Sheet 25: Can I Get Some Comfort Here?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 25:

Can I Get Some Comfort Here?

.
.
.

Sophia tersadar. Ia segera bangkit dan mengambil duffel bag, mengisinya dengan beberapa pasang pakaian dan seragamnya. Ia juga mengambil tas sekolahnya. Setelah itu, ia memesan taksi. Setelah semuanya sudah benar-benar lengkap, Sophia segera membuka pintu jendelanya.

Dengan menggunakan tali, Sophia menurunkan tasnya dengan perlahan. Ia berdiri tepat di kosen jendela dan berpegangan dengan erat. Kamarnya berada di lantai dua. Ia akan menggunakan cara apapun agar dapat keluar dari rumah itu.

Namun Sophia tidak bodoh untuk memilih melompat dari lantai dua menuju lantai dasar. Ia bukan parkour yang punya kaki bagai pegas, bisa-bisa kakinya tidak akan selamat jika ia melompat ke bawah.

Tapi bukan berarti Sophia tidak akan melompat. Saat ini, ia sedang mengambil ancang-ancang untuk melompat. Dalam hitungan ketiga, ia melompat tanpa ragu-ragu sedikitpun. Ia tidak boleh ragu-ragu jika ingin berhasil.

Kedua kaki Sophia mendarat dengan selamat pada dahan pohon yang berjarak kurang lebuh satu meter setengah. Pohon itu bergoyang saat ia menapakkan kaki di sana. Beberapa helai rambutnya tersangkut di ranting pohon, seharusnya ia mengikat rambutnya terlebih dahulu.

Hanya dengan sedikit tarikan pelan, helaian rambut coklat Sophia yang tersangkut sudah terlepas dengan mudahnya. Lalu, Ia bisa saja melompat turun jika saja lampu di ruang tengah tiba-tiba saja menyala.

Sophia tak bergerak seinci pun. Ia berdiri seperti patung di atas pohon, matanya mengikuti arah bayangan yang perlahan-lahan menghilang dan lampu kembali mati. Ia bersyukur pria itu tidak keluar dari dalam rumah.

Gadis itu bergerak menuruni pohon setelah beberapa menit berdiri mematung. Kemampuan memanjatnya cukup baik diantara gadis remaja seusianya. Ia berterimakasih pada kakaknya yang sudah mengajarinya cara bertahan hidup seperti itu.

Mobil putih bertuliskan 'TAXI' itu sudah berdiam di depan gerbang sejak Sophia keluar dari rumah itu tanpa menimbulkan kegaduhan. Gerbang besi itu ia tutup perlahan agar tak menimbulkan bunyi derit yang lebih besar.

Sophia duduk dengan memeluk tasnya. Ia menyodorkan sobekan kertas dengan goresan tinta di atasnya. "Pak, antarkan saya ke alamat ini!"

---

Suara deru mesin sepeda motor saling bersahutan, asap knalpot sudah saling bercampur tanpa mempedulikan efek samping yang akan ditimbulkan. Suara gelak tawa dan rayuan menggoda terdengar seperti kicauan burung di pagi hari. Semua itu bukanlah hal yang asing lagi bagi pemuda bermata emas.

"Hey, coba lihat tampang sombong bayi yang baru menang itu!"

Zelts menoleh dan menunjukkan seringainya. Ia tahu jika laki-laki yang sedang mendekatinya itu sedang mengejek dan memberikan ucapan selamat di saat yang bersamaan.

Kepalan tinju mengenai salah satu dadanya. Itu bukan tinjuan keras, namun hanya sebuah salam sapa saja. Zelts hanya terdiam dan menatap bekas kepalan tinju di dadanya.

Tangan dengan kuku jari berwarna biru terang itu merambat di punggung Zelts. Dengan suara menggoda, wanita itu berbisik, "Kau selalu saja terlihat sendirian. Apa kau butuh seseorang untuk menemanimu malam ini?"

Zelts hanya diam. Ia menyingkirkan tangan yang menyentuh wajahnya dan memberikan pandangan tidak suka. Ia kembali memasukkan tangannya ke dalam jaketnya.

Suara gelak tawa terdengar penuh ejekan, "Jangan mengganggunya! Apa kau tidak tahu jika dia masih si bawah umur?!"

Zelts menghela napas, "Memangnya kenapa jika aku di bawah umur? Banyak anggota yang seperti itu, bukan? Lagipula, meskipun aku di bawah umur, aku lebih cepat darimu."

"Sialan kau, Zelts!"

Suara gelak tawa lain terdengar saat laki-laki itu mengumpati Zelts. Dua orang lagi berjalan mendekati mereka. Salah satu diantara mereka merangkul Zelts dan mengusir wanita yang tadi menggodanya.

"Kau memang cepat, tapi aku lebih heran kenapa kau yang lebih sering keluar-masuk kantor polisi daripada kami," ejekan terdengar dari laki-laki yang merangkulnya.

"Itu benar. Kalau diingat lagi sudah berapa kali kau masuk ke sana? Tiga, empat?" yang lain mulai menyahut.

Dengan melepaskan tangan yang merangkulnya, Zelts berkata, "Entahlah, aku sama sekali tidak berniat menghitungnya."

"HAHAHA! Sombong seperti biasanya, ya, Zelts!"

"Ah, by the way, aku melihatmu beberapa hari yang lalu, Zelts," pria itu berusaha menahan tawanya, lalu melanjutkan, "Apa kalian tahu? Aku melihatnya menggunakan celemek. Kau terlihat seperti pelayan, apalagi dengan senyuman itu! Itu tidak terlihat sepertimu!"

Suara gelak tawa dengan kalimat seakan tak percaya terdengar di telinga Zelts. Ia memutar bola matanya mendengar omong kosong itu. Ia juga tak peduli dengan ejekan yang dilontarkan kepadanya. Hal itu bertambah parah saat sebuah foto dirinya tengah tersenyum lebar dan menggunakan celemek berwarna kuning.

Ah, itu foto dirinya yang tengah melayani salah satu pelanggan.

"Apa kau mencoba menjadi anak baik sekarang?!" ejekan terus saja terdengar, namun Zelts tetap diam.

Anak baik?, Zelts membantin. Ia melihat jam tangannya, waktu sudah hampir memasuki tengah malam. Zelts menyeringai dan menyalakan ponsel cerdasnya. Terlihat beberapa pesan dari kontak tanpa nama, namun ia sudah hapal nomer itu di luar kepala.

Ia memasukkan ponselnya dan menyalakan motor merahnya. "Daripada kalian tertawa seperti itu, lebih baik kalian mengkhawatirkan diri kalian sendiri."

Suara deru sepeda motor itu terdengar bersamaan dengan perginya Zelts dari kerumunan itu. Ia terus saja menambah kecepatan sepedanya, tak peduli akan keselamatan dirinya maupun sekitarnya.

"Ah, dasar pengecut!" ejekan masih saja berlangsung. Hal ini sudah biasa di kalangan mereka. Ejekan itu ibarat sebuah santapan setiap kali bertemu.

Mendadak semua kegiatan terhenti. Seluruh pasang mata yang ada di sana menoleh ke arah jalan yang berbeda dengan yang di ambil oleh Zelts. Lampu berwarna merah dan biru menyala bergantian dengan suara khas yang menggema.

Tanpa perlu diberitahu, mereka semua tahu siapa yang datang. Seperti dikejar anjing galak, mereka semua lari menyelamatkan diri mereka. Suara deru mesin sepeda motor terdengar lebih keras dan kacau balau. Mereka tak mempedulikan yang lain meskipun ada yang memanggil mereka. Yang terpenting untuk saat ini adalah menyelamatkan diri mereka sendiri.

Zelts menatap jalan di hadapannya. Ia malas untuk kembali ke rumahnya. Ia yakin jika tidak ada apapun di rumahnya. Sebuah ide terbesit di pikirannya. Walaupun ragu, rasanya ia ingin mencobanya.

---

"Bukankah kau lebih baik berbaring di tempat tidur daripada menatap layar seperti itu?"

Raven tak menanggapi pertanyaan itu. Ia tetap menatap layar laptopnya tanpa berkedip. Ia bahkan tak peduli dengan Aaron yang masuk tiba-tiba ke dalam kamarnya dan mengobrak-abrik lemari bukunya. Grafik-grafik dilayar laptopnya lebih mengasyikkan daripada apapun.

Walaupun ia berpikir jika hal itu mengasyikkan, pada kenyataannya ia sedang berusaha untuk berkonsentrasi. Kepalanya terasa berputar-putar, namun pekerjaan yang diberikan oleh ayahnya terlalu banyak, ia harus mengerjakannya.

Raven mengernyitkan alisnya. Jika ia tidak bekerja, maka ayahnya akan menganggapnya pecundang. Saham-saham miliknya akan beralih kepemilikan, bahkan mungkin ayahnya akan memindahkan beberapa persen sahamnya kepada adiknya.

"...ven?"

"Raven?!"

Raven tersentak. Aaron berdiri di sampingnya dengan beberapa buku pelajaran di tangannya. Pemuda itu menatapnya khawatir dengan salah satu telapak tangannya menyentuh dahinya.

"Kau lebih panas dari tadi pagi! Bahkan sekarang telingamu sampai merah! Aku tidak peduli, kau harus tidur, Raven!" paksa Aaron. Ia menarik jumper hitam Raven agar beranjak dari kursi beroda.

Raven menolak, "Lepaskan aku! Banyak yang harus aku lakukan! Jika aku tidak melakukannya dad akan kecewa! Jika aku tidak melakukannya--" perkataan Raven terhenti. Kekuatannya untuk menolak tarikan Aaron melemah.

Aaron terdiam menatap kakaknya yang terduduk lemas di atas lantai. Sedangkan salah satu lengan Raven masih berada dalam cengkeramannya. Mereka berdua sama-sama terdiam. Aaron menajamkan pendengarannya saat mendengar kakaknya berbisik.

"... Dad akan lebih menyayangimu."

Cengkeramannya di tangan kakak laki-laki itu perlahan melemah hingga akhirnya benar-benar terlepas dari tangannya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kepalanya terasa kosong saat mendengar kakaknya berkata seperti itu.

"...tidurlah, Raven, kumohon."

Raven perlahan berdiri. Ia berjalan perlahan menuju ranjangnya. Kepalanya terasa semakin pusing. Perutnya mulai terasa mual. Ia menjatuhkan badannya di atas kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut wolnya.

"Apa kau sudah meminum obatmu?" tanya Aaron. Raven tak menjawab, namun ia secara tidak langsung menunjuk saru set obat yang hanya tinggal bungkusnya saja. Aaron langsung paham dengan maksud Raven. Obat itu sudah pernah dipakai dan sekarang hanya tinggal sampahnya saja.

Aaron menghela napas, "Tidurlah! Aku akan pergi beli obat. Kau masih punya resep dokternya?" Raven menggeleng. "Aku akan menghubunginya nanti. Yang lebih penting, jangan pernah menyentuh laptop! I dare you!"

Raven membalikkan badannya dan menaikkan selimutnya. Ia memejamkan matanya dan tak mempedulikan Aaron. Setelah itu, ia mendengar bunyi deritan pintu.

Raven membuka matanya. Ia kembali berbalik. Laptop yang berada di atas meja belajarnya sudah lenyap. Dan pelakunya tentu saja Aaron. Sepertinya ia memang harus mengistirahatkan tubuhnya.

Baru saha Raven memejamkan matanya, pintu kamar kembali berderit. Ia kembali membuka matanya. Di sana, bukan Aaron  yang berdiri, melainkan wanita yang telah melahirkannya.

"Kenapa kau belum juga tidur? Apa setelah terkena demam masih membuatmu tidak menjaga kesehatanmu?" Raven menunduk mendengar pertanyaan menyindir dari ibunya. " Dan satu lagi, kenapa kau menyuruh Aaron untuk membeli obat?! Apa tidak ada pelayan di rumah ini?! Bagaimana jika nanti ia terkena demam sepertimu?!"

"Aku tidak menyuruhnya! Dia sendiri yang menginginkannya!" Raven berseru.

"Kau mulai berani, ya? Seharusnya kau menghentikannya! Kau benar-benar tidak dapat diandalkan! Kakak macam apa kau?!"

Raven tersentak. Ia melebarkan matanya saat mendengarnya. Tepat setelah berkata seperti itu, ibunya pergi dan menutup pintu kamarnya. Raven menundukkan kepalanya. Ia masih tidak percaya dengan kata-kata itu.

Raven beranjak dari kasurnya. Ia membuka lemari pakaiannya dan menatap kosong tumpukan bajunya. Matanya berair dan membuatnya terlihat layaknya sebuah bola kaca.

--Apa aku benar-benar tidak dapat diandalkan?


.
.
.

To be continued

.
.
.

See you next sheet!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro