Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Setengah tahun berlalu tanpa terasa setelah pernikahan Raja dan Ratu.

Sejak saat itu, Camelot perlahan semakin berkembang. Meski beberapa kali terkena masalah seperti ketersediaan bahan makanan hingga harus membeli ke kerajaan―bahkan negara lain seperti saat ini, berkat Raja dan Ratu―dengan bantuan seorang Penyihir sebagai penasehat serta para kesatria yang setia, masalah-masalah itu dapat diatasi.

Sejak saat itu pula, banyak kesatria maupun pengembara datang ke Camelot untuk bertemu dengan Raja Arthur dan bahkan ada yang akhirnya mengabdikan dirinya sebagai kesatria Camelot.

Salah satunya adalah Sir Tristan. Keponakan dari Raja Mark dari Cornwall. Rumor mengatakan bahwa Sir Tristan ini diusir oleh sang paman karena suatu alasan. Entah apa itu alasannya, kesatria yang selalu menutup matanya itu selalu menolak untuk membicarakannya.

Namun, Sir Tristan tetaplah seorang kesatria yang terhormat dan selalu berpikir dengan kepala yang dingin. Dia juga dapat dengan cepat diterima oleh rata-rata orang di Camelot.

―tapi entah mengapa ia sering terlibat cekcok dengan Sir Palamedes.

Seorang raja yang ideal dan bergabungnya kesatria-kesatria yang kuat, banyak yang beranggapan bahwa bukan hanya Camelot, bahkan Britania juga dapat mencapai masa kejayaannya tidak lama lagi. Namun--

"Kau berdiam diri terus, sebenarnya apa yang kau pikirkan?"

Ucapan sang raja sukses membuat Merlin tersadar dari lamunannya. "Jika kau memikirkan tentang masalah hasil panen kita, jangan khawatir. Aku sudah minta bantuan pada Sir Lancelot untuk membelinya dari kerajaan lain."

"Meski tidak enak juga terus meminta bantuannya," sambung Arthur.

"Ya, mau bagaimana lagi? Sejak awal, tanah ini memang miskin. Mendirikan kerajaan sebesar ini saja merupakan suatu keajaiban."

Meski berkata dengan nada bercanda dan melebih-lebihkan, Merlin tahu betul bahwa hal itu adalah sebuah fakta.

Sejak dulu tanah Britania merupakan tanah yang miskin―atau mungkin, kurang subur dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Oleh sebab itu, Uther bercita-cita untuk membuat tanah Britania menjadi tanah yang makmur dan juga subur.

Namun, hingga nafas terakhirnya, Uther belum bisa menggapai cita-citanya hingga cita-cita tersebut akhirnya diturunkan kepada anaknya, Arthur Pendragon―seorang anak yang ditakdirkan untuk menjadi Raja yang ideal untuk rakyat-rakyatnya.

"Tapi ini merupakan tugasku. Ayah mewariskan masa depan tanah ini padaku, dan pada saat aku menarik pedang itu, aku sudah siap dengan apa yang akan aku tanggung."

"Aku yakin suatu saat nanti kerajaan ini akan menjadi kerajaan paling makmur, tidak akan kalah dengan Avalon yang legendaris itu," sambungnya. Dari jendela di ruangan takhtanya, kedua matanya melihat jauh. Seakan melewati cakrawala dan menatap langsung ke tempat dimana Avalon berada.

Merlin berhasil dibuat bungkam oleh Arthur. Mimpi sebesar itu memang hampir mustahil―atau mungkin memang mustahil untuk diwujudkan, apalagi melihat kondisi Camelot dan Britania saat ini maupun 'masa depannya' yang telah dilihat oleh Merlin.

"Aku ingin melihat latihan para kesatria, apa kau mau ikut? Merlin?"

"Um? Ah tidak usah, yang mulia. Aku masih punya beberapa urusan." Merlin menolak ajakan Arthur dengan sopan. Meski ia berkata punya urusan, satu-satunya hal yang ia lakukan saat Arthur sudah menghilang dari pandangannya adalah melanjutkan monolog-nya.

―tentang masa depan Britania, ya?

Merlin sendiri ragu dengan apa yang ia lihat dengan clairvoyance-nya baru-baru ini. Dengan seorang pemimpin yang ideal, kesatria yang gagah berani, dan prestasi-prestasi gemilang yang telah sang Raja dan kesatria-nya raih dalam waktu yang tergolong cukup singkat, kenapa?

kenapa masa depan yang menanti Britania, belum menunjukkan setitik pun cahaya...

***

Meski dilanda masalah layaknya saat ini, latihan rutin para kesatria tetap berjalan.

Dilorong menuju tempat latihan kesatria, Arthur melangkahkan kakinya. Berbeda dengan saat berbincang dengan Merlin beberapa saat yang lalu, kini Arthur telah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih sederhana dan lebih cocok untuk berlatih.

"Selamat pagi, Rajaku. Sudah cukup lama sejak terakhir kali engkau mau bergabung dengan latihan kami."

"Selamat pagi juga, Sir Kay."

Kay yang kebetulan lewat dan juga akan pergi ke tempat latihan, menyapa sang raja. "Repot-repot bergabung dengan kami, apakah ada yang ingin anda sampaikan? Rajaku?" tanya Kay.

Arthur menggeleng. "Tidak. Hanya ingin melepas penat saja," jawabnya singkat.

Kay―yang sudah lama mengenal Arthur, tahu betul nada bicara dan tingkah laku Arthur saat ini. Pria itu terlihat agak lelah, seperti dia sedang banyak pikiran.

Kay menghembuskan napas panjang―dan cukup kasar. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan hingga wajahmu bisa sekusut itu?"

Arthur melirik kearah Kay yang secara tiba-tiba mengabaikan cara bicara formalnya itu hanya dalam sekejap mata.

Bukan hal yang aneh memang. Dalam keadaan yang cukup 'langka', Kay seringkali bersikap layaknya seorang kakak kepada adiknya jika ia hanya berdua dengan Arthur. Tidak terlalu sering, karena Kay juga paham akan posisinya sebagai kesatria.

Namun, Arthur lebih menyukai sisi Kay yang ini―sisi seorang kakak yang dapat diandalkan, bukan seorang kesatria yang siap melindungi dan melayaninya.

"Ceritakan saja," lanjut Kay.

Arthur tersenyum, namun ia masih menolak untuk membicarakannya dengan Kay. Kay sendiri sebenarnya sudah punya firasat, tapi ia putuskan untuk menunggu, barangkali tebakannya salah.

Satu menit berlalu tanpa ada satupun dari mereka yang membuka pembicaraan. Perjalanan menuju tempat latihan terasa sangat lama ditengah keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki mereka berdua.

"Kau bertengkar dengan Ratu? " tanya Kay. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Kay, sukses membuat mata Arthur melotot. "Darimana asal pemikiran itu?" ucap Arthur.

Terdengar konyol, namun Kay tahu jika Arthur bersikap seperti ini, maka yang sedang ia pikirkan bukanlah masalah Kerajaan―melainkan masalah yang lebih personal. Namun karena Kay malas menjelaskan, pria itu memilih untuk diam.

"Tidak, aku tidak bertengkar dengannya. Malahan, aku cukup senang karena ia menjalankan posisinya sebagai ratu dengan sangat baik," jawab Arthur.

Lagi...

"Arthur, jika kau terus bersikap seperti itu, kau tidak akan punya anak ataupun kehidupan pernikahan yang bahagia," ucap Kay yang lebih terdengar seolah tengah menceramahinya

Arthur, tersenyum sedikit pahit lalu meringis. Ia tidak bisa membantah kata-kata Kay. Faktanya, ia memang menikahi Guinevere karena adanya rasa balas budi Uther pada Raja Leodegrance―ayah Guinevere, karena telah membantunya dalam satu perang dan mengantarkannya pada kemenangan.

Uther memutuskan untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan Camelgard. Hingga akhirnya, rencana pernikahan putranya dan putri Leodegrance tercipta sejak mereka terlahir.

Arthur akui, saat kecil dia merasa sangat malu saat orang lain membicarakan pernikahannya dengan Guinevere di masa depan karena, ya―Arthur masih belum terlalu mengerti.

Semakin lama, Arthur mulai sadar, rasa yang ia miliki terhadap Guinevere tidaklah lebih dari rasa hormat. Ia menghormati Guinevere sejak lama, saat ia menjadi ratu rasa hormat itu semakin besar.

Namun, ya. Hormat itu beda dengan suka maupun cinta. Setelah menikah pun, Arthur memandang Guinevere sebagai ratu―tanpa memandangnya sebagai istri-nya. Arthur tahu itu kurang ajar, namun begitulah faktanya.

sudah terlambat juga untuk menyesal. Pikir Arthur.

"Sebaiknya, anda juga memperhatikan kebahagiaan anda sendiri, Rajaku."

Sudah sering Arthur mendengar kata-kata itu terlontar dari mulut para kesatria―yang paling sering adalah Gawain dan Bedivere, bahkan Merlin.

"Jika kau bilang kau rela mengorbankan kebahagiaanmu sendiri untuk kebahagiaan rakyat-rakyatmu, sebaiknya kau menghentikan pemikiranmu itu."

Kay merangkul Arthur, kemudian tangannya yang lain terangkat dan mengacak-ngacak rambut Arthur pelan. "Jika sang raja tidak bahagia, rakyatnya juga tidak akan bahagia."

"Terimakasih, Kak―Sir Kay, namun seorang Raja harus kuat menanggung beban bawahan serta rakyatnya seorang diri. Akan kulakukan apapun agar rakyatku, agar kerajaan serta negeri ini dapat makmur. Apapun itu bayarannya."

Setelah perkataannya selesai, Arthur dengan pelan menepis kedua tangan Kay. "Nah, mari kita ke tempat latihan. Aku yakin, yang lainnya juga sudah menunggu."

Arthur berjalan, sedikit demi sedikit meninggalkan Kay yang masih berdiri tetap ditempatnya.

Pikiran Kay bercampur aduk. Antara kasihan, sedih, dan juga marah. Dari lubuk hatinya, Kay merasa cukup kesal dengan idealisme Arthur, namun ia akui Arthur juga tidak sepenuhnya salah. Sementara disisi lain, Kay ingin Arthur menemukan kebahagiaan, sekecil apapun itu.

"Andai saja..."

Arthur melirik Kay yang kembali angkat bicara―penasaran dengan apa yang hendak Kay katakan.

"Ada apa? Sir Kay?"

Kay tidak punya pilihan lain selain mengutarakan apa yang ada dipikirannya sejak awal ia mengobrol dengan Arthur.

"Andai saja, kita dapat kembali ke hari-hari itu, dimana kita tinggal dan menghabiskan hari di gubuk pria tua itu tanpa beban. Andai saja kau tidak menjadi raja, apa kau akan bahagia?"

Arthur terdiam. Ekspresinya datar, entah apa yang ada dipikirannya hingga Kay sendiri tidak dapat menyimpulkan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

"Sir Kay, masa lalu tetaplah masa lalu. Tidak ada yang bisa diubah, yang sekarang harus kita utamakan adalah bagaimana kita akan bertindak agar masa depan kita―seluruh negeri ini akan cerah," Arthur menjawab. Nadanya datar dan tegas.

Gini giliran Kay yang terdiam. Tidak, dia bukan takut atau gentar. Putra mendiang Sir Ector itu malahan merasa kesal. Ah, betapa muaknya dia mendengar Arthur menggunakan nada itu saat berbicara padanya. Betapa bencinya dia melihat sang adik kecil itu mengorbankan seluruh hidupnya hanya untuk menjadi seorang Raja.

Kay menghela napas.

"Saya dulu―"

"Andai saja, yang berada diposisi Ratu itu bukanlah Guinevere, melainkan Rei―" Kay melanjutkan kalimat, memotong perkataan Arthur dan membuat Sang Raja mengurungkan niatnya.

"―apakah anda akan bahagia?"

***

"Aku kembali." Merlin membuka pintu ruangan pribadinya. Kedatangannya langsung disambut oleh Fou, makhluk itu berlari menghampirinya lalu memanjat ke bahu Merlin.

"Tolong pergi dan temui Rei. Bilang padanya segera selesaikan sarung pedangnya," ucap Merlin pada Fou. Fou memiringkan kepalanya, meminta penjelasan atas keputusan Merlin yang sangat tiba-tiba.

―kenapa kau tidak pergi menemuinya saja?

Setidaknya, Merlin mengerti apa yang Fou pikirkan. Namun, bukannya menjawab, Merlin melangkahkan kakinya menuju tempat tidurnya.

Ia merebahkan tubuhnya disana dan menatap langit-langit.

Merlin bukannya tidak ingin menemui Rei. Ia ingin―sangat ingin bertemu dengan putri-nya itu semenjak tiga bulan mereka tidak bertemu. Tapi hal tidak ingin Merlin temui―dengar, lebih tepatnya adalah...

Viviannesang Dewi Danau.

"Sudahlah, cepatlah pergi. Aku ingin istirahat." Merlin mengusir Fou dengan sihirnya―lebih tepatnya, mengirim Fou ke Avalon dengan sihirnya, tanpa persetujuan sedikitpun dari makhluk itu, menghasilkan suara Fou yang panjang dan makin lama semakin menjauh suaranya.

Sesudah itu, Merlin menutup kedua matanya. Berusaha menghilangkan beberapa beban tak kasat mata dari kepalanya.

Sesaat sebelum dirinya pergi ke alam mimpi, kalimat dari Vivianne menggema dikepalanya, kalimat yang membuat Merlin enggan berurusan dengan Vivianne belakangan ini.

"Jangan perlakukan dia layaknya seorang gadis manusia biasa apalagi anakmu sendiri. Dia adalah milik Avalon dan Avalon itu sendiri―"

"―tidak ada tempat baginya diluar sana, bahkan di Camelot sekalipun."

Sembari memejamkan mata, Merlin mengulangi kata-kata Vivianne baik dengan pikiran maupun dengan lisannya.

Walau gaje, anggap saja chapter ini anggap saja sebagai pembuka arc yang baru~ UwU
.
Selamat menunggu kembali ヾ(*'∀`*)ノ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro