07. In The End, It's You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Joe sempat mencubit lengannya sendiri, dua kali.
Sekadar memastikan bahwa ia sedang tak bermimpi.
Bahwa saat ini Naya ada bersamanya, tidur di pelukannya, tak mengenakan busana, dan mereka baru saja melewatkan pengalaman yang luar biasa.

Sudah lama Joe memimpikan hal ini.
Sudah lama ia mendambakan Naya, mendambakan jiwa dan raganya.
Terdengar mustahil ketika perempuan itu masih berpacaran dengan Aron. Tapi sekarang, ia seolah punya sedikit celah untuk memuwujudkan impiannya; mendapatkan Naya, seutuhnya.

Dan Ia akan melakukannya. Mendapatkan hati perempuan itu, sedikit demi sedikit.

°°°

Naya terbangun ketika merasakan sentuhan lembut di pipi. Perempuan itu membuka mata dan ketika manik matanya beradu tatap dengan milik Joe, segera rasa bersalah mendera dirinya.
Tidak. Seharusnya ia tak melakukan ini. Menarik serta Joe ke dalam hubungan percintaannya yang rumit adalah sebuah kesalahan.

Yang ia lakukan ini jahat.
Memanfaatkan kebaikan Joe untuk melampiaskan kekecewaannya pada Aron. Seharusnya ia tak melakukan ini. Seharusnya ia tak memanfaatkan lelaki itu.

Buru-buru Naya bangkit, menyingkap selimut yang menutup sebagian tubuh, lalu sibuk mencari-cari bajunya.

Mendapati gerakan Naya yang terlalu tiba-tiba, Joe ikut beringsut. Membenahi selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, ia bangkit. Sembari menyisir rambutnya yang tebal, ia terduduk dengan tatapan yang tak beralih dari sosok wanita di hadapannya.

"Nana...," panggilnya. Rasa kecewa tak mampu ia bendung. Maksudnya, ia tak berharap bahwa Naya akan menatapnya penuh cinta setelah apa yang mereka lakukan. Tapi setidaknya, Ia tak mau melihat raut bersalah seperti yang saat ini ditunjukkan wanita itu.
Memang kenapa jika mereka bercinta? Toh mereka sama-sama single.

"Joe..." Naya menggigit bibir dengan gusar, lalu sibuk mengenakan bajunya, sambil sesekali menatap Joe.
"Aku minta maaf. Aku tak bermaksud memanfaatkanmu dan melibatkan dirimu dalam masalah ini. Aku hanya..."

"Nana, apa aku pernah bilang bahwa aku jatuh cinta padamu," potong Joe cepat.

Naya mematung. Jemari lentiknya yang tadi sibuk membetulkan kancing baju sekarang terhenti kaku.
Tatapan mata beningnya beradu lekat dengan milik Joe.

"Aku bilang, aku jatuh cinta padamu," ulang Joe.

Naya menelan ludah.
Joe bilang ... apa?

"Aku jatuh cinta padamu, jika kamu tak memahaminya dengan jelas."  Joe menatapnya tegas.
"Aku jatuh cinta padamu sejak Aron memperkenalkanmu padaku sebagai sahabatnya dan kalian belum resmi berkencan. Tadinya aku berencana mendekatimu secara terang-terangan. Tapi ternyata, sebelum aku sempat melakukannya, kamu keburu menjalin hubungan dengannya." Raut kecewa tampak kentara di mata Joe.

"Tapi sekarang kalian sudah resmi berpisah, jadi aku tak berniat untuk mundur."

Keduanya terus bersitatap.

Joe menyingkap selimut dengan gerakan santai, turun dari tempat tidur sembari memungut celananya yang teronggok di samping kaki kemudian segera mengenakannya. Lagi-lagi gerakannya tenang, seolah tak menghiraukan Naya yang tetap saja berdiri kaku.

"Aku takkan mundur lagi, Nana. Kali ini aku resmi menyatakan cinta padamu, dan perlahan-lahan aku juga akan mendapatkan hatimu. Membuatmu lupa akan Aron. Membuatmu lupa akan luka-luka yang pernah ia ciptakan." Lelaki jangkung yang masih bertelanjang dada itu bergerak menghampiri Naya.

Kemudian dengan gerakan lembut, Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengancingkan baju Naya yang masih terbuka.
Perempuan itu masih saja terlihat syok bercampur bingung.

Lembut Joe berujar, "Kamu tak perlu merasa bersalah atas apa yang baru saja kita lakukan. Kamu tak memanfaatkanku. Bahkan jika kamu butuh kenyamanan, datanglah padaku. Akan kuberikan semua, sebanyak yang kamu minta."

Apapun itu...
Untukmu, Nana-ku...

Naya hanya mampu membalas tatapan lelaki itu dengan pasrah, tanpa mampu bersuara.
Menelan ludah dengan susah, ia sadar akan satu hal; Melibatkan Joe dalam masalah ini, akan membuat segalanya bertambah rumit.

°°°

Bibir Aron membentuk senyum hangat manakala melihat perempuan itu muncul dari balik pintu kantornya.
“Hai.” Chaca yang menyapa terlebih dahulu sambil melangkahkan kaki memasuki ruangan. “Semoga kunjunganku tak mengganggumu,” lanjutnya.

Dengan bibir yang masih tersenyum, Aron menggeleng lalu bangkit dari kursinya. “Tidak. Aku justru senang kamu kemari. Kamu pasti merasa bosan tinggal di apartemen sendirian.” Pria itu berujar, sambil menyambut kedatangan Chaca dan memeluknya ringan.

Chaca tertawa lirih. “Aku tidak bosan. Banyak hal yang bisa kukerjakan. Aku kemari karena ingin membawakanmu makan siang.” Ia menunjukkan tas bekal di tangannya.

Aron menggamit lengan Chaca lalu mengajaknya duduk di sofa. “Kenapa kamu harus repot, sih? Aku kan biasa makan di kantor.”

“Tidak repot. Aku senang memasak, kamu tahu itu? Aku hanya takut kamu terlalu sibuk hingga tak sempat makan siang. Jadi aku berinisiatif kemari.” Tangan Chaca yang lentik membuka kotak bekal dengan cekatan, lalu menata berbagai hidangan yang ia bawa di hadapan Aron.
Pria itu menatapnya takjub. Ke arah Chaca, lalu ke arah hidangan hasil karyanya di atas meja. Ia tahu bahwa sejak dulu Chaca pintar sekali memasak. Dan semua hasil masakannya sudah bisa dipastikan lezat tak terkira. Hanya saja, ia sudah hampir lupa rasanya.
Ia hampir lupa rasa masakan Chaca karena selama ini ia mulai terbiasa memasak sendiri.

Karena terlalu lama ia tak bertemu dengannya? Bukan juga. Bukan pula karena ia terbiasa tinggal sendirian.

Tapi...
Tapi karena Naya tak terlalu pandai memasak.

Sejak berpacaran dengan perempuan itu, ia yang kerap membuatkannya makanan. Dan mungkin sejak itu pula, ia mulai suka aktivitas berjibaku di dapur, aktivitas yang tadinya sempat ia anggap merepotkan.
Ia menikmati saat memotong sayuran. Ia menikmati membuat masakan baru dengan bumbu-bumbu baru. Dan yang pasti, ia suka menyaksikan ekspresi Naya ketika perempuan itu mencicipi masakan yang ia buat. Matanya yang berbinar, mulutnya yang sibuk mengunyah makanan, dan ...
Ah, akhirnya ia mengingatnya lagi.

Dan lagi-lagi ia merasa rindu.
Pada Naya-nya...

"Mau kusuapi?"

Suara lembut Chaca membuyarkan parade kenangan di benak Aron. Pria itu buru-buru tersenyum lalu menggeleng. "Terima kasih, tapi aku akan makan sendiri," jawabnya. Meraih sendok dari tangan Chaca, dan segera mencicipi hidangan yang disajikan.

"Nanti malam kamu ingin dimasakkan apa?" Chaca bertanya lagi dengan antusias.
Masih sambil mengunyah makanan, Aron menatapnya lembut. "Maaf, Cha. Nanti malam aku akan pulang sangat terlambat. Jadi kamu tak perlu menungguku dan membuatkanku makan malam. Aku akan makan di kantin kantor."

Chaca tampak sedikit kecewa mendengar jawaban Aron. Tapi akhirnya perempuan itu tersenyum dan mengangguk mengerti.

°°°

Aron menggigiti bibirnya dengan gusar.
Setelah hampir setengah jam mengemudi di jalanan tanpa arah, pada akhirnya ia berada di sini.
Berdiri dengan bimbang di depan apartemen Naya.
Hal yang tak mampu ia pahami, kenapa ia biasa berada di sini.
Apa yang akan ia lakukan?
Bertamu di tengah malam?
Atau sekadar mengucap salam?
Ataukah ia memang ingin bertemu dengan wanita itu karena merindukannya?
Entah, Aron tak paham jalan pikirannya sendiri.

Pemuda itu sempat mondar mandir selama beberapa menit karena bingung, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memencet bel pintu, walau awalnya ragu.
Ia tak berharap Naya akan membuka pintu.
Bisa jadi perempuan itu sedang istirahat. Atau mungkin malah sudah terlelap. Atau... mungkin saja ia tak berniat menerima tamu di jam-jam begini.

Tiga kali menekan tombol bel, tak ada tanda-tanda bahwa sang penghuni akan membukakan pintu. Aron putus asa. Ia nyaris memutar langkah ketika pada akhirnya terdengar bunyi klik.

Mengharapkan akan bertemu dengan Naya, Aron memasang senyum hangat di bibir.
Namun senyum itu lenyap seketika manakala ia melihat sosok lain yang muncul dari balik pintu.

Lelaki tinggi tegap, bertelanjang dada, dan rambut yang sedikit acak-acakkan. Kedua matanya bahkan masih sedikit menyipit, seolah baru saja bangun tidur.

"Joe?" Sebuah nama meluncur dari bibir Aron dengan nada syok.
Ekspresi yang hampir sama juga dirasakan sosok yang berdiri kaget di balik pintu.
"Aron? Kau... di sini?"

"Dan kau... juga di sini?" Aron balik bertanya.

Joe menyisir rambutnya asal. Atmosfir di antara mereka berubah cangggung.
"Aku... menginap di sini." Akhirnya Joe menjawab.

Jawaban itu tak pelak menimbulkan ekspresi terpukul di wajah Aron.

"Siapa, Joe?"

Suara lembut terdengar dari balik tubuh Joe yang nyaris menutup pintu. Dan ketika lelaki itu beringsut, perempuan cantik itu muncul dari sana. Merapikan baju tidurnya, tatapannya beradu dengan sang tamu.

"Aron?" Bibir mungilnya bergerak.

Rahang Aron kaku. Ia menatap ke arah Joe dan Naya secara bergantian.
"Jadi... kalian berdua..." Ia merasakan hawa panas merebak di wajah. Tangannya terkepal, menahan amarah yang entah ingin ia luapkan pada siapa.
"Baiklah. Aku mengerti sekarang." Ia manggut-manggut dengan ekspresi putus asa.
"Semoga bahagia." Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik lalu melangkah cepat.
Meninggalkan Joe dan Naya yang berdiri saling menatap dengan bingung.

"Kau tak ingin mengejarnya?" tanya Joe pada Naya. Tak ada nada sarkasme, karena ia benar-benar berniat bertanya.
Naya mendengkus, lalu berbalik, melangkah kembali ke kamar.
"Untuk apa?"
"Menjelaskan sesuatu padanya atau apalah. Setidaknya kau harus berbicara dengannya." Joe mengikuti langkah perempuan itu. "Ia datang kemari malam-malam begini, pasti ada yang ingin ia sampaikan."

"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kami." Naya menjawab ketus.
"Nana..." Joe memanggilnya lembut.
"Pikiran Aron terlihat kalut. Dan aku takut ia akan mengemudi dengan buruk di jalan raya."

Naya tertegun. Membayangkan Aron menyetir ugal-ugalan yang bisa membahayakan dirinya, tiba-tiba saja ia merasa khawatir.

Melihat keraguan di mata Naya, Joe kembali berucap lembut, "Berbicaralah padanya."

Naya berdiam diri sejenak. Tapi pada akhirnya ia beranjak, lalu menyeruak keluar mengejar Aron.

Joe menatap kepergian perempuan itu dengan hati berderak.
Jika harus jujur, ia tak rela Naya mengejar Aron. Ia tak ingin wanita itu bertemu dengannya lagi.

Tapi ia sadar diri, yang dicintai Naya adalah Aron, bukan dirinya.
Jadi walau mereka bercinta berkali-kali, tetap saja ia takkan bisa memiliki hatinya.

°°°

"Aku tak tahu apa alasanmu datang ke apartemenku. Tapi kuharap kau tidak melakukannya lagi. Jangan datang ke apartemenku! Dan jangan menemuiku!" Naya berteriak lantang. Suaranya menggema di area parkir.

Aron yang nyaris menjangkau mobil kini menghentikan langkah, lalu berbalik menatap Naya. Kristal bening mengumpul di sudut matanya.

"Jadi... apa sekarang kau menjalin hubungan dengan Joe?" Suaranya bergetar.

"Dan itu bukan urusanmu, kan?!" Naya membentak.
Aron mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menghirup udara dalam-dalam, mencoba menata ulang pikirannya yang tercerai berai.
"Oke, terserah kau saja." Ia beranjak menuju mobilnya.
Tadinya ia berniat meninggalkan tempat ini secepat mungkin, tapi lagi-lagi ia bimbang.

Tangannya urung menarik handle pintu mobil, dan dengan perasaan yang membuncah, ia kembali menatap Naya dengan tatapan pilu.
"Nay, kumohon..." Ia meratap. "Jangan menjalin hubungan dengan Joe. Jangan..."

"Kenapa tidak? Kau sudah berbahagia dengan perempuan lain, kenapa aku tak boleh mencari kebahagiaanku sendiri?"

"KARENA CHACA SAKIT!" Suara Aron melengking. "DIA SAKIT!"
Dan air matanya jatuh berderaian.
"Aborsi yang ia lakukan beberapa tahun silam membuat rahimnya bermasalah. Ia harus bolak balik ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Itulah mengapa aku tak bisa meninggalkannya, karena dia membutuhkan diriku." Bibir lelaki itu bergetar.

"Dia sakit, Nay. Aku tak bisa mengabaikannya. Ia membutuhkanku," ulangnya lirih.

Naya mematung. Rasanya ada yang hancur, lagi. Seolah ia tengah dihempaskan ke tanah.

"Tapi faktanya kau lebih mencintainya dan ingin kembali padanya, ya, kan?" Ia bertanya getir.

Aron menggeleng lirih.
"Tidak..." Air matanya kembali menitik. "Bukan seperti itu. Aku memang masih menyimpan rasa cinta padanya, tapi bukan berarti aku ingin kembali menjalin hubungan dengannya karena aku sadar, hubungan kami takkan pernah sama lagi. Tadinya aku hanya ingin mencari keberadaannya, dan setelah memastikan ia baik-baik saja, aku ingin datang padamu, berlutut di hadapanmu dan memohon padamu agar kita bisa berbaikan lagi. Karena..."'

Aron terhuyung. Ia melangkah dengan gontai ke arah Naya.

"Aku tak menyangka bahwa berjauhan denganmu akan terasa sesakit ini, Nay." Seolah emosinya nyaris tumpah.

Lelaki itu mendekati Naya yang berdiri kaku. Pelan ia memeluk pinggang Naya lalu meletakkan kepalanya ke pundak perempuan itu. Dan tangisnya pecah.

"Aku tetap mengharapkan dirimu, Nay. Aku ingin kita berbaikan kembali. Jadi kumohon, jangan menjalin hubungan dengan Joe. Kumohon... Jangan..."

Naya menggigit bibirnya yang gemetar. Air matanya ikut berjatuhan. "Aron, kamu adalah lelaki paling brengsek yang pernah kutemui."

°°°

In the end, It’s you
Pada akhirnya, itu kamu

It’s you again
Lagi-lagi kamu

I tried to forget you but still
Aku mencoba melupakanmu, tapi gagal

Even if the time passes, It’s you
Bahkan ketika waktu berlalu, lagi-lagi kamu

The street we used to walk together
Jalan yang sering kita lalui bersama

The first day we kissed
Hari ketika kita berciuman

It’s as clear as yesterday
Secerah hari kemarin

So I…
Jadi

If I can turn back the time, so we can love each other again
Jika saja kita bisa kembali ke masa lalu, bisakah kita saling mencintai lagi

Are you still in memory like me?
Masihkah kau menyukaiku?
Do your heart feel sick when the cold wind blows?

Come back to me again
Kembalilah padaku

And tell me you love me
Katakan bahwa kau mencintaiku

Even the farewell will come again
Meskipun akan ada perpisahan lagi

It’ll be hurtful, but I think I can bear it all
Walau sakit, aku pasti bisa melaluinya

In the end, It’s you
Karena pada akhirnya, itu adalah kamu

°°°

Bersambung

note: lirik terakhir adalah penggalan lagu In The End, It's you by Im Se Jun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro