia pikir aku banyak minum, jadi aku tak punya pilihan selain berpura-pura mabuk dan melepaskan semua pakaianku. Berbaring di ranjangnya dan menggodanya . Tapi … dia menyuruh pelayan membawaku kembali ke kamarku dan aku pura-pura pingsan.”

Ivie mengernyit. “Kenapa?”

“Apakah menurutmu aku kurang seksi dan menggairahkan? Dia hanya menganggapku seperti adiknya sendiri. Bukan seorang wanita.”

Ivie mengamati tubuh Monica dari atas ke bawah. “Dadamu jelas lebih besar dari Lily. Dan percayalah, aku menggunakan trik yang sama dan itu bekerja. Pada Egan.”

Monica menoleh, membelalak tak percaya meski seharusnya ia tak terkejut.

“Kupikir dia memang tertarik padamu.”

“Memang ya. Jika tidak, tak mungkin dia mencampakkan Lily dan menikahiku.”

Kali ini mata Monica membulat sempurna.

“Kau tak salah dengar. Dia mantan tunangan Egan dan bukan salahku kalau tak bisa menjaga tunangannya, kan?” Tak ada sdikit pun penyesalan dalam kalimatnya, dan ia tak akan pernah merasa bersalah. “Sekarang Egan suamiku.”

“Apa tujuannya menikahi Cave karena Egan?”

“Ya, memangnya apalagi. Tapi Cave sudah tahu semuanya dan masih mempertahankan pernikahan sialan itu. Entah apa yang dilihat Cave dari wanita itu. Aku benar-benar tak habis pikir dengan kecerdasannya, bisa dibodohi oleh Lily.”

Monica terdiam, tampak berpikir lebih dalam. “Mungkin wanita itu memegang rahasia Cave? Mengancam Cave dengan kelemahannya. Semua orang memiliki kelemahan, Ivie. Termasuk Cave, meski aku tak yakin apa Cave memang memiliki kekurangan. Tapi hanya itu satu-satunya hal yang masuk akal.”

Ivie tampak mempertimbangkan.

“Kita harus cari asal usul wanita itu. Untuk membongkar semua kedoknya.”

*** 

“Mau ke mana kau?” geram Cave melihat Lily yang sudah tampak rapi, tengah memasukkan beberapa barang ke dalam tas. Menghampiri Lily dan langsung menyambar tas wanita itu. 

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Sejak kapan kau ikut campur pekerjaanku.”

“Sejak sekarang. Mulai sekarang aku akan ikut campur semua hal yang berurusan dengan istriku.”

“Jangan konyol kau, Cave.” Lily berjinjit untuk merebut kembali tasnya.

“Kau ingin menemui Barron lagi?”

“Kembalikan.” Sekali lagi Lily berusaha meraih tasnya. Menyumpahi tinggi Cave yang nyaris hampir dua meter sehingga butuh kursi untuk mencapai tasnya yang dijinjing tinggi di atas kepalanya. “Kau menghancurkan ponselku. Dan apa kau tahu berapa banyak masalah yang kau ciptakan untukku.”

“Tak ada yang ingin kau bahas tentang ponselmu?”

“Aku tak akan membahas ranjangmu, jadi kau pun sebaiknya tak membahas apa yang ada di sana. Adil, kan?”

“Tak ada keadilan dalam hubungan kita, Lily. Sejak awal semua hanya kebohongan dan aku tak pernah membohongimu. Kenapa sekarang kau melihatku seperti akulah pembohong dalam pernikahan ini.”

“Kalau begitu, solusi terbaik untuk menyelesaikan semua ini adalah perceraian. Tak perlu lagi ada kebohongan. Tak perlu lagi ada perselisihan. Dan tak perlu ada yang disembunyikan di antara kita.”

“Itu solusi yang kau inginkan.”

“Lalu apa yang kau inginkan?”

“Kau. Sudah sangat jelas.”

Lily mendesah dengan jengah. “Kau suka aku yang pembohong?”

“Ya, aku tak punya pilihan. Dan aku tak pernah mempermasalahkan apa pun tentangmu. Semua tentangmu. Jadi jangan buat alasan ataupun dalih untuk lepas dari pernikahan ini dengan mudah.”

Lily terdiam. Kehilangan kata-kata untuk membalas.

Cave meletakkan tas Lily di meja. “Jika kau keluar tanpa seijinku, kau tak akan menyukai apa yang akan kulakukan padanya, Lily.”

Kali ini ancaman Cave mengena. Sukses membuat wajah Lily dibekukan oleh kepucatan. “Apa?”

Cave menyeringai. “Sekarang kau CEO of CC, kan? Tak ada alasan kau kembali ke kantor lamamu dan menemuinya.”

“Jangan konyol kau, Cave.”

“Kau pikir aku tak tahu dia melakukan semua ini untukmu?”

Lily mengerjap. Kembali dibuat kehilangan kata-kata.

“Lagipula, dia bisa melakukan semua ini juga karena aku. Aku yang melakukannya untukmu.”

Lily tetap bergeming. Ya, mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Cave maupun dirinya. Ia pun kembali duduk di kursi.

Cave menyeringai puas. “Kenapa kita tak pernah berbincang semudah ini?” gumamnya kemudian berjalan ke kamar mandi. Butuh membersihkan tubuhnya yang lengket karena tak sempat mandi sejak bangun.

*** 

Suasana meja makan tak pernah sehening ini. Tak ada Zion yang bergabung di meja makan karena sedang pergi keluar kota dan Kruz memang satu-satunya anggota keluarga yang tak banyak bicara. Elva, Ivie, Egan, dan Monica, lebih banyak membuka mulut untuk makanan. Sementara Cave dan Lily, bersikap seolah tak ada apa pun yang terjadi dalam hubungan mereka. Cave masih memperhatikan susu ibu hamil dan vitamin untuk Lily. Perhatian yang tak berhenti dibanjiri kecemburuan oleh Ivie dan Monica.

Egan mengerang merasakan sodokan dari siku Ivie di perutnya. Yang membuatnya terpaksa mengalihkan pandangannya dari Lily dan Cave yang meninggalkan ruang makan lebih dulu.

“Jangan memperlihatkan dirimu yang menyedihkan, Egan. Aku istrimu,” desis Ivie tajam. “Dan aku sedang hamil. Jadi jangan buat emosiku berantakan dan membahayakan untuk kehamilanku.”

Egan mendesah, menatap Elva dan meletakkan garpu dan sendoknya. “Aku harus ke ruanganku,”pamitnya.

Ivie pun ikut menyelesaikan makanannya, mengekor di belakang Egan. Tak akan membiarkan Egan memiliki kesempatan untuk memikirkan siapa pun selain dirinya dan pekerjaan pria itu.

*** 

“Kau tidak tidur?” Cave menatap Lily yang duduk bersandar di sofa. Meski sudah mengganti pakaian dengan baju tidur, wanita itu malah mengurus berkas di meja.

“Tidak.”

“Sekarang sudah jam 10.”

“Aku akan tidur di sini saja.”

Cave mengernyit. “Kenapa?”

Lily menoleh, menatap ranjang yang meski sprei dan selimutnya sudah diganti. Tapi bayangan Cave meniduri wanita lain di ranjang itu membuatnya merasa jijik. “Kenapa kau selalu menginginkan alasan untuk setiap keinginanku? Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tidak boleh ke sana. Tidak boleh ke situ. Aku bukan bonekamu.”

Meski aku memang boneka pemuas nafsumu, lanjutnya dalam hati.

Mata Cave menyipit. ‘Aku tak peduli dengan siapa dan wanita mana pun kau bersenang-senang. Tapi haruskah kau melakukannya di sini?’

“Semalam Monica memang masuk ke dalam kamar. Dia sedang mabuk dan melepas semua pakaiannya.” Cave menepuk bagian tengah ranjang. “Di sini. Semuanya.”

Lily memalingkan wajahnya, sengaja menulikan telinga. “Aku tak peduli.”

“Kau peduli. Jika tidak, kau tak perlu merasa risih tidur di sini.”

“Aku memang tak peduli, aku hanya merasa jijik.”

“Apakah itu artinya kau memang tidak tidur dengan Barron?”

“Apa?”

“Kenapa kau merasa jijik aku tidur dengan wanita lain di tempat ini, sementara tak merasa jijik harus menyerahkan tubuhmu pada pria lain? Dan pengakuanmu tadi pagi hanyalah omong kosong?”

Mulut Lily yang terbuka seketika merapat.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro