Sheet 27: Cry Baby

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology

.
.
.

Sheet 27: Cry Baby

.
.
.

Sophia berdiri dan menoleh cepat. "Raven?!"

Sophia berteriak keras dan berlari ke arah Raven. Ia duduk di sebelah Raven dengan tangan terulur, namun tidak menyentuh Raven. Ia terlalu khawatir phobia yang dimilikinya, namun di sisi lain ia juga mengkhawatirkan Raven. "Are you okay, Raven?"

Napas Raven terdengar berat. Wajahnya memerah karena panas. Matanya tak dapat fokus pada satu benda apapun. Ia berusaha menatap Sophia dengan benar meskipun di sisi lain ia benci harus menunjukkan kelemahannya pada seorang gadis.

"Ugh," Raven melenguh. Ia menutup mulutnya cepat dan memegangi perutnya. Pemuda berambut hitam itu mencoba berdiri dan berjalan perlahan menuju wastafel sembari menahan mualnya.

Sophia menghentikan kegiatan memungut pecahan kaca saat mendengar Raven mengeluarkan isi perutnya. Ia cepat-cepat nenyelesaikan kegiatannya, namun tetap berhati-hati agar tidak terluka. Ia pergi meninggalkan dapur dan membiarkan Raven sendirian

Saat kembali ke dapur, Sophia mendapati Raven yang duduk lemas bersandar di depan wastafel. Wajah pucatnya dipenuhi keringat sebesar biji jagung dan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tampak sangat buruk.

Mata hitam itu meliriknya dari sudut mata dengan lemah. Sophia menyodorkan handuk kecil berwarna putih yang terlihat lembut dan segelas air putih yang tidak sempat diminum oleh pemuda itu. Dengan suara lirih yang mengucapkan permintaan maaf, Raven menerima handuk itu dan memakainya dengan perlahan, begitu pula dengan segelas air putih yang langsung dihabiskan olehnya.

"Apa kau bisa berdiri? Aku tidak bisa membantumu menuju kamar," kata Sophia. Ada sedikit perasaan bersalah mendarat di hatinya.

Raven terdiam. Sepertinya ia juga tidak bisa menaiki tangga dengan pandangan berputar-putar seperti saat ini. Ia mencoba untuk menggerakkan kakinya untuk berdiri meskipun dengan susah payah. Sophia di sampingnya masih menatapnya dengan khawatir dan tak beranjak sedikitpun dari posisinya.

Sophia membuntuti Raven dari belakang seperti anak itik. Ia sesekali bergerak mengulurkan tangannya, namun melayang di udara begitu saja tanpa berniat untuk menyentuh Raven lebih jauh. Perasaannya sedikit membaik kala Raven berhasil duduk di atas sofa yang tadi ia duduki tanpa terjatuh.

"Apa kau sudah makan? Aku buat banyak sup jagung, mungkin itu bisa menghangatkanmu. Kau harus minum obat setelahnya. Apa kau punya obatnya?" tanya Sophia. Raven dengan perlahan mengeluarkan beberapa saset obat yang tampak masih baru dan tidak berkurang satu pil pun. Sophia menimang, lalu bertanya untuk memastikan, "kau mau makan, bukan?"

Raven terdiam sejenak, lalu menjawab, "Aku harus."

Sophia lega mendengarnya. Setidaknya pemuda itu harus makan agar terlihat lebih baik. Sebelum benar-benar pergi Sophia memberikan termometer yang sebelumnya ia ambil dari kotak obat kepada Raven. Dan pemuda itu menerimanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

---

Sup jagung yang sebelumnya memiliki uap yang nengepul-epul itu kini benar-benar kosong tak menyisakan apapun di atas mangkuk kaca dengan gambar ikan itu. Raven memakannya dengan sangat pelan, sama seperti dengan Sophia yang memakan sup jagungnya tadi.

Obat yang ia keluarkan tadi belum sempat ia sentuh sama sekali. Ia akan meminumnya beberapa menit setelah makan nanti. Termometer yang tadi ia pakai menunjukkan angka 38,7 derajat celcius, naik beberapa derajat daripada tadi pagi, dan kembali membuat gadis—yang saat ini duduk tak jauh darinya dan tengah menikmati film—itu menatapnya dengan khawatir.

Raven berusaha menikmati film yang sampai sekarang masih diputar. Ia yang biasanya menikmati film horor itu kini susah untuk menikmatinya, entah karena jalan ceritanya yang menurutnya biasa saja, atau karena kepalanya yang masih terasa pusing dan hidungnya yang tersumbat, atau mungkin keduanya, yang jelas Raven tak dapat menikmatinya.

Isi kepala Raven rasanya lebih memilih untuk melayang-layang jauh dari film yang ia tonton. Ia seakan memilih untuk memutar kembali drama hidupnya yang telah ia jalani hari ini. Ia memikirkan adiknya yang mungkin akan mencarinya atau mungkin adiknya itu tak dapat tidur dengan tenang karenanya. Dan ia merasa sedikit terhibur saat memikirkannya.

Ia kembali memutar adegan saat ia berinteraksi dengan kedua orangtuanya. Raven mengaku jika ia bodoh saat otaknya berpikir bahwa kedua orangtuanya sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya. Tapi mengingat kejadian pagi tadi rasanya membuat hatinya sesak. Ia kembali berusaha meyakinkan hati dan otaknya jika itu sama sekali tidak benar.

Kekanakan mungkin akan menjadi sifat yang dimiliki Raven saat ini. Dan ia mengakuinya. Ia merasa sakit hanya karena orang tuanya tidak memenuhi apa yang ia inginkan. Apa ia boleh menyalahkan demamnya saat ini? Ah, saaat ini ia mungkin juga melupakan keberadaan gadis di sampingnya dan membuat dirinya terjebak dalam pikirannya sendiri.

"Raven?"

Hanya dengan sebuah bisikan panggilan kecil, Raven menoleh perlahan tanpa bermaksud untuk menjawab panggilan itu dengan suaranya. Ia sedikit heran dengan tatapan bingung yang dilemparkan oleh gadis itu kepadanya. Namun, pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu membuatnya tersadar, bahwa ia—

"Kenapa kau menangis?"

—sedang menangis.

Raven mengalihkan wajahnya dan menghapus air matanya dengan kasar. Rasanya ia ingin masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu rapat-rapat, lalu ia tidak akan keluar sampai Sophia melupakannya.

Abaikan saja pikiran aneh Raven yang melayang-layang entah ke mana. Pada intinya, ia telah menghancurkan harga dirinya yang sudah ia bangun tinggi-tinggi.

Raven berusaha tetap tenang meskipun ia—dalam hati—mengucapkan sumpah serapah pada tubuhnya yang demam. Pemuda itu menjawab tanpa melirik Sophia yang masih menatapnya, "Abaikan saja. Ini sudah sering terjadi."

Pemuda yang wajahnya memerah karena panas itu tak sepenuhnya berbohong. Ia sering kali terbangun di tengah malam—saat ia sedang demam tentunya—dan mendapati wajahnya yang basah karena air mata, lalu perasaan aneh akan muncul dan memenuhi pikirannya.

Jika ia tak memenuhinya, maka ia akan terjaga sepanjang malam dengan sesenggukan. Seperti anak kecil.

Raven mana mungkin menceritakan bahwa ia ingin sekali tidur di samping kedua orangtuanya jika ia sudah dalam keadaan seperti itu. Tapi ia sudah besar, apalagi umurnya akan mencapai tujuh belas tahun pada musim semi tahun depan.

Dan untuk mengurangi perasaan gelisahnya, maka ia biasanya akan menyelinap diam-diam ke dalam kamar Aaron atau adik perempuannya yang imut, Sue.

Selama sepanjang malam itu, Raven akan menggenggam erat tangan adiknya seakan-akan ia tidak akan menggenggam tangan mereka lagi. Ia tidak akan melepaskannya bahkan jika Aaron sampai melenguh kasar dan berusaha untuk melepaskan tangannya.

Raven bersyukur adiknya itu tipe orang yang tidak bangun di tengah malam, jadi (ego) Raven akan aman hingga pagi menjelang. Setelah itu, sebelum adik-adiknya membuka kata mereka, ia akan kembali ke kamarnya diam-diam tanpa meninggalkan jejak apapun.

Namun, mana mungkin Sophia bisa membiarkan hal itu terjadi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro