Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

"Perbekalanmu sudah lengkap?"

"Tunggu sebentar. Makanan, peta, buku, dan―ku rasa sudah semua. Aku sudah siap berangkat!"

Di dalam kamar Kay, Rei yang telah selesai memeriksa barang bawaannya, mengacungkan jempol.

Hari ini, Rei sudah mematangkan rencananya untuk pergi ke Hutan Shelanoir.

Kemarin malam ia sudah berpamitan dengan raja, putri, dan seluruh kesatria disana. Tentu saja selain putri dan Kay, orang lain―termasuk kawan-kawannya di Camelot―hanya tahu ia akan pulang ke rumahnya, Avalon.

―intinya, dia kabur lagi.

Kay melihat tas kecil berisi hal-hal yang disebutkan Rei tadi. Isinya yang sedikit membuat Kay agak khawatir mengingat Rei akan pergi sendirian ke hutan yang masih ia ragukan keberadaannya itu.

Walau mungkin penyebab bawaan Rei yang sedikit itu adalah Fou yang tidur bergulung didalam sana, memenuhi tempat.

"Kau yakin akan membawa segini saja? Kau bahkan tidak membawa senjata untuk mempertahankan diri."

"Oh kalau itu..." Rei memasukkan tangannya kedalam tas, meraba-raba isinya, mencari sesuatu. Ketika ia menemukan hal yang ia cari, Rei langsung menariknya keluar dan menunjukkannya pada Kay.

"Apa benda ini cukup?"

Sebuah belati.

Kay mengambilnya lalu melihat setiap inci benda itu dengan teliti. Kemudian ia menarik belati itu dari sarungnya yang berbahan kulit.

"Dapat darimana?"

"Tuan putri memberinya padaku kemarin. Ia bilang ucapan terimakasih waktu itu."

"Oh."

Sambil mengayun-ayunkan belati ditangan, Kay melihat seisi ruangan, mencari sesuatu. Tatapannya terhenti pada keranjang berisi macam-macam buah. Ia ambil satu buah apel berwarna merah dan tanpa banyak bicara lagi, dalam sekali ayunan, apel tersebut terbelah dua.

"Ketajamannya bagus. Jika digunakan baik-baik, kemungkinan kau bisa membunuh seekor beruang," ucap Kay sebelum mengambil gigitan besar pada salah satu bagian apel yang terbelah.

Sementara Rei tersenyum masam mendengar kata-kata Kay.

"Itu mungkin untukmu. Kalau untukku membunuh satu ekor burung merpati saja sudah bisa dikatakan pencapaian besar "

Setelah menelan gigitan terakhir, Kay menyodorkan setengah bagiannya yang lain pada Rei yang langsung diambilnya dengan senang hati.

"Ngomong-ngomong, kau tidak mau bawa pedang? Kalau kau mau, pinjam saja punyaku," tawar Kay.

Rei menggeleng. "Tidak usah. Belati sepertinya lebih cocok untukku, aku kan payah soal teknik berpedang," tolaknya halus.

"Ah, Merlin tidak mengajarimu ternyata."

Tak lama berselang, ketukan pelan dari luar pintu terdengar. Kay dengan segera membuka pintunya, menunjukkan Andrivete yang berdiri disana.

"Rei, sudah siap?" ia tersenyum hangat. "Raja memintaku untuk mengantarmu. Beliau minta maaf karena tidak bisa menyertai keberangkatanmu," lanjutnya.

"Ah, iya."

Dengan cepat Rei menyelendangkan tas, lalu memakai jubahnya. Menghampiri Andrivete lalu disusul oleh Kay, mereka berjalan menuju istal.

Begitu mereka sampai, didepan istal sudah berdiri seekor kuda berwarna coklat. Di punggungnya sudah terpasang pelana.

"Kau bisa menunggang kuda bukan?" tanya Kay, memastikan.

Rei mengangguk mantap. "Tidak masalah. Aku pernah menunggangnnya saat pulang setelah pernikahan Arthur."

"Yasudah kalau begitu."

Rei menginjakkan kakinya di sanggurdi, sedikit kesulitan ia hadapi begitu akan mengangkat tubuhnya keatas punggung hewan itu, untung saja Kay ada disana dan membantunya.

"Aku titipkan dia padamu ya, Wiese," ucap Andrivete sambil mengusap leher si kuda yang bernama Wiese itu.

"Berhati-hatilah dijalan." Kay menimpali.

"Kalau begitu, aku berangkat!" Rei memposisikan tangannya didahi--menghormat dengan senyuman terlukis di wajah.

Setelah itu, Rei mulai memacu kudanya dengan kecepatan sedang. Tepat sebelum keluar dari gerbang istana, Rei berbalik melihat dua sosok yang perlahan mulai mengecil.

"Kudoakan semoga pernikahan kalian lancar!"

Teriak Rei sambil melambai. Kay dan Andrivete terkekeh, itu adalah kata-kata--teriakan tepatnya--terakhir Rei sebelum menghilang dari pandangan keduanya.

***

Sekitar satu jam telah berlalu sejak Rei meninggalkan kerajaan.

Udara sudah mulai menghangat dan kabut tipis yang mengurangi jarak pandangnya sudah perlahan menghilang.

Kicauan burung yang bersahutan serta gemericik air yang mengalir menemani perjalanan.

Rei memacu kuda dengan santai, mengeluarkan peta dari tasnya untuk melihat jalan. Helaan nafas keluar begitu ia tahu perjalanan masih panjang. Peta ia kembali masukan kedalam tas dan langkah kuda kembali dipercepat.

Saat matahari tepat berada diatas kepala, Rei yang melihat sebuah padang rumput yang cukup luas dan ditumbuhi beberapa pohon rindang, memutuskan untuk beristirahat sebentar disana. Ia duduk disalah satu pohon, ditemani oleh Fou yang berlari disekitarnya dan Wiese yang sedang mengisi perut tak jauh dari Rei.

Tak lama berselang, Rei merasa matanya agak berat. Suasana disana sangat pas untuk tidur, namun beruntung Rei dapat kembali mengumpulkan kesadaran sebelum sempat tertidur. Akhirnya, Rei kembali menyambar peta didalam tas.

"Tidak jauh lagi. Jika aku tidak tersesat, mungkin aku bisa kesana sebelum gelap." Rei tersenyum senang. Ia berdiri, meregangkan tubuhnya dan membereskan perbekalan untuk melanjutkan jalan.

***

"Kita sampai..."

Diatas Wiese, Rei menelan ludah melihat hutan di depannya.

Padahal hanya lewat lima belas menit sejak ia selesai istirahat, namun pepohonan yang amat rindang nyaris membuat sinar matahari tidak bisa masuk kedalam hutan. Yang bisa ia lihat beberapa meter ke dalam hutan hanya bayangan samar pepohonan yang membuat bulu kuduk merinding.

"Shelanoir ada didalam hutan ini. Ayo Fou, Wiese." melawan rasa takutnya, Rei mengeratkan pegangan pada tali kekang.

Makin kedalam, udara dingin menusuk semakin terasa. Cahaya matahari yang bahkan tidak terlihat membuatnya lupa bahwa sekarang masih tengah hari.

Dari ekor mata, Rei dan Fou memandang sekitar dengan gelisah. Bahkan Rei dapat merasakan bahwa kudanya itu sudah tidak nyaman dengan suasana hutan.

Rasa takut membuat indra mereka semakin tajam. Bahkan suara daun yang bergesekan cukup untuk membuat ketiga makhluk itu membatu sejenak.

"Fou~"

"Tidak apa-apa, Fou. Mungkin cuma perasaanku saja. Lagipula sudah terlambat jika aku baru takut sekarang."

Singkatnya, perjalanan menyusuri hutan mereka berjalan begitu sunyi. Fou berdiam diatas kepala Rei yang memfokuskan pandangan kedepan meski ia mendengar bisikan-bisikan ghaib dari sekitar yang mulai mengganggunya.

Makin kedalam, suara-suara yang tadinya sebatas seperti hembusan angin bertambah jelas dan mendekat, Rei juga bersumpah bahwa ia melihat ada sekelebat bayangan dibalik pepohonan, mengawasinya sejak ia memasuki hutan.

"Wiese? Ada apa?"

Mendadak, kudanya berhenti. Hewan itu menggerak-gerakkan kepalanya tidak tentu, makin lama makin cepat hingga pegangan Rei pada tali kekangnya sedikit melonggar.

Keheningan hutan langsung pecah begitu suara ringkikan nyaring keluar dari Wiese. Dia melompat-lompat liar hingga pada akhirnya Fou dan Rei jatuh berguling dari punggungnya sebelum kemudian ia berbalik, meninggalkan keduanya didalam gelapnya hutan.

"Sekarang... bagaimana?" bisik Rei.

Ia mengedarkan pandangan kesekitar, bohong saja jika dia bilang tidak takut.

--karena faktanya, dia takut setengah mati.

Dengan Fou yang berdiri di kepalanya, Rei berdiri lalu membersihkan bajunya dan menarik jubahnya agar membungkus dirinya lebih erat. Ia meringis pelan ketika ia merasakan perih dari betisnya yang memang memerah karena bergesekan kasar dengan tanah sewaktu ia jatuh tadi.

"Fou?"

"Tidak, tidak apa-apa. Untuk sekarang, ayo kita jalan. Siapa tahu ada tanaman yang bisa kujadikan obat nanti."

Sambil menahan perih, Rei melanjutkan jalan. Karena minimnya cahaya, tak jarang ia tersandung akar pohon ataupun tergores ranting-ranting tajam. Hingga samar-samar Rei melihat sebuah cahaya temaram yang berhasil menyusup diantara sela daun yang lebat tak jauh dari tempatnya berdiri--tepat menyinari sebaris tanaman achillea.

Rei mempercepat langkah mendekati tanaman itu lalu mencabut beberapa dan kemudian menghaluskannya dengan batu. Ia merobek sedikit kain jubahnya dengan belati lalu membalut betisnya bersama dengan achillea yang telah dihaluskan.

Baru saja dia akan berdiri, Rei merasa ada sesuatu menyentuh tangannya pelan. Refleks, Rei--dan Fou menoleh takut. Namun, begitu melihat sesuatu itu, rasa takut keduanya sirna, digantikan oleh rasa heran.

"Kenapa ada angsa disini?"

***

Singkat cerita, Rei membawa angsa itu bersamanya.

Salah satu sayapnya terluka dan Rei mengobatinya dengan achillea. Kini Rei berjalan dengan Fou diatas kepala dan angsa putih itu didekapannya, mencari jalan keluar dari hutan mengerikan ini.

Suara-suara misterius lebih ketara, membuat Rei susah payah untuk mengabaikannya agar tidak mempengaruhi alam bawah sadar.

Baru saja ia berhasil untuk mengabaikan suasana hutan yang semakin lama semakin mengerikan itu, suara berdentum yang sangat keras disusul dengan suara kepakan sayap burung yang beterbangan meninggalkan hutan.

"Kita harus cepat-cepat pergi dari sini." gumam Rei sebelum dia berlari dengan kecepatan penuh lurus kedepan dan tanpa menoleh ke kanan, kiri, maupun belakang.

Suara itu terdengar terus mengikutinya dan semakin mendekatinya. Entah dari arah mana, Rei tidak tahu--tidak mau tahu.

Nafas Rei sudah tersengal-sengal. Kakinya juga sudah tidak mampu berlari baik karena sakit maupun memang sudah lelah. Ia menyandarkan punggungnya pada salah satu pohon, mengambil nafas banyak-banyak sambil melihat kesekitar, namun yang dilihatnya tidak jauh berbeda dari sebelumnya--gelap.

Suara berdentum itu kembali terdengar. Kali ini seperti langkah tenang dibandingkan dengan tadi yang seperti berlari. Namun sialnya--

Rei pelan-pelan menggeser tubuhnya ke balik pohon, bersembunyi dalam gelap. Dekapan Rei pada si angsa mengerat. Bibirnya tertutup rapat bahkan dia gigit dengan sangat kuat berusaha untuk tidak menimbulkan suara meski hanya helaan nafas.

--ya.

--makhluk yang menjadi sumber suara itu tepat berada dibelakang pohon tempatnya bersembunyi.

Makhluk itu besar. Badannya terlihat seperti batu yang amat keras dan ditumbuhi oleh lumut dan sulur pepohonan. Dia membawa sebuah pedang dari batu yang terlihat seperti sudah patah.

Wajahnya sendiri Rei tidak tahu, dia sudah terlalu takut untuk melihat makhluk itu lebih rinci. Meski begitu, Rei yakin makhluk itu adalah pelindung hutan yang diceritakan--Spriggan.

Selagi makhluk itu belum menyadari keberadaannya, Rei mengendap-ngendap berusaha menjauh dari si raksasa batu itu.

Namun dewi keberuntungan nampaknya sedang mengacungkan jari tengah pada Rei hari ini. Baru saja dia menjauh beberapa langkah, makhluk itu menggeram keras.

Dia mengayunkan pedang batunya hingga memotong beberapa pohon yang berada disekitarnya, termasuk pohon tempat Rei bersembunyi--hampir mengenai kepalanya.

Dilain pihak, Rei yang kalah cepat untuk bersembunyi kembali, mau tak mau ia harus main kejar-kejaran lagi dengan makhluk itu.

Makhluk itu memang tidak cepat, tapi langkahnya sangat besar. Dia menyingkirkan pepohonan yang menghalangi jalannya, mengejar tiga makhluk kerdil yang tengah menghindar darinya.

Nafas Rei makin tersengal-sengal tidak karuan. Ia ingin berhenti berlari namun instingnya mengatakan tidak. Saat itulah, matanya menangkap samar-samar cahaya, kali ini sedikit lebih terang dibandingkan saat ia menemukan achillea, padahal ia yakin diluar hutan ini, senja telah mengambil alih.

Membuang segala logika, Rei mempercepat larinya. Semakin lama cahaya itu makin besar dan menyilaukan mata, membuat Rei menyipitkan kedua mata. Wajahnya yang kotor terkena tanah dan goresan terlihat jelas disinari oleh cahaya itu.

Namun naas, kakinya tersandung sulur dan membuat Rei jatuh tersungkur. Beruntungnya, Rei masih sempat melempar si angsa dan Fou tepat sebelum tubuhnya mengalami kontak dengan tanah.

Suara langkah kaki Spriggan semakin dekat terdengar. Rei berusaha bangkit namun sayang kakinya terluka lebih parah akibat goresan duri dari sulur yang membuatnya tersandung tadi.

--sepertinya dewi keberuntungan memang membencinya.

Rei dengan tergesa-gesa merapal mantra. Namun konsenterasinya langsung buyar begitu matanya menangkap sosok Spriggan sudah tinggal beberapa meter dihadapannya, pedangnya sudah terangkat tinggi-tinggi.

Rei berbalik badan, memaksakan dirinya untuk berdiri dan berjalan tunggang langgang sejauh yang ia bisa.

Suara ayunan pedang yang diturunkan terdengar, Rei menoleh, mendapati benda itu sudah tepat berada diatas kepalanya. Matanya terbelalak.

Bukan, bukan karena pedang yang sudah siap menghancurkan kepalanya.

Pedang itu--tidak, seluruh tubuh Spriggan dililit oleh sulur berduri yang sama yang membuatnya tersandung. Sulur itu menghentikan segala pergerakannya.

Sulur itu juga bergerak menuju mulutnya, membukanya dengan paksa dan masuk lalu mencabut sebuah benda berwarna hijau menyala dari sana. Dan dengan dicabutnya benda itu, pergerakan Spriggan sepenuhnya berhenti. Raksasa itu kini terlihat seperti sebuah boneka yang dikendalikan oleh benang--berdiri diam dengan tangan tergantung oleh sulur.

Melihatnya, tubuh Rei kembali merosot. Sambil terduduk ia melihat pemandangan dihadapannya itu dengan mata melotot. Otaknya masih belum bisa memproses kejadian yang sangat cepat terjadi di depan matanya tadi.

"Apa yang terjadi?"

"Ya, seperti itu. Tidurlah, Spriggan."

Sebuah suara membuat Rei kembali ke kenyataan. Dia menoleh, mendapati sesosok wanita cantik memakai gaun putih berjalan kearahnya.

Kedua matanya menatap boneka batu itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia kemudian menatap Rei, kedua sudut bibirnya terangkat membuat sebuah senyuman yang menenangkan.

"Terimakasih karena sudah menolongku dan membawaku kesini." wanita itu berjongkok dan membelai wajah Rei.

"Selamat datang, gadis manis."

***

Terang.

Berbeda dengan hutan tempat ia dikejar Spriggan tadi, bagian hutan ini sangat terang layaknya matahari selalu menyinari tempat ini kapanpun.

Selain itu, tempat ini hangat dan terkesan lebih hidup dibanding hutan yang satunya.

Jika di hutan sebelumnya Rei selalu merasa bayangan misterius mengawasinya di kegelapan, ditempat ini Rei dapat melihat jelas beberapa ekor rusa mengintip malu-malu dari balik pohon.

Cahaya warna-warni mirip kunang-kunang beterbangan, mendekati Rei. Salah satunya diam di ujung hidungnya sebelum terbang kembali meninggalkannya.

"Anu, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Hm? Boleh saja, tapi kalau tentang tempat tujuan kita, sedikit lagi sampai. Teman kecilmu juga ada disana," ucapnya.

"Ah, terimakasih, tapi bukan itu."

"Apa itu? Tanyakan saja."

"Tentang aku yang menolongmu. Apa maksudnya?"

Wanita itu menatap Rei dengan tatapan kaget sebelum terkekeh. "Kau belum sadar rupanya. Cobalah ingat-ingat lagi."

Rei tambah bingung. Sambil berjalan mengikuti wanita itu, Rei berpikir keras. Seingatnya sepanjang jalan menuju kemari dia tidak bertemu dengan seseorang. Jikapun ia memang bertemu dengan seseorang, pasti dia akan ingat.

―atau jangan-jangan...

Si wanita tersenyum geli melihat wajah Rei yang kotor itu memasang ekspresi yang teramat serius lalu dengan cepat berganti dengan ekspresi kaget seperti menyadari sesuatu.

"Kau... angsa itu?"

Dia bertepuk tangan. "Tebakanmu benar!"

"Ya ampun, kukira kau sudah sadar. Tapi aku terkesan, kau adalah tamu pertama ku setelah sekian lama aku disini."

"Tamu pertama?"

"Bukannya kau kesini gara-gara dongeng itu? Atau kau memang tersesat disini?"

"Dongeng? Maksudmu, tempat ini―" Rei membatu. Merasa bodoh karena baru menyadari hal penting itu ketika lawan bicaranya berkata demikian.

"Iya. Kalau tidak salah, kalian semua memanggil tempat ini Shelanoir―ya, sudah pasti itu bukan nama asli tempat ini."

"Kalau begitu, kau adalah sang dewi yang diceritakan disana?"

"Bisa dikatakan begitu. Walau ada juga yang tidak benar di dongeng itu. Dan namaku juga bukan Shelanoir," tegasnya.

Mendengarnya, Rei yang agak―sangat―kebingungan menaikkan sebelah alis penuh tanya.

"Lalu, siapa namamu? Dan nama asli hutan ini, apa?"

Wanita itu menghentikan langkah, ia berbalik badan melihat Rei yang masih berdiri terdiam agak tertinggal darinya.

"Aku tidak tahu kalau kau pernah mendengar namaku atau tidak, tapi sudahlah. Biarkan aku memperkenalkan diriku. Tapi sebelum itu, beritahu aku namamu!"

"Namaku? Namaku Rei."

"Rei? Nama yang tidak biasa. Apa namamu punya arti tertentu? Dan bahasa apa itu?" dia berjalan mendekati Rei dengan wajah riang.

"Um, ayahku bilang nama Rei itu artinya 'temanku', untuk bahasanya aku tidak tahu pasti," ucap Rei. Ia memundur wajahnya ketika wanita itu mendekatkan wajah dan menggenggam kedua tangannya.

Wanita itu memundurkan wajahnya pelan. Dia melangkah setengah menari-nari kecil menjauhi Rei.

"Karena dongeng itu, mungkin orang-orang lebih mengenal tempat ini maupun diriku sebagai 'Shelanoir'. Tapi, sebagai seorang yang menjadi tamu pertamaku, akan kuberitahu semua kebenarannya―"

Ia berputar-putar ditempat, menari dan juga membuat rambut indahnya berkibar mengikuti gerakannya. Cahaya yang melayang-layang diudara itu pun ikut menari-nari bersamanya. Begitu berhenti, ia berdeham pelan lalu meletakan sebelah tangan tepat dadanya.

"―namaku Freya. Dewi kesuburan dari tanah utara..."

Senyuman terkembang di wajah jelitanya. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Selamat datang kembali di Hoddmimis, wahai keturunan Lif dan Lifthrasir..."

yha...
Chap ini, agak kumaha gitu y :")
maafkan.
Sesuai dengan yang kalian--mungkin pikirkan, aku emang ngemasukin referensi dari mitologi nordik.
Baik versi 'asli' maupun nasuverse nya untuk chap depan :).
.
.
.
Mungkin kalian juga tahu siapa yang akan dapet cameo di chap depan :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro