06. Comfort Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Aku akan tinggal di sini."

Semilir angin dari jendela yang baru saja dibuka, menerpa wajah Naya. Lembut. Menyebabkan ia merasakan sensasi dingin yang menggelitik pori-pori kulit.
Perempuan yang masih tampak pucat itu berbalik dan menatap sosok jangkung yang berdiri mantap tak jauh darinya.

"Hm?" Bibirnya bergerak bingung.

"Aku akan tinggal di sini." Joe mengulang. "Maksudku, aku akan menginap di sini malam ini," lanjutnya.

Naya tertegun.
Setelah sempat dirawat di rumah sakit selama hampir tiga hari, siang tadi ia sudah diperbolehkan pulang. Wendy dan Joe yang membantunya berkemas dan menyelesaikan beberapa administrasi. Tadinya Wendy yang berniat mengantarkannya pulang, tapi karena ia mendapat panggilan darurat dari kantor, akhirnya ia pulang hanya ditemani Joe.

"Wendy tak bisa ke sini karena pekerjaan. Jadi aku yang akan menginap di sini, menjagamu," ujar Joe lagi. "Jangan khawatir, aku tidak akan macam-macam. Aku akan tidur di sofa, percayalah."

Naya terkekeh lirih lalu bergerak pelan, duduk di pinggiran ranjangnya sendiri.
"Aku hanya baru saja ... tenggelam, bukan penyakitan. Jadi kamu tak perlu menjagaku," sanggah perempuan tersebut.

"Kalau kamu tinggal sendiri, aku takut kamu akan mencoba bunuh diri lagi," ceplos Joe.

Naya kembali tergelak pelan.
"Joe, aku tidak mencoba bunuh diri. Itu hanya ... kecelakaan."

"Bohong." Joe menyangkal, terkesan kekanak-kanakkan.
"Kalau aku meninggalkanmu sendirian, kamu akan kesepian, pikiranmu akan berkelana ke mana-mana dan bisa-bisa kamu melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu, lagi."

Naya mengerang. "Waktu itu aku hanya terlalu bingung dan ... tiba-tiba saja aku sudah ada di rumah sakit. Aku sudah tahu bagaimana rasanya di ujung maut, dan itu tidak enak sama sekali. Jadi aku takkan melakukannya lagi, aku janji." Ia menatap lurus ke mata Joe.

Joe menatap perempuan itu dengan sorot protes.

"Percayalah padaku, aku akan baik-baik saja. Aku sudah membuatmu dan juga Wendy kalang kabut. Aku takkan mengulanginya lagi." Naya menegaskan.
"Pulanglah, Joe," perintahnya lembut.

"Pulang ke mana? Aku tak punya rumah." Joe menjawab cepat, membuat Naya terkekeh.
"Joe, jangan bercanda. Kamu salah satu putra orang terkaya di negeri ini. Apartemenmu tersebar di mana-mana. Bagaimana mungkin kamu bilang tak punya rumah," ucapnya.

"Itu tempat tinggal, bukan rumah." Lagi-lagi Joe menjawab cepat seraya bersedekap santai.

"Rumah dan tempat tinggal, apa bedanya?"

"Ya beda-lah." Kali ini Joe terdengar sewot.

"Apa bedanya?" Naya tak berhenti bertanya.

"Tempat tinggal hanya tempat untuk tidur, berlindung dari panas dan hujan."

"Kalau rumah?"

"Rumah adalah tempat berkumpulnya sebuah keluarga. Menghabiskan waktu bersama, dan menimbulkan perasaan rindu ketika kamu berjauhan dengan mereka. Dengan kata lain, itulah makna dari pulang. Pulang ke rumah. Dan..."
Kalimat Joe sempat menggantung.

Dan rumah adalah di manapun kamu berada, Nana-ku...

Naya tertegun. Dapat ia rasakan semburat rasa sepi di kedua mata Joe.
Ia tahu Joe kaya raya. Tapi ia juga tahu bahwa sejak dulu, pemuda itu lebih sering menghabiskan waktunya sendiri.
Kedua orang tuanya terlalu sibuk. Mereka lebih sering meghabiskan waktunya untuk mengurusi bisnis.
Kebersamaan mereka sebagai sebuah keluarga utuh, bisa dihitung dengan jari tiga orang saja.
Naya ingat bahwa Joe berkali-kali melewatkan ulang tahunnya sendiri karena tak ada dari kedua orang tuanya yang mau repot mengingat momen tersebut.
Naya juga ingat bahwa Joe pernah melewatkan acara kelulusan, sendirian.

"Joe, apa kamu kesepian?"

Pertanyaan Naya yang tiba-tiba mengubah topik tak membuat yang ditanya risih. Sebaliknya pemuda itu hanya mendengkus, masih dengan sikap yang santai.
"Tidak." Ia menjawab singkat.

Dan tatapan mereka kembali beradu.

Naya bukan sahabat Joe sedari kecil. Ia mengenalnya setelah mengenal Aron. Tapi ia bisa melihat nada kebohongan pada kalimatnya. Sinar mata pemuda tampan itu mampu ia deskripsikan dengan baik.
Ia pribadi yang kesepian.
Dan Naya tahu itu.

"Baiklah. Menginap saja di sini." Perempuan itu berujar.

"Aku memang sudah berencana begitu. Bahkan jika kamu melarang, aku akan tetap memaksa untuk menginap di sini." Joe menjawab cuek.

Bibir Naya mengerut. Tapi toh akhirnya ia tertawa lirih.
"Terserah kamu saja." Dan ia menyerah, membiarkan Joe menginap di apartemennya.

"Aku akan membuatkanmu makan malam agar kamu bisa segera minum obat dan beristirahat." Joe melesat tanpa menunggu jawaban dari Naya.

Walau awalnya sempat menolak, toh akhirnya Naya terlelap setelah menyantap makan malam buatan Joe.
Yang tak ia tahu, semalaman Joe terjaga, memilih untuk menatap Naya yang tertidur pulas, dengan tatapan penuh kasih.

°°°

Chaca menatap seluruh ruang apartemen Aron dengan perasaan takjub.
Mulai hari ini, ia akan tinggal bersamanya di sana. Semua barang-barang miliknya juga sudah ia pindah sejak kemarin. Sementara kedai mungil di pinggir kota yang selama ini ia gunakan untuk menopang hidup, ia sewakan pada orang lain. Tadinya ia berniat untuk menjualnya, namun Aron melarang. Setidaknya, itu aset milik Chaca, yang mungkin saja suatu saat nanti ingin ia pergunakan lagi.

"Wow, ini keren sekali, Aron." Chaca menggumam kagum. "Aku turut senang dengan semua pencapaianmu saat ini," lanjutnya.

Aron hanya tersenyum sambil mendampingi perempuan itu melihat-lihat seluruh penjuru apartemennya.

"And I love blue." Perempuan itu kembali berujar sambil melirik Aron dengan senang.

Aron tertegun.
Sejenak tiba-tiba ia lupa bahwa Chaca menyukai warna biru.
Yang ia ingat, ia mendekorasi apartemennya dengan nuansa biru semata-mata karena Naya juga menggemari warna itu.

Dan... 'I love blue'.

Kalimat itu laksana Deja Vu.

Dulu, Naya suka sekali mengucapkan kalimat itu padanya. 'I love blue' seolah menjadi kode bagi mereka untuk mengucapkan kata cinta.
Naya pernah mengatakan bahwa kalimat 'I love you' sudah terlalu umum digunakan. Jadi ia memilih kata-kata lain untuk mengungkapkan rasa cintanya.

Ketika Aron menanyakan alasan kenapa ia lebih menyukai kata 'I love blue' daripada 'I love you', perempuan itu hanya terkikik sambil menjawab, "Because I love blue."

Ah, tiba-tiba Aron merindukannya...

"Kamu sudah menemukannya?"

Pertanyaan Chaca membuyarkan kenangan-kenangan di benak Aron.
"Siapa?" Ia bertanya bingung.

"Aron, aku memintamu untuk mencari tahu tentang wanita yang telah menyelamatkanku? Wanita yang telah membawaku ke rumah sakit beberapa waktu yang lalu." Chaca sewot.

Aron menelan ludah.
"Itu..."
"Kamu sudah menemukannya?" Chaca terdengar lebih antusias.
"Err ... aku ..."
"Ayolah, Aron. Apa sesusah itu menemukan dirinya? Aku ingin sekali bertemu dan mengucapkan terima kasih. Hanya itu."

Aron kembali menelan ludah. Perlahan ia tersenyum kaku lalu mengangguk demi untuk menyenangkan Chaca.
"Baiklah, nanti akan kuberikan alamatnya."

°°°

Hawa panas menerpa diri Naya. Rasa-rasanya kaki tak lagi berpijak di bumi. Terlalu kaget dengan apa yang tengah ia hadapi sekarang.

Perempuan itu ada di sana. Berdiri di depan pintu apartemennya dan tengah tersenyum semringah ke arah dirinya.

"Hai." Ia bahkan menyapa dengan suaranya yang lembut.
"Kamu masih ingat padaku?"
Kedua matanya bahkan berbinar ceria.
"Halo ...."
Perempuan itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Naya.

Naya tergagap, lalu mengerjap berkali-kali. Mengumpulkan serpihan-serpihan jiwanya yang tadi sempat terhempas.

"Kamu masih ingat padaku? Beberapa waktu yang lalu kamu menyelamatkan diriku dan membawaku ke rumah sakit." Perempuan itu tak menyerah untuk terus bertanya.
"Ah, akhirnya aku bisa menemukanmu. Namaku Chaca." Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum lepas.

Sempat ragu, akhirnya Naya membalas jabat tangan tersebut sambil tersenyum kaku.

"Kanaya, maaf jika kamu kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Dan kuharap aku tidak mengganggumu karena ..."

"Bagaimana kamu tahu tempat tinggalku?" potong Naya, berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin.

"Pacarku yang memberitahuku."

"Pacar?" Kening Naya mengerut.

Chaca tersenyum lembut dan mengangguk. "Namanya Aron. Aku meminta bantuannya untuk mencari tahu tentang dirimu. Karena jujur saja, setelah apa yang kamu lakukan padaku, setelah kamu menolongku, aku ingin bertemu langsung denganmu dan mengucapkan terima kasih."

Senyum di bibir Naya lenyap seketika. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang tak salah dengar.
Aron yang memberitahu Chaca alamatnya?
Ia sendiri yang melakukannya?
Kenapa?

"Aku ingin bertemu dan berbicara secara pribadi denganmu untuk berterima kasih." Chaca melanjutkan.

Naya mencoba kembali tersenyum. "Aku hanya melakukan tugasku, tak perlu berlebihan."

"Tetap saja yang kamu lakukan padaku itu hebat. Jika kamu tak membawaku ke rumah sakit, mungkin aku tak bisa ada di sini."

Naya kembali tersenyum canggung. Ia menyelipkan rambutnya yang berjuntaian ke belakang telinga dengan tak sabaran. "Errr... aku tak ingin bersikap tak sopan. Sebenarnya aku ingin mengundangmu untuk masuk ke rumahku. Tapi, ada sesuatu hal yang harus kukerjakan dan aku buru-buru sekali." Ia berujar lembut, berusaha untuk tak membuat Chaca tersinggung.

Chaca menggeleng dan ikut tersenyum sopan.
"Tidak apa-apa. Mungkin aku memang datang di waktu yang tidak tepat. Setidaknya aku sudah tahu tempat tinggalmu dan bertemu langsung denganmu. Kelak, atau kapan-kapan, kuharap kita bisa mengobrol lagi."

"O-ke..."

"Oh, aku membawakanmu ini." Chaca menyerahkan tas yang tadi ditentengnya ke arah Naya.
"Apa ini?"
"Kue. Aku tak tahu kesukaanmu. Jadi kubawakan saja itu. Semoga kamu menyukainya."
"Ah, kenapa kamu mesti repot-repot?"
"Ah ... tidak." Chaca buru-buru menggeleng.
"Kalau begitu, aku pamit ya. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Naya mengangguk, sekadar beramah tamah.

Chaca kembali tersenyum dan menjabat tangan Naya dengan sopan sebelum ia meninggalkan tempat tersebut.

Sejenak setelah Chaca pergi, Naya kembali masuk ke apartemennya. Meletakkan kue pemberian Chaca ke meja dengan asal lalu menyambar ponsel di atas meja rias.
Kemudian tanpa repot-repot berganti baju, perempuan itu melesat keluar. Mengambil arah yang berlawanan dengan Chaca, untuk selanjutnya mencari taksi.
Dalam perjalanan ke tempat yang dituju, ia melakukan panggilan melalui ponselnya.

"Aron, sekarang kamu ada di kantor, kan?"

°°°

Resepsionis di depan kantor Aron menatap Naya dengan heran.
Mengenakan baju rumahan sederhana dengan rambut yang diurai asal, perempuan itu tampak dihinggapi kemarahan.

"Dia di dalam, kan?" Naya bertanya langsung.
"Eh, i-iya..."
Resepsionis itu bahkan belum selesai menjawab ketika Naya bergerak menuju pintu lalu menyeruak begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Naya membanting pintu dari dalam dengan kasar.

Aron yang tengah menatap dokumen di meja kerjanya mendongak kaget.
Menyaksikan Naya yang menyeruak masuk dengan wajah menyiratkan amarah, pria itu buru-buru bangkit.

"Naya?" panggilnya lirih.

Naya menghambur ke arahnya lalu memukul-mukul dadanya dengan marah.
"Bedebah kamu, Aron!" teriaknya. "Kamu berengsek!"
Ia menarik-narik baju Aron dengan kalut, lalu kembali memukul-mukul dadanya dengan geram.

Aron berdiri mematung. Tak berusaha menghindar ataupun melawan. Ia menerima semua pukulan dan sumpah serapah yang dilontarkan perempuan itu.
Ia tak tahu alasan Naya mengamuk dan membabi buta.
Tapi entah kenapa, sepertinya ia pantas menerimanya.
Ia pantas menerima semua pukulan ini, semua sumpah serapah ini.
Untuk alasan tertentu, dan juga alasan lainnya.

Atau mungkin, karena ia terlalu takjub melihat Naya, lagi.
Sudah lama ia tak bertemu dengannya.
Sudah lama ia tak menyentuhnya, mencium aroma tubuhnya, dan... betapa ia merindukannya.

"Kenapa kamu lakukan ini padaku, hah?!" Naya kembali berteriak. Setelah puas memukul-mukul Aron, ia mundur beberapa langkah, lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi.

"Kali ini kesalahan apalagi yang telah kuperbuat?" Aron bertanya pasrah.

Naya menatapnya dengan mata berkilat.
"Untuk apa kamu memberitahukan tempat tinggalku pada Chaca?"

Aron berdiri mematung tanpa segera menjawab.
"Dia terus menerus memintaku untuk mencari tahu tentang dirimu. Dia bilang dia ingin mengucapkan terima kasih padamu karena kamu telah menolongnya. Jadi..."

"Dan dugaanku kamu tak memberitahunya bahwa aku mantan pacarmu, ya, kan? Kamu tak menceritakan padanya tentang siapa aku dan apa hubungan kita di masa lalu. Ya, kan?" Naya memotong ketus.

Aron membuang pandangannya ke tempat lain sekadar untuk memberikan jeda lalu menjawab, "Maafkan aku. Aku punya alasan untuk tidak memberitahunya."

Terdengar Naya kembali mengumpat.

"Aku sudah merelakanmu dengannya, Aron. Kenapa kamu harus membuatnya bertemu denganku? Tidak bisakah kamu membiarkanku hidup dengan tenang?"

"Maafkan aku, Nay. Dia bilang dia hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu."

"Jauhkan dia dariku!" Naya setengah menjerit.
"Aku tak ingin bertemu dengannya, ataupun dengan dirimu. Jadi ... menjauhlah dariku." Ia berbalik.

"Nay?" Aron berusaha menggenggam tangan Naya tapi perempuan itu menyentakkannya dengan kasar.

"Jangan.sentuh.aku." Naya mengeram.
Ia melangkah ke arah pintu, membukanya, lalu membantingnya kasar.
Meninggalkan ruangan Aron yang tiba-tiba saja terasa lengang.

°°°

Ketika kembali ke apartemennya, Naya menemukan Joe mondar mandir di depan pintu. Dengan ponsel di tangan, pemuda itu tampak gusar.

Ketika tatapan mereka beradu, sorot mata Joe menyiratkan kelegaan.
"Kamu dari mana saja? Aku mengkhawatirkanmu. Aku mencoba menelponmu tapi tak kamu angkat. Aku sudah berusaha menghubungi Wendy, tapi dia bilang ia tak bersamamu. Jadi ..."
Menyadari Naya yang hanya diam mematung, kalimat Joe terhenti.

"Nana ..." Ia memanggil lirih. Setelah memasukan ponsel di tangannya ke saku, ia melangkah mendekati Naya.
"Ada apa?" Ia bertanya cemas ketika dilihatnya kedua mata perempuan itu berkaca-kaca.

Dan tanpa mampu dibendung, tangis Naya meledak.
"Joe ...," raungnya.

Joe menggapai tubuh Naya lalu mendekapnya lembut, membiarkan tangis perempuan itu tumpah di dadanya.

°°°

Setelah menghabiskan waktunya menangis, Naya memilih berdiam diri.
Joe sudah berkali-kali bertanya tentang peristiwa apa yang ia alami, namun Naya menolak bercerita.

"Apa kamu bertemu Aron?" Joe menebak. Ia tahu bahwa hanya lelaki itu yang mampu membuat Naya seperti ini.
"Apa yang kalian bicarakan?" Ia bertanya lagi, lembut.

Naya yang duduk membisu di sofa hanya menggeleng lirih.
"Jangan bicarakan dia lagi," jawabnya.

Joe manggut-manggut.
"Baiklah, aku takkan membicarakannya lagi. Mau kubuatkan teh?" Pemuda itu bangkit.

"Joe ..."

Panggilan itu membuat langkah Joe urung. Tatapannya kembali singgah pada Naya yang tampak putus asa.

"Comfort me."

Dan kalimat itu laksana alunan musik yang keluar dari mulut Naya.
"Comfort me, Joe. I need you ..."
Dan ya, Naya memang putus asa. Ia kalut. Dan ia butuh sesuatu untuk membuat perasaannya nyaman. Atau jiwanya benar-benar akan pergi.

Joe menelan ludah. Dari tatapan Naya, ia tahu apa yang diinginkan olehnya.

"How?" Ia bertanya serak.

Naya bangkit dengan perlahan. Ia menggeleng, dan air matanya berjatuhan tanpa mampu ia bendung.
"I don't know. Just give me some comfort, my world is falling apart."

Joe tertegun.

Apapun, untuk Nana-nya...

Pemuda itu bergerak mendekati Naya, menyapu air mata di pipinya dengan ibu jari. Ia mendekatkan wajah, mengecup pipinya ringan, lalu beralih ke pipi yang satunya.
Kali ini, menangkup wajahnya dengan kedua tangan, ia mencium bibirnya, ringan dan lembut.

Sempat beradu pandang sejenak, Joe kembali mendekatkan bibirnya ke bibir Naya. Kali ini bukan sekadar salam tempel, tapi benar-benar ciuman.
Ia melumatnya, menyesap rasa manis yang ada di bibir Naya.

Entah karena Naya yang terlalu putus asa, atau entah karena Joe yang begitu mendamba perempuan itu, atau mungkin karena mereka sudah sama-sama pasrah, Naya hanya mengerang lirih ketika tangan Joe bergerak. Melepas kancing baju Naya dan melucutinya dengan tingkat kesabaran yang luar biasa.

Tanpa meminta pertimbangan pada perempuan itu, Joe mengangkat tubuhnya ringan. Tanpa melepas ciuman mereka, ia membawanya ke tempat tidur dan menempatkan sosok itu di bawah dirinya.

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro