Sheet 18: Artist in the Cage

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 18: Artist in the Cage

.
.
.

"Jawabannya adalah 46.226 meter. Tidak ada yang bisa menjawabnya, ya? Tapi aku menghargai dua kelompok yang berhasil menjawab dengan nilai yang cukup mendekati. Maukah kalian menceritakan bagaimana kalian bisa menghitung seperti itu?"

Argia berdiri dan tersenyum pada Sive yang duduk di depannya dengan memasang wajah datar khasnya.

"Sebenarnya aku hanya menghitung hasilnya saja. Untuk angka-angkanya, Sive yang menghitungnya, semua angkanya, termasuk berapa lama kita di perjalanan sampai kecepatan mobilnya. Aku tidak tahu jika dia selalu menghitung setiap langkah yang ia miliki. Aku pikir itu ...," Argia mengelus lengan atasnya, ia sedikit canggung, "... cukup keren."

Setelah Argia duduk, suara tepuk tangan dan decak kagum terdengar. Ia terkekeh lalu mengucapkan terima kasih pada Sive, walaupun dengan wajah datar, Sive tetap mengangguk. Ia seperti tidak memiliki perasaan senang sedikitpun dan Argia tak terlalu mementingkannya.

Kini giliran Raven yang berdiri. Ia menjawab pertanyaan Mr. Oliver dengan santai.

"Aku tidak tahu angka pastinya, jadi aku hanya memperkirakannya saja. Untuk kecepatan mobilnya, aku tidak bisa memperkirakannya karena aku memang tidak tahu harus membandingkannya dengan apa, tapi Zelts berhasil mengetahuinya, dan Sophia berhasil menghitungnya dengan cepat. Aku pikir ini hanya membutuhkan kerja sama kelompok saja."

Mr. Oliver tersenyum penuh arti, "Kesimpulan yang bagus dari class leader. Berikan tepuk tangannya."

Suara tepuk tangan terdengar saat Raven duduk kembali. Setelah itu, Mr. Oliver melanjutkan kembali perkataannya, "Kerja bagus, semuanya. Aku senang pada akhirnya ada yang menyadarkan kelas ini bahwa kerja kelompok sangat penting dalam melakukan sesuatu. Aku berharap kalian mempertahankan sikap seperti itu dalam mengambil keputusan."

"Untuk apa yang dilakukan Raven, tentang bagaimana dia menghitung angka-angkanya dengan memperkirakan sesuatu, namun ini bukanlah memperkirakan secara asal saja, melainkan dengan cara membandingkan sesuatu atau dengan pengiraan cerdas. Benar begitu, Raven?" tanya Mr. Oliver.

Raven mengangguk mantap.

"Cara ini sudah diteliti oleh ilmuwan bernama Enrico Fermi-aku pikir nama ini tidak asing untuk kalian, seorang ahli fisika yang turut serta dalam pembuatan bom atom saat Perang Dunia II. Hal ini biasa disebut dengan Fermi Problem, Cara berpikir fermi, atau mungkin juga paradoks fermi."

Siswa A Class mengangguk paham. Mendengar pengetahuan umum seperti itu adalah pertama kalinya bagi mereka. Bahkan Raven yang melakukannya pun baru mengetahuinya setelah Mr. Oliver menjelaskannya. Satu lagi hal baru yang mereka ketahui.

"OK, untuk satu jam ke depan, kalian bisa melakukan hal yang kalian sukai. Asalkan tidak terlalu jauh dari tempat ini. Setelah itu, kita akan kembali ke akademi," jelas Mr. Oliver. Murid A Class segera berdiri setelah Mr. Oliver menepuk tangannya dua kali.

---

Dengan membawa sketch book, Kniga berjalan menyusuri jalan setapak, dengan tangan kanan yang menggenggam tangan gadis pirang di belakangnya.

Pemandangan di daerah pegunungan dengan daun-daun yang memerah harus diabadikan. Bukan menggunakan alat elektronik seperti kamera. Kniga lebih menyukai menggunakan tangannya dan peralatan gambar miliknya yang selalu dibawa oleh Aida.

Duduk beralaskan rumput dengan pensil HB di tangan kanannya, Kniga mulai menggoreskan coretan di atas kertasnya. Aida yang duduk di sebelahnya tak berani mengusiknya, jika bukan Kniga yang mengajaknya berbicara. Sudah bukan hal yang jarang jika Kniga terlihat berbeda saat melakukan kegiatan kesukaannya.

---

Mr. Oliver tentunya bukan guru yang membiarkan muridnya begitu saja. Membiarkan muridnya untuk melakukan hal yang di sukainya dan mengamati mereka dari kejauhan adalah salah satu tugasnya sebagai pengamat tumbuh kembang mereka. Poin plusnya, ia jadi mengetahui kemampuan dan potensi siswanya masing-masing.

Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil mengamati, seperti Zwart dan Sive yang memilih untuk berbincang di pinggir sungai-meskipun hanya Zwart saja yang duduk dan Sive lagi-lagi membiarkan betisnya basah terkena air. Jika di dengar lebih seksama, mereka tidak berbicara omong kosong belaka. Sive suka sekali dengan bebatuan yang ada di sungai, juga ikan dan tumbuhan di sekitarnya, sedangkan Zwart menerangkan apa yang diketahuinya tentang batuan yang diambil oleh Sive.

Atau seperti Raven yang diam-diam menyalakan laptopnya dan memperhatikan kurs uang yang naik-turun. Dengan grafik-grafik yang terlihat seperti gunung dan lembah.

Atau seperti Sage yang diam-diam memiliki suara emas. Yang bagaikan burung pun ikut bernyanyi dengannya.

Atau seperti Kniga yang terlihat seolah-olah bagaikan orang lain saat berurusan dengan dunia seni.

***

Mata Mr. Oliver menelusuri setiap jawaban yang sudah dikerjakan oleh anak muridnya. Akhir-akhir ini ia sering sekali memberikan soal-soal tentang permasalahan di dunia nyata. Dan kebanyakan soal yang ia berikan ia ambil dari soal olimpiade.

Meskipun ia tengah duduk di kursi kerjanya, pemikirannya melayang jauh. Ia teringat tentang PTA yang akhir-akhir ini ia lakukan. Ia sudah mengunjungi semua rumah muridnya dalam jangka waktu satu bulan. Banyak informasi yang ia dapat dari pertemuan itu.

Fakta pertama, ia sudah menduga jika Sive memang bukan anak biasa. Dan tebakannya benar. Ia seorang anak pengidap autisme dengan kemampuan memori eidetik, serta sangat menyukai alam. Ia masih ingat batu-batu unik yang pemuda itu tunjukkan—setelah dipaksa oleh kedua orang tuanya. Juga bagaimana ia melihat Sive yang sebelumnya sibuk berbaring di atas rumput di taman rumahnya, dengan buku berisi daun-daun kering dan bulu-bulu burung yang ia temukan.

Mr. Oliver dibuat kagum dengan kedua orang tua Sive yang sangat menyayangi anak tunggalnya, meskipun orang-orang menganggapnya aneh. Mereka merawatnya dengan baik, bahkan Sive hampir tidak terlihat seperti anak autis pada umumnya, ia sudah bisa berbicara dengan urutan kata yang benar, walaupun lebih banyak memendam apa yang ia ingin ucapkan. Dan juga sedikit anti-sosial.

Fakta kedua, Aida Eucharis sudah tidak memiliki seorang ayah. Ibunya bekerja sebagai fashion designer, mereka hanya hidup berdua dalam satu rumah itu—jika pembantu dan sopir tidak dihitung. Aida terlihat kesal dengan ibunya yang selalu saja mengeluhkan tentang kebiasaan buruknya akhir-akhir ini. Sementara itu, ia hanya menanggapinya dengan senyuman.

Fakta ketiga, Kniga memiliki keluarga yang cukup keras mendidik anak-anaknya. Dan juga, rumah Kniga dan Aida berdekatan, hal ini menjadi salah satu faktor mengapa mereka berdua terlihat lebih dekat dibandingkan yang lainnya. Keluarga Acanthus mendidik anaknya untuk berprofesi sebagai dokter, jika tidak memilih profesi itu, maka akan dianggap sebagai aib keluarga. Miris sekali, di zaman seperti ini masih saja ada keluarga yang seperti itu.

Juga fakta bahwa keluarga itu menentang profesi yang berhubungan dengan seni. Bahkan kepala keluarga itu meminta agar Kniga tidak perlu mengikuti mata pelajaran tersebut.

Ia ingin sekali menentang dengan mengatakan jika Kniga punya bakat mengagumkan di bidang itu, namun ia segera menahannya saat melihat wajah pucat Kniga yang terlihat ketakutan. Ia memutuskan untuk hanya menentang dengan mengatakan bahwa hal itu menjadi salah satu mata pelajaran penting.

.
.
.

To be continued

Follow Ig ku untuk info lainnya: @ fukuyama_12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro