Sheet 24: Can Someone Help Me?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.
Sheet 24: Can Someone Help Me?

.
.
.

Raven tak merasa sedikit membaik. Adik bungsunya yang imut itu mendatanginya beberapa jam yang lalu dengan membawa buku tebal berwarna hitam. Ia merengek meminta agar dirinya, yang sakit ini, membacakan buku ensiklopedia tata surya itu.

Raven tahu jika buku yang masih dibungkus plastik itu milik Aaron, ia meminta agar orangtuanya membelikannya beberapa hari yang lalu.

Ia awalnya menolak dan menyuruh Aaron untuk membacakannya, tetapi ia terpaksa melakukannya saat Sue, adik bungsunya, menceritakannya pada ibunya. Setelah itu, ia dimarahi habis-habisan karena mengganggu Aaron yang sedang belajar.

Ia memegangi kepalanya sekali lagi. Kepalanya memang masih terasa pusing, walaupun sudah tidak separah tadi. Ia sudah meminum obat yang diberikan oleh dokter. Ia hanya perlu istirahat di atas kasur, entah sampai kapan. Dan ia juga berharap tidak ada lagi yang mengganggunya.

Perutnya berbunyi, tanda ingin segera diisi. Ia tak akan segan-segan melakukannya jika saja nafsu makannya sedang tidak menurun-dan jangan lupakan lidahnya yang terasa pahit. Ia menghela napas berat.

Jika Raven tak salah ingat, seminggu yang lalu adiknya juga sakit. Ia ingat jika Aaron meminta zuppa soup pada ibunya, dan dalam sekejap makanan itu sudah tersedia di atas meja nakasnya. Bahkan sup itu buatan ibunya sendiri. Padahal ibunya tidak akan pernah memasak makanan jika bukan hal darurat saja.

Raven menerawang jauh-jauh. Bagaimana jika ia coba lakukan hal yang sama? Apa mungkin makanan itu juga akan ada di atas nakasnya nanti?

Dengan selimut yang masih membungkus badannya, Raven berjalan dengan sempoyongan. Ia melihat punggung ibunya yang sedang duduk di sebelah jendela besar. Setelah berjalan beberapa langkah, ia sadar jika ada ayahnya juga di sana. Mereka sama-sama menyesap teh panas dengan laptop di atas meja.

"Mom," panggil Raven. Ia mendengar ibunya menjawab dengan gumaman. "Aku ingin makan sup kepiting."

Gerakan tangan wanita itu berhenti. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap anak sulungnya. "Raven, ibu sedang sibuk. Lalu, kau pikir berapa umurmu sekarang? Kau bukan anak kecil lagi. Suruh saja pelayan untuk membelinya."

Raven terdiam cukup lama. Ia memperhatikan ibunya yang kembali berkutat dengan berita entertainment terbaru di ponsel layar lebarnya sedangkan ayahnya tengah sibuk dengan laptopnya. Ia merasa nasibnya tak jauh berbeda dengan vas antik di sebelahnya, sama sekali tak dihiraukan.

Pemuda yang tengah sakit itu berbalik. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan Aaron yang turun dari tangga dengan menggunakan baju tebal. Sepertinya ia akan keluar, namun Raven tak peduli.

"Aku mau keluar. Apa kau mau sesuatu?" tawar adiknya setelah beberapa langkah melewatinya.

Raven menghentikan langkahnya dan berbalik menatap adiknya. Ia menjawab dengan nada datarnya, "Tidak perlu. Jika ayah dan ibu tahu itu hal itu, ia pasti akan memarahiku."

Aaron menaikkan salah satu alisnya. Ia menatap kakaknya yang sudah berjalan meninggalkannya dengan tatapan bingung. Ia tidak sungguh tidak mengerti maksud dari jawaban itu.

Memilih untuk tidak terlalu memusingkannya, Aaron kembali berjalan. Ia kembali terhenti saat suara serak yang lain memanggilnya. Ia berjalan mendekati ayahnya dan iseng meminum teh panas yang entah milik siapa.

"Mau ke mana, kau? Bukankah di luar terlalu dingin?" tanya Mr. Windblows.

Dengan mengunyah permen jahe yang baru saja ia ambil, Aaron menjawab, "Aku ingin camilan. Camilan favoritku sudah habis. Aku tidak akan lama."

"Tidak perlu. Kau kembali ke kamarmu saja. Di luar terlalu dingin, biar ayah saja yang carikan."

"Kau di rumah saja, ibu juga sedang senggang. Ah, bagaimana jika kita membeli beberapa kue di Golden, honey?"

Raven menoleh cepat. Ia belum sepenuhnya menaiki anak tangga dan mendengar ayahnya berkata seperti itu. Ia menatap perbincangan itu dengan tatapan tak terima, meskipun ia tahu tidak ada yang akan melihatnya.

Mata yang serupa dengan milik Raven itu berbinar senang, "Jika kalian memaksa kurasa tidak masalah. Ah, bisakah kalian membelikanku pasta? Lalu, ...."

Raven menggeram pelan. Ia tak ingin mendengar percakapan itu dan memilih untuk kembali ke kamarnya, serta kembali berbaring di atas kasur dengan menahan perut laparnya.

Di balik selimut, Raven bergumam, "Aku hanya ingin sup kepiting."

---

"Sophia!" suara serak itu memanggil dengan diiringi ketukan pintu. Sophia tersentak dan segera berdiri dari kursi belajarnya. "Kau belum makan malam, kan? Bagaimana jika kita makan di luar?"

Sophia berjalan mendekati pintu dan menempalkan telinganya. Ini sudah ketukan yang entah keberapa, pamannya selalu datang dan mengetuk pintunya, lalu mengucapkan kalimat basa-basi.

"Apa yang terjadi denganmu? Keluarlah dan ceritakan semuanya padaku. Kita juga bisa pesan pizza. Sophia? Apa kau sudah tidur?" tanya Mr. Aismount sekali lagi.

Sophia tak menjawabnya, ia hanya terdiam dengan memainkan rambut coklatnya dengan gelisah. Ia berharap agar pria itu segera tidur, atau pergi keluar agar ia dapat mengambil beberapa makanan di dapur.

Tanpa Sophia ketahui, Mr. Aismount menghela napas panjang, "Kalau begitu aku keluar dulu, ya! Kau jaga rumahnya, ya, Sophia"

Setelah mendengar langkah derap kaki yang semakin lama semakin menghilang, Sophia menghela napas lega. Tetapi ia tak juga ingin keluar. Setelah berusaha menghilangkan rasa khawatir di dadanya, Sophia pun memantapkan dirinya. Ia membuka pintu dan mulai melangkah keluar.

Mata emerald indah itu terbelalak. Tangannya dicengkeram erat dan ditarik. Tak ada waktu untuk meringis dan berteriak, kecuali setelah punggungnya dengan keras menabrak dinding di depan kamarnya.

Suara Sophia tak dapat keluar begitu saja, seakan-akan ada yang batu besar di tenggorokannya. Tangan kekar itu masih mencengkeram pergelangan tangannya. Matanya mulai berair. Kepingan memori masa lalu seakan-akan kembali diputar.

"Kau tidak bisa lari lagi, Sophia."

Tangan itu mencengkeram pergelangan tangan Sophia dengan erat. Sophia tak dapat tinggal diam. Ia melepaskan dirinya dengan cara memukul lengan bawah dengan sekuat tenaga.

"Akh!" teriak Mr. Aismount. Cengkeraman itu terlepas begitu saja. Sophia segera kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat.

Gadis itu berdiri bersandar di pintu kamarnya. Ia menutup telinganya dengan kedua tangannya. Matanya memejam dengan erat dengan tubuh yang bergetar hebat.

Brak! Brak!

Sophia menoleh dengan cepat dan mundur beberapa langkah hingga ia terjatuh. Pupilnya mengecil dengan mata yang penuh akan air mata. Dari tempatnya terjatuh, ia dapat mendengar sumpah serapah yang dilontarkan pria di depan kamarnya.

Gadis itu takut, tentu saja. Ia ingin pergi dari rumah itu dan mencari tempat yang aman. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ia tidak tahu lagi tempat yang aman untuknya, kecuali berada di sisi keluarganya.

"Ayah, Ibu, Sky, aku takut ...."


Bersambung ...

Kalau di posisi Sophia, kalian bakal ngapain guys?

See you next sheet!



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro