3. Pilihan Terbaik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pada akhirnya Aba terpaksa menuruti keinginanku untuk cuti kuliah setelah aku merengek padanya. Cuti kuliah, bukan berhenti. Aku melakukan ini demi kebaikan Aba. Aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan Aba. Kesehatan Aba lebih penting bagiku daripada kuliah. Aku bisa melanjutkan kuliahku nanti kalau Aba sudah sehat.

Aku beranjak dari atas sajadah, meletakkan Quran di atas nakas, lalu melepas mukena yang masih kukenakan. Aku harus keluar dari kamar untuk memastikan Aba. Aku khawatir jika beliau akan ke kebun teh pagi ini. Kondisinya belum memungkinkan untuk bekerja.

Benar. Apa yang kupikirkan ternyata tak salah. Aku melihat Aba sedang siap-siap untuk ke kebun teh. Aku menghampirinya. "Aba ngapain?" tanyaku.

"Aba bosan di rumah terus, Ra. Aba mau ke kebun teh. Kerja." Aba mengenakan jaketnya.

"Enggak. Rara enggak izinin Aba ke kebun teh. Aba masih harus istirahat. Pokoknya Rara enggak mau Aba ke kebun teh." Aku menghalangi Aba.

"Ra. Aba enggak enak dengan Pak Hisyam. Sudah dua hari Aba enggak masuk." Aba kukuh.

"Tapi kondisi Aba belum boleh buat kerja. Aba enggak boleh maksa tubuh Aba buat kerja. Lagian Pak Hisyam pasti bisa memaklumi." Aku mengingatkan Aba.

"Aba enggak akan cape-cape, Ra. Aba hanya mengawasi pekerja saja." Aba melangkah dari hadapanku.

"Rara ikut." Aku mengalah.

Susah kalau sudah seperti ini. Aku akan kalah jika Aba kukuh dengan keinginannya. Lebih baik aku ikut Aba ke sana untuk mendampinginya. Tak ada pilihan lain untuk menasehati Aba libur bekerja.

Aku keluar dari kamar setelah meraih tas dan mengenakan jaket. Di jam saat ini udara di luar sangat dingin. Seperti masuk ke dalam kulkas. Aku melangkah menuju depan. Kukunci pintu utama ketika tiba di teras. Aba sudah menunggu. Beliau sedang berbicara dengan warga kampung sini yang lewat untuk pergi ke ladang. Aku memasukkan kunci rumah ke dalam tas setelah selesai memastikan tidak ada yang terlupa.

"Rara sudah siap, Ba," kataku pada Aba.

Aba mengangguk, berjalan mendahului bersama orang itu. Aku hanya mengikuti Aba dari belakang. Aku memasukkan kedua tanganku pada saku jaket. Kutarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kulakukan hal itu beberapa kali. Sangat menyegarkan paru-paruku. Aku suka dengan hawa pagi.

Kami tiba di pabrik. Aku mengingatkan Aba agar tidak melakukan pekerjaan berat. Terkadang Aba lupa kondisi. Walaupun sakit, tapi masih tetap melakukan pekerjaan berat tanpa memedulikan kesehatannya. Itu yang kuherankan.

"Zul."

Aku terkesiap ketika seseorang menyebut nama Aba. Aku menoleh ke sumber suara. Pak Hisyam berjalan menuju ke arah Aba.

"Kalau masih kurang sehat, enggak masalah kalau libur dulu. Yang penting kamu sehat dulu." Pak Hisyam menasehati Aba.

"Enggak masalah, Syam. Lebih baik aku kerja daripada di rumah. Bosan. Dua hari enggak ke sini rasanya ada yang kurang." Aba membalas Pak Hisyam.

Aku hanya menghela napas. Aba memang keras kepala.

"Maaf kalau aku belum sempat ke rumahmu. Kemarin ada pertemuan penting dengan orang." Pak Hisyam menimpali.

Aku mengabaikan obrolan Aba dan Pak Hisyam. Itu bukan urusanku untuk tahu mengenai obrolan mereka. Pandanganku masih pada para pekerja yang sedang menyetor hasil petikan mereka.

"Zinnirag bisa menggantikan pekerjaanmu."

Aku menoleh ke arah Pak Hisyam ketika namaku disebut. Pak Hisyam menawarkan aku untuk kerja di sini atau cuma nanya sama Aba? Apa Aba cerita sama beliau kalau aku cuti kuliah untuk jaga Aba?

Aku menatap Aba ketika tak ada jawaban dari beliau. Aba menyentuh dadanya. Aku bergegas menghampiri Aba. "Aba kenapa?" tanyaku. Wajah Aba berubah pucat.

Pak Hisyam meraih kursi dan meletakkannya di dekat Aba. Aku membantu Aba agar duduk di kursi. Kuusap punggung Aba. Pak Hisyam memberi air putih untuk Aba.

"Ini yang Rara khawatirkan kalau Aba kerja. Harusnya Aba banyak istirahat. Kenapa Aba maksa buat kerja," ketusku.

"Kalau Aba enggak kerja, nanti kita mau makan apa?" Aba membalas.

"Allah cukupkan kita dalam rezeki, Ba. Kalau Aba enggak kerja, Rara yang akan kerja." Aku menimpali.

"Kamu harus kuliah, Ra. Aba masih kuat buat kerja."

Aku menghela napas. Kalau aku balas nanti makin panjang. Lagian ini di pabrik, enggak enak kalau aku ribut sama Aba. Di sini juga ada Pak Hisyam.

"Kondisi kamu belum baik, Zul. Enggak masalah kalau Rara gantikan kamu untuk sementara sampai kondisi kamu pulih. Aku rasa dia paham dengan pekerjaanmu." Pak Hisyam angkat suara.

Aku menatap Pak Hisyam. Beliau tersenyum ramah padaku. Aku pun mengangguk. Aba tak membalas. Sepertinya sedang berpikir.

Pak Hisyam menyarankan agar Aba lebih baik pulang dan istirahat. Aba tak menolak, mengikuti tawaran Pak Hisyam. Aku merasa lega karena Aba menyetujui. Kami diantar pulang oleh Pak Hisyam naik mobil beliau. Beliau sangat baik pada kami. Aku salut dengan persahabatan Aba dan Pak Hisyam. Walaupun Pak Hisyam sudah sukses, tapi beliau tetap dekat dengan Aba. Terkadang, menjalin hubungan itu mudah, tapi sulit untuk mempertahankannya.

"Apa tidak lebih baik kamu ke rumah sakit saja, Zul? Aku khawatir dengan kesehatanmu. Sudah beberapa kali kamu pingsan di pabrik." Pak Hisyam membuka obrolan ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah.

"Hanya sakit biasa, Syam. Nanti juga sembuh sendiri." Aba membalas santai.

Aku baru kepikiran, kenapa enggak bujuk Aba ke rumah sakit? Jadi aku tahu Aba sakit apa. Aku akan membujuk Aba supaya mau ke rumah sakit.

Aku bergegas turun dari mobil ketika tiba di halaman rumah. Aku membantu Aba turun. Pak Hisyam pun membantu kami. Aba dan Pak Hisyam duduk di ruang tamu. Aku meninggalkan mereka untuk menuju dapur, membuatkan minum untuk Pak Hisyam.

Sampai kondisi Aba membaik, aku akan bekerja di pabrik teh. Pak Hisyam tidak keberatan kalau aku kerja di sana. Justru beliau yang mengusulkan. Lebih baik seperti itu.

Aku beranjak dari dapur, membawa nampas berisi mimuman untuk Pak Hisyam dan Aba. Obrolan Aba dan Pak Hisyam terjeda ketika aku tiba. Aku menyajikan minuman di depan Aba dan Pak Hisyam.

"Ra. Pisang yang di belakang digoreng saja. Kayaknya enak buat teman minum teh," kata Aba padaku.

"Iya, Ba." Aku mengangguk pada Aba.

"Ra. Mulai besok kamu ke pabrik menggantikan tugas Abamu. Gimana?" tanya Pak Hisyam.

"Iya, Pak, Rara mau. Yang penting Aba bisa istirahat di rumah demi kesehatan Aba." Aku menyanggupi.

"Iya," balas Pak Hisyam singkat.

Aku menatap Aba. Aba mengangguk lemah. Beliau pasti sedih. Biarlah. Untuk kali ini saja Aba mengalah demi kesehatannya. Aku khawatir dengan kesehatannya. Apalagi akhir-akhir ini beliau sering pingsan. Aku jadi takut.

Aku bergegas melakukan permintaan Aba, menggoreng pisang yang kami petik di belakang rumah. Aba menanam banyak pisang di kebun belakang rumah. Jenisnya pun berbeda-beda. Ada pisang kepok, ambon, raja, dan lainnya. Tak cuma pisang saja, tapi Aba juga tanam singkong, ubi dan tanaman lain di kebun belakang rumah. Tinggal di kampung membuatku tak bingung untuk makan apa. Sayur tinggal petik. Terkadang ada tetangga menawarkan sayur yang tak ada di rumah, termasuk ibunya Rizki. Beras tinggal giling. Lauk pun seadanya. Syukurnya Aba tak pilih-pilih dalam masalah makan. Aku pun mengikuti seleranya dalam makan, karena dari kecil sudah terbiasa diajari hidup sederhana.

☆☆☆

Bersambung ...

Jangan lupa folllow dan tap bintang. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro