2. Laki-Laki Tercinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keputusanku untuk tidak melanjutkan kuliah sudah bulat. Tak ingin terjadi sesuatu dengan Aba saat aku tak ada. Hanya Aba yang kupunya saat ini. Aku sangat khawatir dengan kondisi laki-laki pertama yang kucintai itu. Tak peduli Aba marah padaku karena putus kuliah asal aku bisa merawat Aba. Aku masih belum tanya mengenai sakit yang diderita beliau. Jujur, aku ingin sekali bertanya, tapi takut mempengaruhi kesehatannya. Aku tak tenang.

"Kamu kapan pulang ke Jogja? Jangan lama-lama ambil libur."

Perhatianku teralih ke arah Aba, masih duduk di kursi yang ada di ruang makan. Kubawa cangkir berisi teh hangat untuk Aba. Aku meletakkan cangkir berisi teh ini di depan beliau. Kudaratkan tubuh di kursi samping Aba. Aku menatap Aba. Aba langsung menyeruput teh buatanku. Mataku berkaca. Berusaha kuat.

"Ba ..." lirihku.

Aba menoleh ke arahku, menatapku serius. "Kenapa?" tanya Aba.

Air mata mengalir di pipi. Aku mengusapnya segera, tak kuasa menahan rasa sedih sejak kemarin. "Rara sayang Aba." Memeluk Aba. Terisak.

Aba mengusap kepalaku lembut. "Ada apa? Apa ada masalah di kampus? Cerita ke Aba?" Aba menenangkan.

Ya Allah, gimana aku mau cerita kalau sedihku bukan berasal dari kampus, tapi dari Aba. Aku harus ngomong apa ke Aba?

"Ba. Rara sudah tau kalau Aba sakit. Kemarin dokter bilang ke Rara kalau Aba harus banyak istirahat karena jantung Aba bermasalah. Rara sedih lihat Aba. Kenapa Aba enggak mau cerita sama Rara mengenai sakit Aba? Kenapa, Ba?" tanyaku. Tumpah apa yang ada dalam pikiran.

Aba terdiam. Usapan tangannya di kepalaku pun terhenti. Aku melepas pelukan. Kutatap wajah beliau yang masih termenung. Entah apa yang ada di dalam pikiran Aba saat ini. Aku mengusap air mata yang masih mengalir.

"Rara mau jagain Aba. Rara enggak mau kuliah lagi. Sudah cukup Aba kerja keras buat biaya kuliah Rara. Pokoknya Aba harus fokus dengan kesehatan Aba. Biarkan Rara yang kerja di ladang asal Aba enggak cape-cape lagi. Rara mau lihat Aba sehat." Aku mengungkapkan keinginanku.

Aba menatapku. "Tinggal sedikit lagi kamu lulus, Ra. Sayang kalau kamu berhenti. Aba masih kuat untuk cari uang buat biaya kuliah kamu. Kamu harus lulus." Aba memaksa.

Aku kembali memeluk Aba. "Rara mau jagain Aba. Rara enggak mau ninggalin Aba.

Pokoknya Rara enggak mau kuliah lagi. Rara mau di sini sama Aba, bantu rawat Aba. Bantu Aba di ladang." Aku kukuh.

Tangis tak bisa kubendung. Aba adalah satu-satunya orang tua yang kupunya saat ini. Aku tak akan membiarkannya bekerja untuk mencari biaya kuliahku sedangkan kesehatan Aba terganggu. Tak akan sanggup membayangkan. Aku akan tetap di sini walaupun Aba memaksa.

"Asalamualaikum!"

Terdengar suara salam dari arah pintu depan. Aku mengusap air mata, lalu beranjak dari kursi. Suara yang tak asing di telinga. Itu suara Rizki. Kubukan pintu utama sambil membalas salam ketika tiba di ruang tamu. Rizki berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah kuali di tangannya. Seperti berisi daging ayam yang sudah dipotong-potong.
"Dari Ambu." Dia menyodorkan kuali itu.

"Ini apa?" tanyaku sambil menerima kuali dari tangan Rizki.

"Daging angsa. Abah potong angsa tadi. Aku disuruh Ambu antar ke sini sebagian." Dia menyampaikan.

"Nuhun," balasku singkat.

"Ya sudah, aku pulang, ya." Dia pamit.

Aku mengangguk, kembali menutup pintu, berjalan meninggalkan ruang tamu sambil membawa kuali berisi daging angsa pemberian ibunya Rizki. Sejak dulu mereka memang piara angsa. Aku jadi teringat saat masih SD sering dikejar angsa milik orang tua Rizki.

"Ba, dapat daging angsa dikasih Bi Erni. Mau dimasak apa?" tanyaku pada Aba ketika tiba di dapur. Kuletakkan kuali diatas meja, menutupnya dengan badang.

"Terserah kamu saja, Ra. Aba mau ke ladang sekarang." Aba beranjak dari kursi.

"Aba enggak ingat sama kata dokter? Aba enggak boleh cape. Aba harus banyak istirahat." Aku mengingatkan.

"Aba cuma mau memastikan. Hari ini panen wortel sama kentang. Aba harus ke sana." Aba kukuh, beranjak dari ruangan ini.

Bergegas menghampiri beliau. "Ada Rizki, Ba. Nanti Rara suruh dia saja awasi panennya. Pokoknya Aba enggak boleh ke sana." Aku tak mau kalah.

Baru kemarin dokter mengingatkan Aba agar tidak cape, sekarang justru mau ke ladang? Tidak. Aku tak akan izinkan Aba ke ladang. Aba selalu saja begitu, tidak bisa diam di rumah buat istirahat.

***

Pintu rumah kututup pelan, khawatir Aba dengar karena beliau sedang istirahat. Kakiku bergerak meninggalkan halam rumah untuk menuju ladang, memastikan proses dan hasil panen. Aku sudah minta tolong Rizki untuk mengawasi para pemanen. Rizki memang bisa diandalkan. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak menuju ladang. Siang ini memang begitu terik.

"Mau ke mana, Ra?" tanya warga kampung yang mengenaliku.

"Ke ladang, Kang." Aku membalas sambil tersenyum ramah.

"Aba kamu sudah sehat?" tanyanya lagi.

"Alhamdulillah sudah, Kang, tapi masih disuruh istirahat sama dokter." Aku menimpali.

"Syukurlah. Memang Aba kamu ini enggak bisa diam. Sudah sering pingsan, masih saja ke ladang dan pabrik," imbuhnya.

Hanya anggukkan yang kulakukan untuk menanggapi ucapannya. Kami berpisah di pertigaan jalan. Aku mempercepat langkah agar segera tiba di ladang. Kulihat Rizki sedang duduk di saung yang ada di ladang. Aku menghampirinya.

"Asalamualaikum," ucapku ketika tiba di dekat saung.

Rizki menoleh ke arahku sambil mengucapkan balasan salam.

Aku menyodorkan jinjingan rantang berisi makanan untuknya. Dia pasti belum makan. Aku sengaja membawa makanan ini supaya dia mencicipi masakan yang kumasak. Lagipula, angsa yang dia kasih banyak, jadi tak mungkin aku dan Aba bisa menghabiskannya dalam satu hari.

"Ini apa?" tanyanya polos sambil menerima rantang dariku.

"Opor angsa yang dikasih kamu." Aku berjalan maju, duduk di saung.

Tak ada jawaban dari Rizki. Aku menatapnya. Dia sedang membuka rantang pemberianku. Wajahnya terlihat sumringah. Aku hanya tersenyum.

"Kamu tau saja kalau aku lagi lapar," katanya.

"Itu yang bawah jangan di makan. Bawa pulang buat Bibi." Aku mengingatkannya.

"Iya," balasnya singkat.

Rizki mulai menyantap makanan pemberianku. Aku mengalihkan pandangan, menatap para pekerja yang sedang memanen kentang. Mataku seketika terpejam saat angin menerpa permukaan wajah. Menikmati semilir angin yang menyapa.

Aku membuka mata, lalu teringat saat masih kecil. Saat aku kecil, Aba dan Umi selalu membawaku ke ladang saat mereka akan panen sayur. Aku akan bermain di dekat ladang bersama anak-anak lain. Tinggal di kampung dan berteman dengan alam membuat banyak kenangan yang akan selalu kuingat, dan bisa diceritakan pada siapa pun.

Ladang ini bukan sepenuhnya milik Aba, tapi sebagian ada milik Pak Hisyam, orang yang kutemui tempo hari di kebun teh. Pabrik teh itu pun milik beliau. Aba dan beliau teman dekat. Tak salah jika Aba diamanahi untuk menjaga ladang milik beliau. Pak Hisyam sudah tidak tinggal di sini. Biasanya, beliau hanya kebetulan saja ke sini untuk meninjau pabrik dan ladang. Tempat tinggal beliau sekarang di Jakarta. Rumah beliau yang di sini dijadikan vila. Ya, dulu memang beliau tinggal di sini sebelum sukses, tepatnya saat aku masih kecil. Tak heran jika aku mengenal anaknya, Mas Genta. Aku dan Mas Genta tak begitu dekat. Dia lebih suka bermain dengan anak yang umurnya setara dengan dia. Aku dan dia hanya berjarak empat tahun. Dia lebih tua dariku. Aku pun tak masalah, masih banyak teman lain yang mau berteman denganku saat kecil dulu. Contohnya Rizki. Rizki setara umurnya dengan Genta, tapi dia mau berteman denganku dari kecil sampai kita dewasa seperti ini. Rizki selalu ada untukku. Dia bukan lagi teman, melainkan sudah seperti saudara. Ibunya Rizki menganggap aku anaknya, begitupun sebaliknya. Aku bahagia bisa tinggal dan dilahirkan di kampung ini.

☆☆☆

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro