4. Berpikir Positif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku merentangkan kedua tangan untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Ternyata tak mudah seperti apa yang kubayangkan bekerja di pabrik. Aba bukan hanya sebagai mandor saja, tapi Aba ikut bantu angkat keranjang para pekerja. Aku jadi tahu pekerjaan Aba secara rinci di pabrik. Tidak mudah. Apa karena aku sudah lama tak bekerja berat? Mungkin.

Aku melangkah keluar dari area pabrik. Tugasku di sana sudah selesai. Aku harus segera pulang untuk memastikan kondisi Aba di rumah.

"Zinnirah!"

Langkahku terhenti ketika mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh. Senyum kusungging ketika melihat Pak Hisyam berdiri di depan pintu pabrik bersama seseorang. Aku menghampiri beliau. Menunduk.

"Iya, Pak," ucapku ketika tiba di hadapannya.

"Kamu masih ingat dia?" tanya beliau.

Aku mengangkat kepala, menatap sosok laki-laki di samping Pak Hisyam. Kepalaku kembali menunduk, lalh menggeleng karena tak mengenalinya. Aku memang tak ingat siapa dia. Mungkin saudara Pak Hisyam.

"Ini Genta," balas Pak Hisyam.

Genta? Anak Pak Hisyam? Teman masa kecilku dulu?

"Kamu masih ingat Rara? Teman mainmu saat kalian kecil?" Pak Hisyam mengingatkan laki-laki muda di sampingnya. Lebih tepatnya Mas Genta, putra bungsu beliau.

Mas Genta bukan teman mainku. Dia hanya teman masa kecil dan kakak kelas di sekolah. Dia tak mau bermain dengan anak-anak yang berusia lebih muda darinya, dan dia tak mau bermain anak perempuan. Aku teringat saat dia melempari siswi dengan gumpalan kertas saat meminta berteman dengannya. Masih teringat jelas.

"Enggak, Pa. Genta enggak ingat dia. Teman genta banyak, apalagi teman cewek," balasnya.

Aku hanya diam. Dia mungkin saja lupa denganku karena sudah lama tak bertemu. Terakhir bertemu saat aku masih di sekolah dasar. Sejak dia pindah ke Jakarta, kami tak pernah bertemu lagi.

"Gimana pekerjaanmu di sini, Ra? Semua berjalan baik?"

Aku menatap Pak Hisyam. "Alhamdulillah, semuanya baik, Pak," balasku ramah.

"Syukurlah." Pak Hisyam terdengar lega.

"Genta masuk dulu." Mas Genta pamit pada ayahnya untuk pergi.

Pak Hisyam hanya mengangguk.

"Kalau begitu, Rara pamit pulang, Pak. Aba pasti sudah nungguin Rara di rumah." Aku pamit.

"Oh, iya. Saya akan antar sekalian ingin bertemu dengan Abamu," tukasnya.

"Rara jalan kaki saja, Pak. Enggak enak kalau sekalian sama Bapak. Enggak apa-apa kalau Bapak mau duluan ke rumah." Aku menolak halus.

"Enggak apa-apa, Ra. Jarak dari pabrik ke rumah Abamu jauh, lo. Ini sekalian saya mau ketemu Aba kamu." Pak Hisyam kukuh.

Aku mengangguk lemah. Pak Hisyam pergi untuk menuju parkiran sedangkan aku menunggu di sini. Aku jadi tak enak karena merepotkan Pak Hisyam.

Aku masuk ke dalam mobil ketika kendaraan milik Pak Hisyam tiba di depanku. Mobil ini melaju menuju rumah Aba.

"Perasaan, baru kemarin saya lihat kamu masih kecil dan lari-lari di kebun, tapi sekarang lihat kamu sudah besar saja." Pak Hisyam membuka obrolan.

Aku hanya tersenyum tipis membalas ucapan Pak Hisyam. Waktu memang terasa begitu cepat. Aku pun tak menyangka jika sekarang sudah dewasa seperti ini.

Deringan ponsel membuyarkan pikiranku. Aku meraih benda pipih itu dari dalam tas karena suara itu berasal dari dalam tas. Aku bergegas menggeser ke warna hijau karena Rizki menghubungiku.

"Assalamu'alaikum." Aku menyapanya di seberang sana.

"Wa alaikumussalam. Kamu di mana, Ra? Aba kamu pingsan. Aku tadi ke pabrik, tapi katanya kamu sudah pulang. Cepat kamu pulang." Rizki terdengar panik.

"Aba pingsan?!" tanyaku tak percaya.

"Iya. Cepat pulang."

Iya. Ini aku lagi jalan pulang. Tunggu aku." Aku membalasnya.

"Ada apa?" tanya Pak Hisyam.

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas setelah memutus sambungan telepon bersama Rizki. "Bisa cepat enggak, Pak? Aba pingsan," kataku pada Pak Hisyam.

"Iya." Beliau membalas singkat.

Aba. Aba kenapa lagi? Aba kenapa sampai bisa pingsan? Rara sudah ingatkan Aba agar enggak cape-cape, tapi kenapa Aba melakukan pekerjaan yang mengakibatkan Aba pingsan?

Aku bergegas turun ketika mobil ini berhenti di halaman rumah. Pikiranku hanya tertuju pada Aba. Aku khawatir dengan kondisi Aba. Langkahku bergegas menuju kamar.

"Aba!" Aku menghampiri Aba, duduk di tepi ranjang, menyentuh tubuhnya.

Aba tersenyum padaku. "Aba baik-baik saja, Ra." Aba menyentuh lenganku.

"Pokoknya Aba harus ke rumah sakit sekarang. Rara takut Aba kenapa-napa." Aku memaksa.

"Ra ..." Aba mengusap lenganku. Menenangkan aku yang panik.

"Lebih baik kamu ke rumah sakit saja, Zul. Kamu sepertinya butuh perawatan." Pak Hisyam menyambar.

"Rara." Terdengar suara Rizki menyebut namaku.

"Aba ke rumah sakit, ya. Rara khawatir sama Aba." Aku masih membujuk.

"Iya. Lebih baik Aba ke rumah sakit. Tadi Aba muntah darah." Rizki menambahi.

Aku menatap Aba. Mataku berkaca. "Terserah Aba kalau enggak mau ke rumah sakit. Rara marah sama Aba." Aku beranjak dari ranjang, meninggalkan kamar Aba.

Kenapa Aba enggak mau ke rumah sakit? Aba muntah darah, belum lagi jantung. Sebenarnya Aba sakit apa? Kalau Aba mau dibawa ke rumah sakit, mungkin aku sedikit tenang dan tahu Aba sakit apa.

"Kita bawa Abamu ke rumah sakit."

Aku membalikkan tubuh. Pak Hisyam berdiri tak jauh dari hadapanku saat ini. Aku mengangguk, lalu bergegas menuju kamar Aba. Pak Hisyam dan Rizki memapah tubuh Aba. Aku berjalan lebih dulu di depan untuk membuka pintu mobil milik Pak Hisyam. Entah apa jadinya jika tak ada Rizki dan Pak Hisyam. Aku merasa bersalah meninggalkan Aba sendirian di rumah.

Ya Allah, semoga Aba baik-baik saja. Lindungi Aba, ya Allah. Sehatkan Aba. Berkahi umurnya.

***

Aku menatap wajah Aba yang sedang terlelap. Setidaknya aku merasa tenang karena Aba sudah mendapat perawatan. Dokter menyarankan agar Aba menjalani perawatan di rumah sakit. Hasil test lab dan rontgen belum keluar. Aku berharap, semoga hasilnya baik dan tidak berdampak negatif pada kesehatan Aba.

Air mata kembali menetes di pipi. Kugenggam tangan Aba erat. Kucium punggung tangannya berkali-kali. Tangannya yang sudah mulai menunjukkan penuaan. Tangan yang selalu mengusap kepalaku dari aku kecil sampai aku dewasa. Tangan yang tak pernah memukulku baik dari aku kecil atau sampai saat ini. Tangan ini digunakan untuk mencari nafkah agar aku bisa makan dan kuliah. Tangan yang tak pernah lelah bermunajat kepada Allah untuk mendoakan kesuksesanku.

"Ra. Kamu pasti belum makan. Lebih baik kamu makan dulu. Jangan sampai kamu juga ikut sakit karena enggak makan dan memikirkan kondisi Aba kamu." Rizki meletakkan kantong plastik di atas nakas.

Aku mengusap air mata. "Aku enggak lapar, Riz," balasku.

"Tapi kamu butuh makan," imbuhnya.

Aku menggeleng. Selera makanku hilang. Aku hanya butuh kepastian tentang kondisi Aba. Aku benar-benar tak tenang.

Terdengar azan Zuhur berkumandang. Di saat yang sama Aba membuka mata. Aku tersenyum pada Aba. Aku tak boleh terlihat sedih. Aku mencium tangan Aba. Aba mengusap kepalaku.

"Rara sayang Aba," lirihku. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis.

"Aba juga sayang putri Aba." Aba masih mengusap kepalaku.

Ya Allah, entah kenapa aku merasa takut seperti ini. Semoga nggak ada hal buruk yang akan terjadi. Semoga Aba segera sehat. Aku yakin itu.

"Sudah azan. Kamu salat dulu. Aba mau ngobrol sama Rizki," kata Aba.

"Nanti gantian, Ra." Rizki menimpali.

Aku beranjak dari kursi. Kupeluk tubuh Aba. Ingin rasanya menangis, tapi kutahan. Aba mencium kepalaku. Aku melepas pelukan. Aba tersenyum. Aku melangkah meninggalkan ruangan ini. Kulihat Pak Hisyam masuk ke dalam ruangan ini.

"Kamu mau ke mana, Ra?" tanya beliau.

"Rara mau salat dulu, Pak. Ada Rizki yang jagain Aba," balasku.

"Oh, ya sudah. Saya temui Abamu dulu," kata beliau.

Aku mengangguk, berlalu dari tempat ini untuk menuju musala yang ada di ujung lorong rumah sakit.

♤♤♤

Bersambung ...

Jangan lupa tap bintang dan vote, ya. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro