Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Pagi hari di Camelot terasa sangat menenangkan dan indah―walau sedikit dingin.

Embun di dedaunan dan rumput, udara yang lembab, bunga-bunga di taman maupun di seluruh kerajaan yang masih belum sepenuhnya mekar dan menghiasi kerajaan dengan berbagai macam warna yang indah, serta kabut tipis yang menyelimuti sekaligus menghiasi pemandangan Camelot di pagi hari.

Rei menggosok-gosokan kedua tangannya untuk mendapatkan sedikit rasa hangat. Asap tipis keluar dari mulutnya kala dia meniup kedua tangannya yang hampir mati rasa.

Matahari terbit sekitar satu jam lagi, namun dia sudah terbangun dari tidurnya. Rasa antusiasme gadis itu mengalahkan rasa lelahnya yang luar biasa sejak kemarin malam. Keluar di jam-jam seperti saat ini bisa dibilang pilihan buruk bagi kebanyakan orang―Rei juga berpikir begitu, namun melihat pemandangan indah pagi hari seperti ini, membuat rasa dingin dan lelah yang dirasakan sedikit menghilang.

Lorong tempat Rei berdiri saat ini langsung mengarah ke taman istana. Membuat Rei dapat langsung menikmati pemandangan taman di pagi hari dan wangi khas rumput.

Tidak puas hanya melihat saja, Rei melangkahkan kakinya menuju taman. Rasa dingin dan basah dari rerumputan langsung terasa walau ia menggunakan sepasang sepatu boots.

Dengan hati-hati, Rei melangkahkan kakinya bergantian di taman yang cukup luas itu sembari bersenandung kecil menikmati sejuknya udara pagi, hingga sebuah suara mengganggu aktivitas-nya.

"Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini? Rei?"

Rei menoleh kearah asal suara yang berada tepat dibelakangnya. Sosok itu menatapnya dengan tatapan tidak habis pikir bercampur bingung. Rei tersenyum―ralat, menyeringai begitu ia melihat sosok yang sangat tidak asing itu.

"Menikmati udara pagi dan menjernihkan pikiran, tidak apa-apa kan? Yang mulia~" ucap Rei dengan nada jahil sembari tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi-nya.

Sosok tersebut―Arthur menghembuskan nafasnya lelah, sebelum akhirnya membalas senyuman Rei dengan seulas senyuman tipis. "Kau ini ya, sudah sembilan tahun tapi sifatmu masih sama saja."

Rei ingin sekali menyanggahnya, namun perkataan Arthur itu benar―terlalu benar malah. Rei akui, kepribadiannya itu tidak berbeda jauh―atau malah sama sekali tidak berubah dari sembilan tahun yang lalu. Berbeda dengan Arthur, anak kecil yang dulu sama jahilnya dengan Rei itu kini terlihat lebih tenang dan berwibawa. Ditambah Arthur juga sudah menjadi seorang raja dan memiliki seorang ratu yaitu Guinevere.

Membuat Rei sebagai seorang teman dan perempuan tentu agak canggung untuk mengajaknya mengobrol ataupun melakukan sebuah kegiatan.

dan jujur saja, hal itu membuatnya sedikit kesepian.

"Hehe, oh iya, kau sendiri mau apa kesini?" Rei bertanya balik, berusaha menepis pikirannya tadi.

"Aku? Ada pertemuan dengan para kesatria, dan aku tidak sengaja melihatmu disini. Jadi, ya. Disinilah aku," Arthur menjelaskan dengan wajah yang dihiasi senyuman. "Aku baru sadar, dimana Merlin?"

"Masih tidur. Tadi saat aku keluar kamar, dia bahkan tidur dengan posisi aneh. Bahkan dia Mendengkur dengan mulut terbuka lebar dan meneteskan air liur," ucap Rei sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

―padahal bagian Merlin tidur dengan posisi aneh dan segala hal nista itu hanya hasil karangannya saja.

Hening sejenak. Sedetik atau dua detik tidak ada yang salah. Sampai akhirnya sepuluh detik berlalu, Rei merasakan rasa canggung yang luar biasa.

Tidak ada respon sama sekali dari Arthur membuat gadis itu kurang nyaman dan ingin segera lari atau memohon semoga keajaiban datang dan mengeluarkannya dari situasi ini.

"Pfft"

Tanpa Rei kira, Arthur tengah mengalihkan pandangan sembari menutup mulutnya dengan tangan kanannya--menahan tawanya. Rei yang ada disana hanya berdiri terdiam dan menatap Arthur dengan wajah yang bersemu.

"Ternyata kau memang tidak berubah. Kau ini masih tidak menyukai Merlin setelah sembilan tahun ini ya?" ucap Arthur setelah mati-matian berusaha berbicara dengan lancar tanpa kekehan―yang luar biasanya, berhasil.

"Ya, aku masih tidak menyukainya. T-tapi, jangan bilang apapun pada Merlin," pinta Rei.

"Iya, aku tidak akan memberitahukan hal itu pada Merlin," jawab Arthur sambil menepuk puncak kepala Rei--karena selain kasihan, Arthur tahu hal yang dikatakan Rei itu hanya khayalan gadis itu.

"Ah! Di sana rupanya anda, Yang Mulia,"

Rei dan Arthur sontak menoleh ke asal suara, mendapati seorang pria berambut keperakan tengah berjalan kearah mereka dengan sebuah lentera di tangan kanannya bersama dengan satu orang pria lainnya yang tengah berusaha melepaskan gigitan seekor hewan ditangannya.

speak of the devil...

"Selamat pagi, Bedivere, Merlin."

Arthur dengan ramah menyapa Bedivere―si pembawa lentera yang juga merupakan salah satu kesatria meja bundar―yang tengah memegangi lututnya―mengatur nafasnya, dan Merlin yang baru saja berhasil melepaskan gigitan Fou.

"Jadi, ada apa kau mencariku Bedivere? Merlin juga," tanya Arthur.

Merlin menjauhkan Fou―lalu dengan seenaknya menjatuhkannya ke rerumputan. "Aku sedang mencari Rei ketika aku melihat Beddy sedang berlari dengan panik," jelas Merlin sembari melempar tatapannya pada Rei.

―walau yang ditatap tidak mengindahkannya sama sekali dan malah risih dengan gerak gerik Fou yang entah sejak kapan ada dipuncak kepalanya.

"Benarkah itu, Bedivere?" tanya Arthur yang dijawab oleh anggukan si kesatria.

"Iya, yang mulia. Dia benar. Saya kesini atas perintah yang mulia ratu," jelas Bedivere kala nafasnya sudah kembali teratur.

Arthur menaikkan sebelah alisnya bingung. "Ratu? Apa yang mau Guinevere sampaikan padaku?"

"Itu―"

"Fou! Bisakah kau diam?" ucap Rei dengan nada yang meninggi, agaknya kesal pada makhluk dikepalanya. Sukses membuat Fou diam―kaku―dan mengalihkan perhatian tiga orang pria lainnya.

"Nah, seperti itu. Anak pintar~" puji Rei. Tangannya terangkat keatas kepalanya, kemudian mengelus kepala Fou dengan lembut. Fou pun menyambutnya dengan senang hati.

"Fou~"

Merlin yang melihatnya, sontak memasang senyum tidak ikhlas. "Makhluk itu, dia cuman mengikuti perintah yang ada hubungannya dengan Rei," gerutu Merlin.

Arthur menepuk pundaknya dengan iba. "Aku turut sedih mendengarnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Fou lebih menyukai Rei daripada kau."

"Kata-kata itu maksudnya untuk menghiburku 'kan?"

"Um, anu. Rei itu, siapa?"

Pertanyaan Bedivere yang sedari tadi memperhatikan ocehan ketiga―empat, jika Fou dihitung―sosok dihadapannya ini dalam diam, membuat Arthur dan Merlin menoleh kearahnya dengan cepat.

"Aku lupa ini pertama kalinya kau bertemu dengan Rei ya?" ucap Arthur. Bedivere memasang wajah bersalah, lalu mengangguk pelan. "I-Iya, maafkan saya yang mulia."

"Tidak perlu minta maaf. Lagipula, Rei kemarin lebih dulu hilang saat aku mau memperkenalkannya pada kalian," jelas Arthur.

Wajah Bedivere―walau samar, kembali cerah. Pria itu mengusap dadanya lega, "Syukurlah, saya kira hanya saya yang tidak mengenalnya. Hm? Tadi anda bilang menghilang?"

"Iya, menghilang. Menghilang untuk belajar," jelas Arthur―dengan nada sarkastik―sembari melirik Merlin yang sedang bersiul-siul tanpa dosa.

Namun, apa daya. Bedivere gagal menangkap sarkasme Arthur. "Jadi, Rei itu... siapa?" ulang Bedivere yang masih belum paham mengenai identitas gadis berambut putih itu yang kini tengah duduk sembari membuat mahkota bunga dengan Fou yang masih ada di kepalanya.

"Rei, ayo kemari sebentar. Dan Merlin, ayo jelaskan," pinta Arthur. Rei langsung bangkit dari tempatnya, dan berdiri disamping Merlin. Sementara Merlin menatap sang raja dengan malas, lalu Bedivere yang masih terlihat kebingungan. Baiklah, Merlin menyerah.

Penyihir itu berdeham. "Rei itu anakku."

Bedivere menganga--tidak, mulutnya hanya terbuka sedikit, kaget. "A-Anak?!" Bedivere setengah berteriak, menatap Merlin dan Rei bergantian. Rei kemudian tersenyum pada Bedivere, "Salam kenal, Bedivere."

Semburat merah muda muncul dikedua pipi Bedivere. Satu pertanyaan, satu kata yang kini ada dipikiran Bedivere. "Kenapa?!"

"Tolong, aku sudah kenyang dengan reaksi itu," Merlin berasa dejavu.

"Hm, dengan begini, kusimpulkan bahwa acara perkenalannya sudah selesai. Nah, sekarang ayo kembali Rei. Masih banyak yang harus kau pelajari," ucap Merlin dibalas oleh anggukan malas Rei. "Kalau begitu, kami pamit dulu."

"Baiklah. Oh iya, Merlin. Nanti ajaklah Rei, biarkan dia istirahat sejenak," ucap Arthur. Merlin tersenyum lalu mengangguk, sementara Rei memiringkan kepalanya bingung.

Merlin dan Rei berbalik, meninggalkan Arthur dan Bedivere yang terus melihat mereka hingga keduanya menghilang dari pandangan keduanya.

"Kalau begitu, kita juga harus bergegas. Kita tidak mau membuat ratu menunggu lebih lama lagi," ucap Arthur, ia berjalan menuju ruangannya, disusul oleh Bedivere dibelakangnya. "Raja, bolehkah saya bertanya?"

"Silahkan, ada apa?"

"Gadis bernama Rei itu, punya hubungan apa dengan anda?"

"Apa maksudmu? Hanya teman dari aku kecil, tidak lebih," jawab Arthur cepat.

"Hm? Ah, saya mengerti." Bedivere tersenyum tipis, kemudian mengalihkan pandangannya dari Arthur menuju kearah depan, memperhatikan jalannya.

ya, tidak lebih.

***

"Tidak, tidak boleh."

"Sudah kuduga." Rei tersenyum kecut dan kembali membuka buku tebal dihadapannya itu―hanya membuka halaman-halamannya secara acak, bukan membacanya.

"Tapi kenapa? Kau juga akan pergi ke upacara pernikahan Arthur bukan? Kenapa aku tidak boleh ikut?" protes Rei.

"Nanti malam kau masih bisa ikut pesta dansa, bukan? Jadi sekarang fokuslah pada pelajaranmu. Jangan bermalas-malasan. Kau bilang ingin jadi penyihir hebat sepertiku, tapi sejauh ini kau masih―baru bisa menggunakan sihir penyembuhan dan beberapa sihir sederhana, aku benar kan?"

"Kau juga bermalas-malasan!"

"Diam nona muda. Aku sudah ahli, jadi aku bebas melakukan apapun. Lagipula, kau masih punya beberapa hari lagi untuk bersantai, beda denganku. Aku sibuk."

Sibuk katanya? Seseorang, tolong hajar laki-laki ini.

Jika saja Fou mendengarnya, makhluk itu pasti akan langsung menendang wajah Merlin. Namun sayangnya, sejak kembali ke kamar, makhluk itu kembali meringkuk dikasur. Berkelana didalam mimpinya.

"Dan juga, salah siapa aku tidak bisa belajar sihir dengan benar? Kau sendiri jarang kembali ke Avalon, dan tidak pernah mengajariku ataupun membawakanku buku setebal ini."

"Maka dari itu, kau bisa fokus belajar sihir selama di Camelot. Kau dapat keluar Avalon dan belajar sihir. Sempurna." Merlin menjentikkan jarinya, lalu memegangi dagunya. Tak lupa dengan seringaian penuh kemenangan terlukis diwajahnya.

Baiklah, Rei mengaku kalah. Merlin benar, dia setidaknya bisa menghadiri pesta dansa yang digelar nanti malam―dengan alasan dan syarat, dia sudah selesai belajar nanti malam. Licik memang. Tapi mau bagaimana lagi. Rei lebih memilih menyetujui pilihan itu daripada tidak sama sekali.

Ah, jangan lupakan fakta bahwa dia memang baru bisa mengusai beberapa sihir-sihir sederhana.

"Sudah waktunya. Aku berangkat dulu. Fou dan Gareth akan menemanimu selama aku pergi." Merlin berdiri, merapikan bajunya, lalu berjalan dan menepuk puncak kepala Rei. "Hati-hati." bisik Rei.

Baru saja Merlin memegang gagang pintu, Rei yang baru saja menyadari perkataan Merlin, kembali bertanya. "Gareth itu siapa?"

Merlin tersenyum mendengarnya. "Nanti juga kau tahu. Jika aku memberitahukannya sekarang, kau tidak akan terkejut nanti."

"Ya, ya. Terserah kau saja. Sana, pergi." Rei memutar bola matanya dan kembali fokus pada bukunya, sementara tangannya membuat gerakan untuk memerintah Merlin segera pergi.

Sekitar sepuluh menit setelah Merlin pergi, seorang perempuan yang memakai baju zirah datang kedalam kamar. Dia memiliki rambut berwarna pirang dan mata berwarna kehijauan. Dialah Gareth, kesatria perempuan di meja bundar. Rei benci mengakuinya, namun hal itu memang cukup mengejutkan--mengingat Rei kira semua kesatria meja bundar hanya beranggotakan laki-laki.

Gareth itu seorang gadis yang periang dan ramah. Rei dapat dengan cepat akrab dengan gadis itu. Namun tetap saja, Gareth memiliki kesamaan sifat dengan kesatria lainnya―patuh pada perintah. Ia akan menegur Rei begitu gadis itu kelihatan mulai kehilangan konsentrasinya.

"Ugh, istirahat sebentar mungkin tidak buruk." Rei mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya, merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

Satu jam telah berlalu, buku yang dibacanya baru selesai ia baca setengahnya, sinar matahari yang masuk melewati jendela sudah terasa mulai panas, dan masih belum ada tanda-tanda Fou akan bangun.

"Kerja bagus. Apa mau saya bawakan makanan? Mungkin saja anda lapar," tanya Gareth.

Rei melirik Gareth sekilas, lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela yang langsung memperlihatkan suasana kota. Meski jauh, Rei tahu suasana diluar istana seperti apa sekarang. Orang-orang yang berkumpul disebuah bangunan berwarna putih itu terlihat samar dan sangat banyak. Rei dapat menyimpulkan Arthur, Merlin dan yang lainnya ada didalam bangunan itu.

"Acaranya, apa sudah dimulai?" Rei bergumam, namun suaranya masih cukup terdengar oleh Gareth.

"Seharusnya baru dimulai," sahutnya.

"Baru dimulai?"

Gareth mengangguk. "Iya, acaranya dimulai tepat jam sepuluh pagi, aku dengar dari kakak juga, bahwa tak hanya kesatria, saudara raja yang ada di kerajaan lain pun akan datang," jelas Gareth.

"Kalau begitu, kenapa Merlin berangkat awal sekali? Biasanya dia selalu terlambat."

"Kenapa? Tentu saja, karena Merlin itu penasehat raja," jawab Gareth polos.

ah...

Rei menepuk dahinya. "Aku lupa akan hal itu," ucap Rei, yang dibalas oleh tawa canggung Gareth. " Tapi, penasehat raja ya... " Rei menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu mengadahkan kepalanya, menatap langit-langit ruangan.

Pikiran Rei berkelana, mengingat-ngingat pembicaraannya dengan Merlin kemarin malam. Jujur, Rei masih merasa terganggu oleh topik pembicaraan itu. Terlebih, pembicaraan itu tidak hanya tentang Arthur atau Guinevere, namun seluruh kerajaan.

Setelah ingat bahwa Merlin adalah seorang penasehat raja, Rei tahu kenapa Merlin terlihat sangat serius malam itu, berbeda dengan Merlin yang Rei tahu. Mengingatnya saja sudah cukup membuat Rei merinding―baik karena pembicaraannya, maupun sikap Merlin yang mendadak berubah.

Rei menghembuskan nafasnya dan bergumam, "...kuharap dia memberi tahu Arthur."

"Memberitahu soal apa?" tanya Gareth.

Tubuh Rei mendadak kaku, dia lupa fakta bahwa Gareth―masih―ada bersamanya. "A-Ah, tidak. Hanya berkhayal. Hahaha."

"Sebaiknya kita mencari kegiatan. Apakah anda bosan? Anda melamun cukup lama tadi," tegur Gareth.

"Eh? Benarkah?" Rei memasang pose berpikir. Gareth menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.

"Entahlah. Aku juga bingung," ucap Rei, kembali melihat langit-langit. Sesekali, Rei dari ujung matanya, kembali melihat keluar jendela.

Masih―bahkan lebih ramai dari beberapa saat yang lalu. Karena seperti kata Gareth, bukan hanya rakyat biasa yang datang, kesatria beserta saudara raja pun datang untuk menjadi saksi upacara ini.

Rei ingin datang juga, tapi ia sedang malas mencari masalah dengan Merlin nanti. Dia pasti akan diceramahi, dan diberi pelajaran tembahan. Lebih parahnya mungkin Merlin tidak akan mengizinkannya pergi ke pesta dansa atau malah menendangnya kembali ke Avalon dengan tidak hormat.

Dan, tidak hanya itu, kemungkinan besar Gareth akan kena masalah juga.

"Rei? Jika anda lelah, kenapa tidak tidur saja?" tawar Gareth, membuyarkan lamunan Rei. Baik wajahnya maupun nada bicaranya, Rei tahu Gareth sangat khawatir.

Rei tersenyum lebar―cukup lebar hingga membuat kedua matanya menyipit dan memperlihatkan deretan gigi-gigi miliknya. Tangan kanannya terulur dan menepuk-nepuk pundak Gareth, guna menenangkan sang kesatria.

"Tidak. Tidak usah, aku baik-baik saja, Gareth. Aku akan meneruskan belajarku saja. Bisa gawat jika Merlin tahu aku belum selesai."

Mungkin, walau sehari saja aku harus mematuhi Merlin.

***

Merlin bersiul takjub sembari sesekali bertepuk tangan.

"Hebat sekali, tak kusangka kau bisa menyelesaikan belajarmu hingga aku pulang. Tapi, dia benar-benar belajar kan? Gareth?" tanya Merlin.

Gareth mengangguk singkat, sementara Rei yang berdiri disampingnya, meletakan kedua tangannya dipinggang, bangga. "Jangan remehkan kemampuanku!"

Merlin terkejut―sebenarnya menyuruh Rei belajar hanyalah sebuah candaan, jadi dia tidak berpikir Rei akan menganggapnya serius. Bahkan, dia pikir Rei akan kabur seperti biasa.

Diam-diam Merlin memperhatikan Rei yang menyodorkan Fou yang baru saja bangun pada Gareth. Seringai tipis muncul dibibir Merlin.

Tak apalah, bukannya bagus kalau dia belajar? Walau sedikit seram juga jika dia menurut padaku.

"Oh, iya. Rei, tadi ratu bilang padaku, dia ingin bertemu denganmu," ucap Merlin.

"Ratu? Ada perlu apa?"

Merlin mengangkat bahu lalu menggelengkan kepalanya. "Mana kutahu? Dia hanya bilang ingin bertemu denganmu."

"Ah, kebetulan sekali. Sudah saatnya saya kembali dan berkumpul dengan anggota meja bundar lainnya," ucap Gareth sembari perlahan mengembalikan Fou pada Rei.

"Eh, benarkah? Kalau be―"

"Kalau begitu, kita bertiga datang bersama saja," sela Merlin dengan senyuman diwajahnya. Rei menatapnya dengan wajah kesal.

"Apa-apaan kau? Bukannya hanya aku yang dipanggil oleh ratu? Berarti hanya aku dan Gareth saja yang akan pergi bukan? Lalu, kenapa... kau?"

"Hm? Aku tidak ingat kalau aku mengatakan bahwa urusanku dengan raja dan ratu sudah selesai," Merlin berkata dengan riang.

"Sudah, sudah. Sebaiknya kita segera pergi." Gareth buru-buru menenangkan pasangan ayah-anak itu sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Perjalanan mereka menuju ruangan para kesatria meja bundar―dengan mengejutkannya―terbilang sangat damai. Merlin dan Rei tampaknya sedang gencatan senjata.

"Tapi, berapa kalipun dilihat, seluruh istana bahkan lorong-lorongnya pun terlihat sangat megah," ucap Rei. Matanya tidak lelah memperhatikan satu persatu baju zirah yang diposisikan berdiri disepanjang lorong.

Gareth dan Merlin saling bertatapan sejenak, lalu tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah, biarkan dia bersenang-senang," celetuk Merlin.

Beberapa menit berlalu, ketiga orang itu hampir sampai diruangan yang dimaksud. Merlin dan Gareth berbincang-bincang santai, sementara Rei berada cukup jauh didepan mereka, asyik dengab kegiatannya sendiri.

"Hm? Hei Merlin, Gareth. Sejak kapan ada patung disini?"

Gareth dan Merlin berhenti lalu saling menatap. "Patung? Seingatku tidak ada pat―" kata-kata Gareth terhenti begitu ia melihat Rei tengah menyentuh-nyentuh patung yang dimaksud.

"Hebat. Bahkan wajahnya terlihat seperti manusia asli." Rei dengan antusias seraya semakin gencar memperhatikan patung tersebut sambil menyentuh-nyentuhnya diberbagai bagian.

Wajah Gareth memucat, kata-katanya tidak bisa keluar. Dia panik. Masalahnya, itu bukan patung. Pada akhirnya, karena tidak bisa berkata-kata lagi, Gareth mengambil langkah seribu mendekati Rei.

"R-Rei! I-itu bukan patung!" Gareth dengan gelagapan memegang kedua tangan Rei yang berniat menyentuh jubah yang menggantung disalah satu bahunya, lalu menariknya menjauh dari tempatnya berdiri tadi.

"Eh, bukan?" dengan bodohnya, Rei bertanya. Gareth mengangguk cepat.

Kulit pucat, rambut hitam rapi disisir kebelakang, baju zirah berwarna hitam dan jubah menggantung disalah satu bahunya. Dan ekspresinya yang tidak berubah sedari tadi membuat Rei semakin ragu akan pernyataan Gareth.

"Lalu, dia siapa?"

"Dia―"

"Sudah cukup lama setelah terakhir kali kita bertemu bukan?" Merlin berjalan menuju tempat si zirah hitam, dengan senyuman misterius terlukis diwajahnya.

"Sir Agravain."

"―kakakku, Sir Agravain."

Kakaknya Gareth? Pat―Orang itu? Mustahil!

"Kau, Merlin. Si Penyihir Bunga." Agravain menatap Merlin datar. "Ah, ternyata kau mengingatku. Aku senang~ "

Agravain, dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah, mengalihkan pandangannya, kini pada dua orang perempuan yang tengah membelakanginya tak jauh didepannya.

"Perempuan yang bersama Gareth. Siapa namamu?"

Rei menjerit dalam hati. Kepribadian, penampilan fisik, bahkan aura yang dikeluarkan pria bernama Agravain itu benar-benar berbeda dengan milik Gareth. Rei sama sekali tidak ingin percaya.

"Namanya Rei. Dia teman lama raja dan ratu," jawab Merlin. Ia memutar tubuh Rei, membuatnya bertatapan dengan Agravain lalu merangkulnya.

Agravain menaikkan salah satu alisnya. "Teman lama? Seingatku tidak ada satupun kenalan raja dari keluarga bangsawan yang bernama Rei."

Orang ini berbahaya. Sangat...

"Oh ayolah, santailah sedikit Aggy. Dia itu teman raja dan ratu sewaktu kecil. Dan ratu sekarang ingin menemuinya. Lihat kan? Dia hanya seorang gadis remaja yang imut," ucap Merlin kini memeluk Rei erat―saking eratnya, Rei sampai merasa tercekik.

"Ratu, ya? Hmph, terserah kau saja. Gareth!"

"Y-Ya?!"

"Ikut aku, sebentar lagi ibu akan datang. Dan, Tuan Penyihir Bunga..."

"Ya? Ada apa? Aggy?"

"Jangan panggil aku dengan nama itu."

Agravain berbalik pergi, disusul oleh Gareth. Meninggalkan Merlin dan Rei.

"Huft, akhirnya dia pergi juga." Merlin melonggarkan tangannya, kembali merangkul Rei begitu punggung Agravain dan Gareth terlihat semakin jauh.

"Apa-apaan orang itu? Dia sama sekali tidak terlihat maupun bersikap layaknya seorang kesatria." Rei menyilangkan kedua tangannya.

"Ya, mau bagaimana lagi? Sir Agravain itu dikenal membenci perempuan. Cukup rumit untuk menjelaskannya juga dalam waktu yang singkat."

Rei mengangguk-ngangguk mengerti. "Ah, ratu! Kita harus cepat, Mer―" Rei merasakan pegangan kuat pada bahu kanannya. Tangan Merlin terlihat agak gemetar.

"Merlin?"

Mata Merlin terlihat menatap tajam kearah Agravain dan Gareth pergi. Senyumannya juga menghilang.

Apa Merlin... takut?

"Ayo, Rei. Kita pergi."

"Baiklah."

"Oh, dan satu lagi―"

Merlin menarik tangan Rei. Membuat si gadis semakin dekat hingga kini bibir Merlin berada tepat di samping telinganya.

"―jangan terlalu sering berurusan dengan Agravain. Atau bahkan lebih baik kau tidak berurusan dengannya lagi."

CHAPTER INI BERAKHIR DENGAN TIDAK INDAH PEMIRSA.
WORD NYA SANGAT JEBOL ASDFGHJKL..

Btw, selamat atas debut-nya Sir Agravain a.k.a Aggy a.k.a Akkun ama adeknya, Sir Gareth.🌚
Tadinya mau ada satu chara lagi yang muncul tapi karena kepanjangan, chap dpn sadja ( ͡° ͜ʖ ͡° )

Yasud, akhir kata..
HAPPY (EARLY) NEW YEAR 2019~
🎉🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro