Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

--Hoddmimis.

Satu-satunya tempat didalam sebuah cerita kuno yang tak terjangkau oleh Surtr--si raksasa api saat perang besar Ragnarok pecah.

Dan juga sebuah hutan dimana Lift dan Lifthrasir--yang diceritakan sebagai nenek moyang manusia yang baru--melarikan diri sebelum perang yang menewaskan dewa-dewi itu terjadi--

Setidaknya, itulah hal yang dapat Rei simpulkan dari cerita singkat yang diberi tahu oleh Freya.

Sekarang, dia dan Fou sedang berada disisi danau yang ada ditengah hutan. Luka-lukanya sudah dibersihkan dan Rei sekarang sedang bingung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Rei yakin diluar sudah malam. Freya melarangnya meninggalkan hutan saat malam hari, berbahaya katanya. Maka sepertinya Rei akan bermalam di hutan ini.

Rei menengadah, meski hari sudah malam, hutan masih terang karena cahaya menyerupai kunang-kunang yang terbang bebas kesana-kemari.

Tak lama berselang, Rei melihat cahaya yang lebih besar. Kali ini lebih mirip seperti api--bola api berukuran sebesar bola tangan, ikut terbang diantara cahaya yang lebih kecil. Salah satunya terbang mendekat, menyinari wajahnya.

"Ignis Fatuus--mereka membantuku untuk melindungi hutan ini. Biasanya mereka akan menyesatkan orang-orang dengan niat buruk, tapi sepertinya mereka menyukaimu."

Rei menoleh, mendapati Freya tengah berjalan mendekatinya. Wanita itu kemudian duduk disampingnya, ikut memandang makhluk yang ia sebut Ignis Fatuus itu.

"Jauh-jauh datang kesini, kau ada maksud apa?" tanya Freya.

Rei meletakan telunjuk di dagu. Mencari kata-kata yang tepat sebelum ia menjawab pertanyaan Freya. "Hanya ingin memastikan saja."

"Eh?"

"Aku hanya ingin memastikan, kalau Hutan Shela--Hoddmimis itu benar-benar ada. Dan kebetulan aku juga akan pulang. Jadi, ya~" jelas Rei sekenanya. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah, berusaha tidak melihat mata Freya.

Disisi lain, Freya melongo. Kaget dengan alasan sederhana--terlalu sederhana si gadis berambut putih itu.

--Hanya memastikan, katanya?

--karena itukah Ignis Fatuus tidak mengganggunya?

--luar biasa...

"Pfft--"

Freya tidak dapat menahan tawanya. Ia memegangi perutnya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menutup mulutnya.

Rei melempar tatapannya pada Fou, Fou juga melakukan hal yang sama.

"Ha..ha, maafkan aku. Kau--" ucapan Freya kembali terpotong saat ia menghirup nafas dalam-dalam, memenangkan dirinya.

"Kau gadis yang aneh--tidak, mungkin sebutan aneh terdengar terlalu kasar. Hm, menarik sepertinya lebih cocok untukmu."

"Apakah itu hal yang buruk?"

Freya menggeleng. Ia mendekatkan wajah hingga dahinya dan dahi Rei bersentuhan. Kedua tangannya menyentuh pipi Rei membuat gadis itu sedikit gugup dengan situasinya saat ini. Freya tersenyum lebar, lalu berkata.

"Aku menyukai orang sepertimu."

***

Sejak kembali ke Camelot, Arthur merasa ada hal yang janggal dari perilaku salah satu kesatria kepercayaannya.

Sir Lancelot du Lac.

Pria itu belakangan ini menunjukkan sikap aneh bila nama Guinevere disebut. Tidak, Lancelot tidak memperlihatkan sikap itu secara mencolok, namun Arthur menyadarinya.

Hal itu membuatnya tidak bisa tidur nyenyak sejak beberapa hari yang lalu.

Arthur memejamkan mata. Tangannya terangkat dan kemudian mengacak-ngacak surai pirangnya dengan sedikit kasar.

Pikirannya kacau, ia bingung apakah perilaku Lancelot itu benar adanya atau hanya sekedar perasaan buruknya saja.

"Yang mulia? Anda masih belum tidur?"

Suara dari ambang pintu kamarnya itu, membuat Arthur kembali ke dunia nyata. Dia menoleh, menangkap sosok Guinevere tengah berdiri dengan tatapan kaget bercampur cemas.

Perlahan Arthur menurunkan tangannya, lalu tersenyum lemah. "Selamat malam, Ratu. Belum, aku belum terlalu mengantuk."

--bohong.

Guinevere berjalan menghampiri. Ia memegang wajah Arthur dengan lembut. "Tapi wajah anda berkata lain. Ada sebuah masalah?" tanyanya.

"Tidak, tidak apa. Bukan sebuah masalah yang besar. Tapi, bukankah kau masih tidak enak badan?"

Guinevere melebarkan mata. Ia menarik tangannya lalu tersenyum gugup. "Darimana anda tahu?"

"Kudengar dari Merlin kau pergi ke kamar terlebih dulu saat perjamuan."

Mulut Guinevere membulat. Sebelum tawa canggung keluar dari mulutnya. "Ah, iya. Waktu itu saya merasa sangat pusing. Jadi saya meminta Sir Bedivere untuk mengantar sampai ke kamar."

Sebelah alis Arthur terangkat. Ia merasa ada yang aneh dari perkataan Guinevere. "Bukannya yang mengantarmu itu Lancelot dan Gareth?"

"Hm? Bukan. Meski sakit, saya yakin orang yang saya mintai bantuan waktu itu adalah Sir Bedivere. Dan saya juga tidak mabuk," tegasnya.

"Nah, mari kita tidur. Sudah larut. "

Arthur mengangguk. Guinevere menuntunnya menuju tempat tidur. Wanita itu berbenah di salah satu sisi kasur, entah karena memang lelah atau sudah sangat larut, belum genap lima menit berselang, dengkuran halus sudah terdengar.

Di lain pihak, Arthur masih terduduk diam di kasur. Manik hijaunya menatap punggung Guinevere yang berbaring membelakangi di sisinya. Pertanyaan yang lain mulai bermunculan dibenaknya. Ia menggelengkan kepala kasar.

Lilin yang menjadi satu-satunya penerangan diruangan itu ia tiup. Sang raja berbaring, memejamkan matanya, memutuskan untuk menyusul Guinevere ke alam mimpi.

***

"Yakin? Tidak ada yang kau mau?"

Rei menggigit bibirnya. Pandangan matanya berkelana, menghindari tatapan heran Freya. "Aku belum tahu. Belum terpikirkan."

"Uang? Pria? Wanita? Ayolah, kau tamu pertama dan aku tertarik padamu! Setidaknya aku ingin memberimu hadiah!" Freya merengek pelan sembari memeluk leher Rei.

"Haruskah?"

"Harus!"

Dahi Rei semakin berkerut. Jika Freya memang memaksa maka ia tidak punya pilihan lain. Jika boleh jujur, Rei sebenarnya punya hal yang ia inginkan. Tapi mengingat kesempatan seperti ini sangatlah langka, Rei kembali memikirkan permintaannya.

--Kesempatan ini mungkin hanya ia alami sekali dalam seumur hidup, masa iya dia meminta makanan?

Rei menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh membiarkan masalah perutnya mengambil alih akal sehatnya kali ini. Ia harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

"Oh, aku ingat..."

"Kau sudah memutuskan ingin apa?" tanya Freya.

Rei mengangguk. "Lebih tepatnya, mungkin aku ingin minta tolong..."

Freya mengangkat sebelah alis. "Boleh saja. Apa itu?"

"Jadi, begini--"

Rei mengingatnya, maka dari itu dia menceritakan semuanya.

Ada satu hal yang selalu mengganggunya sejak ia bertemu dengan sosok misterius malam itu di Northumberland. Maka, Rei pikir mungkin ini adalah kesempatan yang tepat untuk mengetahui informasi tentang wanita itu lebih jauh.

Apalagi yang membantunya ini adalah seorang dewi. Kepercayaan diri serta ekspektasinya perlahan naik hingga titik teratas.

"Mendengar dari ceritamu saja, tidak salah lagi pasti ada campur tangan seorang penyihir," ucap Freya.

"Tapi, aku yakin wanita itu bukan penyihir. Aliran mana-nya cukup lemah jika dia memang seorang penyihir."

"Pasti ada orang lain yang ikut andil," lanjut Rei. Dari nada bicara maupun wajahnya, Rei sudah seratus persen yakin akan dugaannya itu.

Freya menatap gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Lalu dia mengalihkan pandangan pada permukaan danau.

Begitu tenang dan jernih. Danau itu bahkan dapat memantulkan bayangannya layaknya sebuah cermin.

"Baiklah, akan ku bantu dirimu."

Freya mengulurkan tangan, menunjuk permukaan danau dengan jarinya. Rei mengintip dari balik bahu Freya dengan penasaran.

Kemudian Freya menggerakkan jari, membuat gerakan seperti menggambar sebuah pola diatas air.

"Ansuz..."

Garis yang ia gambarkan diatas permukaan air tadi bersinar, menunjukkan pola mirip huruf 'F' sebelum perlahan kembali menghilang.

"Apa itu tadi?"

"Ansuz, rune perintah. Digunakan sebelum merapalkan rune yang lainnya. Bisa dibilang Ansuz itu rune untuk mengaktifkan sihir."

Rei terperangah, matanya berbinar menunjukkan kekaguman. Ia memang tahu soal rune dari Andrivete dan cerita Freya tadi, namun baru kali ini dia melihat rune dengan mata kepalanya sendiri.

"Hebat! Tapi, kudengar rune itu cukup rumit untuk dipelajari. Kenapa kau bisa menggunakannya semudah itu?"

"Tentang itu, kau memang benar. Rune itu bisa dibilang salah satu sihir paling rumit sekaligus paling sederhana untuk digunakan. Hanya beberapa orang selain para dewa yang bisa menggunakannya."

Ia menjeda ucapan, lalu menggambar berbagai pola berbeda di udara yang juga bersinar seperti rune Ansuz tadi.

"Ansuz, Fehu, Uruz, Thurisaz, Raidho, Kenaz, Gebo, Wunjo, Hagalaz, Nauthiz, Isa, Jera, Ihwaz, Perthro, Algiz, Sowilo, Tiwaz, Berkano, Ehwaz, Mannaz, Laguz, Inguz, Dagaz, dan yang terakhir, Othala."

"Masing-masing dari kedua puluh empat rune ini mempunyai kekuatannya masing-masing. Seperti contohnya, Algiz--rune perlindungan. Rune ini bisa menghindarkan pengguna maupun orang lain dari marabahaya. Lalu Thurisaz--rune penghancur. Kebalikan dari Ansuz, Thurisaz biasanya dipakai ketika akan membatalkan mantra atau sihir lainnya," jelas Freya.

"Kukira segitu dulu yang aku jelaskan. Sekarang ayo lakukan dulu tujuan utama kita," ucapnya. Ia menjentikkan jari, membuat barisan rune di udara itu menghilang seakan terbawa angin.

Kembali menulis diatas air, kali ini rune yang ia tulis berbentuk mirip huruf 'S'

"Sowilo."

Air danau yang tadi memantulkan bayangan perlahan memancarkan cahaya. Tidak terlalu redup atau terang, cahaya itu menyinari lembut wajah keduanya.

"Ah! Itu dia!" Rei berucap setengah berteriak begitu sosok wanita yang ia maksud muncul di permukaan air.

Saat melihatnya lebih seksama, Rei baru sadar akan satu hal.

--Wanita itu cantik.

Rambutnya berwarna keabuan tergerai menutupi punggung. Dan matanya yang berwarna emas itu menatap sendu langit malam.

Tangannya mengusap pelan perut ratanya yang tertutup oleh gaun tidur. Ia tersenyum tipis, namun entah mengapa Rei merasa ada hal yang aneh dari senyumannya.

Setelah itu, sosok Elaine menghilang dari permukaan air, digantikan kembali oleh air tenang dan jernih bak cermin.

"Elaine Corbenic, putri dari Raja Pelles--"

"Huh?"

"Dia adalah salah satu wanita tercantik di tanah ini. Selain itu, aku dengar dia adalah seorang wanita yang baik dan suci karena Corbenic merupakan kerajaan yang dekat dengan gereja dibandingkan kerajaan yang lainnya."

"Lalu, mengapa wanita seperti dirinya itu melakukan hal seperti itu? Ditambah menggunakan sihir?" Freya bergumam pada dirinya sendiri. Tangannya terulur menyentuh air.

"Adakah yang kau inginkan lagi? Rei?"

"Huh? Bolehkah?"

"Tentu saja. Aku tidak pernah bilang bahwa hadiahmu hanya satu, bukankah begitu?"

Rei tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku ingin bertanya tentang--um, bagaimana cara aku menyebutnya ya? Takdir? Mungkin."

"Kau ingin melihat takdir seseorang? Kalau hal seperti itu, aku bisa meminta bantuan pada ketiga teman lamaku."

"Teman lama?"

"Perthro--rune para Norn, dewi takdir. Dengan menggunakan rune itu, kita bisa melihat sekilas takdir seseorang. Masa lalu, sekarang, maupun masa yang akan datang."

"Jadi, siapa yang ingin kau ketahui takdirnya?" tanya Freya, melanjutkan kalimatnya.

Dengan kedua tangan terkepal diatas paha, Rei menatap Freya dengan serius. "Ini tentang temanku, dia adalah raja disebuah kerajaan bernama Camelot. Aku ingin mengetahui takdirnya."

"Camelot? Ah, Arthur Pendragon, ya?"

Mata Rei melebar, baru saja ia mau bertanya pada Freya, wanita itu sudah menjawabnya duluan seakan sudah tahu bagaimana jalan pikiran Rei--yang memang sangat sederhana.

"Jangan meremehkan kekuatan rune dan teman-temanku, gadis muda~" ucap Freya sambil mencolek ujung hidung Rei.

Ansuz kembali Freya rapal. Ia bilang memakai rune Perthro itu tergolong lebih panjang dibanding rune yang lainnya sehingga ia harus kembali merapal Ansuz.

"Perthro... Urd."

Bayangan mendiang Raja Uther bersama dengan Merlin disampingnya terlihat diatas air. Seorang bayi tengah tertidur lelap ditangan Merlin. Meski tidak terlihat wajahnya, Rei tahu bahwa bayi itu adalah Arthur.

--ah, sepertinya ini masa lalu Arthur.

Bayangan diatas air kemudian berubah, memajukan waktu beberapa tahun kedepan, memperlihatkan Arthur dan Kay yang tengah mengurus seekor kuda. Kegiatan keduanya terhenti begitu seorang pria tua--Sir Ector, menghampiri mereka.

Tak hanya itu, Merlin, Guinevere, beserta Uther pun sempat terlihat meski samar-samar.

"Selanjutnya mungkin yang terakhir." Freya memberitahu, Rei mengangguk pelan. Bayangan kembali berubah, Rei menatap lekat-lekat air danau itu, menanti 'adegan' selanjutnya.

Begitu bayangan berganti, mata Rei berbinar ketika ia melihat apa yang rune itu tunjukkan diatas air.

"Itu aku..."

Rei tersenyum. Ia merasa senang dapat melihat kembali kenangan masa kecilnya di Camelot bersama Kay dan Arthur di gubuk sederhana Ector. Tertawa lepas dan berlarian kesana dan kemari tanpa beban.

Efek dari rune Perthro : Urd itu diakhiri dengan si gadis kecil yang meninggalkan kedua sahabatnya dengan menggandeng tangan sang ayah.

"Perthro... Verdandi."

Tanpa pikir dua kali, setelah Urd--sang pemegang masa lalu, mengakhiri pertunjukkan, Freya mengundang Verdandi--pemegang takdir masa sekarang, untuk memasuki panggung.

***

Wafatnya Uther dan Ector, Dicabutnya pedang Calibur, perjalanan untuk berlatih menjadi seorang raja yang pantas, pencarian para kesatria kepercayaan, dan petualangan-petualangan lain yang tak kalah menariknya ditunjukkan dalam sebuah bayangan yang tidak lebih panjang dari sebelumnya.

"Di usia yang semuda itu, hebat juga dia," ucap Freya. Rei membalasnya dengan sebuah tawa kecil.

Melihat perjalanan Arthur dan Kay tanpa dirinya sebenarnya sedikit membuatnya kesal. Keduanya melangkah maju membangun sebuah kerajaan dibantu oleh Merlin sementara dirinya terkurung di Avalon selama kurang lebih sembilan tahun lamanya.

Melihat kembali ke permukaan air, mata kedua perempuan itu melebar begitu melihat pedang Caliburn yang Arthur pegang patah menjadi dua bagian.

Selanjutnya, terlihat Arthur dan Merlin tengah berdiri di tepi danau tempat Dewi Danau berada. Sebuah tangan muncul dari tengah danau, membawa sebuah pedang yang memancarkan cahaya berwarna keemasan dan perlahan mendekati mereka sebelum kembali masuk kedalam air begitu Arthur mengambil pedang itu.

"Pedang itu," Freya berbisik, namun cukup keras untuk dapat terdengar oleh Rei.

"Ada apa?"

Tangan Freya terulur, menggapai pedang keemasan di tangan Arthur--Excalibur. Tatapannya seolah berbicara bahwa Freya telah menemukan hal yang telah ia cari setelah sekian lama. Sebuah senyum samar muncul diwajahnya.

"O, Odin. Akhirnya aku menemukannya--" ia bergumam pada dirinya sendiri tanpa memperdulikan Rei yang menatapnya dengan tatapan waspada.

"--pedang yang digunakan putra Sigmund untuk membunuh si naga serakah, Fafnir--"

"--pedang Sigurd, Gram."

wwww~
Mamank Sigurd menjadi cameo singkat di chap ini~ :")
btw, monmaap kalo chap pas d hutan ini makin lama makin gaje. Karena aku juga udah rada pusing bulak balik suatu blog buat memahami fungsi tiap rune.

Saking puyengnya keadaanku jadi kek begini↓

Nantikan chap depan ya gais~
Dan, oiya..
Yang baca Arthurian Myth pasti tahu kan..

Siapa itu Elaine of Cobernic ( ͡° ͜ʖ ͡°)???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro