Sheet 28: Bukan Urusanmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 28: Bukan Urusanmu

.
.
.

"Meow~"

Kedua pasang mata yang berbeda warna itu menoleh pada seekor kucing yang kedua telapak tangan depannya menyentuh kaki Raven.

Mereka sekali lagi mendengarkan kucing itu mengeong. Sophia segera sadar dan menutup mulutnya, menahan tawa sekaligus perasaan gemas pada kucing satu itu. Bahkan seekor kucing pun tahu jika Raven sedang dalam masalah.

Raven memicingkan matanya pada Sophia yang menahan tawa. Ia menghela napas, lalu menggendong Maico untuk duduk di pangkuannya dan mengelus kepala lembutnya.

Setelahnya, ia mengambil obatnya dan meminumnya. Ini sudah lewat beberapa menit setelah ia makan. Ditariknya selimut tebal itu bersamaan dengan ia yang meluruskan kakinya. Raven bersiap untuk tidur, masih dengan Maico yang ada dalam dekapannya.

"Kenapa tidak tidur di kamar saja?" tanya Sophia.

Iris mata yang berwarna hitam itu kembali terlihat setelah beberapa detik tertutup. Dari bibir pucat itu Raven menjawab, "Kepalaku masih pusing."

Sebenarnya jawaban itu hanya sebuah alasan. Saat ini muncul kembali perasaan tidak ingin kesepian. Ia—entah kenapa, mungkin sekali lagi karena demamnya—tidak ingin tidur sendiri. Ia mungkin tipe orang yang suka dengan kesendirian, namun adakalanya ia benci hal itu. Ia benci saat menyadari ada sesuatu yang kosong dalam hatinya.

Sophia menatap punggung Raven. Suara napas yang berat namun beraturan itu terdengar menenangkan. Raven tertidur dengan cepat. Ia mungkin kelelahan atau mungkin juga karena efek obat yang bekerja dengan cepat.

Dalam hatinya, Sophia berharap jika pemuda itu segera sembuh dari demamnya. Raven terlihat sangat kacau, dan ia tidak mungkin mengatakannya pada pemuda itu secara langsung.

Ini adalah yang pertama kali bagi Sophia. Ia tidak pernah satu ruangan dengan seorang pemuda yang baru ia kenal selama dua bulan—abaikan saja pamannya, Sophia sedang tidak ingin mengingatnya.

Entah ini sebuah kemajuan atau bukan, Sophia juga tidak mengetahuinya. Ada perasaan percaya pada Raven yang muncul di lubuk hatinya. Sebenarnya tak hanya pemuda itu, tetapi seluruh anggota kelas A, terutama Raven dan Zelts.

Suara pintu terbuka membuat Sophia menoleh dengan cepat. Matanya sekali lagi mendapati cahaya ruang tamu yang terang karena lampu yang menyala. Ia menoleh cepat pada Raven, mecoba meminta bantuan jika saja terjadi hal yang tidak diinginkan, namun suaranya tidak sampai terdengar.

"Sophia?"

Sekali lagi namanyalah yang keluar pertama kali. Dan sekali lagi, Sophia menghela napas lega, meskipun ia mendengar suara berat khas anak laki-laki yang diwaspadainya. Baru saja ia memikirkannya, orang sudah muncul dihadapannya dengan jaket kulitnya dan kaos berwarna hijau terang.

Dahi itu mengerut saat menyadari ada seorang lagi yang tengah tertidur dengan pulas di sudut lain sofa. Mata emas itu memicing ke arah Sophia dan bertanya heran, serta sedikit curiga, "Apa aku menganggu kalian?"

Sophia balas menatap aneh Zelts. "Apa maksudmu?"

Zelts segera mengangkat bahunya tak peduli. "Abaikan saja. Apa kalian berdua sengaja bermalam di sini bersama atau semacamnya?"

"Hanya sebuah kebetulan saja," jawab Sophia ringan. Gadis itu mencoba fokus pada alur yang ada di layar kaca. Ia tidak pernah benar-benar menikmati film yang sedang tayang itu, gangguan selalu saja datang menghampirinya, mulai dari Raven yang demam hingga kini Zelts yang tiba-tiba saja datang.

Zelts sedikit tertarik dengan Sophia yang tiba-tiba saja menutupi sebagian wajahnya dengan selimut. Gadis itu tampak serius menonton orang yang sedang bermain peran dan memilih mengabaikan keberadaan dirinya.

Hal itu dapat terlihat dari alisnya yang mengerut dan tatapannya yang berubah waspada.

Sementara itu, Sophia benar-benar dibuat takut dan penasaran di saat yang sama. Terutama saat adegan pada film tersebut menampilkan rantai berwarna merah yang berkarat dalam air keruh di ruang bawah tanah bergerak dengan sendiri.

Kamera mulai menyorot sudut ruangan yang berwarna gelap. Sophia mulai menelan ludahnya dengan susah payah. Lalu, tiba-tiba muncul kepala tepat dari atas, dengan suara—

"WAAA!"

—yang sangat keras.

"Kyaa!!" Sophia tentu saja ikut berteriak, ditambah dengan bantal sofa yang melayang sesaat kemudian, lalu tepat mengenai muka Zelts.

Zelts memegangi wajahnya yang terkena lemparan bantal. Ia tak menyangka jika Sophia akan melemparkan bantal dengan sangat keras. Namun, pemuda itu tertawa kencang setelahnya. Seperti tidak ada rasa bersalah sedikit pun.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Sophia kesal.

Tentu saja karena Zelts yang tiba-tiba saja mengagetkannya dari belakang dan berteriak tepat di depan wajahnya. Padahal pada film itu, sesosok wanita berpakaian putih nan lusuh yang keluar dengan perlahan justru terlihat tidak menakutkan.

Tawa Zelts terdengar sangat keras. Pemuda itu memegangi perutnya dan meringkuk di atas karpet berbulu.

Sophia berani bertaruh jika ia melihat sedikit air mata di sudut mata pemuda itu, dan hal itu membuatnya semakin kesal.

Sophia mendengar sebuah lenguhan kecil. Ia menoleh cepat pada punggung Raven yang bergerak tak nyaman.

Ia segera memerintahkan Zelts untuk menghentikan tawanya, namun pemuda itu tampak tak mendengarkannya.

Bantal yang sekali lagi mendarat di atas wajahnya membuat tawanya terhenti. Ia menoleh pada Sophia yang meletakkan jari telunjuknya di bibir dan mengeluarkan suara mendesis.

Zelts langsung tersadar saat ia membaca bahasa tubuh Sophia yang menunjuk Raven secara tidak langsung.

Pemuda yang tertidur di atas sofa itu membalikkan badannya. Ia mencari posisi yang nyaman untuk istirahatnya, namun bola berbulu hangat yang melingkar di dekat perutnya terasa mengganggu. Belum lagi saat Ia mendengar suara berisik di telinganya. Ia hanya ingin tidur.

Zelts dan Sophia tidak bertemu mata dengan si ketua kelas. Iris hitamnya masih betah untuk bersembunyi di balik kelopak mata. Keduanya—terutama Sophia—menghela napas lega saat menyadari bahwa Raven tidak terbangun dari tidurnya.

Kedua orang yang masih terjaga itu tiba-tiba saja dikejutkan dengan Raven yang mendadak menangis, namun tidak bersuara.

Zelts menoleh cepat pada Sophia dengan pandangan panik. Ia tidak pernah melihat ketuanya memasang raut wajah seperti itu. Raven bahkan jarang, atau mungkin bahkan tidak pernah menunjukkan senyumnya.

Sophia mengabaikan tatapan panik Zelts. Ia menatap Raven yang sekali lagi menangis karena demam. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Menenangkannya dengan cara menyentuhnya adalah hal yang paling tidak tertulis pada to do list menenangkan-Raven-yang-sedang-menangis.

"Dia menangis lagi," bisik Sophia pelan. "Sebaiknya kita biarkan saja, mungkin nanti juga akan berhenti dengan sendirinya."

"Lagi?" Zelts membeo.

Sophia hanya menjawab dengan mengangkat bahunya. Zelts lalu berjalan mendekati partnernya. Ia menyentuh dahi Raven yang memerah.

"Aw! Bukankah dahinya sangat panas?"

Sophia menoleh pada Zelts. "Sepertinya begitu, suhu panas Raven hampir mencapai 40 derajat."

"Bukankah itu gawat?!" Zelts menoleh cepat ke arah Sophia.

Gadis itu hanya mengangguk pasrah, pasalnya ia sudah melakukan apa yang ia bisa.

"Kenapa tidak memintanya tidur di kamar?"

"Dia tidak bisa berjalan sendiri ke sana."

Zelts menggoyangkan bahu Raven dan memanggil rekannya pelan, "Raven, bangunlah!"

Pemuda itu mendengar Raven bergumam tak jelas, namun segera bangkit dari tidurnya. Zelts merangkul pundak Raven dan memapahnya untuk berjalan menuju kamarnya di lantai atas.

Sophia merapikan barang-barangnya, sekaligus meraih selimut Raven yang jatuh di dekat sofa. Ia mulai mengikuti kedua pemuda yang berjalan selambat kura-kura itu dari belakang.

"Jangan lupa untuk mengunci pintu kamarmu," ucap Zelts sesaat setelah berhasil merebahkan Raven di atas kasur.

Ia menatap Sophia yang hendak kembali ke kamarnya. Bagaimana pun juga, Sophia tidak boleh dengan mudah mempercayai orang lain.

Sophia mengangguk paham, "Akan aku pastikan! Good night, Zelts!"

Pemuda berambut merah kecoklatan itu menghela napas lelah sembari berjalan menuju almari. Ia mulai memilih baju yang yang akan ia pakai untuk tidur. Jangan salah sangka, lemari ini entah kenapa sudah hampir terisi oleh pakaian-pakaian siswa A Class, entah sejak kapan. Bahkan Zelts dapat menemukan tulisan nama mereka almari itu.

Ritual sebelum tidur harus segera Zelts lakukan. Malam hari sudah hampir mencapai puncaknya. Ia tidak mau harus kehilangan konsentrasinya hanya karena kurang tidur. Ia juga punya kebiasaan sudah dibangunkan.

Begitu Zelts menyelesaikan ritual sebelum tidurnya, ia dikejutkan dengan Raven yang tidak berada di atas kasurnya. Ia mendekati Raven yang lebih memilih untuk duduk di atas kursi berhadapan dengan layar laptop, memperhatikan grafik-grafik serta tulisan yang tidak ia pahami sebelumnya.

Namun yang ia ketahui, Raven tidak seharusnya melakukan hal itu. Bahkan ia rasa pemuda itu sudah mengetahuinya.

"Apa yang kau lakukan? Jika aku jadi kau, aku akan tidur di atas kasur," ucap Zelts.

Tanpa menoleh ke arah Zelts sedikit pun, Raven menjawab dengan datar, "Aku bukan kau."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro