Chapter 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

"Uh..."

Rei membuka matanya pelan-pelan. Ia juga membuka lalu menutup matanya beberapa kali untuk mengontrol cahaya yang masuk kedalam matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit dari kayu yang disinari sinar matahari senja.

--"Huh? Apa aku tertidur?"

"Rei? Rei! Syukurlah kau sudah sadar!"

Rei melihat ke asal suara, masih dalam keadaan berbaring. Ia melihat Kay dan Fou yang berjalan mendekatinya.

"Kak Kay..." Rei berkata lirih.

Gadis itu mencoba untuk mengubah posisinya, namun dicegah oleh Kay. "Berbaringlah dulu. Tadi kau membentur dinding keras sekali." ucapnya sambil pelan-pelan membantu Rei berbaring lagi.

--"Membentur? Oh, aku ingat. Sir Lancelot ya?"

"Kak Kay. Tanganmu? Bagaimana?" tanya Rei. Matanya melirik lengan kanan Kay yang berbalut kain kusam yang ternoda oleh darahnya. Rei memalingkan wajahnya, "--maafkan aku."

"Sudahlah, bukan salahmu juga." jawabnya dengan senyuman.

"Tapi aku kaget. Meski kau terbentur keras, tidak ada luka sedikitpun di tubuhmu. Sepertinya kau sudah mahir memakai sihir ya."

Rei tertawa mendengarnya. Tentu saja tidak ada luka ditubuhnya.

Dia kan Avalon.

"Merlin bilang padaku untuk mengantarkanmu ke dirinya dan Arthur jika kau sudah sadar--oi! Sudah kubilang jangan dipaksakan dulu!"

Kay sedikit berteriak ketika Rei sudah kembali mencoba untuk duduk--tidak, berdiri dengan tubuh gemetar. Sebenarnya sekeras apa Lancelot memukulnya?

"Kau ini. Santailah sedikit." omel Kay.

"Apa ada sesuatu?" tanya Rei.

Kay membuang nafasnya lelah. Sejak dulu, sifat tidak sabaran Rei belum berubah rupanya.

"Aku tidak tahu. Tapi pasti ada sesuatu yang ingin mereka berdua bicarakan padamu."

***

"Merlin, aku membawa Rei kemari."

Pintu kamar terbuka sedikit, dari celah itu kepala Merlin menyembul keluar. "Tunggu sebentar." katanya sebelum kembali menarik kepalanya.

Beberapa saat kemudian, pintu kembali terbuka. Merlin keluar dari balik pintu dan kembali menutup pintu dibelakangnya sebelum ia bersandar disitu.

"Bagaimana keadaannya?"

"Buruk. Sangat buruk."

"Huh? Apa dia terluka parah?" Rei ikut angkat bicara.

Merlin menggeleng. "Maksudku sangat buruk itu bukan fisiknya, tapi mentalnya. Aku tidak pernah melihat Arthur sampai seperti ini."

"Ia bahkan hanya bicara padaku untuk memanggilmu untuk bertemu kemari." lanjut Merlin sambil menunjuk Rei. Yang bersangkutan malah ikut menunjuk dirinya sendiri dengan wajah tidak percaya.

Merlin mengangguk lalu ia memberikan gadis itu isyarat untuk segera masuk kedalam. "B-baiklah, ayo masuk Kak Kay--"

"Raja hanya ingin menemuimu saja bukan? Masuk sendiri sana." Kay melipat tangan didepan dada.

"Eeeh??"

Rei melirik Merlin. Berharap si penyihir itu membantah kata-kata Kay, namun apa daya pria itu malah kembali menunjuk pintu kamar disertai dengan lirikan mata dan gerakan kepala. "Oh, sekalian tolong suruh dia makan ya."

Rei membuang nafasnya pasrah. "Baik, baik."

Merlin membukakan pintu, ia memasang senyum terbaiknya ketika Rei memasuki ruangan. Setelah ia memastikan Rei sudah masuk, pintu kembali ia tutup.

"Kau yakin akan membiarkan mereka saja? Biasanya kau selalu melarang Rei dekat dengan Arthur." Kay bertanya. Dirinya berdiri di samping Merlin yang bersandar di daun pintu.

"Tidak apa. Ini sudah saatnya mereka berdua tahu kebenarannya. Walau mungkin Rei sudah mengetahui sebagian besarnya." Merlin menjawab enteng.

Kay menghela nafas. "Tapi aku masih kaget. Rei itu ternyata bukan sosok yang selalu kukira."

"Maksudku, perwujudan dari sihir? Boneka Avalon? Semuanya terlalu mustahil untuk dipercaya." Kay mengoceh.

Merlin terkekeh. Itu benar. Saat Rei tidak sadarkan diri tadi, Merlin memberitahu kebenaran tentangnya pada Kay dan Arthur. Arthur terlihat sangat tenang mendengarnya, sementara Kay masih tetap tidak mengerti atau bahkan menerima fakta itu.

"Untuk seseorang yang tumbuh bersama anak dengan jantung naga dan tinggal di daratan dongeng, ucapanmu ironis sekali ya? Kay." ejek Merlin.

Penyihir itu menatap langit keemasan dari jendela yang ada dihadapannya, menatap jauh hingga kebalik cakrawala. Ia tersenyum.

"Maaf Vivianne, jika menyangkut Arthur, aku dan Rei tidak sejalan denganmu--"

***

"Ah, kau sudah datang rupanya, Rei. Bagaimana lukamu?"

Arthur sedang duduk di kasur saat Rei masuk, ia memasang sebuah senyuman kecil. Didepannya ada sebuah kursi kayu yang diposisikan menghadap dirinya, ada sebuah nampan dengan segelas air dan roti gandum di kursi itu.

"Lukaku sudah pulih. Tapi sakitnya masih sedikit terasa." jawab Rei.

"Syukurlah." Arthur kemudian menepuk-nepuk sandaran kursi dihadapannya, matanya masih menatap Rei. "Duduklah."

Rei mengangguk. Ia menghampiri Arthur, ia mengambil nampannya lalu meletakan nampan tersebut di pangkuannya saat ia duduk.

Hening.

Rei menunduk. Rasanya canggung saat ia berdua dengan Arthur belum lagi dengan jarak yang dekat seperti ini. Tidak. Dibanding malu, mungkin Rei lebih suka menyebut perasaan ini sebagai 'takut'.

"Anu--"

"Aku sudah dengar semuanya dari Merlin."

Rei sontak mengangkat wajahnya. Tatapan kebingungannya bertemu dengan mata Arthur, pria itu tersenyum kecil.

"Tak ku sangka temanku yang satu ini adalah Avalon itu sendiri. Maaf telah merepotkanmu ya, Rei."

"Iya..." Rei mengangguk, tak mampu mengatakan jawaban lain. Mendengar kata-kata Arthur membuat ia merasakan perasaan aneh yang tidak pernah ia rasakan.

"Hei, Rei. Menurutmu, Raja itu apa?" tanya Arthur tiba-tiba. Rei menatap Arthur, ia memegang dagunya, mencari jawaban yang menurutnya paling tepat.

"Seorang yang memimpin sebuah kerajaan dan orang yang dihormati oleh rakyatnya, mungkin?" jawab Rei. Agak malu dengan jawabannya sendiri yang terdengar sangat umum.

"Begitu ya. Menurutku, Raja adalah seorang yang memilih untuk menanggung segala beban dan dosa para pengikutnya, sosok yang memilih untuk 'melayani' ketimbang 'dilayani'." Arthur menunduk. Meski senyuman tetap ada diwajahnya, tatapannya begitu sendu.

"Tapi sepertinya, pemikiranku salah, ya?" sebelah tangannya terangkat, menutupi sebagian wajahnya.

"Gareth, Gaheris, Agravain, dan yang lainnya. Aku kehilangan mereka karena keputusan dan idealisme ku yang bodoh, aku sempat mengira akan kehilangan Kak Kay dan kau." Arthur mengepalkan tangannya.

"Bahkan Sir Tristan sampai muak dan meninggalkan Camelot begitu saja.--"

"Rei. Apa menurutmu aku sebenarnya tidak cocok jadi raja? Mungkin jika sekarang Camelot dipimpin oleh orang lain, keadaannya tidak akan seperti ini." Arthur mengangkat wajahnya, menatap Rei dengan mata berkaca-kaca seakan tangisnya akan pecah kapan saja.

"Aku takut, Rei."

Hati Rei seakan dihantam keras sekali oleh benda yang sangat berat. Ini pertama kalinya dia melihat Arthur seperti itu. Rei seakan melihat tirai kehidupan Raja Arthur yang berani itu terbuka perlahan lalu menampilkan sosok rapuh yang kini ada didepannya--sosok asli Arthur.

--"Ah, benar juga..."

Seperti yang Arthur katakan sendiri, dirinya 'melayani' pengikutnya. Segala sesuatu yang ia lakukan adalah demi mereka semua. Ia akan menanggung segala kesulitan mereka, dan jika beban itu berpindah pada orang lain walau sedikit, Arthur pasti akan merebutnya kembali. Sama seperti upayanya pada Guinevere dan Lancelot.

Tapi buktinya hal itu malah membuat kondisi kerajaan jadi buruk. Rei tidak heran kalau Arthur menjadi takut dan goyah. Ia harus melakukan sesuatu.

"Menurutku itu tidak benar." ucap Rei. "Huh?"

"Mungkin aneh rasanya saat makhluk sepertiku yang hanya tahu soal sihir mengatakan hal ini, tapi menurutku pikiranmu tentang pantas tidak pantasnya dirimu sebagai seorang Raja itu tidak benar."

"Jika orang lain menjadi Raja Camelot, sudah pasti takdir Camelot akan berbeda. Tapi bisa saja Camelot akan mengalami situasi yang lebih parah dari ini.

Bisa saja beberapa kesatria hebat seperti Tristan dan lainnya tidak akan pernah berada di Camelot jika kau bukan Rajanya. Habisnya lihat! Darah dan jantung naga, salah satu makhluk yang dijadikan simbol Britain ada didalam tubuhmu." Rei tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya.

Mendengarnya, Arthur langsung memegangi dadanya, merasakan detakan jantungnya yang konstan. Pria itu tersenyum kecil.

"Kau benar. Tapi, apa yang harus kulakukan setelah apa yang telah dikatakan Sir Trsitan? Apa orang-orang masih akan mengikutiku?" Arthur menatap Rei dengan tatapan penuh harap.

Rei menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah kau hanya tinggal belajar saja?" ucapnya enteng.

"Jangan khawatir. Jika soal mempelajari perasaan manusia, kau tidak sendirian Arthur. Ada aku bukan?" Rei cepat-cepat melanjutkan perkataannya ketika ia melihat Arthur hampir terjun bebas lagi menuju lembah keputusasaan.

"Benarkah?"

"Iya! Raja dengan jantung naga dan boneka Avalon, kita akan bersama-sama memahami perasaan manusia." Rei menjeda ucapannya, menatap Arthur tepat dimatanya sebelum berkata,

" Kali ini, aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi..."

Perlahan rasa hangat memenuhi rongga dada Arthur. Rasa hangat itu kemudian naik ke wajahnya yang mulai merona dan membuat kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman penuh dengan rasa lega.

"Bisakah kau mendekat sedikit lagi?" Arthur bertanya pada Rei yang langsung dituruti olehnya.

Setelah cukup dekat, Arthur meletakan kepalanya di bahu Rei sambil memejamkan matanya. "Biarkan aku seperti ini sebentar saja." ucapnya pelan.

Tak lama setelahnya, Rei merasa bahu tempat Arthur mengistirahatkan kepalanya itu mulai terasa hangat dan basah. Tanpa kata, Rei tersenyum. "Kau berusaha keras ya, Arthur. Setelah ini makanlah dulu, lalu istirahat." katanya lembut.

Disinari cahaya keemasan, diiringi suara samar isakan tertahan, dan masih diposisi yang sama, Arthur mengangguk.

"Baik..."

***

Suara hentakan kaki menggema di lorong yang sepi. Merlin--sumber suara itu--memasang wajah yang menurut Kay sangat amat jelek itu dengan kedua tangan terlipat didepan dada.

Satu jam. Satu jam berlalu sejak Rei memasuki kamar. Sudah beberapa kali--setiap saat lebih tepatnya--pikirannya melayang kemana-mana namun sebelum pikirannya lebih liar, Kay sudah memukul kepalanya.

"Tinggal masuk saja apa susahnya?"

"Tidak boleh Sir Kay! Kalau memang mereka sedang melakukan--"

"Saya izin masuk."

"Tu--"

Kay membuka pintu kamar dengan Merlin yang mengintip dari belakang punggungnya.

"Sst! Kalian ini gaduh sekali." Rei meletakan telunjuk didepan bibir lalu menegur kedua makhluk itu dengan suara yang pelan.

"Maafkan kami. Jadi bagaima--oh..."

Kay menghentikan kata-katanya begitu matanya melihat kesatu titik. Merlin yang penasaran mengikuti arah pandangan Kay sebelum ia mengeluarkan sebuah siulan pelan.

Didepan mereka, Rei sedang duduk ditepi kasur, disampingnya ada nampan dan gelas kosong, dan yang membuat dirinya dan Kay tidak bisa berkata-kata adalah keadaan sang Raja sendiri.

"Hebat sekali bisa menidurkan naga yang muram di pangkuanmu, Rei." puji Merlin.

Rei memutar bola matanya. "Ya, ya. Terserah kau saja."

Merlin dan Kay berjalan mendekati Rei. Keduanya memperhatikan wajah Arthur yang tertidur. Matanya sembab dan rambutnya berantakan. Senyuman Kay muncul.

"Sepertinya dia lelah sekali. Syukurlah dia sudah istirahat."

"Ngomong-ngomong, Merlin. Ada yang ingin ku beritahu."

"Hm?"

"Aku memutuskan untuk menetap disini."

"Oh."

--"eh?"

Rei melotot, menatap Merlin tidak percaya. Biasanya si penyihir ini akan langsung murka tapi kali ini dia sangat tenang malah membuatnya semakin takut. Merlin yang merasa ditatap kembali membuka mulut.

"Aku tidak menentang keputusanmu itu. Lagipula kau sudah tahu kebenarannya bukan?--" Merlin mendekatkan mulutnya ke telinga Rei.

"--tentang rencana Dewi Danau?"

--"Oh, si incubus ini sudah tahu juga ternyata."

"Sebagai guru yang sudah menemaninya dari kecil sampai sekarang, tentu aku tidak mau hal itu terjadi padanya." Merlin menyeka air mata khayalannya.

Rei mengerti. Artinya dengan dirinya membangkang kepada Dewi Danau, Merlin memiliki rekan untuk 'menyelamatkan' Arthur. Ah, ternyata penyihir satu itu bisa berpikir bijaksana juga.

Merlin menepuk puncak kepala Rei. "Jadi, mulai besok. Mohon bantuannya di Camelot ya, Rei."

***

"Kau yakin akan pulang sekarang? Kau bisa tinggal disini sampai pulih sepenuhnya.

Kay menggeleng. "Tidak perlu, lagipula lukanya sudah tidak terlalu terasa."

"Bohong."

"Diam kau cebol."

Kay tertawa kecil begitu melihat wajah Rei yang memberengut. Ia naik keatas punggung kudanya, sedikit kesulitan karena belum terbiasa dengan tangannya.

"Sampaikan salam ku pada Raja dan Merlin. Lalu..." Kay menatap Rei beberapa saat sebelum yang bersangkutan bertanya.

"Ada apa? Kau tidak akan pingsan bukan?"

"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya terpikirkan sebuah ide gila."

Sebelah alis Rei terangkat. "Ide gila apa maksudmu?"

Sebelum mengatakannya, Kay terkekeh untuk beberapa detik.

"Jika saja Arthur tidak menjadi Raja ataupun lelah menjadi Raja, aku ingin kita bertiga tinggal seperti dulu lagi."

--"oh..."

"Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Rei."

Suara terompet terdengar bersamaan dengan ringkikan kuda, Kay memacu kudanya menuju gerbang istana yang perlahan terbuka meninggalkan Rei yang melambaikan tangan hingga sosok Kay tak lagi terlihat dari pandangannya.

***

Genap enam bulan sudah Rei lalui di Camelot. Selama itu pula tidak ada orang lain di Camelot yang mengetahui identitas aslinya selain Merlin dan Arthur.

Di Camelot, Rei diberi posisi sebagai tabib istana--dan juga asisten Merlin untuk mengawasi Arthur. Meskipun cukup sulit, tapi berkat bantuan Merlin dan rune-nya, Rei dapat menjalani pekerjaannya dengan lancar.

Dan untuk Camelot sendiri, kondisinya sudah membaik berkat kerja keras Arthur, Merlin, dan kesatria-nya. Kejadian kelam yang terjadi setengah tahun yang lalu malah Arthur jadikan pijakan untuk membenahi Camelot dan dirinya sendiri.

Malah Rei dengar dari Merlin bahwa Sir Percival yang sedang mengunjungi Listenoise untuk beberapa hari telah mengirimkan kabar baik lewat seekor merpati.

"Cawan Suci?"

Merlin mengangguk. Sesaat setelah Arthur mendapat kabar dari Percival, Merlin langsung memanggil Rei ke aula. Jadi disinilah dia, diantara si penyihir bunga dan Raja Camelot sambil membawa sekeranjang tanaman obat dan makanan.

"Dulu aku sering mendengarnya dalam bentuk dongeng. Cawan Suci itu adalah sebuah alat yang dapat mengabulkan permintaan apapun." jelas Arthur begitu ia menyadari wajah Rei yang kebingungan.

"Hee. Memangnya kalian mempunyai permintaan apa?" Rei bertanya.

"Aku ingin menggunakan kekuatan Cawan Suci untuk kesejahteraan Camelot." jawab Arthur.

Mendengar jawaban itu, Rei memasang wajah tidak tertarik. Atau lebih tepatnya, tidak kaget.

"Apa-apaan wajahmu itu? Jelek sekali." cibir Merlin.

"Tidak apa-apa. Hanya saja entah kenapa aku tidak kaget dengan permintaan itu."

Arthur tertawa geli. "Maaf Rei, tapi aku memang harus melakukannya. Aku tidak bisa meminta sesuatu yang egois saat Camelot masih dalam masa hampir hancur seperti ini." ia menjelaskan.

Rei bungkam. Kenapa Arthur bisa tahu pikirannya? Atau karena pikirannya terlalu sederhana?

"Oh, sudah hampir waktu makan siang. Aku harus membantu Lynette dan memberi Lucan obatnya. Kalau begitu, permisi." Rei pamit lalu berlari keluar.

Setelah Rei keluar, Merlin melirik Arthur. "Aku benci mengatakannya, tapi aku sedikit setuju dengan apa yang dikatakan Rei."

Arthur tersenyum kecut. "Aku tahu Merlin. Kau sudah sering mengatakannya."

Merlin membuang nafasnya dengan kasar lalu berkata, "Sesekali cobalah untuk sedikit egois, Arthur."

Sebuah tawa canggung menjawab kata-kata Merlin. "Daripada itu, kita harus segera memikirkan kapan akan memulai misi pencarian Cawan Suci. Bukankah selain membawa kabar Sir Percival juga membawa seorang kesatria utusan Raja Pelles sendiri? Pasti kesatria itu akan memudahkan kita menemukannya."

Arthur berjalan mendahului Merlin. Meski berkata begitu, sebenarnya Arthur memikirkan apa yang dikatakan Merlin.

Tentu ia ingin egois. Ia sebenarnya mau menggunakan Cawan Suci untuk keinginannya pribadi. Tapi ketika memikirkannya, Arthur merasa sedikit tersentil.

Ia sadar akan fakta bahwa dirinya, Arthur Pendragon tidak memiliki satupun keinginan untuk dirinya sendiri.

***

"Bolehkah aku bertanya? Sir Percival?"

Percival melirik Bors yang sedang menunggangi kuda disampingnya. Sekarang dirinya dan Bors sedang dalam perjalanan menuju Camelot.

Saat di Listenoise, selain kabar tentang adanya Cawan Suci, Raja Pellinore--ayah Percival juga mengirimkan seorang kesatria dari Corbenic dengan tujuan untuk membantu Arthur menemukan Cawan Suci.

Dan kesatria itu adalah Sir Bors. Pellinore bilang kalau pria itu adalah kesatria yang dibuang oleh Raja Pelles tanpa alasan yang tidak Pelles katakan dengan jelas.

Tapi Pellinore tidak ambil pusing. Bors nyatanya adalah seorang kesatria tangguh dan setia, mungkin Raja Pelles hanya membual karena masih kaget akan hilangnya putri semata wayangnya.

"Tentu saja."

"Kalau begitu, menurutmu Cawan Suci itu bentuknya seperti apa?"

Sebelah alis Percival terangkat. "Bentuknya? Bukannya sudah jelas? Karena namanya Cawan Suci pasti bentuknya mirip gelas bukan?"

Mendengar jawaban Percival, Bors tertawa miris. "Apa perkataanku itu lucu?" Percival bertanya setengah risih.

Bors menggeleng. "Tidak. Hanya saja aku agak sedih karena betapa seringnya jawaban itu keluar saat aku menanyakan hal yang sama."

Percival semakin tidak mengerti. "Lalu Cawan Suci itu bentuknya seperti apa? Batu?" Percival bertanya.

"Lagipula bukankah bentuknya itu tidak penting? Mau gelas, batu, pohon, atau yang lainnya, benda itu pasti akan mengabulkan segala permintaan bukan?"

"Kalau soal mengabulkan permintaan itu benar. Tapi, aku ingin memberitahumu soal ini, Percival." Bors memelankan langkah kudanya hingga akhirnya berhenti.

Percival melakukan hal yang sama. "Apa yang kau ingin beri tahu?"

"Cawan Suci itu bukan sesuatu yang seperti kalian kira. Atau mungkin, Cawan Suci itu bukan 'benda' yang seperti kalian kira."

Sebelah mata Percival berkedut. Makin tidak mengerti dengan perkataan Bors. Ia menghela nafasnya.

"Lalu? Jangan bilang kalau Cawan Suci itu bentuknya adalah seorang anak manusia." celetuk Percival setengah bercanda.

Namun ekspresi Percival yang tadinya tersenyum itu perlahan tergantikan oleh ekspresi kaget begitu ia melihat dan mendengar reaksi Bors.

Kesatria itu tersenyum pahit dan mengangguk pelan.

--"Lebih tepatnya, Cawan Suci itu seorang anak laki-laki, Sir Percival."



Hiyaaaaaaaaaaaaaa
Gaje sekali chap ini. Sepertinya kemampuan nulisku agak nurun gara-gara chapter kemaren.

Btw makasi yang udah ngasih komentar positif di chap sebelumnya. Lop yu //jyjyque.

Adegan Arthur ama Rei itu aku ambil beberapa ref nya dari drama cd Fate/Zero yang judulnya Arturia Romance. Cari aja di yutub. Ada kok yang pake eng sub~

See you next chap~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro