Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Gadis kecil itu membulatkan matanya dibalik tudung yang ia kenakan.

Perasaan antara kebingungan, kebahagiaan bahkan penyesalan―walau mungkin hanya sedikit, mungkin―berkecamuk didada-nya.

Entah karena rasa sakit diperutnya yang secara ajaib mengambil sedikit kewarasannya atau memang pemandangan didepannya ini memanglah asli, gadis itu tidak percaya―menolak untuk percaya.

Segala hal ditempat ini begitu asing baginya. Jalanan yang dihiasi bebatuan, bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu, orang-orang yang berlalu lalang, serta sebuah istana berwarna putih yang terletak diujung jalanan berbatu ini cukup untuk membuat lututnya semakin lemas.

Belum sempat gadis itu melihat bahkan mencerna keadaannya lebih lama, ia kembali merasakan perutnya sakit dan lututnya semakin lemas―tak kuat lagi menahan tubuhnya. Membuatnya jatuh terduduk sembari memegangi perutnya.

Rasa sakitnya semakin lama semakin kuat, sampai pandangan gadis kecil itu mulai kabur. Namun, walau sekilas, gadis itu melihat seseorang berlari kearahnya―entah benar atau tidak, tapi tak ada salahnya untuk berharap bukan?―sebelum akhirnya pandangannya benar-benar tergantikan oleh warna hitam.

***

Matanya terbuka perlahan, mengumpulkan nyawa untuk kembali mencerna lebih lanjut keadaan. Hal yang pertama kali ia sadari―begitu nyawanya sepenuhnya kembali―adalah tubuhnya yang digendong oleh seseorang―seorang bocah laki-laki tepatnya.

Bocah laki-laki itu sepertinya orang yang berlari mendekati-nya sebelum kesadarannya hilang beberapa saat yang lalu. Ya, sepertinya...

Merasa ada sedikit pergerakan dipunggungnya, bocah itu menolehkan kepala-nya sedikit, berusaha melihat sosok mungil yang tengah ia gendong sebelum akhirnya ia menghela nafas lega dan berkata,

"Ah, kau sudah bangun rupanya! Syukurlah~"

Mendengarnya, gadis itu bukannya menjawab, dia malah kaget. Tubuhnya refleks condong kebelakang, hampir membuat dia maupun bocah yang menggendongnya itu terjengkang jika saja bocah berambut pirang itu tidak menyeimbangkan tubuhnya kembali tepat waktu.

"Tenang, tenang! Untuk orang yang baru sadar dari pingsan, refleks mu bagus juga ternyata," ucapnya diakhiri dengan kekehan pelan. Mata gadis kecil itu berkedip beberapa kali sebelum akhirnya dia membuka mulutnya.

"Anu, kau akan membawaku kema―ugh!"

Perkataannya terpotong oleh sakit perutnya yang muncul lagi. Khawatir―bocah itu berhenti melangkahkan kakinya lalu bertanya dengan suara yang agak panik.

"O-oi! Kau kenapa?"

"P-perutku... sakit..."

Perlu waktu sekitar lima detik sebelum gadis itu menjawab perkataannya-meski dengan suara yang lebih mirip seperti bisikan.

"B-Baiklah! Tunggu sebentar la―Ah! Kita istirahat dulu di sana ya!" tanpa pikir panjang dan rasa panik yang semakin besar, bocah itu berlari menuju sebuah pohon tanpa menunggu persetujuan si gadis itu.

Bocah pirang itu pun menurunkan si gadis dari gendongannya perlahan lalu membantunya duduk dengan posisi senyaman mungkin dibawah pohon. Lalu, dia memutuskan untuk duduk didepannya masih dengan wajah yang menatapnya panik.

"Jika aku boleh tahu, seberapa sakitkah perutmu itu?"

"Sakit... sekali..."

Wajah bocah itu semakin panik. Otaknya sudah tidak dapat berpikir jernih, ia mengacak-ngacak rambutnya seraya terus melihat gadis kecil yang masih memegangi perutnya itu.

"B-bagaimana ciri-ciri sakit p-perutmu??" ucapnya, entah sadar atau tidak.

Manik berwarna aquamarine gadis itu menatap bocah itu dari balik tudungnya lalu dengan lirih dia menjawab, "A-aku tidak ta―"

Kata-katanya terpotong oleh sebuah suara yang amat jelas dan merdu untuk didengar oleh telinga masing-masing.

Bocah itu mengedipkan mata beberapa kali, menatap sosok dihadapannya sebelum akhirnya ia menjentikkan jarinya. Sepertinya ia tahu apa yang sedang dirasakan gadis kecil didepannya ini.

"Tunggu disini," ucapnya sebelum ia kemudian melompat memanjat pohon tempat mereka berdua beristirahat.

Sekitar lima menit, bocah itu tiba-tiba meloncat didepannya dari atas-walaupun kaget, dia sudah tidak punya cukup tenaga, hingga gadis itu tidak dapat bereaksi apapun.

Bocah itu mengulurkan tangan kanannya yang memegang sebuah benda berwarna merah cerah dan berbau harum kedepan gadis itu, kemudian tersenyum.

"Ini, makanlah. Tenang, apel itu tidak beracun, lagipula kau tahu sendiri aku mengambilnya dari atas sana!" ucapnya sembari menunjuk kearah dedaunan pohon di atas mereka.

Gadis itu menatapnya lalu apel yang tadi ia terima ditangannya secara bergantian. Manik aquamarine bertemu dengan emerald, saling bertatapan selama beberapa detik. Bocah itu tersenyum lembut, lalu membuka mulutnya dan menunjuk-nunjuknya dengan jari telunjuk―mengisyaratkan gadis itu untuk memasukkan apel itu kedalam mulutnya.

Seakan masih ragu, gadis itu malah kembali menatap apel ditangannya-sekilas bocah berambut pirang didepannya dapat melihat kedua mata yang menyipit dibalik tudungnya.

Lelah sekaligus agak jengkel, bocah itu menghela napasnya. "Sudahlah, cepat ma―"

Kata-katanya langsung terpotong kala ia melihat apel utuh yang langsung ditelan bulat-bulat oleh lawan bicaranya.

Wajahnya seketika memucat dan dibanjiri keringat. Mulutnya pun langsung terbungkam sempurna dengan kedua ujung bibir sedikit melengkung, membentuk sebuah senyuman canggung, kedua iris emerald-nya mengecil hingga mirip sebuah titik.

Pasalnya, selama kurang lebih sembilan tahun ia hidup, dirinya tahu bahwa selapar-laparnya orang, mereka tidak pernah menelan sebuah apel atau makanan lain secara bulat-bulat.

Detik selanjutnya, gadis kecil itu―sesuai dugaannya―terbatuk-batuk begitu selesai menelan buah berwarna merah itu. Bocah pirang itu menghela napas lalu mengelus dan menepuk punggung gadis kecil itu―masih setengah shock.

"Aku tak heran jika kau tersedak, atau apalah itu. Lagipula, selapar-laparnya orang, mereka tidak akan pernah menelan apel bu―"

"Enak! D-dan juga rasanya! A-apa ini? Perutku juga sudah membaik! Apa kau seorang penyihir?!" gadis itu menyela perkataan si bocah dengan beragam pertanyaan sembari mendekatkan wajahnya satu sama lain.

Sembari menahan wajah si gadis, bocah itu kembali menjelaskan. "Itu apel. Kau hanya lapar, tidak lebih. Aku akan memberimu nasehat, lain kali selapar-laparnya kamu, jangan pernah menelan makanan bulat-bulat. Dan aku juga bukan penyihir, namaku Arthur," jelas bocah bernama Arthur itu.

"Huh? Lapar?"

"Iya, lapar! Memangnya kau tidak makan selama berapa hari? Kupikir kau akan mati tadi," ucap Arthur.

Dengan entengnya gadis itu menjawab, "Tidak makan? Hm... Sekitar tujuh hari."

Mulut Arthur terbuka―menganga. Keajaiban apa yang menyertai gadis kecil ini untuk dapat bertahan tanpa makanan selama tujuh hari. "T-Tujuh hari?! K-kau―sudahlah, lupakan." Arthur memijat keningnya pusing.

Gadis itu memiringkan kepalanya, bingung dengan reaksi Arthur. "Um.. tapi, Terimakasih... em... siapa namamu tadi?"

Arthur ingin sekali melemparkan sebilah pedang kepada gadis ini jika saja dia tidak dapat sabar lebih lama lagi. Untuk kesekian kalinya, Arthur kembali menghela napas.

"Baiklah, bagaimana kalau kita mengenalkan diri satu sama lain? Dengan baik dan benar," ucap Arthur dengan penekanan pada empat kata terakhir. Gadis itu mengangguk setuju.

"Namaku Arthur, Arthur Pendragon. Anak dari Uther Pendragon, Pemimpin―maksudku, Raja kerajaan ini. Lalu, namamu siapa?" ucap Arthur dengan senyum sumingrah.

Seulas senyum terlukis dibibir gadis itu. Ia kemudian menurunkan tudung yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya. Kedua mata Arthur membulat, pandangannya terkunci pada sosok didepannya.

Rambut seputih salju yang tergerai hingga menyentuh bawah bahu-nya namun terlihat sedikit berantakan. Ia-masih dengan senyum diwajahnya, mengulurkan tangannya, lalu membuka mulutnya.

"Namaku Rei. Salam kenal... Arthur."

Arthur yang sedari tadi terpaku-melamun lebih tepatnya-langsung sadar. Ia menyambut uluran tangan Rei dan tersenyum.

Itulah pertemuanku dengannya.

Salah satu momen yang paling kusukai dari semua momen yang kulewati bersamanya

"Ngomong-ngomong, tempat ini... dimana, Arthur? "

"Hah?"

ya, meskipun itu adalah pertemuan yang cukup canggung dan bahkan menggelikan.

YUHUUUU, TJIE APDET 🎉🎉🎉
Bagaimana chap 1 ini? Gaje kah? BANGET malahan.
Ngomong-ngomong, yang udah vote & comment di chap sebelumnya aka Prolog, makasih yak 😳😳
Diriku terharu ada yang mau baca fic gaje ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro