5. Firasat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Air mata masih terus mengalir di pipiku sejak semalam. Sejak dokter memberi kabar hasil diagnosa Aba jika Aba mengalami komplikasi pada jantungnya. Bukan hanya jantung, tapi parunya pun ikut berdampak. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Sebenarnya Aba sudah tahu, tapi beliau menutupi dari aku dan orang di sekitarnya. Aba sudah beberapa kali ke rumah sakit, tapi tidak ada yang tahu. Aku merasa bersalah pada Aba karena tak perhatian padanya. Aku sibuk dengan kuliah sedangkan Aba kerja keras untuk membiayai kuliah dan kehidupanku selama di Jogja.

Ya Allah, aku banyak dosa sama Aba karena enggak perhatian padanya. Sembuhkan Abaku, ya Allah. Hanya Engkau yang dapat menyembuhkannya. Hamba tak ingin apa-apa selain Aba sembuh.

"Ra. Dari kemarin kamu nangis terus. Kasihan Aba kalau lihat kamu seperti ini."

Aku mengusap air mata ketika Rizki menegurku. "Aku bingung, Riz," balasku.

"Aba nanyain kamu. Temui Aba dulu," katanya.

Aku mengangguk, beranjak dari kursi. Kulangkahkan kaki memasuki ruang rawat Aba. Aku menunduk ketika tiba di hadapan Aba.

"Kamu dari mana? Kenapa nangis terus? Aba baik-baik saja, Ra. Ini sudah jauh lebih sehat." Aba membuka suara.

Entahlah. Aku enggan membalas ucapan Aba. Rasa takut menghantuiku sejak malam. Melihat wajah Aba membuatku sedih dan tak bisa menahan air mata. Aku pasrahkan semua ini pada Allah.

"Riz. Kamu pulang saja. Kasihan Abamu enggak ada yang bantuin," kata Aba pada Rizki.

"Ya sudah, Rizki pulang. Tapi kalau ada apa-apa kabari Rizki. Aba juga jangan lupa ingatin Rara buat makan. Dari semalam dia belum makan." Rizki mengingatkan.

"Iya. Kamu hati-hati di jalan." Aba membalas.

"Aku pulang, Ra. Assalamualaikum." Rizki berlalu dari ruangan ini.

"Wa'alaikumussalam," lirihku.

Aku duduk di kursi. Aba mengusap kepalaku. Mataku kembali panas. Rasa sedih masih membayang.

"Kenapa belum makan?" tanya Aba.

"Gimana Rara mau makan kalau kondisi Aba begini?" tanyaku balik.

"Kamu harus makan, Ra. Aba enggak mau kamu sakit. Kalau kamu sakit, nanti yang jagain Aba siapa? Aba enggak mau lihat kamu sakit."

Aku menyentuh tangan Aba, menggenggamnya erat. Kucium punggung tangannya. "Maafin Rara, Ba." Aku terisak.

Tangan kanan Aba mengusap kepalaku. "Kenapa kamu minta maaf? Kamu enggak salah. Aba yang salah karena belum bisa memenuhi kewajiban sebagai orang tua yang baik." Aba membalas.

Aku menggeleng. "Aba enggak salah. Rara yang salah karena enggak peka sama Aba. Aba kerja keras buat Rara, buat kuliah Rara dan buat bayar kost Rara sampai Aba sakit begini. Rara minta maaf, Ba."

Aba melepas tanganku. Beliau mengusap air mataku. "Aba ingin memberikan yang terbaik buat kamu. Buat masa depan kamu. Kamu putri Aba satu-satunya. Aba kerja keras buat siapa lagi kalau bukan buat masa depan kamu."

Ya Allah, ampuni hamba. Ampuni hamba jika selama ini sudah menyia-nyiakan Aba sampai beliau sakit seperti ini dan hamba enggak tahu. Ampuni hamba.

"Assalamu'alaikum."

Aku terkesiap ketika mendengar suara salam. Kuusap air mata yang masih mengalir di pipi. Itu suara Pak Hisyam.

"Wa alaikumussalam." Aba membalas salam Pak Hisyam.

Aku beranjak dari kursi. Aroma parfum menyeruak di indra penciumanku. Kulihat seorang wanita berdiri di samping Pak Hisyam. Aku tersenyum pada Bu Isti, istri Pak Hisyam.

"Ini Rara?" tebak beliau.

Aku mengulurkan tangan pada Bu Isti. Beliau menjabat tanganku. Aku bergegas mencium punggung tangan beliau.

"Ya Allah, ternyata sudah gadis. Lama Ibu enggak lihat kamu, Nak. Kamu sangat cantik," puji Bu Isti sambil mengusap kepalaku.

Aku melepas tangan Bu Isti. Senyum kusungging karena mendapat pujian dari Bu Isti. Kusilakan Bu Hesti untuk duduk. Beliau mengangguk. Pak Hisyam menyodorkan kantong plastik berlogo makanan cepat saji padaku. Aku menerima.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Pak Hisyam pada Aba.

"Sudah enakan." Aba membalas.

Aku hanya mendengarkan obrolan mereka. Pak Hisyam sangat perhatian pada Aba. Beliau menawarkan bantuan jika Aba membutuhkan sesuatu. Aku terharu melihat ketulusan Pak Hisyam untuk membantu Aba.

Aku terkesiap ketika Aba menyentuh tanganku. Aku menatap Aba. Aba tersenyum padaku. "Ra. Aba mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Aba.

Aku mengangguk. Siap mendengarkan ucapan Aba.

"Aba ingin kamu menikah dengan Nak Genta, putra Pak Hisyam."

Menikah dengan Mas Genta? Anaknya Pak Hisyam? Apa Aba enggak salah ngomong? Apa aku yang salah dengar?

"Aba enggak tau umur Aba sampai kapan. Aba khawatir kalau enggak bisa menikahkan kamu."

Aku menatap Aba. "Kenapa Aba bilang begitu? Aba akan sembuh. Aba akan lihat Rara melanjutkan kuliah, menikah, dan punya anak." Aku meyakinkan Aba.

"Aba sudah bicara dengan Pak Hisyam dan Bu Isti. Mereka setuju untuk menikahkan Nak Genta dengan kamu. Sekarang Aba hanya butuh jawaban darimu. Apa kamu mau menikah dengan Nak Genta?" Aba memastikan.

Ya Allah, masalah Aba belum selesai, kini tambah lagi masalah perjodohan. Kenapa mendadak seperti ini? Kenapa enggak nanti saja kalau kondisi Aba sudah membaik?

"Kita enggak boleh memaksa Rara. Dia pasti bingung saat ini. Kita kasih waktu buat dia berpikir dan istikharah." Bu Isti bersuara.

Jujur. Aku tak tahu harus membalas apa. Pikiranku kacau. Masalah satu belum selesai, kini bertambah lagi masalahnya. Aku ditempatkan pada pilihan sulit. Kuliahku belum selesai, dan aku harus menikah dengan Genta? Aku enggak tahu dia bagaimana. Sifatnya, pikirannya, kehidupannya. Aku bingung.

"Maafkan kami jika sudah membuatmu bingung." Pak Hisyam angkat suara.

Aku menatap Bu Isti. Beliau mengusap lenganku lembut. Aku hanya bisa tersenyum paksa. Bingung yang kurasa saat ini. Tatapanku beralih pada Aba. Beliau tersenyum.

"Rara akan istikharah dulu. Semoga hasilnya enggak mengecewakan." Aku bersuara.

Pasrah. Apa pun jawabannya nanti, semoga itu jalan terbaik. Aku enggak mau bikin kecewa Aba dan keluarga Pak Hisyam. Saat ini yang aku pikiran hanya kesehatan Aba.

♡♡♡

Aku menatap Aba setelah kepergian Pak Hisyam dan istrinya. Aku ingin bertanya mengenai perjodohan ini, tapi kondisi Aba membuatku ragu untuk menyampaikan. Aku tak ingin menambah beban pikiran Aba. Aku bisa bertanya nanti saja.

"Maafin Aba, Ra. Aba belum sempat kasih tau kamu masalah ini. Beberapa hari yang lalu, Pak Hisyam datang ke rumah, meminta Aba untuk menjodohkan kamu dengan putranya. Aba masih pikir-pikir buat cerita ke kamu, khawatir kamu keberatan." Aba mengungkapkan.

"Alasan apa yang membuat Aba yakin untuk menjodohkan Rara dengan Mas Genta?" tanyaku.

"Karena Aba yakin kalau Nak Genta laki-laki baik yang bisa jaga kamu dan bahagiain kamu." Aba membalas pertanyaanku.

Apa Aba sudah pernah bertemu Mas Genta? Kenapa Aba seyakin itu? Apa Aba melakukan ini untuk menghargai Pak Hisyam? Atau Aba-

Aku terkesiap ketika Aba meraih tanganku. "Aba takut enggak ada umur buat nikahin kamu, Ra."

Aku menatap Aba. "Aba kok ngomongnya begitu? Aba pasti sembuh. Aba bisa lihat Rara kuliah lagi, menikah, sampai Rara punya anak. Rara enggak mau dengar Aba bilang gitu lagi." Aku mengingatkan Aba.

Aba hanya tersenyum. Aku khawatir, tapi Aba malah terlihat santai. Aku ingin Aba lihat aku bisa kuliah lagi, menikah, punya anak, bahkan punya cucu. Aku tak suka mendengar Aba berkata seperti itu.

♡♡♡

Bersambung ...

Jangan lupa follow dan vote. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro