8 - Supermarket is a Place That Belong to Wiseful Old Man

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Archie ... woii, Archie bangunlah!"

Begitu mendalam dan aku tak bisa menggapainya bagaimanapun caranya. Namun pada akhirnya ia tertidur untuk selamanya dengan wajah yang lega. Itu benar ... benar sekali, bukan sebuah khayalan. Aku telah membunuhnya ....

"HwaaaAaaaA!!!!"

Bukan berada di atas ranjang melainkan di sebuah tempat yang belum aku sadari. Terbangun dengan rasa kekhawatiran, aku mulai berteriak. Tenggorokanku serak dan anehnya semua itu nyata.

Tidak ada yang palsu, walaupun dunia ini hanyalah ciptaan semata.

"Archie! tenanglah, tenanglah kau selamat!"

"A-aku s-selamat?"

Kini di hadapanku sesosok wajah menatapku lekat-lekat dari balik kaca mata merahnya. Sentuhan tangannya berhasil membuat kesadaranku pulih walau sesaat.

"D-di mana ini? A-apa yang terjadi?"

Cairan merah itu seolah-olah menghantui di dalam mimpi relevan yang sebentar. Rasanya mengalir dari balik urat nadiku. Entah bagaimana aku harus mengatakannya, tetapi semua itu ... semua itu, bukan mimpi, 'kan?

"Tenanglah kita masih berada di sekitar puing-puing menara torio!"

"Me-na-ra to-rio?"

"Ya! Lagi pula ada apa denganmu hingga kau seperti ini?"

Mendengar perkataannya, aku pun mengingat bagaimana Type 00 berhasil menebas lengan kiriku hingga lenyap. Mataku tak kuat untuk melirik sebelah kiriku. Walau sekarang mataku menatap sesosok wajah yang sedang mengkhawatirkanku.

"Apa kau kau baik-baik saja, Archie?"

Suara itu ... ya suara itu milik Elen. Wajahnya mulai mendekati diriku, tepat di sampingnya Lash sedang melihat sekitar kami dengan mata yang menyipit.

"A-ahhh ... tidak"

"Huh?"

Lalu tanpa sengaja aku pun melihat lengan kiriku. Mataku melebar seketika dan aku sama sekali tidak percaya bahwa lengan kiriku ... masih lengkap. Tidak ada bekas tebasan atau pun indikasi sebuah luka gores yang menyayat lengan kiriku hingga lepas dari persendian bahu.

Aku pun bernapas lega. Sementara itu Elen mulai melihatku dengan wajah kebingungan miliknya. Mungkin aku bisa menebak apa isi pikiran Elen saat ini.

"Baik, tidak ada monster di sekitar sini. Kau bisa berdiri, Archie?"

Dengan anggukan kecil dariku, Lash mulai tersenyum tipis. Ia mengangkat lenganku dan kemudian berdeham cukup kuat.

" ... Kalau begitu kita kembali menuju kota utama!"

"Baik."

Rasanya aku tidak bisa melanjutkan game ini kembali. Semua itu membuat kepalaku pusing. Entah mengapa atau bagaimana Type 00 itu sangat mirip denganku dan terlebih lagi mengapa ia menyebutku sebagai replika?

"Maaf ... tetapi sepertinya aku harus keluar dari sini ... "

"Seperti itu ... kah. Hmm ... tidak ada yang bisa kulakukan kalau begitu, semoga kita bertemu kembali Archie! Ah, ya"

"Aku juga."

Elen dan Lash sama-sama mengirim permintaan teman kepadaku.

[Lash Vile Send You a Friend Invitation, Yes/No]

[Eleonora Grandz Send You a Friend Invitation, Yes/No]

Aku pun menerima mereka berdua. Lash tersenyum lebar ke arahku, sedangkan Elen menatapku dengan pipi memerahnya.

"Kalau begitu aku pergi dulu."

Mereka berdua mengangguk kecil. Setelah itu aku memunculkan layar interface dan memilih log out.

Dunia itu kembali kulihat. Tubuhku seperti mengambang seraya mengapung di atas laut tenang yang tak menentu. Kesadaranku mulai pulih, begitu mataku terbuka.

Atap yang sama, jendela yang sama, meja belajar yang sama, tumpukan buku usang yang sama, poster yang sama, gitar yang sama serta smartphone, komputer serta ingatan yang sama mulai dapat kurasakan kembali.

"Aku kembali ke dalam dunia nyata, 'kan?"

Kulepas RG yang melekat pada mataku. Bangun dan menghadap pintu keluar. Kepalaku seperti di goyang-goyang oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku masih mengingatnya dan itu sungguh jelas terasa begitu nyata.

Jika seandainya itu adalah mimpi semata dan bukan kenyataan, mungkin aku bisa bernapas lega. Tetap ... mengapa hatiku belum tenang juga. Rasa gelisah yang menyerangku belum mereda.

Baik pesan dan juga perkataannya masih terngiang di dalam kepalaku. Sebenarnya siapa dirimu Type 00. Apakah aku harus memikirkan hal itu?

Tidak tidak ... seharusnya aku tidak memikirkannya sama sekali, lagi pula itu hanya sebuah game. Dan mungkin di dalam paket yang kudapatkan terdapat masalah. Sehingga saat aku memainkannya, secara tak sengaja masalah itu muncul dan menciptakan kejadian seperti itu.

"Hahhh ... sepertinya aku terlalu memikirkannya."

Aku pun menghela napas, kemudian bangkit dari ranjang tempat tidurku.

" ... Sudah se-siang ini?!"

Di saat aku melihat jam weker di atas meja belajarku. Aku tak menyangka bahwa saat ini telah pukul 11 siang. Dan parahnya lagi, aku sama sekali belum sarapan pagi. Baru saja aku melangkah untuk keluar kamar.

Perutku sudah berbunyi. Kembali menghela napas, aku pun pergi menuju lantai satu. Biasanya Adi selalu bermain keluar di saat-saat seperti ini. Sehingga di rumah ini hanya aku seorang diri.

Begitu aku sampai, benar saja Adi tidak ada di sana. Bahkan Tv pun telah dimatikan, hingga hanya layar hitam saja yang kulihat saat ini.

Pergi menuju dapur dan melihat apakah ada bahan-bahan makanan yang bisa kumasak sendiri. Di rumah ini hanya ada aku dan Adi saja. Kedua orang tua kami telah lama pergi meninggalkan dunia ini.

Sehingga di saat Adi bersekolah, aku sebagai Kakaknya bekerja selagi mengurus rumah sendirian. Tanpa pergi keluar dan selalu terkurung di dalamnya. Lagi pula aku anti-sosial. Aku juga takut dengan orang asing, kecuali mereka yang telah mengenalku atau aku yang mengenal mereka.

Di waktu yang sama, aku selalu berbelanja melalui jaringan internet. Memesan bahan makanan dan pekerja merekalah yang mengirimkannya padaku. Untuk masalah biaya dan segala hal yang menyangkut hal itu?

Aku bisa tenang, karena, sekarang aku telah menemukan pekerjaan yang cocok untuk itu.

"Dasar Adik bodoh! Kenapa ia tak menyisakan bahan makanan satu pun untuk kumasak?"

Ketika aku melihat isi kulkas, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa yang bisa kuminum dan bisa kujadikan makanan hewan seperti dua buah bawang bombai dan satu kaleng susu segar. Sisanya adalah balok-balok es kecil yang tersimpan dan tertutup rapat di dalam pendingin atas.

"Hahhh ... sepertinya mau tidak mau aku harus pergi keluar."

Aku pun kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. Pergi kembali menuju kamarku untuk mengambil uang dan juga jaket untuk kupakai. Jika aku memesan makanan, aku akan pingsan kelaparan karena lama menunggnya.

Setelah itu aku harus menghadapi sebuah gerbang menuju dunia lain. Ya, itu adalah pintu depan rumahku sendiri. Jika aku pergi keluar, maka sama saja aku mengakui bahwa dunia luar selain halaman depan rumahku adalah sebuah hutan belantara.

Aku mungkin tersesat, karena semenjak delapan tahun yang lalu, aku tidak pernah keluar rumah lagi. Karena itu hingga saat ini, aku pasti selalu tersesat walaupun kota ini adalah kota tempatku di lahirkan.

Suara tegukan ludah dapat kudengar dari dalam telingaku.

"I-ini dia ....'

Aku pun membuka pintu depan perlahan-lahan. Bunyinya yang hening membuat keadaan semakin sunyi dan itu membuatku gugup seketika. Apa jadinya seorang penyendiri yang tidak tahu apa-apa pergi keluar rumah dalam rangka membeli persediaan bahan makanan?

Itu sama saja penderitaan tiada akhir. Dan begitu aku menginjakan kakiku keluar ...

"Arhhh ... silau! Itu tidak mungkin, aku tidak sanggup tidak sanggup tidak sanggup!"

Baru saja beberapa detik aku melihat sinar matahari secara langsung dengan kedua mataku. Mataku langsung terbakar dan tanpa kusadari aku kembali masuk ke dalam rumah dengan keringat dingin yang membanjiri leherku.

Napasku terengah-engah seolah-olah aku telah menyelesaikan maraton dan mendapatkan juara pertama.

"A-a-a-aahhhh ... itu tidak mungkin untukku! Kapan Adik bodohku itu pulang?!"

Namun rasa kesal dan kecewaku itu telah dikalahkan terlebih dahulu oleh bunyi perut yang membahana.

"Ahh ... ahhh ... aku sengsara jika tidak makanan di rumah ini! M-m-mau tidak mau ... s-suka t-tidak suka ...."

Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk pergi keluar. Setelah berhasil keluar dan kembali menerima sengatan sinar matahari itu, aku pun menutup kepalaku dengan tudung jaket.

Untungnya jaketku berwarna putih, tetapi aku hanya menggunakan celana pendek dan sepasang sandal jepit. Berjalan cepat mencari arah, aku mencari toko klontongan atau setidaknya toko serba guna.

Kepalaku berputar mencari plang penanda. Sementara aku menahan serangan terus-menerus dari sang surya, kakiku semakin cepat menghentak tanah tanpa tahu arah dan tanpa tahu letak toko itu sendiri.

Panas ... panas ... keringat pun dapat kurasakan meluncur dari dahiku dan menyelipkan diri menuju lipatan bibirku. Rasanya asin dan tubuh ini seakan-akan sangat berat untuk kugerakan. Tetapi untungnya aku melihat plang itu dan segera berlari ke sana dengan napas yang terengah-engah.

Sesampainya aku di sana. Rasanya aku seperti mendapatkan penghargaan untuk menempuh jarak yang tidak diketahui. Tetapi begitu aku menyadarinya, rupanya toko ini hanya berjarak satu blok dari rumahku.

Dan saat itu aku pun terjatuh lemas karena berpikir jarak toko ini sangatlah jauh, khususnya bagi orang seperti diriku. Tetap ... aku tidak melihat orang-orang yang berlalu lalang. Mungkin karena cuaca hari ini panas.

Mereka memutuskan untuk pergi menuju tempat pariwisata?

Ahh ... untuk apa aku memikirkan hal itu, sebaiknya aku segera masuk. Begitu aku mendorong pintu kaca itu ke dalam. Sebuah hembusan angin dingin membuatku mematung. Bukannya kedinginan, melainkan aku ingin menikmati sensasi ini untuk selamanya.

Tetapi begitu aku sadar sedang di lihat oleh seorang pria tua. Aku pun menjadi gugup dan langsung pergi menuju rak sektor makanan. Mencari dan mencari, akhirnya aku menemukannya juga.

Toko ini sepi sekali. Di dalamnya hanya ada aku dan juga pria tua itu. Sehingga dengan mudahnya aku segera pergi ke sektor makanan maupun minuman.

Mengambil dua bungkus mie instan, sebotol minuman penyegar dan beberapa makanan cemilan. Setelah selesai aku pun pergi menuju meja kasir, di mana pria tua tadi menatapku ketika aku menikmati nikmatnya hembusan angin dari AC milik toko ini.

Ketika aku sampai di meja kasir, pria tua itu menatapku dengan senyum lembutnya.

"Anak muda ... kenapa kau menyembunyikan wajahmu?"

"Eh?"

Sementara ia memeriksa harga dari barang-barang yang kubeli. Ia berkata demikian dan menatapku seolah-olah ia prihatin melihat kondisiku seperti ini. Pria itu memiliki penampilan yang cukup rapi.

Rambut hitamnya sedikit mengkilap dan di sisir rapi ke samping kanan. Pakaian kemeja putih yang sedikit longgar. Sisanya adalah celana panjang dengan sabuk yang mengitari pinggulnya rapat-rapat.

"Seharusnya kau menunjukan dirimu yang sebenarnya saja ... "

"A-a-apa m-maksudmu, Pak?"

"Sepertinya kau sedang bersedih, mungkin?"

"B-bersedih?"

Lalu aku pun mengingat akhir dari Type 00. Wajahnya yang lega itu benar-benar menghantuiku. Aku pun mengingat saat-saat kami bertarung dan saat-saat kami sedang berbicara satu sama lain.

"Sebaiknya kau jujur pada dirimu sendiri, jika kau bersedih karena kehilangan sesuatu ... maka percayalah. Semua yang hidup akan kembali mati seperti saat mereka pertama kali di lahrikan ke dunia ini. Tidak ada yang pasti dalam dunia seperti ini, mau itu kehidupan, kesedihan, kematian atau masa lalu maupun masa depan. Tidak ada yang tahu kapan itu akan terjadi, apa yang seharusnya kita lakukan sebagai mahluk hidup hanya terus maju dan maju, tak peduli apa yang orang lain katakan padamu. Kau tetaplah kau, aku tetaplah aku, tidak ada yang lain. Jika mereka memang demikian maka carilah dan gapailah keraguanmu itu ...."

Dengan lembutnya pria tua itu menatapku, lalu memberikan senyum murah hati kepadaku beberapa saat yang lalu.

"H-huh?"

"Hahahaha ... jangan terlalu dipikirkan, maklum ini kebiasaan lama yang sudah kulakukan bertahun-tahun lalu"

"T-t-tetapi mengapa?"

Kegugupan yang merasuki tubuhku kembali menampakan diri dan berkat itu sekarang aku menjadi tidak berani menanyakannya. Mengapa ia menasehatiku walaupun ini adalah pertemuan pertama kami?

"Percayalah, ini bukan pertama kalinya kita bertemu anak muda."

Lagi-lagi senyum itu muncul.

"Semuanya menjadi 23.700 rupiah"

"A-ahhh ...."

Aku pun menyerahkan uang sebesar 30.000 rupiah kemudian mengambil barang belanjaanku yang telah ia masukan ke dalam kantung plastik putih. Ia pun memberikan uang kembalian .

"T-terima kasih"

"Ya, senang bisa membantumu."

Berjalan tanpa bisa berucap, menatap tanpa bisa melihat, mendengarkan tanpa bisa mendengar. Semuanya seakan-akan seperti deja vu yang pernah kurasakan. Sementara tangan kiriku gemetar mendengar nasehatnya.

Aku mulai berpikir kembali dan sama sekali tidak tahu bahwa perkataan pria tua itu berhasil membuka ingatanku yang telah lama tidak muncul. Ingatan itu adalah ketika aku kehilangan kedua orang tuaku.

Di mana mereka mati akibat sebuah kebakaran besar di suatu perusahaan ternama Indonesia dan salah satu perusahaan pembuat RG. Mulut mereka bergerak tetapi aku tak bisa mendegar apa yang mereka katakan.

Hanya saja suara-suara seperti itu terkadang membuatku keheranan, sebenarnya suara siapa itu?

[T ... t ... tolong k ... ami ... Type 00]

Suara itu kembali muncul di dalam kepalaku. Begitu aku sadar aku telah sampai di rumahku. Perjalanan yang tidak pernah terbayangkan olehku dan nasehat serta pesan yang selama ini memberitahuku kembali dapat kugapai perlahan-lahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro