Chapter 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Meski tidak mengatakannya secara langsung, Galahad tahu betul alasan mengapa mereka kemari. Apalagi dengan Bors bersama mereka, tujuan sebenarnya semakin jelas.

Pasti Cawan Suci.

Jujur, memikirkannya saja sudah membuat Galahad muak. Padahal mendiang ibunya sudah susah payah pergi meninggalkan Corbenic serta desa tempat tinggal Bors hanya untuk menikmati kehidupan yang damai bersama dengan putranya.

Tapi nyatanya dunia tidak mau berhenti mengusik kehidupan seorang Elaine Corbenic bahkan hingga saat-saat terakhir dan sepeninggalannya.

"Galahad! Tadi ada seseorang yang memberiku ini. Aku harus taruh dimana?"

Galahad yang sedang menjemur pakaian terpaksa menghentikan sejenak aktifitasnya ketika ia mendengar suara Rei.

Galahad memunculkan kepalanya dari balik pakaian-pakaian basah yang menggantung itu. Menatap Rei yang sudah berdiri dihadapannya dengan membawa sebuah keranjang yang cukup besar.

"Apa itu?"

"Roti, susu, keju, dan madu." ucap Rei sambil memperlihatkan isi keranjang yang ia bawa. Galahad berkedip. "Aku tidak salah lihat bukan?"

"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Rei.

"Ini sebuah keberuntungan!" wajah Galahad langsung berbinar. Ia menatap lebih dekat keranjang yang dibawa Rei dengan tatapan antara percaya dan tidak.

Rei ikut tersenyum meski sedikit kebingungan. "Kau kelihatan senang sekali."

"Eh--" wajah Galahad langsung merona. Bocah itu buru-buru menarik kedua tangannya, mengambil selangkah mundur lalu berdeham. Rei terkekeh.

"Aku akan taruh ini di dapur, ya. Nanti aku bantu menjemur." ucap Rei. "O-oh. Terimakasih."

Rei membalikkan badan, hendak berjalan menuju pintu ketika Galahad kembali bersuara. "Tunggu--"

"Hm? Ada apa?"

Bukannya menjawab, Galahad malah berdiri diam dengan wajah yang masih merona layaknya orang bodoh. "T-tidak jadi."

Satu ujung bibir Rei terangkat, membentuk sebuah seringai yang aneh. "Tunggulah disitu, aku tidak akan lama." setelah itu, Rei menghilang dari pandangan Galahad.

"Baru kali ini aku melihatmu tersipu seperti itu."

"Ap--"

"Ini sudah hampir lima hari tahu. Kemarin malam dan kemarin malamnya lagi mereka sudah mendesak ingin segera mencari Cawan Suci lagi, beruntung aku berhasil menghentikan mereka."

Galahad menatap Bors dengan mata bosan. "Cawan sialan itu lagi. Aku akan memberitahu mereka satu atau dua hari lagi. Itu juga jika aku sudi--aduh!" Galahad memegangi keningnya yang mendapat sentilan dari Bors.

"Aku tidak percaya kau itu anak Putri Elaine. Sifatmu jelek sekali." komentarnya.

"Daripada mengomentari sifatku, bukankah kau harusnya membantu Percival sekarang?"

"Kau ini menyelamatkan kami hanya untuk mendapatkan tenaga saja heh?"

"Ya maaf saja. Pengurus kami sedang sibuk berdagang ke desa lain jadi mohon bantuannya."

Bors membuang napasnya. "Baik, baik. Tapi tepati janjimu juga untuk memberi informasi tentang Cawan Suci itu juga. Sampai nanti." laki-laki itu meninggalkan Galahad tepat setelah matanya menangkap sosok Rei yang berjalan kearah mereka.

"Kau bicara apa dengan Bors?"

"Huh? Oh, tidak. Hanya obrolan tidak penting."

Sambil membantu Galahad, Rei mengajak bocah itu mengobrol dengannya. Hanya tentang kehidupan sehari-harinya di desa ini, tidak lebih. Setidaknya hingga Rei akhirnya bertanya tentang satu hal.

"Aku dengar ibumu itu pengurus panti sebelumnya."

"Um, itu benar. Beliau meninggal setahun yang lalu." mendengar jawaban Galahad, Rei menelan ludahnya. "M-maaf."

"Tidak apa-apa. Oh, aku jadi ingat sesuatu setelah kau menanyakan tentang ibu. Aku mau pergi sebentar, kau mau ikut?" Galahad bertanya. "Ikut? Kemana?"

"Makam ibuku. Tempatnya tidak jauh dari panti, tenang saja."

***

Ternyata Galahad tidak bercanda soal tidak jauh dari panti. Faktanya tinggal berjalan sekitar lima meter dari belakang panti, keduanya sudah sampai disebuah lahan yang cukup luas dengan batu nisan yang berjajar.

"Lewat sini. Hati-hati." Galahad mengenggam tangan Rei, menuntunnya melewati jalan-jalan kecil diantara batu-batu nisan.

"Hei Galahad, apa benar tidak apa aku ikut kemari?" Rei bertanya. "Tidak apa-apa. Aku yakin ibu tidak akan keberatan." jawab Galahad.

"Nah kita sampai." ucap Galahad. Ia berjongkok didepan sebuah nisan, Rei melakukan hal yang sama. Gadis itu melihat nisan didepannya, membaca sebuah tulisan yang terukir disana dengan mata yang sedikit ia sipitkan.

"Elaine? Itukah nama ibumu?"

Galahad mengangguk, tangannya sibuk mencabuti rerumputan liar yang sudah terlalu panjang hingga ia tidak menoleh pada Rei.

Tapi Elaine, ya. Rei merasa pernah mendengar nama itu. Dari sudut mata, ia melirik Galahad yang masih sibuk dengan kegiatannya. Memperhatikan rambut serta mata emasnya lebih seksama lalu menghubungkannya dengan petunjuk-petunjuk lain di kepalanya yang mungkin bisa membantu rasa penasarannya.

Mata emas, rambut abu-abu, Elaine--

--"Oh, aku ingat."

"Ibumu itu, Elaine dari Corbenic, ya?"

Tangan Galahad berhenti, ia melihat Rei dengan wajah sedikit kaget. "Kau kenal dengan ibu?" tanyanya. "Em, lebih tepatnya hanya pernah melihatnya. Aku tidak tahu jika ibumu mengingatku atau tidak." Rei menjawab sedikit canggung.

Toh, dia tidak bisa menceritakan pertemuan pertamanya dengan Elaine beberapa tahun lalu saat di Northumberland.

"Aku pernah dengar kalau dia juga menghilang dari Corbenic. Apa kau tahu alasannya Galahad?"

"Kalau itu..." Galahad menggantungkan ucapannya, anak itu malah menatap nisan didepannya dengan tatapan datar. Tangannya terulur, mengusap pelan nisan bertuliskan nama ibunya.

Rei merasa tidak enak. "Kau tidak perlu menjawabnya jika tidak mau." ucap Rei.

"Tidak. Aku akan menceritakannya." Galahad menjawab seraya menarik kembali tangannya. Galahad berdeham. "Aku mulai ya."

Kemudian Galahad mulai bercerita. Semuanya berawal sekitar delapan tahun yang lalu di Corbenic, Raja Pelles mendapat sebuah ramalan tentang lahirnya seorang anak yang kelak akan jadi kesatria paling hebat dari pasangan putrinya dan seorang kesatria bernama Lancelot.

Tapi rupanya pria bernama Lancelot ini telah jatuh cinta pada wanita lain. Pelles yang memang sakit-sakitan dan ingin Corbenic mendapat seorang penerus, tanpa pikir panjang memerintah penyihir kerajaan untuk membuat penampilan Elaine menyerupai sosok yang Lancelot cintai. Meski enggan, Elaine hanya bisa menurutinya.

Rencana mereka berhasil. Meski Lancelot sempat marah dan hampir membunuh Elaine.

Tapi naas bagi Raja Pelles. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Elaine menghilang. Wanita itu kabur ke desa tempat tinggal Bors, di desa itu ia melahirkan Galahad. Dan tidak berselang lama ia kembali pergi ke tempat yang lebih jauh yaitu Desa Cysegr ini.

"Baik, setidaknya itu garis besarnya. Ada pertanyaan?" Galahad mengakhiri ceritanya.

"Ayahmu Sir Lancelot?!"

"Sst! Suaramu terlalu besar!" tegur Galahad. "Iya memangnya kenapa? Tu--mau apa kau?"

"Diam sebentar."

Rei menangkup pipi Galahad lalu salah satu tangannya bergerak naik, menyingkap rambut yang menutup sebagian wajahnya.

--"Mirip..."

"A-ada apa?"

Tidak menjawab, Rei menarik tangannya. Membuat Galahad semakin kebingungan.

Harus Rei akui selain warna rambut dan matanya, Rei dapat melihat sedikit kemiripan antara Galahad dan Lancelot dari wajah anak itu.

"Apa kau pernah bertemu dengan Sir Lancelot?"

Galahad membuang napasnya, ia menggeleng. "Tidak. Tidak pernah. Aku hanya tahu beberapa informasi orang itu dari ibu. Dia selalu bercerita tentang betapa hebatnya orang itu padaku. Tapi sehebat apapun orang itu di cerita ibu, pada akhirnya dia tidak pernah datang menemui ibu hingga beliau menghembuskan napas terakhir."

Rei menundukkan kepala. Dadanya terasa sakit ketika Galahad bicara seperti itu. Apalagi ketika ia ingat fakta bahwa saat ini Lancelot dan Guinevere sudah pergi tanpa meninggalkan jejak.

"Soal ramalan itu, bukannya kau akan jadi kesatria yang hebat? Lalu kenapa kau..."

"Ramalan itu hanya omong kosong. Omong kosong yang berhasil membuat ibuku menderita. Lagipula ramalan seperti itu juga bisa diubah asal kita bersungguh-sungguh dalam mengubahnya. Mana sudi juga aku menjalankan takdir yang merenggut kebahagiaan ibu."

"Jadi, kau membenci kesatria? Berarti kau membenci Sir Lancelot juga?"

Galahad menundukkan kepalanya. "Aku..."

"Aku juga tidak tahu. Aku tidak membenci kesatria ataupun Lancelot, tapi entahlah. Aku mungkin hanya tidak mau dan tidak siap bertemu dengannya."

Galahad memeluk lututnya, lalu ia mengacak-ngacak pelan rambutnya.

"Ayo kembali ke panti." ajak Galahad. Tapi baru saja ia akan bangkit, kedua tangan Rei menariknya kedalam sebuah pelukan. Mata emasnya melebar ketika tangan Rei mulai membelai surai abunya pelan.

"Kau sudah berjuang keras ya, Galahad."

Dalam pelukan Rei, mata Galahad melembut lalu perlahan-lahan mulai tertutup seraya ia membalas pelukan Rei.

Ah, apa ini? Rasanya sudah sangat lama Galahad tidak merasakan hal ini. Hangat, sama seperti ibunya dulu.

Disaat seperti ini, barulah Galahad sadar betapa ia merindukan Elaine. Kehangatannya, kasih sayangnya, semuanya. Tapi ada satu hal yang amat Galahad rindukan.

Suaranya. Suara Elaine yang menyebut namanya, suara Elaine saat menceritakan berbagai macam dongeng dari negara-negara yang jauh, dan suara Elaine saat ia menyanyikan lagu pengantar tidur padanya.

Meski sudah satu tahun, Galahad masih mengingat lagu itu. Matanya menghangat begitu lagu itu terngiang dipikirannya. Anak itu makin mengeratkan pelukannya, meredam isakan tertahan lalu mengangguk pelan.

***

Mengerikan.

Kata-kata itu yang langsung ada dibenak Arthur begitu ia melihat sekelilingnya.

Lapangan luas didekat perbatasan beralaskan rerumputan hijau itu kini berubah menjadi medan pertempuran.

Upaya negosiasi Arthur dengan Kaisar Lucius Tiberius pada akhirnya gagal, orang itu langsung memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerang.

Hal itu tentu membuat pasukan Arthur sedikit kewalahan.

"Keluar kau Raja Arthur!"

Suara berat nan keras milik Lucius menggema ditempat itu. Pria berambut merah menyala itu mengangkat pedang berwarna serupa tinggi-tinggi hingga mata pedangnya menunjuk langit.

Dengan menggenggam erat Excalibur ditangan, Arthur mengambil langkah besar menuju kehadapan Lucius. Dengan kuda-kuda mantap, ia mengangkat Excalibur. "Aku disini, Kaisar Lucius."

Lucius menyeringai. Pria itu menghentakkan kakinya ke tanah, memasang kuda-kuda lalu tanpa basa-basi berlari kearah Arthur dengan pedang yang siap ia ayunkan kapan saja.

Suara nyaring dua bilah pedang yang beradu memenuhi indera pendengaran. Arthur menahan lalu membalas Lucius dengan sekali ayunan pedang yang kuat hingga membuat si Kaisar mundur beberapa langkah.

Senyuman Lucius semakin lebar, memperlihatkan barisan giginya yang runcing layaknya gigi hiu.

Ia kembali menyerang Arthur, pedangnya ia ayunkan dengan lebih kuat tapi Arthur dengan lihai dapat menangkis bahkan membalasnya.

"Tak ku sangka orang sepertimu adalah Raja Arthur. Dan kekuatanmu bukan sekedar isapan jempol rupanya." Lucius berucap disela ayunan pedangnya. "Setelah bertarung seperti ini, aku berubah pikiran. Mari bekerja sama, Raja Arthur."

Arthur menatap Lucius dingin, ia rupanya masih tidak mau menjawab kata-kata Lucius meski sepatah atau dua patah kata.

"Bersama kita akan membuat sebuah kerajaan yang tidak terkalahkan!"

Satu ayunan pedang paling kuat dilepaskan oleh Lucius, berhasil mendorong Arthur mundur beberapa langkah.

"Aku tidak butuh orang-orang liar sepertimu di kerajaanku--" Arthur membuka suara. Namun belum sempat Lucius merespon, Arthur sudah kembali bersiap dengan kuda-kudanya. Mata hijaunya berkilat tajam ketika menatap Lucius.

"--enyahlah."

Dengan sekali dorongan, Arthur kembali berada dihadapan Lucius dan dengan sekali ayunan, Excalibur ditangannya berhasil menembus zirah yang dipakai Lucius hingga ke dadanya.

"Si-sialan kau, Raja Art..thur." si Kaisar bergumam sebelum darah segar keluar dari mulutnya saat ia terbatuk lalu tumbang. Pedang yang sejak tadi ia pegang erat terlepas dari genggaman.

Arthur mengusap ujung bibirnya dengan punggung tangan, menatap tubuh Lucius dan pedangnya secara bergantian. Di pedang milik Lucius terdapat ukiran berbentuk bunga lili yang tengah mekar. Ukiran itu menghiasi kedua sisi bilah pedangnya yang hampir semuanya berganti warna menjadi merah.

"Benar-benar bunga yang ternoda dengan darah ya, Lucius Tiberius."

Dengan begitu, berakhirlah riwayat seorang Lucius Tiberius ditangan Arthur Pendragon yang sekaligus membawa kemenangan kepada Camelot.

***

"Kau belum tidur Galahad?"

Perkataan Rei itu sontak mengundang perhatian Percival dan Bors yang sedang berada diruang yang sama teralihkan pada sosok Galahad yang sedang berdiri diambang pintu.

Anak itu mengangguk. "Setelah menemani Ann hingga tidur, aku malah jadi tidak mengantuk." katanya.

"Begitukah? Kalau begitu mau bergabung dengan kami?" tawar Percival.

"Memangnya kalian sedang apa?"

"Aku sedang membersihkan pedang dan zirah."

"Aku juga."

"Aku hanya mencuci piring dan gelas. Jika sudah selesai aku akan tidur."

Galahad memasang wajah tidak tertarik walau pada akhirnya anak itu menghampiri ketiganya dan duduk disebelah Bors.

"Tindakanmu berbanding terbalik dengan ekspresimu anak muda."

"Berisik."

Setelah itu, hanya ada suara Rei yang mencuci piring diantara keempat orang yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Setelah Rei selesai dengan pekerjaannya, Galahad angkat suara.

"Aku ingin memberitahu kalian tentang sesuatu. Terutama pada Rei dan Percival."

Dua orang yang disebut saling bertatapan, lalu Percival mengangkat bahu. "Baiklah, apa itu?"

"Ini tentang Cawan Suci yang kalian cari."

Rei dan Percival langsung saling melempar pandangan, sementara Bors menatap Galahad dengan tatapan kaget. "Tidak apa." bisik Galahad.

"Kau mengetahui sesuatu tentang Cawan itu Galahad?" Percival bertanya berusaha memastikan kembali.

Galahad mengangguk. "B-bagaimana bisa?"

"Oh iya, kau satu-satunya yang belum kuberi tahu. Aku ini putra Elaine dari Corbenic." Galahad menjawab singkat. Percival menganga. Pria itu menatap Rei dan Bors bergantian, keduanya hanya menjawab dengan sebuah anggukan kepala.

"I-itu artinya, kau berasal dari Corbenic?"

"Bisa dibilang begitu." Galahad memasang senyuman meledek pada Percival. "Jadi, soal Cawan Suci, benda itu sudah diwariskan secara turun temurun pada keturunan Raja Corbenic. Karena ibu telah tiada, Cawan itu sekarang ada padaku."

Percival dan Rei langsung berdiri, sedikit menggebrak meja. "Dimana?"

"Whoa! Tenang! Kalian bisa membangunkan yang lain." ia berdeham. "Dan apa maksud kalian dengan 'dimana'? Aku sudah mengatakannya secara jelas bukan?"

"Maksudmu? Tu--" Percival yang baru sadar akan sesuatu melirik Bors. Si kesatria yang dimaksud hanya mengulas sebuah senyuman miring.

Rei yang masih belum mengerti berbisik pada Percival. "Kenapa?"

Percival mengangkat tangannya, menunjuk Galahad. "Ada padamu. Maksudnya, 'didalam' tubuhmu?"

"Saat keturunan baru di Corbenic lahir, Cawan Suci akan ditanamkan pada mereka oleh orang tuanya di Gereja. Jadi--" Galahad tersenyum, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar didepan ketiga orang itu.

"--akulah Cawan Suci yang kalian cari."

***

Esok paginya, ketiga orang itu berpamitan pada Galahad. Alasannya karena mereka mendapat kabar tentang kemenangan Arthur atas Lucius dan memutuskan untuk segera kembali ke Camelot. Tapi Galahad yakin ada beberapa alasan lain yang tidak bisa mereka ucapkan.

"Lain kali jika kalian berniat menjemputku lagi, lakukan dengan sungguh-sungguh." Galahad berpesan sedikit bercanda.

Percival dan Bors meringis lalu saling melempar tatap. "Lalu apa yang akan kalian katakan pada Raja Arthur saat kembali tanpa membawa Cawan Suci?" Galahad bertanya.

"Kami akan menceritakan semuanya pada Raja. Dia pasti dapat memahami situasinya." jawab Rei.

Galahad tersenyum. "Baiklah. Berhati-hatilah dijalan."

Ketiganya mengangguk lalu memacu kuda yang diberikan oleh Galahad meninggalkan gerbang desa tempat dimana Galahad melambaikan tangannya.

Rasanya sedikit berat ketika mereka membalas lambaian tangan Galahad yang sosoknya semakin lama semakin tidak terlihat tertutup pepohonan.

Rei menatap tangannya yang masih melambai, mengangkatnya agak tinggi hingga tangannya terkena sinar matahari pagi yang menyusup dari celah dedaunan.

Rei mengangkat sebelah alisnya ketika ia merasakan ada yang janggal dari tangannya.

Lebih tepatnya dari ujung-ujung jemarinya yang perlahan mulai tembus pandang hingga cahaya matahari dapat menembusnya. Mata Rei membelalak dan secara spontan ia memekik pelan mengundang perhatian Percival dan Bors.

"Kenapa Nona?" Percival bertanya. "Hu-huh? Tidak ada apa-apa, Sir Percival." Rei menjawab sambil menyembunyikan tangannya dibalik jubah yang ia pakai.

Rei menelan ludahnya, dengan pelan dan gemetar ia menarik keluar tangannya, mencoba memeriksa keadaan tangannya.

Helaan napas penuh rasa lega keluar ketika ia melihat tangannya kembali seperti biasa. "Mungkin hanya perasaanku saja."

"Nona, bukankah itu familiar ayah anda?" Percival menunjuk sebuah gumpalan berwarna putih yang terletak cukup jauh dari mereka.

"Fou?"

Seakan mendengar namanya disebut, Fou melihat kearah mereka. Namun ada yang aneh dari perilaku makhluk itu. Dia menggerak-gerakkan telinga lalu kepalanya seakan ia melarang ketiganya mendekat. "Fou! Fou!"

"Bagaimana Nona?" Percival melirik Rei. "Jangan dipikirkan, mendekat saja."

Percival mengangguk, menuruti kata-kata Rei, ia memelankan langkah kudanya ketika Fou semakin kencang menggelengkan kepalanya.

"Ada apa Fou?" Rei meloncat dari punggung kuda lalu berjalan menghampiri Fou. "Fou! Fou!"

"Kenapa? Putar balik? Tidak mungkin, aku akan kembali ke Came--ugh." sebelum menyelesaikan kata-katanya, Rei terbatuk lalu menutup mulutnya.

"Anda tidak apa-apa?" Bors bertanya ketika Rei terbatuk semakin keras. "Aku tidak apa-apa Bors." gadis itu menggeleng meski keadaannya menunjukkan hal yang berlawanan.

"Fou!" Fou melompat ke bahu Rei menggigit serta menarik-narik telinga Rei kearah mereka datang. "Aku tidak apa Fou. Kita harus cepat--huh?"

Kata-kata Rei terpotong begitu ia melihat tangannya yang ia pakai untuk menutup mulutnya tadi. Ujung jemarinya kembali terlihat tembus pandang, sementara telapak tangannya ternoda oleh cairan berwarna merah.

Pandangan Rei tiba-tiba menjadi kabur, kakinya lemas hingga hampir saja ia terjatuh ke tanah jika Bors dan Percival tidak sigap menahannya.

"Haruskah kita kembali ke desa?"

"Tidak, ayo lanjutkan perjalanan ke Camelot." Rei menolak tawaran Bors. Tak lama kepalanya terasa pusing, Rei menutup mata berusaha menenangkan diri agar tidak semakin parah.

Namun bukannya kegelapan yang ia lihat ketika memejamkan matanya, melainkan berbagai kilasan kejadian acak dan cepat berputar di kepalanya hingga ia merasa pusing.

Diantaranya ada beberapa yang setidaknya dapat Rei lihat cukup jelas. Ia melihat Arthur yang berada diperjalanan, Mordred yang berkumpul dengan kesatria lainnya di Camelot, dan Merlin yang terduduk disebuah tempat.

"Fou..."

Rei membuka mata lalu menatap Fou yang tengah menatapnya dengan cemas.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan." Rei berucap sambil berusaha berdiri tanpa bantuan Percival ataupun Bors.

Singkat cerita, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka pulang ke Camelot. Disepanjang perjalanan, Rei menahan rasa sakit serta panik ketika jemarinya semakin tembus pandang seakan dirinya akan menghilang kapan saja.

--"Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Merlin? Arthur?"

https://www.youtube.com/watch?v=Iu-3uM7_6Pk

.
---Kitkit Lu - Heaven's Light---
---(Galahad Lullaby)---
.

.

.
Chap depan bisa jadi chap terakhir lho //cmiww ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro