31. Adil Untuk Kita Berdua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 31 Adil Untuk Kita Berdua

“Aku tak akan membahasnya.”

“Kemarilah.” Cave menepuk sisi di sampingnya. “Di sini. Ini ranjang kita berdua. Hanya kita berdua.” Cave sengaja mengulangnya. 

Wajah Lily memerah, tetapi wanita itu segera tersadar dan kembali berpaling. “Aku sedang bekerja.”

“Suamimu membutuhkanmu.”

Mata Lily terpejam. “Aku benar-benar bekerja, Cave.”

“Atau kau lebih suka aku …”

Lily membanting berkas di pangkuannya tertutup. “Baiklah,” ucapnya dengan dongkol. Beranjak dan menghampiri sisi lain tempat tidur. Berbaring di sisi Cave yang langsung menyelipkan lengan dari balik tubuhnya.

“Jadi, bagaimana kau bisa hamil?” Telapak tangan Cave menyelinap ke balik pakaian Lily, berhenti tepat di perut, tempat benjolan mungil itu mulai membentuk dan akan semakin bertumbuh lebih besar lagi. 

“Kau sungguh mempertanyakan hal itu?” Lily memutar kedua bola matanya dengan jengah. Pria itu begitu menggebu membuatnya hamil, hingga tak tahu tempat dan waktu untuk menidurinya kapan pun ingin. Setidaknya usaha memang tak mengkhianati hasil, kan?

“Mama memasukkan sesuatu ke minumanmu. Aku yakin itu, hanya tak mendapatkan buktinya. Tak ada yang kupercaya di rumah ini.”

“Aku menuangkan minumanku sendiri. Aku tak sebodoh itu, Cave.”

Kening Cave berkerut, membalik tubuh Lily menghadapnya. “Dan kenapa kau diam saja?”

“Apakah itu akan memperbaiki sikapnya padaku? Toh kau juga tak bisa menemukan bukti yang bisa kau tunjukkan pada mamamu.”

Mata Cave menyipit. “Seolah kau lebih tahu mamaku dibandingkan aku? Permainan apa yang sedang kalian mainkan di belakangku?”

Lily tak langsung menjawab. Menatap Cave dan menggeleng. “Aku sudah terbiasa hidup dengan orang-orang yang ingin menusukku dari belakang. Aku tak perlu tahu apa motifnya, semua itu hanya insting pertahanan diri yang kumiliki.”

Tatapan Cave semakin menusuk tajam. “Hubunganku dan mamaku memang tak cukup baik. Juga papaku. Tapi hanya mereka keluarga yang kumiliki.”

“Aku tahu ke mana pembicaraan ini akan mengarah dan aku tak ingin membahasnya. Aku tahu apa yang harus kulakukan.” Lily kembali membalik tubuhnya memunggungi Cave. Tetapi pria itu malah semakin merapatkan pelukannya.

“Jadi, apa aku lebih hebat dibandingkan selingkuhanmu?” bisik Cave di balik telinga Lily. Giginya bermain-main di ujung daun telinga Lily, menggodanya dengan desahan panas yang segera mengacaukan ritme napas mereka berdua.

Mata Lily terpejam. Cave benar-benar tak akan mengakhiri pembahasan yang satu ini. Memberinya satu pilihan dengan membiarkan pria itu mendapatkan tubuhnya.

*** 

Mual, muntah, dan pusing yang sering kali dikeluhkan Ivie setiap kali duduk di meja makan sama sekali tak mengusik Lily yang dengan lahapnya menyantap isi piringnya. Dan kalimat Elva yang berhenti membujuk sang putri pun tak berhenti hingga Zion dan Kruz meninggalkan meja makan.

“Hari ini kau akan bekerja?” Ivie menahan lengan Egan yang baru saja meletakkan gelas air putih.

“Ya. Tentu saja, ke mana lagi aku harus pergi?”

Bibir Ivie mengerucut. Menarik lengan Egan dan bergelayut manja di sana. “Hubungi aku kalau sudah sampai di kantor.”

Egan hanya memberikan anggukan singkat dan mencium ujung kepala Ivie sebelum meninggalkan ruang makan.

“Aku sangat iri padamu.” Ivie mencondongkan tubuhnya ke arah Lily yang duduk tepat di seberang mejanya.

“Ya. Aku bisa merasakannya,” balas Lily dalam gumaman tak jelas yang hanya bisa didengarnya.

“Apa kehamilanmu memang semudah itu? Kau sama sekali tak mengalami tanda-tanda kehamilan seperti pada umumnya.”

“Apakah itu artinya kehamilanku lebih spesial dibandingkan orang pada umumnya?” Senyum Lily melebar dengan semenjengkelkan mungkin, terutama untuk Ivie.

Wajah Ivie seketika memberengut. “Atau kehamilanmu palsu?”

Deheman Cave lagi-lagi sukses membungkan mulut sang adik.

“Aku tak benar-benar bermaksud mengatakannya, Cave. Aku hanya … kau tahu. Biasanya wanita hamil memang seperti itu. Umumnya. Tubuh yang lemah, mudah lelah, dan lebih sensitif. Kau yakin kalau kandungannya baik-baik saja? Aku hanya mencemaskannya.”

“Ya, aku tahu. Tapi tidak, semuanya baik-baik saja. Kandungannya dan kesehatannya.” Cave bangkit berdiri, membawa sang istri keluar dari ruang makan.

“Cave?” Monica mengejar keduanya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Hanya sebentar saja.”

Cave menatap Lily, yang langsung melepaskan pegangannya. “Tunggu di mobilku.”

Penekanan dan tatapan Cave yang menajam tak memberi Lily kesempatan untuk membantah. Dan mobil pria itu. Wanita itu pun meninggalkan keduanya.

“Mengenai malam itu.” Hanya kalimat itu yang sempat Lily dengar sebelum benar-benar menjauh dari keduanya. Berjalan menyeberangi ruang tamu yang luas, teras, dan masuk ke dalam mobil Cave yang sudah disiapkan di halaman.

‘Semalam Monica memang masuk ke dalam kamar. Dia sedang mabuk dan melepas semua pakaiannya.’ Cave menepuk bagian tengah ranjang. ‘Di sini. Semuanya.’

Lily menepis ingatan tersebut. Membayangkan Monica melucuti pakaian di depan Cave, dan apa yang selanjutnya terjadi? Membayangkan permainan panas mereka tadi malam juga dilakukan Cave bersama Monica. Di ranjang mereka.

Bohong jika ia merasa tak terusik. Tetapi ia tak mungkin menunjukkannya di depan Cave. Ia tak peduli pada hubungan Cave dengan Monica maupun wanita mana pun. Ia tidak akan peduli. Lily mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam benaknya. Menanamnya di dalam kepala.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Suara Cave yang tiba-tiba berada di balik kemudi menyentakkan Lily dari lamunannya.

Lily menggeleng.

“Kau menggeleng-gelengkan kepalamu. Apa ada yang mengganggu pikiranmu dan sedang berusaha kau usir?”

“Aku sudah terlambat.” Lily menunjukkan jam di pergelangan tangannya.

“Sepertinya memang harus terlambat. Kau harus singgah untuk membeli ponsel baru, kan?”

“Aku bisa mengurusnya.”

“Dengan Barronmu?”

“Ya, jika kau begitu penasaran.”

“Kalau begitu jawabannya tidak.” Seringai Cave sebelum melajukan mobil meninggalkan halaman rumah.

*** 

“Apa yang kalian bicarakan?”

Monica menggeleng sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa. “Hanya permintaan maaf dan berharap dia melupakan apa yang kulakukan di kamarnya.”

“Hanya itu?”

“Apa yang kau harapkan, Ivie? Hamil jelas tak semudah itu. Kukira kau sependapat denganku untuk yang satu ini. Terlebih seorang Cave. Kakakmu bukan pria sembarangan. Kau tahu apa artinya itu.”

Ivie menghela napas kasar. Pria berengsek yang baik. Sulit memutuskan kakaknya ada di sisi mana. Kedua sisinya sama kuat. “Kudengar kakekmu akan datang, kau bisa minta tolong Cave untuk menjemputnya di bandara.”

“Kenapa?”

Ivie mengedikkan bahunya. “Kau selalu berusaha mendapatkan perhatiannya. Lakukan seolah kejadian malam itu tak pernah terjadi. Dan jika Cave membantumu, bukankah artinya tak ada yang berubah dalam hubungan kalian? Dia masih peduli padamu. Dia masih memanfaatkanmu untuk membuat Lily cemburu.”

“Aku memikirkannya semalaman dan sekarang aku tahu ke mana arah hubungan mereka. Cave menginginkannya dan wanita itu dengan sok angkuhnya hanya memanfaatkan Cave. Berpura tak menginginkan Cave. Tapi pria dan egonya, Cave tak akan berhenti sampai benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya. Menaklukkan wanita sombong itu.”

Monica terdiam. “Ya, aku juga memikirkan hal yang sama. Kenapa Cave tak berniat menceraikannya. Harga diri dan egonya sebagai seorang pria adalah satu-satunya alasan Cave tak ingin melepaskan wanita itu.”

*** 

‘Ya, mobilku harus masuk bengkel dan aku tak mungkin menjemput kakek dengan taksi. Kakek sedikit sensitif menggunakan kendaraan umum.’

“Ya, kau bisa memakai mobilku. Kau bisa mengambil kuncinya di ruanganku.”

‘T-tapi … tadi pagi tanganku terkilir. Aku tak bisa menyetir.’

Cave menghela napas rendah, menatap Lily yang sibuk melahap makan siang di sampingnya.

‘Aku sudah ada di lobi kantor. Tadi ikut dengan mamamu, tapi mamamu punya urusan di sekitar sini. Jadi aku tak mungkin merepotkannya.’ Monica terdiam sejenak. ‘Aku tak akan minta tolong padamu jika tidak benar-benar terjepit seperti ini, Cave. Kumohon.’

“Ya, aku akan turun. Tunggu lima menit.” Cave mengakhiri panggilan. Tepat ketika isi piring Lily habis dan meneguk minumannya. 

“Pergilah. Aku bisa kembali ke kantorku sendiri.” Lily mengusap bibirnya dan mulai mengambil tasnya. Suara manja Monica meski tidak dikeraskan, dengan jaraknya dan Cave yang sedekat ini, tak mungkin ia tak mendengarnya.

Keduanya turun bersama. Cave mendapatkan taksi untuk Lily sebelum membawa Monica naik ke mobilnya. Kembali merasa gusar akan ketenangan yang ditampilkan Lily. Mengabaikan Monica yang menempelkan tubuh ke tubuhnya, sama sekali tak terpengaruh.

“Ada apa?” Monica menyentuh tangan Cave. “Kau memikirkan reaksi istrimu?”

Cave mendengus tipis.

“Aku tak bermaksud ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi sejujurnya apa yang kulakukan padamu tadi adalah kesengajaan.”

“Apa?”

“Kau bisa memanfaatkanku sesukamu, Cave. Jangan merasa sungkan, aku juga sudah banyak merepotkanmu. Ini adil untuk kita berdua.”

Cave terdiam. Menatap Monica dan keduanya tahu apa yang sedang dibicarakan wanita itu. Kefrustrasiannya karena tak dianggap oleh Lily setelah semua pembalasan dendam sialan itu.

“Semua hanya permainan, kan?” Monica mengedikkan bahu dengan senyum cerianya. Meluruhkan keraguan Cave yang memang menggunakan wanita itu untuk mengusik Lily.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro