1. Surga Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menghirup udara pagi yang masih sangat segar adalah salah satu kebutuhan untuk mengantikan kabondioksida yang masih tesisa di pau-paru. Pandangan dimanjakan oleh hamparan kebun teh. Kupetik daun teh, lalu meremasnya, menghidu aroma remasan daun teh. Wangi. Aku sangat suka tempat ini. Apalagi melihat pemandangan warga kampung sedang memetik teh. Ini salah satu yang kurindukan ketika jauh dari tempat kelahiran. Kebun teh. Setelah selesai menunaikan salat Subuh dan menyelesaikan tilawah, aku bergegas ke sini untuk ikut Aba. Setiap hari Aba ke sini untuk mengecek para pemetik teh. Lebih tepatnya Aba dikasih amanah dari pemilik pabrik teh ini untuk memandori para pekerja.

Aku duduk di bawah pohon rindang yang ada di kawasan kebun teh, lalu membuka buku yang sengaja kubawa. Sambil menunggu Aba, aku memang biasanya menunggu di sini. Tempat ini cukup sepi karena semua pemetik sudah ke pul untuk menyetor hasil petikannya. Sekarang sudah pukul tujuh pagi, dan matahari sudah mulai nampak. Kebun ramai ketika waktu subuh. Sejak kecil, aku selalu ke sini setiap hari untuk ikut Aba, kecuali musim hujan. Aba akan melarang aku ke sini saat musim hujan karena kondisi tanah yang becek, juga udaranya sangat dingin. Beliau khawatir aku sakit. Aku mengerti.

Konsentrasiku teralih ketika mendengar sesuatu. Menutup buku, lalu segera berdiri. Kuedarkan pandangan ke arah sekitar. Aku menangkap sosok laki-laki paruh baya memasang wajah kesal. Memasukkan buku ke dalam tas, lalu menghampiri orang itu. Kulihat pakaian dan tangannya kotor. Mungkin beliau habis jatuh.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku. Sepertinya beliau memang membutuhkan bantuan.

Beliau mengangkat kepala, lalu menatapku. Aku tersenyum lalu mengangguk padanya. Wajahnya tak asing. Aku seperti mengenal beliau.

“Pak Hisyam,” tebakku.

“Kamu mengenalku?” tanyanya bingung.

Kembali tersenyum. Siapa yang enggak kenal pemilik pabrik kebun teh ini?

“Saya Zinnirah, Pak, anaknya Aba Zul.” Aku mengenalkan diri.

“Oh, kamu Zinnirah, putri semata wayangnya Zul? Sudah gadis rupanya.” Beliau menatapku tak percaya.

Meraih botol minum di dalam tas, lalu membukanya. “Tangan Bapak kotor. Saya bantu Bapak cuci tangan.”  Memberinya tawaran cuci tangan.

Pak Hisyam mengulurkan tangan untuk menerima guyuran air dari botol minumku. Setelah itu, aku meraih saputangan dari dalam tas dan memberikan pada Pak Hisyam.

“Bukannya kamu sedang kuliah? Apa sekarang sedang libur?” tanya beliau sambil mengeringkan tangan.

“Belum, Pak. Rara sengaja pulang karena rindu Aba dan kampung ini. Sudah lama Rara enggak pulang.” Aku membalas sambil menerima saputangan milikku dari Pak Hisyam.

Pak Hisyam hanya mengangguk. “Kamu masih ingat Genta?” tanya beliau kemudian.

Genta?

“Genta anak bungsuku.” Pak Hisyam menambahi.

“Genta anak Pak Hisyam, teman Rara waktu masih kecil?" Aku memastikan.

“Iya,” balas beliau singkat sambil tersenyum.

“Insyaalllah masih, Pak. Gimana Rara lupa sama Mas Genta yang suka naik pohon jambu depan rumah kalau lagi ngambek.” Aku menimpali.

“Kamu masih ingat rupanya.”

“Zinnirah!!!”

Seketika terkesiap ketika mendengar seseorang menyerukan namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Karyawan pabrik berdiri tak jauh dari posisiku saat ini. Rautnya terlihat tegang.

“Ada apa, Kang?” tanyaku bingung.

“Aba kamu, Ra. Aba kamu pingsan.” Dia menyampaikan.

Aku bergegas meninggalkan tempat ini untuk menuju pabrik. Langkah pun makin kupercepat agar segera tiba. Rasa khawatir menyergap hati, takut Aba kenapa-napa. Terlihat kerumunan ketika tiba di pabrik, aku bergegas menghampiri kerumunan para pekerja yang sedang berusaha menyadarkan Aba.

“Aba kenapa?” tanyaku pada mereka.

“Enggak tau, Neng. Tiba-tiba saja Kang Zul pingsan,” balas salah satu pekerja.

“Bawa saja ke Puskesmas.” Seseorang mengusulkan.

Kepalaku mengangguk, menerima usul itu, membawa Aba ke puskesmas. Aku benar-benar khawatir dengan kondisi Aba. Hanya bisa menatap tubuh Aba digotong para pekerja menuju mobil. Aku ikut bersama mereka menuju Puskesmas.

Rasa khawatir masih menyelimuti hati sebelum mendapat kepastian dari dokter. Aku risau, tak tenang. Tubuhku mondar-mandir di depan pintu ruang periksa. Aba baik-baik saja saat kita datang ke pabrik, tapi kenapa bisa pingsan mendadak seperti ini?
Aku menghentikan gerakan kaki ketika mendengar pintu ruang periksa terbuka. “Bagaimana kondisi Abaku, Dok?” tanyaku langsung pada sang dokter.

“Kondisi Pak Zul cukup baik. Beliau butuh istirahat. Mungkin sebentar lagi akan siuman.” Dokter menyampaikan.

Mengembuskan napas lega. Bersyukur karena tidak terjadi apa-apa pada Aba. Aku sudah khawatir seperti ini.

“Usahakan agar beliau tidak kecapean karena hal itu akan mempengaruhi kondisi jantungnya.” Dokter menambahi.

“Maksud dokter?” tanyaku tak mengerti. Baru saja bernapas lega saat tahu kondisi Aba baik-baik saja.

“Kamu enggak tau kalau Abamu mengidap penyakit jantung?” Dokter justru bertanya balik.

Penyakit jantung?

Hanya bisa menggeleng lemah. Aku memang tak tahu kalau Aba punya penyakit jantung. Aba tak pernah cerita mengenai sakitnya padaku.

Aku mengikuti sang dokter ke ruangannya untuk mengetahui penjelasan mengenai sakit yang diderita Aba. Dokter menjelaskan jika Aba mengalami gangguan jantung. Aba divonis mengidap penyakit ini enam bulan yang lalu. Aku tak tahu sama sekali karena Aba tak bercerita mengenai sakitnya. Aku tak tahu alasannya.

Kakiku melngkah keluar dari ruangan dokter. Kuusap air mata yang jatuh di pipi. Menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Harus tenang. Aku tidak boleh terlihat sedih di depan Aba. Pasti ada alasan kenapa Aba melakukan ini. Mungkin beliau tak ingin membebani pikiranku. Tapi aku tak bisa tenang melihat Aba sakit seperti ini.

Ya Allah, kenapa aku baru tahu sekarang kalau Aba sedang sakit? Kenapa Aba harus menyembunyikan sakitnya dariku? Kenapa Aba melakukan ini?

“Rara.”

Kepalaku terangkat, menatap sumber suara Rizki berdiri tak jauh dari posisiku saat ini. Dia menghampiriku. Aku mengusap sisa air mata di pipi. Kuukir senyum untuk menutupi kesedihan.

“Bagaimana keadaan Aba?” tanyanya.

“Apa kamu enggak tau Abaku sakit apa?” Aku bertanya balik pada Rizki. Dia setiap hari bertemu Aba, seharusnya dia tahu.

Rizki menggeleng. “Aku enggak tau Aba sakit apa. Ini memang sudah ke sekian kalinya Aba kamu pingsan, tapi beliau enggak bilang apa-apa sama aku.”

Hanya bisa mengangguk lemah. Kulangkahkan kaki menuju ruang rawat Aba. Aku membuka pintu. Kulihat Pak Hisyam menunggui Aba. Aba pun sudah sadar. Aku tersenyum ketika Aba menatapku. Aba beranjak duduk.

“Aba enggak apa-apa, Ra. Ini sudah sehat lagi.” Aba menghiburku. Aba pikir aku tak tahu.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum paksa. “Aba butuh banyak istirahat. Kata dokter, Aba sudah boleh pulang dengan catatan enggak boleh capek,” kataku menyampaikan.

“Aba enggak apa-apa, Ra. Hanya sedikit capek saja. Nanti juga enakan.” Aba masih berusaha menutupi.

Mulutku tak bisa berkata apa-apa. Ingin marah, tapi ini di puskesmas. Ingin tanya, tapi takut membuat suasana kacau. Aku hanya bisa diam, menutupi perasaan khawatir mengenai sakitnya Aba. Aku tak tega melihat Aba seperti ini.

Rizki membantuku memapah Aba untuk pulang. Aku bersyukur karena Allah hadirkan teman baik untukku seperti Rizki. Saat aku akan berangkat ke Jogja untuk kuliah, dia berjanji padaku untuk membantuku menjaga Aba. Dia memang sahabat terbaikku sampai kapan pun. Dia seperti sosok kakak untukku.

☆☆☆

Bersambung ...

Jangan lupa follow dan koment. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro