Sheet 19: Dig a Little Deeper

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 19: Dig a Little Deeper

.
.
.

Setelah ia keluar dari kediaman itu, Kniga dengan cepat menyusulnya dan memintanya untuk tidak mengatakan apapun tentang kegiatannya di sekolah yang berhubungan dengan seni, kecuali jika memang sangat penting.

Ia menyetujuinya dan menatap punggung Kniga prihatin. Tapi ia tetap bersikap tenang, karena mengembangkan potensi bakat dan minat adalah bagian dari pekerjaannya. Dan ia tidak membiarkan orang lain ikut campur tangan dengan hal itu.

Selanjutnya, saat ia berkunjung di kediaman Zelts Crainard, ia tak mendapati pemuda itu ada di sana. Ia hanya mendengar ibu Zelts yang mengeluh dan beberapa kali mengucapkan kata‘bandel' dari mulutnya.

Zelts memang beberapa kali berbuat masalah di sekolah, bukan masalah penting, hanya saja pemuda itu sering tertidur di tengah-tengah pelajaran, meskipun hal itu tidak mengganggu pemahamannya. Mengingat hal itu, ia sedikit kagum dengan siswa A Class.

Lalu fakta tentang Sophia Rosewood. Gadis itu tinggal dengan bibi dan pamannya, dari tingkah lakunya, ia tampak tak nyaman saat duduk di sebelah pamannya.

Seperti apa yang diceritakan oleh wanita itu, Sophia seorang anak supel dan penuh rasa ingin tahu. Ia menyetujui pernyataan itu mengingat jika Sophia satu-satunya anak yang berusaha menghancurkan dinding kokoh A Class.

Ia berteman dengan siapa saja tanpa memedulikan tradisi A Class. Gadis itu juga selalu bertanya apapun, bukan pertanyaan yang membuatnya terlihat bodoh, melainkan pertanyaan cerdas yang tak semua orang dapat pikirkan.

Jika mengingat tentang Raven, pemuda itu memang pendiam, baik di rumah maupun di sekolah. Namun dibalik hal itu, ia tampak perhatian dengan adik-adiknya, jika di sekolah, ia sering kali mendapati pemuda itu membantu guru-guru yang sudah berumur.

Ia pemuda yang sopan, meskipun terlihat dingin dan beberapa kali mengucapkan kata-kata tajam.

Di tengah kunjungannya, ia melihat seorang anak laki-laki yang lebih muda dari Raven. Mereka berdua terlihat sangat mirip, Raven memperkenalkannya sebagai adiknya. Ia dapat melihat perhatian yang lebih besar dari keluarga Windblows pada anak itu.

Untuk Sage, dia pemuda yang sabar, lebih sabar dari pemuda seumurannya, menurutnya. Ia dapat melihat hal itu saat Sage berusaha menenangkan ibunya. Ia tampak menyayangi kedua orang tuanya. Meskipun dapat dilihat jika kedua orang tuanya sangat tidak akrab, tapi Sage berusaha menjadi penengah untuk mereka.

Ia juga baru mengetahui jika pemuda itu punya masalah pada penglihatannya. Rasanya ia kini tahu maksud dari keinginannya saat itu. Dan satu hal lagi, ayahnya ternyata adalah seorang mantan artis yang berpindah haluan menjadi pendiri studio entertaiment. Ia jadi tahu banyak tentang Sage yang sangat menyukai musik.

Untuk Azure Magnolia, ia dapat melihat gambaran keluarga yang sama seperti keluarga Kniga. Orang tuanya sudah menetapkan segala kebutuhan gadis itu di masa depan, layaknya jalan yang sudah ditunjukkan, dan Azure hanya perlu mengikutinya. Gadis itu tampaknya tak menolaknya dan mengikuti apa perintah orang tuanya. Jika boleh jujur, ia tak suka cara mendidik seperti itu.

Lalu tentang Blue Alyssum. Gadis itu tampak seperti gadis pada umumnya. Orang tuanya menyampaikan rasa bangga saat mendengar anaknya diterima di SL Academy dan masuk ke dalam jajaran dua belas anak tercerdas di sana. Dan ia dapat melihat gadis itu tersipu malu saat mendengarnya.

Mengenai si kembar Stephanotis, mereka tampak baik-baik saja, tidak ada pertengkaran seperti hari-hari biasa, kecuali hanya perdebatan kecil yang tidak selama biasanya.

Yang membuatnya ingin tertawa adalah, saat ia melihat duo kembar itu memakai pakaian yang hampir serupa, walaupun hanya berbeda warna. Dan seperti mereka membencinya. Ia dapat mendengar keduanya saling berbisik tentang pakaian itu, dengan perdebatan kecil sebenarnya.

Ia juga memberitahu kemampuan kedua anak itu, sama seperti yang ia lakukan saat kunjungan tang lainnya. Di akhirnya, ia menawarkan si kembar itu untuk mengikuti olimpiade kebumian dengan syarat satu kelompok berisi dua orang. Dan si kembar itu memenuhi persyaratannya. Ia dapat melihat potensi kedua anak itu.

Ia masih ingat jawaban Argia yang tidak ingin olimpiade seperti itu, ia lebih suka bekerja seorang diri. Dan Zwart menyetujuinya. Namun ia tidak menawarkan olimpiade lain selain itu. Pada akhirnya, si kembar itu memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu. Ia menyetujuinya dan berharap agar mereka segera memberikan jawabannya.

Yang terakhir, Iris Gladiolus. Gadis itu tinggal di sebuah rumah kecil dengan kedua adiknya. Ia bekerja paruh waktu untuk membiayai kehidupannya dan pendidikan adiknya. Ia menceritakan rasa syukur yang ia rasakan saat mendapat beasiswa penuh dari pihak sekolah.

Ia berada cukup lama di sana. Ia suka sekali dengan anak kecil, terutama anak cerdas seperti adik-adik Iris. Ia mengajarkan banyak hal pada mereka dan Iris tampaknya tidak keberatan untuk melakukan hal itu. Mungkin ia bisa mencari beasiswa untuk mereka, atau menjadi wakil mereka.

Ini bukanlah tahun pertama ia mengajar. Ia sudah melihat banyak perubahan dari generasi ke generasi. Melihat mereka tumbuh besar dan tugasnya hanyalah mendorong mereka pada jalan yang benar, jalan yang sesuai dengan hati mereka.

Walaupun seperti bekerja di balik layar, ia merasa senang dengan pekerjaan yang dipilihnya. Ia ingin melihat semua anak didiknya berhasil dengan usaha mereka sendiri.

Ia memang sudah sering sekali mengurus anak-anak bermasalah, dan entah kenapa ia selalu mendapat bagian seperti itu. Bukannya merasa sombong, tapi ia merasa sepert iai sudah ditakdirkan untuk hal itu. Untuk membantu mereka yang bermasalah.

Penilaian pertamanya pada kelas yang saat ini ia ajarkan sangatlah buruk. Lebih parah dari kelas yang pernah ia ajarkan sebelumnya. Ia tidak mengatakan jika mereka tidak punya potensi. Potensi mereka sangat tinggi, jika tidak tinggi mereka tidak mungkin masuk dalam A Class. Ia masih ingat saat mereka dapat menjawab soal-soal analisis yang ia berikan tiap kali kegiatan belajar-mengajar.

Murid-murid itu punya masalah pada diri mereka sendiri, membuat mereka menjalankan potensi mereka hanya seperti gugur kewajiban saja. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri sejak ia memulai profesinya sebagai guru. Ia berjanji akan membantu siapapun yang berada dalam masalah.

Ia tahu jika mungkin orang lain akan menganggapnya suka ikut campur. Ia tak peduli dengan cap itu, ia hanya tak suka melihat orang lain berjalan pada jalan yang tidak mereka inginkan. Melihat mereka menderita bukanlah hobinya. Karena ia tak ingin melihat orang lain seperti dirinya di masa lalu.

Semuanya tak mudah. Tak ada yang dapat digapai dengan instan. Menjadi guru dan membuat semua murid didiknya paham dengan apa yang ia sampaikan sangatlah tidak mudah.

Ia harus mempelajari teknik-teknik mengajar yang selalu berubah tiap generasi, tentang pengetahuan-pengetahuan baru yang selalu keluar, atau tentang memahami diri sendiri sebelum memahami orang lain.

Matanya yang sudah bebas dari kacamata menatap foto yang ia ambil di hari-hari pertama ia mengajar di A Class. Ia tertawa kecil saat melihat wajah-wajah kaku itu. Hanya ia saja yang tersenyum lebar. Melihat hal itu membuat tekadnya semakin mantap. Seperti perkataan Mama Odie dalam Princess and The Frog—

—'Dig a Little deeper'

Ia tidak akan menyerah dan akan terus menggali anak-anak itu lebih dalam.

.
.
.

To be continued


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro