Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Setelah bertemu sebentar dengan Arthur dan mengantarkan Rei kepada Guinevere. Merlin berjalan menuju gerbang utama istana.

Dia sendirian, tanpa Fou karena makhluk itu masih terlelap di kamarnya.

Begitu sampai digerbang utama, Merlin berdiri diam, lalu menyandarkan punggungnya ketembok, dilihat dari manapun Merlin pasti sedang menunggu sesuatu.

Benar saja. Tak lama kemudian, beberapa kesatria berkuda datang. Mereka dipimpin oleh seorang kesatria yang mengenakan helm hingga menutupi wajahnya.

"Ya~ Selamat datang kembali, para kesatria yang terhormat," ucap Merlin begitu para kesatria berkuda itu memasuki gerbang.

Si pemimpin menghentikan kudanya. Meski tidak terlihat, Merlin dapat merasakan kedua mata kesatria itu menatapnya dengan tajam.

Tanpa berbicara, si pemimpin mengangkat tangan kanannya lalu meluruskan tangannya ke depan, mengisyaratkan kesatria-kesatria dibelakangnya untuk masuk lebih dulu.

Para kesatria dibelakangnya langsung mematuhi perintah sang pemimpin, mereka tahu pemimpin mereka itu pasti punya urusan dengan penyihir didepannya ini.

Begitu para kesatria lainnya masuk. Si kesatria pemimpin itu langsung turun dari kudanya, menghampiri Merlin yang masih berdiri ditempatnya dan senyuman terukir diwajahnya.

"Lama tidak berjumpa."

Dia tidak menjawab. Merlin menghembuskan nafasnya. "Kau sama sekali tidak berubah ya. Dan juga, bukankah lebih baik jika helm-mu kau lepas? Aku tidak akan menyerangmu."

Tetap tidak ada jawaban dari si lawan bicara. Merlin menyerah untuk berbasa-basi. Toh, Merlin tahu betul lawan bicaranya ini tidak suka berbasa-basi.

"Ada yang perlu kubicarakan denganmu."

Kepala si kesatria bergerak, menoleh kearah Merlin. Seakan bertanya apa yang ingin sang penyihir bicarakan.

Namun, bukannya kembali berbicara atau balas menatap sang kesatria, kedua mata Merlin melihat kesekitar. Kondisi disekitar masih sepi karena pesta baru dimulai sekitar satu jam lagi.

Pandangannya terlihat waspada.

Sejak dia datang ke gerbang utama, ia langsung merasakan mana yang sangat kuat bahkan dari jarak sekitar seratus meter. Tentu saja, Merlin tahu siapa pemilik mana sekuat ini.

"Sepertinya, kita harus mencari tempat lain."

Merlin berbalik pergi dari sana, diikuti dengan si kesatria dibelakangnya.

***

Disebuah ruangan di istana, sekitar lima orang pelayan nampak sibuk bolak-balik ke sana kemari didalam ruangan dengan tangan yang penuh. Entah itu penuh karena alat rias, ataupun beberapa potong gaun.

Intinya, ruangan yang seharusnya sangat luas itu entah mengapa saat ini terasa sangat sempit karena sesuatu.

Sekitar setelah setengah jam berlalu, suasana kembali seperti sedia kala. Para pelayan juga izin keluar dari ruangan karena tugasnya telah selesai. Menyisakan dua orang perempuan diruangan itu―Rei dan Ratu Guinevere.

Dilain pihak...

Rei melongo dengan apa yang kedua matanya lihat. Didepan matanya, ada seorang gadis yang cukup―sangat malah―cantik.

Rambut putih panjangnya dikepang, ditata dan dihias sedemikian rupa. Kedua pipinya yang merona, dan sepasang mata bulat berwarna sebiru langit.

"I-Ini, benar-benar aku?"

Tangan kanan Rei terulur menyentuh permukaan cermin. Masih tidak percaya bahwa gadis yang ia lihat didepannya ini―meski dengan riasan yang cukup sederhana adalah dirinya sendiri.

Pelayan kerajaan itu menyeramkan...

"Lihat? Jika kau berdandan sedikit, kau akan lebih cantik," ucap Guinevere. Ia berjalan mendekati Rei dari belakang dan memegang kedua bahunya.

"Tidak bisa dipercaya..." gumamnya. Kekehan sukses keluar dari mulut Guinevere.

"Ah, apa tidak apa-apa aku memakai gaun ini? Meski aku minta yang paling sederhana, ini masih terasa terlalu mewah untukku," ucap Rei kini memegangi gaun berwarna biru tua panjang yang ia kenakan.

Gaun itu lebih sederhana dari milik Guinevere yang memang diperuntukkan untuk ratu dan seorang pengantin. Panjangnya hanya mencapai mata kaki. Bagian bahu dan depannya pun lebih tertutup dengan bagian tangannya yang panjang.

"Tidak usah kau pikirkan. Anggap saja bentuk rasa terimakasih karena kau mau kesini." Guinevere tersenyum lalu memeluk Rei. "Oh iya. Apa kau sudah dengar?"

"Hm? Sudah dengar apa?" tanya Rei. Guinevere melepaskan pelukannya dan memegang kedua tangan Rei.

"Kakak akan kembali hari ini..."

***

"Aku bersyukur kau datang tepat waktu lho~"

"Berisik."

Meski dibalas dengan dingin, Merlin tetap memasang senyuman lebarnya―bahkan terlihat bunga-bunga disekitar wajahnya ketika si penyihir itu tersenyum.

Berbanding terbalik dengan lawan bicaranya―sang kesatria yang ia temui di gerbang, kini tanpa mengenakan helm miliknya, malah terlihat semakin kesal dan jengkel.

"Aku baru saja pulang dari tugas, dan aku harus menjaga bocah itu lagi? Ayah macam apa kau itu?!"

"He~ jadi kau tidak mau?" goda Merlin dengan nada bicara yang dibuat seakan pria itu tengah sedih.

Terdengar sebuah helaan nafas panjang dari lawan bicaranya. "Terserah kau saja."

Merlin terkekeh. "Dasar siscon."

"Apa katamu?"

"Tidak, tidak apa―"

"Kemana si penyihir ke―ah, itu dia! Merlin!"

Merlin menoleh begitu ia mendengar seseorang memanggilnya. Kedua matanya spontan melotot. Seorang gadis memakai gaun berlari kearahnya―walau agak ragu, instingnya mengatakan gadis itu adalah Rei.

Dan Merlin sendiri terkejut bahwa instingnya itu benar.

"Lihatlah siapa yang baru saja kembali dari kamar ratu." Merlin mengelus puncak kepala Rei dengan pelan, sekaligus merapikan sedikit rambutnya yang agak berantakan. "Bagaimana kunjungannya?"

"Sudahlah. Aku dengar, Kak Kay akan pulang. Memangnya dia darimana saja?" tanya Rei sembari menepis pelan tangan Merlin.

"Ya, entahlah. Siapa tahu saja dia pergi untuk bermain dengan pere―"

"Aku disini."

Si pria yang menjadi lawan bicara Merlin beberapa saat yang lalu itu membalikan badannya. Meski wajahnya terlihat tanpa ekspresi, orang-orang yang melihat wajah pria ini akan memiliki pendapat yang sama, bahwa dia sedang merasa jengkel.

"Jangan samakan aku denganmu, penyihir sialan."

"Whoa, whoa! Maaf, maaf. Aku hanya bercanda, ampuni aku Sir Kay."

Kay mendecih. Dengan cepat ia alihkan pandangan―serta perhatiannya kepada satu orang lagi yang terlihat masih memproses kejadian didepan mukanya.

"Yo, sudah lama tidak berjumpa ya, Rei." Kay memasang senyuman tipis, tangannya terulur dan kini berada tepat diatas kepala Rei. "Kau terlihat sehat ternyata, aku terkesan," lanjut Kay―entah itu sebuah pujian atau hinaan.

Dilain pihak, Rei mengedipkan matanya beberapa kali. Dari sifatnya, Rei tidak ragu lagi bahwa pria didepannya ini adalah Kay. Tapi kalau dari penampilannya...

Rei cukup ragu.

Wajahnya berbeda masih bisa diterima karena sudah sembilan tahun lamanya sejak dia terakhir melihat Kay, namun yang membuat Rei ragu adalah...

Rambutnya.

Rambut Kay terlihat jauh lebih cerah. Coklat muda? Tidak, hampir mendekati pirang malah. Rambutnya pun kini terlihat lebih panjang hingga hampir menutupi matanya. Sekarang, menurut Rei, Kay jadi terlihat menyerupai Arthur―atau Gawain.

"Kak Kay, rambutmu..."

"Rambutku? Apa ada masa―oh. Ya, begitulah. Banyak yang terjadi saat kau tidak disini," jawab Kay sekenanya. "Jangan terlalu kau pikirkan."

Rei mengangguk pelan, baru saja ia membuka mulutnya, Merlin terlebih dulu berbicara mendahuluinya.

"Baiklah, mungkin sudah saatnya kita ke aula. Kelihatannya semua persiapan sudah beres dan tamu-tamu yang lainnya sudah datang."

"Kau benar. Ayo Re―"

"Anu, Kak Kay? Rambutmu itu, jangan-jangan kau..."

"Ck, sudah kubilang tidak usah dipikirkan buka―"

"Penuaan dini?"

Satu detik kemudian, Rei menerima jentikkan mematikan dari sang kakak.

***

Diterangi oleh cahaya keemasan dari chandelier yang menggantung di langit-langit, serta diiringi oleh musik-musik yang indah menambahkan kesan megah ruangan yang menjadi tempat dilaksanakannya pesta malam ini.

Masih ada waktu hingga acara utamanya dimulai. Para tamu undangan menikmati waktunya masing-masing dengan berbincang dengan yang lain atau sekedar mencicipi hidangan yang disediakan.

Raja dan ratu sendiri, tengah duduk di singgasana masing-masing. Keduanya memakai busana serba putih.

Tak jarang terlihat saudara-saudara raja dan ratu bergantian menghampiri, walau ada juga yang lebih memilih berdiri terdiam ditempat yang agak jauh dari raja dan ratu.

Contohnya, kakak dari raja.

"Hei, jika kau terus menggaruk rambutmu, hiasannya akan berantakan!"

"Baik, baik."

Terimakasih karena ulah Merlin yang seenaknya menghilang lagi, Kay harus menggantikan peran Merlin untuk menemani Rei yang sedari tadi enggan untuk berhenti memainkan rambutnya.

Lihat? Sesuai dugaan Kay, sekarang hiasan-hiasan yang semula sangat rapi di rambut Rei terlihat akan lepas bahkan hanya karena disentuh.

Rencana Kay untuk kembali menegur gadis itu seketika terhenti, ketika ia mendengar sebuah suara yang keluar dari perut gadis itu.

"Yang benar saja..."

Rei hanya bisa memasang senyuman lebar. "Tunggulah sebentar disini," perintah Kay sebelum dia pergi dan menghilang dibalik kerumunan.

Ditempat itu Rei terdiam. Ia menyandarkan punggungnya di tembok yang berada tepat dibelakangnya.

Mata birunya memang melihat kearah kerumunan orang didepannya, namun pikirannya melayang entah kemana.

Arthur dan Guinevere. Kedua temannya itu kini telah resmi menikah, menjadi seorang raja dan ratu yang memimpin Camelot. Keduanya juga sama-sama orang yang baik.

Seharusnya Rei merasa senang. Namun entah kenapa rasanya ada yang satu perasaan yang mengganjal. Rei sendiri tidak tahu apa itu, tapi ia sama sekali tidak menyukainya.

"Oi, ini. Makanlah."

Lamunan Rei berhasil buyar karena ulah Kay yang tiba-tiba menyodorkan piring dengan sepotong kue diatasnya. "Terimaka--"

"Ah! Ketemu. Rei!"

Dari jarak sekitar dua meter, Gareth memanggil Rei. Masih memakai baju zirah, namun kali ini dia tidak memakai helm-nya. Tanpa menunggu lama lagi, Gareth berjalan menuju mereka berdua.

"Oh! Ada Sir Kay juga. Terimakasih atas kerja kerasnya!" ucap Gareth sembari menyalami Kay yang masih memasang wajah datar.

"Kau sendirian? Kemana kakak-kakak mu?"

"Ah, Kak Gawain masih sibuk dengan para wanita, sementara Kak Agravain bilang dia tidak akan datang. Dia beralasan kalau disini terlalu banyak wanita."

Bertolak belakang sekali. Luar biasa.

Memang benar, tak lama setelah Gareth berbicara begitu, ketiganya melihat sosok Gawain yang berbincang-bincang dengan setidaknya dua orang wanita. Ah, mereka juga melihat Bedivere yang berusaha menjauh dari beberapa gadis. Tentu saja dengan wajah yang hampir memerah sepenuhnya.

"Tapi sebenarnya, saya cukup kaget. Jika Rei berdandan, dia terlihat lebih cantik dari dugaan saya," ucap Gareth.

"Salahkan Merlin karena tidak pernah mengurusnya dengan benar," celetuk Kay.

Gareth tertawa mendengar ucapan Kay. Sementara Rei memasang wajah kesal bercampur dengan bingung.

"Kucari kemana-mana, ternyata kau ada disini ya. Gareth."

Gareth berbalik, lalu tersenyum. Dibelakangnya ada sosok wanita. Rambutnya putih sama seperti Rei namun lebih panjang. Ia mengenakan gaun berwarna hitam panjang yang cukup terbuka. Namun Rei maupun Kay tidak dapat melihatnya dengan jelas karena tertutup oleh kain yang cukup transparan berwarna hitam.

Kay spontan memasang posisi siaga, dia memegang tangan Rei karena kaget―tentu tanpa disadari oleh orang-orang disekelilingnya. Rei juga otomatis berusaha berlindung di belakang Kay. Tidak peduli dengan makanan yang diberikan oleh Kay―yang juga menghilang entah kemana.

Rei dapat firasat buruk karena wanita di depannya ini mempunyai aura yang sama seperti Agravain.

"Maafkan aku, Ibu. Ah! Ada seseorang yang ingin aku kenalkan kepada ib―"

"Maafkan aku karena menyela kalian, tapi aku harus menemukan seseorang. Bocah ini kelihatannya kurang enak badan," potong Kay yang menunjuk Rei yang memeluk lengannya hingga wajahnya tidak terlihat.

"Eh? Benarkah? Seharusnya jangan memaksakan diri kalau begitu." Gareth memandang Rei dengan khawatir. "Kalau begitu. Saya permisi, Sir Gareth dan Nyonya Morgan Le Fay." setelah itu, Kay pergi masih dengan Rei yang memeluk lengannya.

Tanpa ada satupun dari mereka yang tahu, wanita itu―Morgan Le Fay, memandang punggung keduanya yang perlahan menghilang dengan tatapan yang sulit diartikan.

***

"Hampir saja." Rei menghembuskan napas panjang.

"Aku setuju denganmu," Kay menimpali.

Sekarang, mereka sudah berada cukup jauh dari ruangan dansa, tepatnya di taman yang pagi hari tadi Rei kunjungi. Sebenarnya, itu permintaan Rei karena memang dia juga ingin mencari udara segar.

"Jadi, orang itu yang Merlin ceritakan? Morgan Le Fay?"

Kay yang kehabisan kata-katanya, hanya bisa berdeham. "Ini pertama kalinya kau melihatnya. Bagaimana kesan pertamamu?"

Rei meletakan jari telunjuk di dagunya, lalu duduk di rerumputan. "Kesan pertama, ya? Cukup... buruk," bisik Rei. Jika diperjelas lagi, kesan pertama Rei pada Morgan adalah menakutkan. Kurang ajar memang, tapi itulah kenyataannya.

Kay tertawa renyah. "Aku tahu perasaanmu. Aku juga membencinya."

"Benarkah?"

Kay menganggukkan kepala. "Wanita itu―Morgan Le Fay, aku sangat tidak menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya," Kay berucap sambil menolehkan kepala kearah Rei. Rei terkekeh geli.

"Hm? Sedang apa kalian disini? Acaranya akan segera dimulai!" Merlin secara tiba-tiba, muncul entah dari mana, mengagetkan Rei dan Kay. "Ada beberapa kendala," timpal Kay, sekenanya.

Mulut Merlin membentuk huruf 'o' ketika mendengarnya. Kay dan Rei sebenarnya yakin kalau Merlin sudah tahu apa sebabnya.

Tak lama kemudian, suara musik berhenti sebentar, lalu terdengar lagi, kini musiknya jauh lebih jelas terdengar dibandingkan sebelumnya yang terkesan agak samar.

"Oh, acara utamanya sudah dimulai. Kau tidak kesana Kay? Biar aku yang menjaga Rei. Aku juga ingin berbicara dengannya."

Kay terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan untuk menerima tawaran Merlin.

Begitu punggung Kay tidak terlihat lagi, Rei membuka mulutnya.

"Hei, Merlin."

"Hm? Ada apa, Rei?"

"Guinevere dan Arthur itu temanku, bukan? Hari ini adalah hari yang bahagia bagi mereka, bukan? Lalu kenapa aku tidak merasa senang?" tanya Rei tanpa sekalipun menoleh untuk melihat wajah Merlin.

Tubuh Merlin menegang. "Karena kau tidak punya teman bermain lagi? Kan kau sudah ada Fo―"

"Bukan itu! Rasanya berbeda." potong Rei.

Merlin menatap Rei datar. "Kau hanya lelah. Kau masih belum terbiasa dengan keadaan diluar Avalon." Merlin berkata.

"Ah, mungkin kau benar. Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Setelahnya mungkin aku akan tidur," ucap Rei sembari bangkit dan berjalan perlahan menjauhi Merlin.

Rei melangkahkan kakinya pelan, ia berjalan sedikit lebih jauh kedalam taman hingga ia melihat sebuah kolam kecil. Airnya jernih, disisi-sisinya pun dikelilingi oleh batu-batu hias dan bunga-bunga kecil berwarna putih.

Rei berlutut. Tidak peduli dengan gaunnya yang―pasti―akan kotor terkena tanah. Lalu ia mencuci wajahnya dengan air kolam itu. Berusaha untuk sedikit mendinginkan pikirannya―dan mencuci sisa riasan diwajahnya.

Rei kemudian memeluk lututnya sambil menatap permukaann air.

Masih banyak hal yang belum diberitahukan Merlin padanya tentang dunia luar dan hal-hal lainnya, namun Rei sangat penasaran dengan perasaan apa yang mengganjal yang dia rasakan.

Dan disaat seperti inilah kemampuan berpikir Rei dipakai.

Beberapa saat memikirkannya, Rei menjentikkan jarinya, seakan sudah menemukan jawabannya.

"Apa mungkin itu―"

"Oh, ternyata kau memang disini."

Lamunan Rei buyar seketika―terimakasih.

Disaat Rei menoleh dan akan menegur sosok yang membuyarkan lamunannya. Lidahnya langsung kelu.

"Arthur?"

Arthur yang masih memakai setelan serba putih itu berjongkok disebelah Rei dan memetik satu bunga yang ada dipinggir kolam. Sementara Rei masih menatap Arthur dengan tatapan 'kenapa-kau-ada-disini?'

Seakan mengerti, Arthur buru-buru membuka mulutnya.

"Ah, soal ini. Setelah aku dan Guinevere selesai berdansa, sekarang giliran para kesatria yang berdansa dengan Guinevere. Aku bisa berdansa dengan tamu yang lain, tapi karena bosan aku kesini," jelas Arthur.

"Raja dan suami macam apa kau ini?"

"Oi."

Rei terkekeh. Merlin pernah berkata padanya, meski Arthur sudah menjadi seorang raja, dia tetaplah remaja berusia delapan belas tahun. Dan gelagat aslinya keluar saat ini.

Setelah kembali menjelaskan, bahwa Arthur pergi dengan persetujuan Guinevere. Rei mengangguk-angguk mengerti, dan meminta maaf dengan nada yang sangat tidak serius.

"Rahasiakan ini dari yang lainnya, ya?" Arthur meletakkan jari telunjuknya didepan bibir.

Arthur kemudian kembali tersenyum. Setangkai bunga putih ditangannya kini sudah ada ditelinga Rei. "Aku rindu masa kecilku," gumam Arthur. Mata emerald-nya kembali menatap permukaan air yang tenang sebelum akhirnya bangkit.

Rei berpikir, mungkin sudah saatnya Arthur untuk kembali ke ruangan dansa. Dia rajanya. Para tamu dan ratu pun pasti sudah menunggunya. Namun, Rei ternyata salah besar.

Arthur mengulurkan tangan kanannya tepat didepan wajah Rei yang kebingungan. "Aku baru ingat, aku belum berdansa dengan teman kecilku ini..."

Rei mendongak, mendapati Arthur yang masih memasang senyumannya.

"May i have this dance?"

Berakhir dengan tyda indah dan nyambung sahabat-sahabat q.
Dan ngomong-ngomong, terimakasih kepada para pembaca yang membuat book ini tembus 1k 😭😭😭😭 #Meueuk.
Mungkin hanya meme ini yang dapat mewakili perasaan author sedeng ini :"
↓↓↓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro