3. Permintaan Vicky

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Suasana hati Vicky sedang tidak bagus. Setiap jengkal langkahnya terasa lebih berat. Pasca insiden Kana dan mimpi buruk tadi malam, dia merasa seseorang tengah mengawasi ketika masuk ke SMA Airlangga. Meski bersikap setenang mungkin, tetapi Vicky tetap merasa waswas.

Bahkan seperti saat itu di jam pelajaran pertama hingga ketiga berlangsung, Vicky tetap tidak fokus. Remaja berusia 17 tahun itu lebih banyak tidak menyimak penjelasan Bu Alin mengenai materi sistem gerak. Pikiran Vicky sekarang penuh oleh Kana. Bukan lagi layar proyektor yang memperlihatkan struktur tulang manusia. Padahal dia selalu antusias setiap mata pelajaran Bu Alin.

Suara Bu Alin—wali kelas sekaligus guru Biologi—membuat Vicky tersadar dari lamunan. Bikin jengkel saja, mood gadis berlesung pipi kecil di permukaan pipi kanan tersebut sudah rusak sejak tadi pagi. Kini ditambah dengan dua teman kelasnya yang bikin onar. Vicky melirik kursi kosong di pojok belakang barisan kanan, kursi Annete dan Reyna.

Kini mata Vicky beralih ke kursi kosong yang ada di depan meja Annete dan Reyna. Kursi milik Kana. Ia melotot ketika melihat gadis berwajah 'aneh' itu duduk di sana dengan tubuhnya yang transparan. Itu Kana dengan wajah hancurnya. Padahal Kana masih hidup, tetapi sukses besar bikin Vicky merasa dihantui.

"Vicky?"

"I-iya, kenapa, Bu?" Vicky tergagap mengalihkan tatapannya dari kursi milik Kana. Sosok itu langsung hilang karena itu hanyalah imajinasi Vicky.

"Setelah keluar, kamu cari Annete dan Reyna. Suruh menghadap Ibu besok pagi."

"Baik, Bu."

Kelas Biologi berakhir begitu saja dan agak berbeda dari sebelumnya—setidaknya bagi Vicky. Mimpi buruk itu membuat Vicky makin resah. Kini dia keluar dari kelas setelah Bu Alin berpamitan. Tentu untuk mencari Annete dan Reyna. Kalau bukan karena menjabat sebagai ketua kelas, gadis itu ogah sekali berurusan dengan mereka.

"Vicky, tunggu!"

Dia menghentikan langkah. Lagi-lagi, untuk ke sekian kali, gadis berlesung pipi terkesiap. Hampir terjengkang ke belakang saat melihat gadis berwajah 'aneh' malah bertengger di pundak si pemilik suara—Debby. Gadis berambut pendek yang mendekat hati-hati.

"Sialan!" gerutu Vicky saking kagetnya. Sosok Kana yang hancur sudah hilang dari punggung Debby.

"Maaf, Vicky. Kalau lo nggak keberatan, biar gue aja yang cari Annete dan Reyna. Lo pasti capek dan mungkin mau ke ruang drama. Tugas ini biar gue aja yang lakuin."

Senyum miring Vicky terlukis. Jongos yang satu itu memang pengertian sekali. Makanya Vicky sampai sekarang hanya dekat-dekat dengan Debby. Dia tak punya teman dekat. Sebab, siapa yang mau berteman dengan cewek fake sepertinya? Mana tukang bully pula.

Malah sebaliknya. Banyak cowok yang memuji dan terpesona pada Vicky. Di balik senyum ramah, sikap sopan terhadap guru dan menjadi siswa kesayangan, juga kepintarannya, Vicky adalah sosok yang berbeda. Gelar tukang bully melekat dalam ingatan anak-anak lain. Namun, tak ada yang pernah berani melapor. Vicky akan dibela habis-habisan karena citranya yang baik di depan guru.

Seakan-akan tidak kenal takut, sejak masuk SMA Airlangga, Vicky sudah berhasil membuat seorang kakak kelas tidak datang ke sekolah selama satu minggu berturut-turut. Gara-gara tidak terima dicap sebagai tukang cari perhatian, Vicky membuat kakak kelasnya babak belur sepulang sekolah. Alhasil, karena itulah dia banyak didekati kakak kelas yang suka merundung. Juga yang membentuk kubu atau geng. Namun, Vicky tidak pernah mau bergabung menjadi satu kelompok tukang bully karena lebih suka melakukannya sendiri.

"Vicky, lo nggak apa-apa?" Debby menegur lagi, menyelamatkan Vicky dari lamunan.

"Biar gue aja yang cari mereka. Suasana hati gue lagi nggak bagus. Lo balik aja ke kelas atau makan dulu di kantin."

Alih-alih patuh, Debby malah mengekor. Vicky sendiri tidak mau ambil pusing. Sepanjang perjalanan, Vicky berpikir keras. Mungkinkah Debby mengalami mimpi buruk yang sama? Didatangi dan dihantui sosok Kana setelah kejadian di gudang? Sebab Debby juga ada di sana dan merekam mereka.

Kaki ramping gadis berpinggang kecil itu tiba di area belakang kantin. Ada bangunan kosong di sana yang dahulu sempat difungsikan sebagai laboratorium komputer. Keadaan ruangan yang lembab dan kotor, juga sepi tentunya, membuat anak-anak SMA Airlangga sering memakainya untuk membolos pelajaran. Sekadar nongkrong main gim atau merokok bareng.

Dari kejauhan dia bisa melihat Annete dan Reyna ada di salah satu ruangan. Mereka terlihat tengah merokok sambil terbahak-bahak dengan dua orang cowok. Sepertinya kakak kelas. Tanpa berpikir panjang, Vicky bergegas menghampiri mereka.

"Gue boleh gabung?" tanya Vicky yang langsung menghentikan tawa mereka.

Annete berdiri lebih dahulu. "Sori, kita nggak nerima orang kayak lo. Ganggu banget, sih. Sana pergi!" Gadis berambut hitam curly itu melengos setelahnya.

"Gue rasa lo juga nggak akan suka di sini. Lebih baik lo pergi Vicky." Kini Reyna yang bersuara.

Senyum seringai Vicky terlihat. Tepat ketika Annete berbalik, tangan kurusnya langsung terangkat menarik rambut gadis itu. Reyna terkesiap dan mundur, demikian dua cowok yang ada di sana.

"V-Vicky! Anjing! Lepasin gue," teriak Annete.

"Suasana hati gue lagi nggak bagus, Ann. Jadi, menurut aja apa susahnya, sih?"

"Agh! Rambut gue, Bangsat!"

Akan tetapi, Vicky tak mau berhenti. Bahkan berhasil membuat helai-helai rambut Annete bersarang di celah jemarinya. Dia mengamat tangan yang baru saja lepas dari rambut Annete. Sementara Annete terlihat menahan kekesalan dan rasa sakit.

"Cewek sialan!" Reyna meloncat dari kursi. Berjalan cepat seraya melayangkan pukulan untuk Vicky.

Sang ketua kelas menghindar, lalu tangannya terangkat membalik keadaan. Tamparan kasar mendarat sempurna dengan suara keras. Reyna tersungkur membentur kaki salah satu kursi yang rusak.  Tak tinggal diam, Annete maju setelah sekian detik mengurus rambut. Dia bermaksud menendang perut sang lawan, tetapi refleks Vicky lebih cepat. Tangannya berhasil menangkap betis Annete, membuat gadis itu melotot marah.

"Argh! Sakit, Vicky!" teriak Annete saat Vicky mengangkat betisnya setinggi mungkin.

Cowok-cowok di sana bahkan bisa melihat celana dalam yang dikenakan gadis itu. Satu dorongan kasar menghempaskan tubuh Annete ke lantai. Vicky mendekat seraya memamerkan wajah tanpa ekspresi. Padahal di sana tersembunyi kemarahan besar.

"Gue udah bilang mood gue lagi nggak bagus, Anjing!" Tangan dengan jemari lentik itu pun mulai menampar Annete berkali-kali. Bahkan sampai setetes darah segar terlihat di sudut pipi Annete. "Besok temui Bu Alin di ruang guru. Kalau lo berani mengadu, lain kali lo nggak akan bisa dateng ke sekolah."

"Vicky, berhenti!" teriak Reyna saat melihat Annete sudah lemas.

Tiba-tiba Vicky melangkah mundur seiring degup jantung yang bertalu. Kakinya mendadak bergetar dan rasa takut menyergap dalam sekejap. Semua orang kebingungan melihat Vicky yang berjalan mundur dan terduduk di lantai.

Kamuflase mata Vicky melihat sosok Kana dengan muka hancurnya. Dia berdiri di belakang Annete sambil menatap Vicky dengan murka. Wajahnya yang retak tampak aneh dan mengerikan.

"Aku akan membunuhmu, Vicky." Sosok itu berbisik samar bersama desau angin siang yang terik.

"Vicky, lo nggak apa-apa?" tanya Debby seraya berjongkok memegangi bahunya.

"Lepasin, sialan!" Vicky bergegas berdiri dan keluar dari tempat itu.

—oOo—

"Aku mau pindah sekolah."

Penuturan Vicky membuat tiga orang di meja makan langsung menghentikan aktivitas. Ketiganya sampai saling bertukar pandang.

"Kenapa tiba-tiba? Apa ada yang mengganggu kamu di sekolah?" tanya Winata menatap lembut putrinya.

Vicky menggeleng pelan. "Aku ... ya, aku hanya bosan. Aku pengin pindah aja."

"Cuma karena bosan, lo langsung mau pinda sekolah?" Ricky akhirnya bersuara setelah menahan rasa heran.

Sekian detik tidak ada yang bersuara. Vicky sibuk dengan pikirannya. Keputusan untuk pindah sekolah tercetus begitu saja. Bayangan Kana menghantuinya bahkan sampai ia kembali ke rumah. Lalu, kini Kana bahkan terlihat duduk di kursi kosong dekat Ricky. Luka Kana makin parah, bibirnya yang sobek mulai mengeluarkan belatung.

Kini Vicky menunduk dalam-dalam. Tak sanggup lagi melihat bayangan Kana. Meski dia mengumpat untuk gadis itu, tetapi perasaannya diam-diam merasa bersalah. Ketakutan juga menyelimuti tubuh. Sebuah perasaan yang tak pernah Vicky rasakan sebelumnya.

"Vicky?" tegur Winata.

"Pokoknya aku mau pindah, Pa. Aku bosan di sekolah."

Saat Winata akan membuka suara lagi, Erlita terlihat mencegah. Kini wanita itu yang menyentuh lengan Vicky. "Ya sudahlah, Mas. Kalau Vicky mau pindah, biarin aja dia pindah ke sekolah Ricky. Biar berangkatnya bisa barengan."

Vicky mengangkat wajah, terkejut oleh perkataan Erlita. Pun melirik Ricky yang kelihatan tenang-tenang saja. Sekolah di SMA Trisakti?

"Mama nggak usah ngide begitu. Dia aja nggak mau berangkat sama aku, gimana mau sekolah bareng?" tanya Ricky.

"Mau. Aku mau pindah ke SMA Trisakti."

Ucapan Vicky menghadirkan kernyit heran di dahi Ricky. Sementara Vicky hanya membatin, di sana, kan, ada Travis juga. Gue bisa lebih deket sama dia.

Hi, Oneders!

Besok Vicky udah pindah ke sekolah baru, nih~ bakal satu sekolah sama Travis dan Ricky😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro