Chapter 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

"Ini yang terakhir, Ibu."

Mordred menggoyangkan lengan tempat familiar Morgan bertengger, menyuruhnya untuk terbang menghampiri pemiliknya yang tengah duduk tak jauh dihadapannya.

Kemudian Mordred melepas helmnya, disusul dengan mengacak-ngacak rambut dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tindakanmu tadi gegabah sekali Mordred." ucap Morgan. "Syukurlah keberuntungan masih memihak padamu."

Mordred berdecak. "Yang penting aku berhasil membawa unggas sialan itu bukan?" balas si pemuda dengan nada suara yang meninggi.

Morgan tidak menjawab. Berdebat dengan anaknya yang satu ini tidak akan ada habisnya. Ia menjentikkan jari, seketika familiar-nya langsung diselimuti oleh api dan tak lama kemudian menghilang seperti terbawa angin.

"Kenapa Ibu tidak langsung membunuhnya saja? Bukannya itu lebih cepat?" tanya Mordred.

"Aku memang menginginkan takhta yang kini menjadi milik Arthur. Namun aku ingin membuatnya menderita saat aku merebutnya dengan perlahan." jelas Morgan.

Mordred membuang nafasnya kasar. Ia memakai helmnya lagi lalu berjalan keluar.

"Untuk tugas selanjutnya, aku punya permintaan."

"Apa itu?"

Mordred mengangkat helmnya, memperlihatkan wajahnya yang berhias seringaian.

"Kalau bisa aku ingin langsung memenggal kepalanya saja."

***

"Cepat! Lewat sini!"

"Iya sebentar!"

Hari masih pagi saat lorong istana penuh dengan suara pertengkaran antara Merlin dan putrinya yang baru saja datang. Kaki mereka bergerak begitu cepat menuju kamar raja.

Begitu sampai didepan pintu kamar, keduanya langsung disambut oleh beberapa kesatria yang berjaga yang langsung membukakan pintu.

"Tuan penyihir sudah kembali!" seru seorang pelayan. Segera pelayan yang berjumlah sekitar tiga orang tersebut mundur beberapa langkah, memberi jalan bagi Merlin dan Rei menuju ranjang dimana Arthur tengah terbaring.

"Selamat pagi Merlin. Ah, selamat datang juga, Rei." Arthur berkata lirih. Guinevere duduk disampingnya dengan wajah khawatir.

"Bagaimana keadaannya?" Merlin berbisik pada Rei ketika wajah gadis itu tiba-tiba berkerut.

"Parah. Aku hampir tidak dapat mendeteksi mana Avalon ataupun dirinya sendiri dalam tubuhnya." Rei menjawab dengan suara yang kecil.

"Kau akan mengeluarkan sarung pedang itu?"

Rei menggelengkan kepala. "Aku rasa itu ide yang buruk. Bisa saja Arthur mati saat kita mengeluarkannya."

"Untuk saat ini biarkan aku memikirkannya terlebih dulu. Bilang saja pada mereka dia hanya kelelahan." lanjut Rei pada Merlin sambil menuliskan sesuatu di tangan Arthur dengan jarinya. "Ansuz--"

"Algiz..."

***

Saat tengah hari, Merlin memberitahu Guinevere untuk menyerahkan Arthur pada dirinya dan Rei agar sang Ratu dapat istirahat.

"Masalah akan jadi semakin rumit jika anda juga sakit, Ratu."

Itulah yang Merlin katakan kepadanya.

Meski Guinevere bersikeras menolak saran Merlin, pada akhirnya ia menuruti saran si penyihir bunga itu. Ia berjalan-jalan di lorong, hingga tidak terasa ia sudah berada cukup jauh dari kamar.

"Berjalan-jalan sendiri tanpa pengawal, anda cukup berani juga, Yang Mulia."

Suara bariton Agravain membuat Guinevere sedikit tersentak. Ia berdeham, menarik nafas, lalu memandang Agravain dengan tatapan tegas.

"Adakah yang bisa ku bantu? Agravain?"

"Tidak, tidak. Hanya saja saya pikir berjalan-jalan tanpa pengawal meski di dalam istana merupakan suatu perbuatan yang naif." Agravain menjawab. Guinevere mendengar adanya nada mengejek dalam kata-kata si kesatria.

"Adakah yang bisa ku bantu? Sir Agravain?" Guinevere mengulangi pertanyaannya. Kini suaranya lebih besar dan tegas, barangkali Agravain kurang jelas mendengar perkataannya.

Agravain berdecak. "Saya kemari hanya untuk bertanya tentang kesehatan Raja, Yang Mulia Ratu."

Guinevere sedikit menyipitkan mata, masih curiga. "Raja sedang dirawat oleh Merlin dan putrinya. Jika engkau ingin melihatnya, ketuk dulu pintunya." ucap Guinevere.

Wanita itu berjalan melewati Agravain entah menuju kemana. Perasaannya sudah buruk sejak ia mengobrol pada kesatria itu pertama kali.

"Yang melakukannya itu anda bukan? Ratuku?"

Guinevere menghentikan langkah dan membalikkan badannya cepat kembali bertatap muka dengan Agravain. "Apa maksudmu?"

"Saya dengar dari beberapa pelayan, makanan yang anda bawa untuk Raja mengandung obat dari sejenis bunga dalam dosis yang besar."

"Obat?" sebelah alis Guinevere terangkat.

"Lucu sekali, berpura-pura untuk bersikap tak bersalah."

"Tapi, jika begitu. Bukankah sebelum memakannya saja Raja sudah pingsan?" Guinevere melawan.

"Tapi Raja memakannya, bukan? Terlebih lagi kondisinya menjadi lebih parah setelahnya." Agravain kembali menjawab.

Guinevere berusaha untuk menjernihkan pikirannya, namun tidak bisa. Ia memang meminta obat dari pelayan, jika memang kondisi Arthur menjadi seperti itu setelah memakannya, maka ini semua salahnya.

Wanita itu menggelengkan kepala. Tidak. Ia tidak boleh berpikiran begitu. Guinevere kembali mengangkat wajahnya, baru saja ia mau melawan pendapat Agravain, kesatria itu sudah kembali membuka mulutnya.

"Sebegitu cintanya kah anda pada Sir Lancelot hingga ingin menyingkirkan Raja?"

Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu dan kedua matanya melebar. Kaget. Seketika Guinevere lupa dengan kata-kata yang akan ia lontarkan pada Agravain.

Dilain pihak, Agravain mengulas sebuah senyuman licik.

***

Setelah menutup pintu kamar, Rei melihat sekeliling mencari sosok Guinevere. Ketika ia tidak dapat menemukan sosok Guinevere, Rei bertanya pada seorang kesatria yang berjaga. Kesatria itu kemudian menunjuk lurus kearah lorong. Setelah berterimakasih, Rei bergegas menyusulnya.

Lima meter namun Rei belum menemukan Guinevere. Saat berbelok pun ia belum menemukan Guinevere. Bisa-bisanya para penjaga tidak mencarinya ketika Guinevere menghilang cukup lama.

Barulah dibelokkan selanjutnya, Rei dapat samar-samar mendengar suara Guinevere dan suara pria. Kedengarannya mereka sedang berdebat.

"Lucu sekali, berpura-pura tidak bersalah."

"Tunggu, ada apa ini?" batin Rei.

Ia mengintip dari balik tembok. Ia melihat Guinevere yang terlihat bisa meledak kapan saja. Dan tentu saja, Agravain.

"Si Aggy ini masih sering mencari masalah?" gumam Rei.

Gadis itu diam ditempat, menguping pembicaraan Agravain dan Guinevere. Semakin ia mendengarkan, semakin bingung juga dirinya.

Guinevere yang memasukkan obat? Dosis besar? Apa maksudnya.

"Sebegitu besarnya kah cinta anda pada Sir Lancelot hingga anda rela menyingkirkan Raja?"

Rei membatu. Ia memasang ekspresi yang sama dengan Guinevere yang berada di depan Agravain.

Sebenarnya apa yang terjadi di Camelot selama enam tahun terakhir?

"Cukup! Ra--" teriakan Rei terpotong oleh sebuah tangan yang membekap mulutnya.

"Lihatlah siapa yang kita temukan disini. Agravain sepertinya terlalu lengah hingga seekor tikus kecil ini hampir menyusup."

Suaranya asing, tanda-tanda bahaya mulai memenuhi otaknya. Pelan-pelan, Rei kembali merapal Ansuz.

Satu tangan orang itu yang bebas menyentuh dagunya. Ia mengangkat wajah Rei hingga menatap helm yang menutupi seluruh wajahnya.

"Kau? Jangan-jangan kau anak penyihir itu ya?"

Dari balik helmnya, Mordred menatap lekat-lekat wajah Rei. Senyuman miring muncul di wajahnya.

"Ibu akan senang jika aku membawamu kepadanya."

Dan dengan mendengar kata-kata itu, alarm tanda bahaya di kepala Rei berbunyi nyaring.

"Uruz."

Rei melepas kedua tangan orang itu lalu memukul sisi helm yang dikenakannya hingga orang itu dibuat mundur olehnya. Ia tidak menyangka rune penguatan tubuh--Uruz--sekuat itu.

"Aduh. Untuk gadis sekecil itu, kekuatanmu boleh juga." pujinya. Ia membuka helmnya lalu mengusap titik dimana Rei tadi memukulnya.

"Aku tertarik padamu."

--"Wajah itu..."

Mulut Rei terbuka sedikit. Dihadapannya, sosok berbahaya itu memiliki wajah yang amat akrab dengannya. Rambut pirang dan sepasang mata hijau.

"Arthur?--Tidak. Siapa kau?"

Mendengar nama itu disebut, Mordred mendengus geli. Seringaiannya semakin lebar. "Apakah aku memang mirip dengannya? Ah, sudahlah."

Mordred membalikkan badannya lalu perlahan berjalan meninggalkan gadis itu.

"Mordred. Namaku Mordred. Kuharap kau mengingatnya hingga pertemuan kita yang selanjutnya." katanya sebelum kembali mengenakan helmnya.

***

"Kau lama sekali."

"Ayolah, jangan marah karena masalah kecil, Agravain."

Agravain memutar bola matanya. "Ada apa? Aku mendengar suara yang cukup keras tadi."

"Oh, itu. Tadi anak penyihir itu memukulku." ucap Mordred enteng.

Dahi Agravain berkerut. "Memukul? Gadis kecil itu?"

"Hebat bukan? Aku juga tidak percaya. Mungkin dia memakai sebuah mantera yang tidak kita ketahui."

"Tapi menuduh Ratu dengan obatmu sendiri bukannya terlalu memaksa?" tanya Mordred. "Lagipula bukankah kau hanya ingin membuktikan kalau hubungannya dengan Lancelot benar? Kau sudah tahu jawabannya?"

"Aku tidak dapat jawaban langsungnya. Tapi jika dilihat dari reaksinya saja, aku bisa simpulkan kalau itu benar."

"Dan untuk soal obat itu, aku hanya sedikit memprovokasinya." lanjut Agravain.

"Seperti yang diharapkan dari ahli interogasi Camelot. Mengerikan sekali."

"Tapi Mordred, kau tidak memberitahukan nama ataupun memperlihatkan wajahmu pada gadis itu bukan?"

"Sayangnya aku melakukan keduanya." Mordred bersiul. "Tapi aku lupa menanyakan namanya." lanjut Mordred, tidak mempedulikan Agravain yang menatapnya tak percaya.

"Ck. Apa kata Ibu jika kau menceritakan hal itu." Agravain memegangi kepalanya yang terasa pening.

"Tinggal jawab saja aku tertarik padanya, mudah saja. Eh tunggu--" Mordred berhenti sebentar lalu melihat Agravain.

"--atau mungkin bilang saja kalau aku menyukainya."

"Tapi kesampingkan dulu hal itu. Mari kita lakukan rencana selanjutnya."

***

Seminggu berlalu. Keadaan Arthur sudah mulai membaik berkat Rei dan Merlin. Sekarang sang Raja sudah dapat berdiri dan mulai melatih lengannya agar tidak kaku saat mengayun pedang.

Rei masih belum memberitahu orang lain tentang hal yang dibicarakan antara dirinya dan Mordred serta Guinevere dan Agravain.

Ia pikir hal-hal seperti itu tidak boleh dibicarakan kala kondisi sedang rumit seperti ini.

Apalagi tentang hubungan Ratu dan Lancelot. Awalnya Rei tidak percaya, namun saat itu meski suara dan tubuhnya bergetar, Guinevere berkata bahwa hal itu memang kenyataannya.

Seminggu yang lalu Guinevere menceritakan semua hal padanya. Tentang bagaimana perasaannya menjadi seorang Ratu yang dituntut untuk setingkat dengan Raja seperti Arthur. Sebesar apa beban yang ia tanggung walau posisinya hanya sebagai pembantu Raja dan simbol persahabatan antara Camelot dan Camelgard.

Dan saat itulah, Lancelot setia berada disisinya. Mendengar seluruh keluh kesahnya dengan sabar dan penuh perhatian. Dan tanpa sadar, Guinevere pun jatuh cinta padanya.

Mendengarnya saja Rei tidak dapat menyalahkan Guinevere, Arthur, ataupun Lancelot. Atau lebih tepatnya, gadis itu tidak tahu harus menyalahkan siapa.

"Bagaimana keadaan anda? Raja Arthur?"

Lamunan Rei buyar kala suara Kay sampai ke telinganya. Gadis itu menoleh, melihat si putra Ector itu tengah melipat kedua tangan didepan dada dengan senyuman diwajahnya.

"Huh? Rei juga ada disini ternyata." ucap Kay. "Kau tidak berubah rupanya." tambah Kay.

"Keadaanku sudah membaik. Terimakasih sudah repot-repot datang kemari dari Northumberland." jawab Arthur.

Kay melihat Arthur dari ujung rambut hingga kaki. "Bukankah seminggu itu waktu yang terlalu singkat untuk sakit parah seperti itu? Maksudku, seharusnya kau belum boleh keluar kamar." cerocos Kay yang dengan entengnya membuang segala formalitas yang ia tunjukkan tadi.

Arthur tersenyum. "Merlin juga mengatakannya padaku. Tapi aku berhasil membujuknya dengan syarat Rei harus mengawasiku."

"Benarkah itu?" Kay menatap Rei yang langsung dijawabnya dengan anggukan.

Tidak lama taman itu penuh dengan percakapan-percakapan kecil antara ketiganya. Tiba-tiba suasana damai tersebut diinterupsi oleh sosok Agravain yang datang dengan wajah yang sama suramnya seperti biasa.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda, Yang Mulia."

Arthur langsung maju diikuti oleh Kay dan Rei yang mengekor dibelakangnya.

"Ada apa? Sir Agravain."

Agravain diam sebentar. Meski cepat, Rei bersumpah ia melihat Agravain menatapnya dengan tajam.

--ah, Rei punya firasat buruk.

"Ini soal Yang Mulia Ratu dan Sir Lancelot."

Rei menelan ludahnya.

***

"Sekian yang ingin saya sampaikan, Yang Mulia." Agravain mengakhiri laporannya.

Mendengarnya, Arthur memegangi kepalanya. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan adanya kemarahan ataupun kesedihan. Rei dan Kay yang ada di samping kiri dan kanannya hanya bisa saling bertukar pandang, menunggu tindakan yang akan diambil Arthur selanjutnya.

Arthur bangkit dari singgasananya. Lalu berkata,"Panggilkan kesatria yang lain kemari Agravain."

"Dimengerti, Yang Mulia." Agravain membalikkan badan. Jubahnya berkibar seirama dengan gerakan dan langkahnya.

Suara pintu yang ditutup kemudian memenuhi pendengaran ketiganya.

Sebulir keringat mengalir dari kening Rei. Ia menatap Kay dan Arthur yang masih berdiri tegap diposisi dari ekor matanya.

"Ada masalah apa Rei?" tanya Arthur membuat Rei sedikit meloncat ditempatnya.

"I-itu, apakah aku harus keluar saja? Rasanya aku tidak pantas ada disini." ucapnya. "K-kalau mau aku bisa panggilkan Mer--"

"Tidak perlu. Kau disini saja." Arthur memotong perkataannya. "Merlin sudah memintamu untuk terus mengawasiku bukan?" ucap Arthur.

"Merlin juga pasti akan datang dengan yang lainnya." Arthur kemudian kembali duduk di singgasananya.

--"Bukan itu maksudku..."

Setelah beberapa saat menunggu, Agravain serta rekan kesatria-nya yang lain dan Guinevere--dan Merlin--memasuki ruangan.

Rei buru-buru bergeser dan berdiri di samping Kay ketika Merlin dan Guinevere menaiki tangga dan berdiri ditempatnya semula.

Dari wajah-wajah kesatria yang sebagian besarnya muram itu, Rei dan Kay dapat cepat menyimpulkan bahwa kabar itu sudah sampai ditelinga mereka.

"Menurutmu siapa?" bisik Rei.

"Pasti Agravain."

Arthur berdiri, menatap para kesatria-nya yang berdiri dengan rapi. "Majulah ke depan, Sir Lancelot."

Lancelot berjalan menuju hadapan Arthur dan rekan-rekannya lalu berlutut dengan kepala tertunduk.

Arthur sekali lagi melihat wajah-wajah kesatria yang lain yang semakin tidak nyaman--terkecuali Mordred yang memang tidak memperlihatkan wajahnya. Ia menghela nafasnya.

"Dari wajah yang lain, kurasa semuanya sudah mengetahui hal ini. Kalau begitu urusan ini akan jadi lebih cepat." di samping Merlin, Guinevere tertunduk.

Hening menyelimuti. Semua orang didalam ruangan itu seakan sedang menahan nafas mereka.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya merasa malu atas perbuatan saya sendiri. Saya bersedia--tidak, saya sudah sepantasnya mendapat hukuman dari anda." Lancelot angkat bicara.

"Ya, yang kau katakan itu memang benar. Sejujurnya aku merasa kaget saat mengetahui hal itu. Terlebih ternyata kabar itu sudah menyebar pada penghuni istana yang lain sebelum diriku." Arthur menanggapi.

Suasana dalam ruangan semakin mencekam ketika Arthur mengambil nafas dalam-dalam. Lancelot, Guinevere, dan yang lainnya menggunakan saat-saat itu untuk menguatkan hati mereka untuk mendengar keputusan Arthur perkara hukuman yang akan dijatuhkan pada Lancelot.

"Tapi, tidak. Aku tidak akan menghukummu."

--deg.

Kata-kata itu dengan lancar keluar dari mulutnya. Suara yang ia gunakan pun sangat ramah dan menenangkan, namun entah kenapa suasana yang ditimbulkannya malah semakin buruk dari sebelumnya.

"R-rajaku, a-anda..."

"Aku tidak sadar kalau ternyata aku memberikan terlalu banyak beban untuk Guinevere. Aku tidak ada disampingnya saat ia membutuhkanku. Tapi, Sir Lancelot. Kau ada disana, untuknya--"

--"Kumohon, jangan dilanjutkan. Arthur." dalam hati Rei memohon.

"--Aku mengampunimu, Sir Lancelot."

--"Ah, sialan."

***

Para kesatria menatap Arthur dengan mata melotot dan mulut terbuka. Bahkan kedua mata Tristan yang biasanya tertutup ikut terbuka saking kagetnya.

"Kenapa anda tidak menghukum saya?!" suara Lancelot sedikit meninggi.

"Seperti yang sudah kukatakan tadi, semua ini adalah salahku. Aku yang salah karena tidak menyadari beban yang dipikul oleh Ratu."

Bagi sebagian orang, pasti keputusan Arthur itu sangat membahagiakan. Namun bagi para kesatria? Hal itu adalah kebalikannya.

Hukuman merupakan sebuah bentuk penebusan dosa mereka. Dengan dijatuhi hukuman, para kesatria percaya bahwa dosanya pun ikut menghilang.

Dan jika Arthur tidak menjatuhi mereka hukuman, artinya sang Raja--secara sengaja atau tidak sengaja--telah memutuskan untuk menodai nama baik mereka dengan kesalahan yang telah mereka perbuat.

"Sudah cukup."

Seluruh mata di ruangan itu melihat kearah Sir Tristan yang memegang busurnya dengan erat. Kesatria itu nampaknya sangat marah akan keputusan Arthur.

"Pemandangan ini, cerita ini, sungguh sangat menyedihkan. Dan anda tidak mempunyai keinginan untuk menghapus segala kesedihan ini dari Sir Lancelot?!" Tristan berteriak membuat orang-orang membatu ditempat--kecuali Mordred yang bersiul pelan dibalik helmnya. Baru kali ini mereka melihat Sir Tristan semarah itu.

Sir Tristan mengangkat busurnya, mengarahkan busur itu pada Lancelot, Guinevere, lalu Arthur secara bergantian.

"Raja Arthur tidak memahami perasaan manusia!"

"SIR TRISTAN!"

Sesaat sebelum Tristan memetik tali busur yang mirip senar harpa itu, Gareth dan Bedivere dengan cekatan langsung menahan tangan dan tubuh sang pria berambut merah. "Tolong tenanglah!"

Meski begitu, Tristan tetap melawan. Suasana mendadak berubah menjadi semakin runyam. Lancelot semakin menundukkan kepala, Guinevere terlihat hampir menangis di samping Merlin, dan Arthur yang menatap datar pemandangan didepannya.

Tak lama kemudian, Sir Tristan berhenti melawan. Bedivere dan Gareth pelan-pelan melonggarkan pegangan mereka.

"Saya izin undur diri." ucap Tristan. Membalikkan badan dan meninggalkan ruangan serta Camelot tanpa hormat.

Hening lagi. Didalam hati, para kesatria berharap Arthur memikirkan lagi keputusannya setelah melihat reaksi Tristan dan menjatuhi Lancelot hukumannya.

Namun sepertinya sang Raja tetap memegang keputusannya mau seberapa kali Merlin mencoba menasehatinya.

"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Tapi saya sebenarnya setuju dengan Sir Tristan. Bahkan semua orang di ruangan ini berpikir demikian." kata Agravain.

Pria itu maju beberapa langkah hingga ia berada di samping Lancelot. Ia menatap Lancelot dengan netra hitamnya dengan datar. Agravain menarik pedang dari sarungnya yang bergantung di pinggang, membuat rekannya yang lain langsung bersiap menarik pedang mereka.

"Yang bersalah disini ada dua orang. Sir Lancelot dan Ratu. Kita harus menghukum satu atau dua-duanya. Dan jika Raja enggan melakukannya--"

Agravain menatap kesatu titik, mengunci sasarannya. "--saya akan melakukannya sendiri."

Detik itu, saat itu, bagai mendeklarasikan perang, pria itu berlari dengan pedang terhunus menuju Guinevere. Gerakannya terlalu cepat untuk disadari dan tidak menyempatkan yang lain untuk menanggapi.

Menarik sebuah pelatuk dalam diri Lancelot.

Lancelot menarik pedangnya, mengambil langkah lebar dan dengan sekejap ia berdiri diantara Agravain dan Guinevere, menahan pedang si kesatria hitam yang hendak mengenai Ratu.

Agravain terlihat kesulitan menahannya, ia merasakan dirinya terdorong kebelakang. Saat itulah, ia lengah. Pegangannya pada pedang mengendur.

Dengan kesempatan itu, dalam sekali ayunan pedang, Lancelot berhasil memenggal Agravain. Membuat semua orang melotot dan memandang ngeri sosok Lancelot. Kepalanya melayang dan terjatuh tepat didepan kaki Gawain.

Pria itu kemudian berbalik, tangannya terulur hendak menggapai Guinevere namun Arthur menghalanginya dengan sebuah pedang yang ia ambil dari tangan sebuah baju zirah yang ada didekatnya.

"Sadarlah Sir Lancelot!" Arthur meninggikan suaranya. Namun percuma, Lancelot sudah dibutakan oleh amarah.

Arthur menggertakan giginya. Kekuatan Lancelot terasa lebih berat untuk ia tahan entah karena memang itu kenyataannya atau karena tubuhnya belum pulih total.

Lancelot menyerang Arthur bertubi-tubi yang ditahannya dengan sebaik mungkin walau Arthur tetap mendapat dua atau tiga luka ditangan dan wajahnya.

"--ukh!"

Serangan terakhir berhasil melayangkan pedang Arthur, membuat sang Raja berdiri tanpa pertahanan sedikitpun.

Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu mengayunkannya kebawah dengan kuat, seperti ia hendak membelah Arthur menjadi dua.

"Sir Kay!"

Kay dengan nekat mendekat, mendorong Arthur kesamping hingga ayunan itu gagal mengenainya. Sebagai gantinya, Lancelot berhasil memotong lengan kanan Kay.

Kay berlutut sambil memegangi lengannya yang sudah terputus. Secara mengejutkan, Rei muncul dari balik punggung Kay. Dengan bertumpu pada lengannya di punggung Kay, Rei--yang sudah memakai rune Uruz--menendang kuat-kuat tangan Lancelot hingga pedangnya pun melayang jauh.

Berharap Lancelot sedikit bisa diatasi tanpa Arondight ditangannya.

Namun tetap saja. Lancelot sudah lepas kendali hingga melupakan sumpahnya di Camelot, dengan sekuat tenaga ia meninju pipi kanan Rei hingga gadis itu terlempar membentur dinding.

Merlin tidak jauh berbeda, Lancelot dapat langsung menyingkirkannya dengan mudah dan membawa Guinevere pergi bersamanya.

Tak tinggal diam, sisa kesatria yang masih dapat melawan menghalangi jalan Lancelot. Gareth berdiri paling depan dengan tombaknya yang ia pegang dengan erat dan mantap.

"Lepaskan Yang Mulia Ratu! Sir Lancelot!" gadis itu berkata sambil terus menghunus tombaknya dengan lihai namun dapat dihindari oleh Lancelot.

Dengan tangan kosong, Lancelot mengincar kepalanya. Gareth bisa menghindari serangan pertama yang membuat helmnya terlepas, namun serangan kedua terlampau cepat untuk dirinya hingga tangan Lancelot berhasil menggenggam kepala Gareth.

Mata Gareth melebar dan keringat mengalir dari dahinya. Ia sudah mengira akan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya namun ia tidak menyangka saat yang dimaksud  akan datang secepat ini.

Sepersekian detik kemudian, Lancelot membanting tubuh kesatria malang itu ke tembok yang ada didekatnya.

Gaheris maju, ia berhasil melukai wajah Lancelot namun perjuangannya pun harus berakhir di tangan si kesatria danau dengan luka tusukan dari pedangnya sendiri.

Guinevere yang menyaksikannya dari dekat merasakan tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri seisi ruangan.

Lancelot dengan Guinevere berlari menuju pintu ruangan. Menabrak bahkan membunuh siapapun yang menghalanginya.

***

Senja datang, cahaya keemasan menyinari ruangan yang bernuansa merah karena darah.

Gawain yang telah gagal mengejar Lancelot melangkahkan kakinya dengan gontai. Ia melihat kearah jasad Gaheris yang tergeletak di dekat pintu. Matanya melotot dan mulutnya terbuka.

Gawain meringis. Ia berlutut didepannya lalu mengusap wajah Gaheris pelan, menutup kedua matanya. 

Didekat singgasana Raja, ia melihat tubuh tanpa kepala Agravain. Pria itu masih ingat betapa marahnya ia ketika kepala Agravain jatuh dihadapannya.

Dan terakhir, dengan berat hati, Gawain mendekat ke satu sisi dinding yang rusak parah. Ia dapat merasakan matanya memanas. Disana, didalam dinding ada sosok adik perempuannya.

Tubuhnya kaku dan zirahnya ternoda oleh darah, namun mau bagaimanapun Gawain tidak sanggup untuk melihat wajah Gareth.

Wajah gadis itu hancur. Bahkan Gawain tidak dapat melihat warna kulitnya karena tertutup oleh merahnya darah.

Gawain memegangi kepalanya. Ia menggigit bibirnya hingga darah mengalir dari sana. Dan meski tidak jelas terdengar, Gawain mengulangi sebuah kalimat--

--"Tidak akan kumaafkan."

Luar biasa, panjang sekali.
Masih belum bisa nulis adegan action jadi maaf kalau jadinya rada cringe.

Kalau sesuai perkiraan, ff ini bakal tamat sekitaran 4 atau 5 chapter lagi. Bisa juga lebih sih.

Kalau dah beres aku bakal bikin ff Fgo yang Chara x OC kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro