Chapter 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

"Duh, akhirnya sampai juga."

Sambil berpegangan pada tongkatnya, Merlin menyeka keringat diwajahnya. Pemandangan danau dengan air tenang dan berkilau langsung memanjakan indera penglihatannya.

"Fou?"

Fou muncul dari balik rambut Merlin. Telinga besarnya bergerak-gerak saat ia mengikuti arah pandang si penyihir.

"Kukira kau ikut bersama Rei." Merlin menyentuh hidung Fou dengan jari telunjuk lalu berhenti saat makhluk itu menggoyangkan kepalanya cepat.

Penyihir itu kembali menatap danau didepannya dengan datar. Tidak mengindahkan Fou yang mulai menggigit serta menarik-narik telinganya pelan seolah meminta Merlin untuk berbalik pergi meninggalkan tempat itu.

"Tidak, Cath Palug. Aku akan baik-baik saja." Merlin mencubit tengkuk Fou lalu menjauhkan makhluk itu dari telinganya yang mulai memerah.

Tiba-tiba cahaya muncul dari dalam danau. Semakin lama, cahaya itu semakin menyebar dan menyilaukan mata.

Merlin menutup matanya dengan salah satu lengannya. Ia menyipitkan mata, memfokuskan pandangan pada bagian tengah danau.

Dibalik cahaya itu, Merlin samar-samar melihat air ditengah danau naik. Bergerak-gerak layaknya makhluk hidup.

Saat cahaya perlahan memudar, barulah Merlin dapat melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi.

Ditengah danau itu, ada sesosok wanita--lebih tepatnya, air yang membentuk sosok seorang wanita hingga bagian bawah pinggangnya. Rambutnya panjang menutup sebagian wajahnya sementara satu matanya yang tidak terhalangi oleh rambut perlahan terbuka, menatap Merlin dengan tatapan kosong.

"Yo, lama tidak berjumpa. Vivianne." sapa Merlin dengan senyum.

Vivianne tidak menjawab sapaan Merlin. Wanita itu pelan-pelan melirik Fou yang berada didekat kaki Merlin. Makhluk itu langsung mengambil posisi seakan siap melompat kapan saja dan menerkam sosok air humanoid itu.

"Aku tidak ingat memanggilmu kemari." ucap Vivianne.

"Aduh, perkataanmu menusuk sekali." Merlin memegangi dadanya seolah ia sudah tertusuk senjata.

Meski tidak merubah sedikitpun ekspresinya, Merlin yakin Vivianne sudah merasa jengkel sekarang.

"Selain itu kau juga membawa hewan buas itu kemari. Benar-benar tidak sopan."

"Tenang saja. Teman kecilku ini tidak akan menggigit." Merlin berbicara dengan nada riang namun Vivianne entah mengapa merasa Merlin sedang mengejek dirinya.

Merlin memasang senyuman miring. "Yang kau inginkan itu Rei bukan?"

Vivianne tidak menjawab, namun Merlin mengambil reaksi itu sebagai tanda untuk ia lanjut bicara.

"Maaf saja tapi aku tidak akan menyerahkannya semudah itu padamu." Merlin menggoyang-goyangkan tongkatnya sambil melepas salah satu kain dari tongkat itu. "Meski itu artinya aku mungkin bisa saja mati di tanganmu. Benarkan? Idunn?"

Vivianne mengangkat tangannya sepersekian detik setelah Merlin berkata. Dari tangannya ia menembakkan mana yang ia arahkan pada Merlin namun penyihir itu berhasil menghindar tepat waktu.

"Jangan sebut nama itu dengan mulut busukmu, Incubus."

Tepat sebelum Vivianne menembak kembali, Merlin menyambar Fou yang ada didekatnya, meletakkan makhluk itu di bahunya sebelum kembali menghindar.

Setelah menghindar cukup jauh, Merlin lekas hendak mengetukkan ujung tongkatnya pada tanah. Namun hasilnya sama, serangan Vivianne jauh lebih cepat daripada yang ia bayangkan.

"Tidak kusangka dia benar-benar tidak ragu untuk membunuhku." ucap Merlin disela napasnya yang memburu karena menghindari serangan Vivianne. "Wanita itu bahkan tidak mengizinkanku menggunakan mantera ilusi.'

Tangannya menggenggam erat tongkat dan kain yang telah ia lepas dengan terburu-buru ia ikatkan pada pergelangan tangannya dengan bantuan Fou dan juga mulutnya.

"Tidak ada pilihan lain. Pegangan erat Cath Palug!" komando Merlin. Ia menghentikan langkahnya mendadak, lalu dengan sekuat tenaga, tongkat miliknya ia lemparkan ke hutan yang ada di seberang danau.

Dalam satu kedipan mata, Merlin dan Fou sudah berada--atau lebih tepatnya, terlempar ke tempat tongkat Merlin berada.

"Kau baik-baik saja? Cath Palug?" Merlin bertanya sambil dengan susah payah berdiri. "Pinggangku sakit sekali." gerutunya.

"Setidaknya kita bisa bersembunyi sebentar disini." ucap Merlin. Penyihir itu melihat sekeliling. Hanya ada pepohonan kemanapun ia menatap.

Perasaan lega perlahan berubah jadi perasaan kebingungan lalu berubah menjadi panik. Ia berbalik, melihat kebelakang.

Pepohonan lagi.

Mustahil. Seharusnya Merlin masih bisa melihat danau tempat Vivianne muncul. Ia berlari, mencoba menemukan tempat Vivianne namun sejauh apapun Merlin berlari, yang ia temukan hanya pohon.

Ia mundur beberapa langkah, mengintip kebelakang lewat bahunya. Merlin dapat melihat cahaya dari sela pepohonan yang lebat.

Penyihir itu meringis lalu tersenyum pahit. "Dia menjebakku."

Vivianne telah memanterai hutan ini. Membuat siapapun yang sudah masuk kedalamnya tidak bisa keluar lagi. Dan Merlin masuk kedalamnya, wanita itu sejak awal sudah menggiringnya masuk kesini.

Dan dihadapannya, cahaya itu tidak lain dan tidak bukan adalah dari Avalon.

Merlin mengambil satu langkah lebih dekat, dan pada detik itu juga ia menyesali keputusannya. Ia memegangi dadanya, rasa sesak langsung memenuhi titik itu ketika ia mengambil langkah.

"Fou!"

Merlin memejamkan mata dengan maksud menenangkan dirinya. "Aku baik-baik saja. Tapi..."

Merlin mengambil langkah mundur pelan-pelan, menatap pemandangan Avalon dari balik pepohonan.

"Selama bertahun-tahun ini apa yang sebenarnya kau perbuat disini? Vivianne?"

"Apa yang kulakukan? Tidak ada. Anak itu yang melakukannya." suara Vivianne kembali terdengar.

"Rei?"

"Kau tidak sadar? Ini salahmu juga. Kau membiarkan anak itu keluar dari Avalon. Karena itu pula ia bertemu dengan Freya."

Merlin melotot. "Freya? Maksudmu, Freya yang itu? Artinya--"

"Avalon menjadi begini karena rune. Meski di zaman pertengahan antara para dewa dan manusia, kekuatan rune masih lebih besar daripada sihir manapun di zaman ini."

Vivianne menjeda ucapannya. "Dan berkat anak itu mempelajari rune, ia membuat Avalon ini sudah tidak dapat ditinggali lagi dan tidak lagi pantas untuk disebut surga."

Tiba-tiba angin kencang berhembus dari belakang Merlin, mendorongnya hingga ia keluar dari hutan itu. Rasa sesaknya semakin ketara, Merlin terbatuk dibuatnya.

"Sekarang, Avalon lebih cocok disebut sebuah senjata."

Tanah dan bebatuan tempat Merlin berpijak tiba-tiba naik begitu pula dengan disekitarnya, tanah dan batu itu membentuk sebuah menara yang mengurung si penyihir.

Merlin meringis. Ia sandarkan tubuhnya ditembok, lalu membiarkannya merosot hingga akhirnya ia terduduk.

Sakit.

Sakit sekali.

Rasanya seperti sedang tenggelam. Sesak, perlahan dan menyiksanya hingga ia tidak dapat memepergunakan seluruh inderanya dengan baik.

"Sangat disayangkan memang. Yang kuinginkan adalah anak itu, tapi malah kau yang datang."

"Apa yang akan... kau lakukan?" Merlin bertanya dengan napas berat.

"Bukankah sudah jelas? Harusnya dia ada di posisimu sekarang." Vivianne menjawab dengan nada datar. "Di dalam menara ini, sihir Avalon tidak akan bocor keluar. Tentu saja dengan begitu Raja Arthur akan mati lebih mudah."

Merlin tersenyum. "Kau benar-benar Dewi yang gila."

"Lalu karena aku yang datang... rencanamu itu... sudah hancur bukan?"

"Tidak juga."

Sebelah alis Merlin terangkat. Pertanyaan yang sama terus memenuhi otaknya.

--"Apa yang akan Vivianne lakukan?"

"Aku cukup memindahkan mana-nya pada wadah yang baru saja--"

Merlin melotot. "Kalau begitu, Rei akan--"

Detik selanjutnya ia merasa dadanya lebih sakit seperti ditimpa sesuatu yang sangat besar. Sekali lagi Merlin terbatuk, sekarang dengan cairan kental berwarna merah keluar dari mulutnya. Menodai baju serta tangannya. Fou terus mengeluarkan suara dengan panik.

Tenanglah. Tenang.

Dalam benaknya, Merlin terus mengulangi kata-kata itu sambil menarik napas dengan konstan. Setelah beberapa saat rasa sakitnya sedikit mereda.

"Aku terkejut kau bisa memperlambat proses pemindahannya. Kenapa repot-repot begitu?"

Merlin masih dengan noda darah diujung bibirnya, terkekeh pelan. "Aku anggap itu sebagai pujian, Vivianne. Untuk alasannya sendiri bukankah ini hal yang wajar dilakukan seorang Ayah untuk melindungi putri-nya?"

Hening sejenak, Vivianne cukup terkejut dengan perkataan Merlin. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Tapi cepat atau lambat kau akan menjadi wadah baru Avalon."

"Sampai jumpa lagi, Merlin Sang Penyihir Bunga."

suara Vivianne menghilang. Merlin kembali terbatuk, Fou menyundul-nyundul tangan Merlin dengan sorot mata cemas.

Merlin kembali mengambil napas dalam-dalam, penyihir itu kemudian menatap Fou lalu berkata,

"Aku ingin meminta bantuanmu, Cath Palug."

***

--"Rei bangunlah.."

Suara siapa itu? Rasanya sangat akrab ditelinga Rei. Suara Arthur kah? Atau Merlin?

--"Kumohon, bangunlah."

Suaranya terdengar semakin menjauh. Dan benar-benar menghilang beberapa saat kemudian.

Rei mengerjapkan mata, mengatur cahaya yang masuk ke matanya dan mengumpulkan kesadaran. Hal yang pertama ditangkap oleh matanya adalah langit-langit dari kayu.

Ia berkedip beberapa kali sebelum dirinya mengambil posisi duduk dengan cepat, kaget.

Pandangannya menyapu seisi ruangan. Ruangan dimana dirinya berada saat ini tidaklah terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Hanya ada kasur tempatnya beristirahat, meja dan lemari berukuran kecil, dan jendela yang tepat berada di samping tempat tidurnya langsung mengarah pada padang rumput yang cukup luas.

Saat Rei sedang mencerna keadaannya saat ini, deritan pintu mengalihkan perhatiannya. Ia melihat ke asal suara, dari celah pintu yang terbuka sedikit, sepasang mata bulat menatapnya dengan penuh keingintahuan.

Orang dibalik pintu dan Rei saling bertatapan selama beberapa detik, sampai saat Rei mengangkat salah satu tangannya dengan niat menyapa, sosok dibalik pintu itu lari sambil berteriak-teriak diselingi tawa riang.

"Kakak! Kakak! Kakak rambut putih itu sudah bangun!"

--"Panggilan macam apa itu?"

Dalam hati Rei menggerutu.

"Bisakah kalian sedikit tenang? Padahal kalian tahu kalau ada yang baru saja bangun." tak berselang lama, dari balik pintu, samar-samar Rei mendengar suara yang berbeda dari yang sebelumnya.

Pintu terbuka lebih lebar, menampilkan sosok bocah laki-laki dengan rambut berantakan membawa sendok sayur.

Sementara dibelakangnya, bersembunyi dua bocah lain yang lebih muda. Rei yakin dua bocah itulah yang mengintipnya tadi.

"Selamat pagi Tuan Putri. Apa kau lapar?" tanyanya sambil menggoyang-goyangkan sendok sayur.

Rei yang masih agak kebingungan hanya bisa mengangguk.

"Aku baru saja selesai memasak sarapan. Tunggulah disini, jatahmu akan ku bawakan." perintahnya. "Sekarang, ayo ke dapur. Kita harus mengambilkan sarapan untuk Kakak satu ini." ia membalikkan badan lalu mendorong pelan kedua bocah itu.

"Tunggu! Bors dan Percival--"

"Mereka berdua sudah bangun sehari lebih dulu. Ya ampun. Kau yang terluka paling sedikit tapi kau juga yang terakhir bangun."

Mendengarnya Rei menghembuskan napas lega, mengabaikan fakta bahwa dirinya tak sadarkan diri selama dua hari lamanya. "Syukurlah."

Setelah itu, sekali lagi ia pamit. Menutup kembali pintu kamar, meninggalkan Rei kembali sendiri.

Berbagai pertanyaan yang terhalang oleh kesadarannya yang belum terkumpul kini sudah sampai di kepala Rei.

Dimana ini? Bagaimana dirinya bisa sampai kemari? Dan terlebih lagi--

"Wajah itu. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat."

***

Suara teriakan penuh amarah dan kebencian yang memenuhi indera pendengaran beberapa saat yang lalu sudah berhenti.

Bau amisnya darah segar di tempat ini dapat membuat siapa saja yang tidak biasa dengan keadaan merasa mual.

Arthur menarik pedangnya dari leher seorang kesatria Roma yang ada dibawahnya. Menatap mayat pria itu dengan sebuah tatapan yang tak dapat dijelaskan.

Perhatiannya teralihkan ketika cahaya hangat perlahan menyinari dirinya. Sang fajar telah terbangun.

Ironis sekali.

Cahaya hangat yang menyimbolkan kehidupan itu menyinari tanah ternoda darah dan gunungan mayat tempatnya berada saat ini.

Arthur melihat sekeliling. Para kesatria-nya juga dalam keadaan yang sama seperti dirinya saat ini. Tatapan kosong serta tubuh dan pedang yang warna aslinya tertutup oleh warna merah.

Namun diantara mereka Arthur tidak menemukan seorang kesatria-nya yang berkepala coklat, Lucan.

Dengan tatapan cemas, layaknya orang yang tersesat, Arthur berjalan tak tahu arah dan kepala yang menoleh sana sini.

Pundak Arthur langsung kembali rileks ketika ia menemukan sosok Lucan. Laki-laki itu oleng, hampir saja terjatuh jika ia tidak bertumpu pada pedangnya yang dipegang dengan tangan yang gemetar hebat.

"Berdirilah, Lucan." Arthur mengulurkan tangan kehadapannya. Lucan yang menutup mulut dan hidungnya dengan tangan, menatap Arthur dengan kaget. "Te-Terimakasih, Yang Mulia." ia menyambut tangan Arthur dengan perasaan malu.

"Tidak apa. Ini pertama kalinya kau ikut penyerangan bukan?" ucap Arthur berusaha menenangkan Lucan.

Lucan mengangguk. "Biasanya saya selalu menjaga Camelot, dan ikut serta dalam penyerangan seperti ini merupakan mimpi saya. Tapi..."

Lucan menjeda ucapan, mengulas sebuah senyuman pahit diwajahnya yang ternoda darah. "Saya malah menjadi beban."

Arthur dapat melihat tatapan bersalah Lucan. Mata yang sama dengan yang ditunjukkan Bedivere saat pertama kali ikut ke medan perang. "Kalian benar-benar saudara ya." celetuk Arthur.

"Huh?"

"Bedivere juga pernah mengatakan hal itu saat di posisi yang sama denganmu. Bahkan mungkin kesatria lain meski tidak mengatakannya terang-terangan juga merasakan hal yang sama."

Lucan baru saja membuka mulutnya ketika Arthur meletakkan jari telunjuk serta jempolnya di mulut, sebuah siulan menggema mengalihkan perhatian kesatria-nya yang lain.

"Sebaiknya kita pindah ketempat yang lebih pantas." perintah Arthur. Tanpa diperintah dua kali, seluruh kesatria berlari menuju kuda mereka. Mengikuti Arthur yang sudah memacu kudanya terlebih dulu.

Mereka berhenti cukup jauh dari tempat mereka berada tadi. Kebetulan ditempat itu ada sebuah sungai dengan air yang mengalir jernih.

Para kesatria itu tentu tidak akan menyia-nyiakannya. Mereka berjalan kepinggir sungai, melepas dahaga dengan meminum airnya atau sekedar mencuci muka.

Lucan melakukan keduanya. Meski dia mencuci wajah dan beberapa bagian tubuhnya beberapa kali karena ia merasa bau yang membuatnya ingin memuntahkan isi perut itu masih setia menempel di hidungnya.

"Padahal kau bisa menolak tawaranku untuk ikut pergi ke Roma. Kau tahu aku tidak memaksa." ucap Arthur yang berada di samping Lucan disela kegiatannya.

"Kakak juga berkata begitu. Namun rasanya diri saya sendiri yang akan kecewa jika menolak tawaran anda." jawab Lucan. "Terlebih lagi, saya ingin menjadikan pengalaman pertama saya di medan perang sebagai hadiah untuk kakak."

"Hadiah? Hadiah ulang tahun Bedivere?" Arthur bertanya. Lucan menggeleng.

"Anda tahu? Bulan kemarin saat saya dan kakak pulang ke desa kami untuk beberapa hari?"

"Ya. Aku mengingatnya."

Sebelum menjawab, Lucan tertawa pelan. Wajah yang tadinya pucat itu perlahan mulai kembali berwarna.

"Itu sebenarnya dapat disebut alibi. Faktanya, bulan lalu kakak melamar kekasihnya."

Tangan Arthur yang hendak mendekat ke mulutnya berhenti ketika ia mendengar kata-kata Lucan. "Melamar? Begitu, ya. Aku turut bahagia mendengarnya."

"Jika tidak ada halangan, tahun depan mereka akan menikah." Lucan kembali bercerita. "Jadi setidaknya saya dapat membuat kakak dan ibu bangga dengan apa yang saya lakukan."

"Omong-omong soal pernikahan. Apa anda tidak punya rencana untuk menikah lagi, Rajaku?" tanya Lucan.

Tiba-tiba Arthur tersedak air yang sedang diminumnya. "M-maafkan saya! Harusnya saya tidak menanyakan hal itu!" Lucan menoleh kanan dan kiri, gelagapan sendiri.

"Tidak apa-apa, Sir Lucan." Arthur berkata disela batuknya. "Sebenarnya, akhir-akhir ini aku sudah mulai memikirkannya."

"Hu-huh? Sudah anda pikirkan?"

"Uh-huh."

Arthur menjawab tanpa melirik kearah Lucan sedikitpun.

"Syukurlah. Dengan begini Camelot dan anda akan segera mempunyai penerus. Untuk calon Ratu Camelot sendiri pasti anda tidak akan kesulitan menemukannya." ucap Lucan.

"Jika hanya bermodalkan pikiran seperti itu, kejadian tersebut akan terulang lagi, Lucan."

"O-oh, anda benar."

Arthur tersenyum tipis.

"Sebenarnya saya juga tidak akan kaget jika anda menikah dengan Rei Rajaku. Haha--eh?"

Lucan membatu ketika melihat ekspresi Arthur. Sang Raja mengangkat sebelah alis dengan sebuah senyuman menghiasi wajah tampannya. Arthur kemudian meletakkan jari telunjuknya didepan mulut.

Detik itu Lucan tidak mampu menahan teriakannya.

***

Setelah sarapan, Rei membantu penghuni tempat itu melakukan pekerjaan rumahan. Seperti mencuci dan menjemur pakaian, membersihkan ruangan, dan sekedar menyirami tanaman sementara Percival dan Bors membantu berkebun dan merawat ternak warga.

Jika informasi yang dikatakan bocah berambut kelabu itu benar, mereka bertiga ada di Desa Cysegr, sebuah desa kecil yang tidak ada didalam peta. Katanya bocah itu juga yang menemukan ketiganya.

Sementara tempat dimana mereka tersadar adalah sebuah gereja yang juga merangkap sebagai panti asuhan tempatnya dan anak-anak yatim piatu lainnya tinggal.

--"Oh iya, aku belum tahu nama bocah itu."

"Kakak! Waktunya makan siang!" teriakan nyaring seorang anak perempuan membuat Rei melihat kearahnya.

Rei mendongakkan kepala. "Oh, sudah tengah hari ternyata."

Dilihatnya oleh mereka si anak perempuan datang membawa keranjang makanan dan dibelakangnya ada si bocah yang sejak tadi Rei pikirkan.

"Ann dengan kakak ini dulu ya, aku akan menjemput dua kakak yang lain." ia berkata pada gadis bernama Ann itu.

"Um!" Ann mengangguk mengerti. "Gadis pintar." bocah itu tersenyum sebelum berbalik, meninggalkan Rei dan Ann.

"Jadi namamu Ann, ya? Nama yang bagus."

Ann melirik Rei dengan matanya yang berbinar. "Kakak yang memberikan nama itu!"

"Kakak? Anak yang tadi?"

Ann kembali mengangguk. "He... Ngomong-ngomong Ann, apa kau tahu siapa namanya?" tanya Rei.

Ann menekan-nekan keningnya, membuat gestur sedang berpikir. "Um, namanya sulit untuk diingat olehku. Gerry? Gil? Gallar? Ngg, aku hanya ingat nama kakak berawalan huruf G." ucap Ann.

"Hm, begitu ya." Rei menjawab dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan perasaan kecewanya.

"Oh! Itu mereka datang!" Ann melambai saat tiga orang laki-laki berjalan kearah mereka.

Singkatnya, kelimanya menikmati makan siang mereka dengan tenang. Setelah masing-masing jatah habis, Rei memutuskan untuk menanyakan langsung pada si bocah.

"Hei, aku baru kepikiran. Kau itu belum memberitahu kami namamu bukan?"

Bocah itu, Bors dan Percival langsung menatap Rei. "Nona Rei benar. Kau belum menyebutkan namamu anak muda." sahut Percival yang disetujui oleh Bors yang mengangguk mengiyakan.

Bocah itu berdeham setelah mendengar ocehan orang-orang yang lebih dewasa darinya itu dengan setengah jengkel.

"Namaku Galahad." ucapnya singkat. "Di panti ini aku anak paling tua. Puas?" lanjutnya.

"Galahad ya? Nama yang tidak biasa." sahut Percival. "Setidaknya karena kami sudah tahu namamu, akan lebih mudah saat memanggilmu bukan?" lanjut Percival setengah bercanda.

Rei memegang dagunya. Ia merasa pernah atau tahu tentang seseorang dengan nama itu. Namun nihil, ia tidak menemukan satupun petunjuk yang mengarah pada seseorang dengan nama Galahad.

Sementara itu, berbanding terbalik dengan Percival. Bors terdiam ditempat dengan mata melotot.

--"Galahad katanya. Galahad. Itu artinya anak ini--"

"Apa itu artinya kau--"

Belum sempat Bors menuntaskan kalimatnya. Galahad dengan cepat menyikut perut si kesatria malang itu hingga Bors jatuh sambil memegangi perutnya.

"Kau kenapa Sir Bors?" Percival bertanya. Jelas kalau dia tidak melihat tindakan Galahad tadi.

"Aku... baik-baik saja." Bors berucap dengan suara gemetar. "Pergilah ke kebun duluan, Sir Percival. Aku akan menyusul." ucapnya.

"U-um. Baiklah."

Tak lama setelahnya, Percival kembali ke kebun sementara Rei membawa Ann yang tertidur menuju kamarnya. Meninggalkan Bors dan Galahad berdua.

"Yang tadi itu hampir saja." celetuk Galahad.

"Ke-kenapa?"

"Aku ingin mereka berdua mencari tahu sendiri. Aku tidak akan memaafkanmu jika kau memberi tahu mereka secara cuma-cuma." Galahad menggerutu.

Ia bangkit dari posisi duduknya. Membersihkan pakaiannya dan bersiap untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Tapi..."

Tepat sebelum ia mengambil satu langkah menjauh dari tempat itu, ia membuka mulut tanpa menoleh kearah Bors.

Bors yang masih menahan rasa sakit diperutnya hanya bisa mengangkat alis, menunggu kelanjutan kalimat Galahad.

"Aku senang kau kembali menemuiku, Bors."

Sambil mengatakannya, Galahad tersenyum lebar pada Bors.

Wew.
Chapter 23 beres dan TBH aku juga bingung dengan apa yang kutulis sendiri //g

See you next chap!!

^^^
(Credit to HatsuneT at Twitter)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro