Sheet 31: Simbiosis Mutualisme

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 31  Simbiosis Mutualisme

.
.
.



Azure tersadar jika ia tidak menjawab pertanyaan Zelts dengan benar. Ia balik menatap Zelts yang masih menunggu jawabannya dengan sabar, bahkan senyuman itu tidak pudar dari wajah pemuda itu. Azure memantapkan hatinya.

"Aku ingin pergi."

"Bagus!" seru Zelts dengan bersemangat, lalu ia melanjutkan, "tapi mereka sudah meninggalkan kita."

Azure menatap Zelts heran, lalu ia terkejut saat tak melihat siapa pun di dalam rumah kecuali Zelts yang ada di depannya dan Maico yang menyusupkan kepala berbulunya di kakinya.

Azure terlalu lama berpikir hingga tak menyadari jika teman-temannya sudah pergi terlebih dahulu. Kalau begini bagaimana caranya agar ia berada di sana, di festival itu.

"Azure, kau terlalu lama berpikir lagi!" seru Zelts. Azure menoleh dan mendapati Zelts yang sudah berada di ruang tamu sedang menunggunya.

"Maafkan aku!" Azure berlari menuju Zelts.

Zelts bersedekap. Ia mengerutkan dahinya kesal dan menatap Azure tajam, tetapi wajahnya yang imut membuat kata ‘kesal’ tidak tampak di sana.

Tanpa bermaksud memarahi, ia berceramah, "Kau tahu, Azure?! Berpikir sebelum bertindak itu memang perlu, tetapi adakalanya bertindak secara spontan itu diperlukan. Cobalah untuk hidup lebih santai sebelum kebahagiaanmu pergi karena kau berpikir terlalu lama."

Azure mengangguk dan menggumamkan kata ‘maaf’ dengan sangat pelan. Ia berjalan mengikuti Zelts keluar dari rumah. Mungkin ia akan menelepon jemputannya dan kembali ke kamarnya. Tahun baru kali ini ia akan tidur saja.

"Hei, kau jadi ikut atau tidak?"

Zelts bertanya setelah menaiki motornya. Azure terkejut dan menatapnya heran, terutama pada saat ia menyodorkan helm cadangannya.

"Karena aku baik hati, jadi aku berikan kau tumpangan."

Gadis itu menerimanya dengan senyuman lebar. "Thanks, Zelts!"

***

Festival pergantian tahun tentu saja ramai dan penuh sesak. Hampir lebih dari setengah jumlah populasi di kota datang dan menghabiskan malam di sana. Hal ini mungkin terdengar menyenangkan bagi beberapa anggota di kelas A, seperti Zelts dan Blue, tetapi tidak dengan Sive.

Entah sudah seperti apa bentuk tali tasnya sekarang. Sive terus saja meremas tali itu dengan menatap aneh ke arah hiruk-pikuk manusia.

Sive tidak dilahirkan untuk menikmati hal semacam itu. Ia ingin pulang saja dan menghabiskan waktu bersama keluarganya atau tidur-tiduran dan menikmati dengkuran Maico.

Semuanya sudah terlambat. Sive tidak mungkin kembali. Orangtuanya, dan mungkin juga Mr. Oliver saat mendengarnya nanti, bahagia saat mendengar Sive akan pergi ke festival. Ini sebuah kemajuan besar bagi anak sepertinya. Dan ia tidak ingin membuat senyum di wajah orangtuanya menghilang.

"Sepertinya kita kehilangan seseorang." Raven menyadari jika ada yang kurang dari kelompoknya.

Jika terjadi sesuatu, mungkin Mr. Oliver akan bertanya kepadanya terlebih dahulu. Jika ia tidak dapat menjawabnya, maka itu akan menjadi sebuah masalah besar.

Blue menjadi satu-satunya anak yang menoleh. "Bukan seseorang. Kniga dan Aida pergi duluan. Mereka bilang mau mengerjakan tugas dari Mr. Oliver," jawabnya.

Blue kembali mengarahkan tatapannya pada layar kameranya yang sudah menyala. Potret Kniga dan Aida ada di sana. Ia tersenyum puas melihat foto yang ia ambil secara alami.

Raven berpikir. Mengerjakan tugas ditempat ramai seperti ini terdengar janggal, Kniga juga bukan tipe orang yang suka keramaian, sama sepertinya. Tetapi jika mendengar itu tugas dari Mr. Oliver, maka apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

"Jika ada yang ingin pergi sendiri harap memberitahuku terlebih dahulu," kata Raven pada teman-temannya.

"Kupikir kita akan berjalan bersama." Zwart terdengar kecewa.

Zwart tidak ingin menikmati malam berdua dengan Argia. Jika hal itu terjadi, maka akan berakhir dengan ia yang berjalan seorang diri dan festival ini akan terasa hambar. Ia tidak ingin itu terjadi.

"Tidak. Raven hanya berkata 'yang ingin pergi sendiri'," jelas Argia dan menatap Zwart kesal.

"Bagaimana jika kita berkeliling bazar terlebih dahulu? Lalu kita bisa lihat kembang api di sana," usul Zelts.

Zelts menunjuk panggung besar yang terlihat cukup jauh. Itu tempat yang sama dengan pengambilan foto saat ulang tahun Sage dan si kembar.

Semuanya tampak setuju, bahkan sudah mulai berjalan memasuki pintu bazar yang terlihat meriah. Namun, Sive masih tetap diam di tempatnya. Terlalu banyak orang di sana. Suara bising tidak cocok dengan, begitu pula dengan banyaknya cahaya yang ada di bazar itu. Jika ia tidak tahan, mungkin ia akan hilang kendali.

"Sive!" Raven memanggil. Pasalnya Sive berada jauh di belakangnya.

Seluruh tatapan temannya itu tertuju pada Sive. Pemuda itu kembali meremas tasnya dan sesekali menatap mereka. Sive ragu. Ia ingin pergi, tetapi di sisi lain ia takut.

Iris berlari kecil mendekati Sive. "Kalian berangkat saja. Nanti aku dan Sive akan menyusul. Jika aku tidak menemukan kalian, akan aku cari di dekat panggung," katanya sebelum benar-benar meninggalkan mereka. Raven setuju dan bersama-sama meninggalkan keduanya.

"Ayo, duduk dulu," ajak Iris dan menuntun pemuda itu setelah menemukan tempat duduk. Tempatnya yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk bazar terlihat lebih nyaman. "Di sini tenang, ya?"

Sive mengeluarkan mainannya tanpa membalas basa-basi Iris. "Kenapa kau ada di sini? Pergi saja nikmati malammu."

"Aku tidak mau. Jika aku berada di sana, bisa-bisa uangku habis. Aku harus menghemat uangku," jawab Iris dan duduk di sebelah Sive.

Iris menyandarkan punggungnya pada sandaran. Ia sedikit memerosotkan badannya dan menatap langit malam yang sayangnya bertabur bintang yang sudah dapat dihitung.

Gadis itu menghela napas, sementara Sive yang berada di sampingnya masih sibuk memantapkan hatinya.

Waktu berselang cukup lama. Dengan ditemani oleh suara samar-samar musik dari panggung, Iris memutuskan untuk mengerjakan latihan soalnya dan sekali lagi mengabaikan Sive.

Hasilnya lumayan, ia sudah mengerjakan sampai sepuluh soal. Terdengar sedikit, tetapi soal yang dibuat oleh Mr. Oliver tidak bisa dibandingkan oleh soal biasa.

Iris mengeluarkan dompetnya, lalu menghitung berapa sisa uang yang ada di bulan ini. Setidaknya uang yang tersisa lebih banyak daripada bulan kemarin. Mungkin ia bisa membeli minuman dan makanan.

Iris menatap botol minumannya yang hanya tersisa sedikit air. Ia lupa tidak mengisinya saat ia pergi dari rumah tadi. Untuk makanannya, ia bisa memakan bekal yang ia isi dengan masakan Sophia.

"Sive, kau tunggu di sini, ya? Aku akan kembali dalam sekejap!" ucap Iris.

Bahkan sebelum Sive menjawabnya, Iris sudah berlari terlebih dahulu. Ia memasuki bazar dan menghilang di sana. Sive tidak bisa dan memang tidak berniat untuk menghentikannya.

Pemuda mendongak menatap langit hitam di atasnya. Setiap kali melakukannya, ia seakan ingin mematikan seluruh listrik di seluruh kota, tetapi ayahnya bilang jika ia melakukannya tanpa alasan yang jelas, ia bisa saja masuk penjara.

Jari-jarinya terangkat dan menunjuk sebuah benda asing yang terlihat sangat terang. "Jupiter," tunjuknya.

Jari telunjuknya bergerak kembali beberapa senti dari Jupiter, menunjuk bintang lain.

Ia bergumam, "Yedelgeuse? Yad al-jauza? Alpha Orionis?"

Jari Sive bergerak menuju bintang paling terang. "Seirios?" panggilnya pada bintang itu. Jarinya bergerak kembali dan berhenti pada bintang terakhir.

"The Little Dog."

Sive menurunkan tangannya, tetapi tatapannya tidak berubah. Ia menatap segitiga imajiner yang ada di langit.

"Segitiga musim dingin memang menarik, ya?"

kepulan uap putih terlihat di sebelahnya dan menghilang dalam beberapa detik. Sive bergumam menyetujui kalimat yang diucapkan barusan. Ia menyadari kehadiran manusia di sebelahnya sedari tadi, tetapi karena dia diam saja, jadi Sive tidak peduli dengan kehadirannya.

"Apa kau tidak mau mencobanya?" tawarnya. "Bazar dan teman di sampingmu bukanlah simbiosis parasitisme. Mereka mutualisme, walaupun tidak di semua kegiatan, tergantung dari baik-buruknya. Itu saja."

Sive diam saja. Ia tahu itu tentunya. Namun, jika terjadi sesuatu pada dirinya saat di tengah keramaian seperti itu adalah sebuah mimpi buruk. Mereka semua akan menatapnya aneh lalu berlalu begitu saja. Meskipun ia tidak begitu peduli dengan tatapan itu, tetapi orang yang mengenalnya tentunya peduli.

Sive tidak ingin berakhir dengan orang lain yang tidak ingin berbicara padanya, seperti dulu.

Kayu pada kursi taman yang Sive duduki berderit karena berkurangnya beban pada benda itu. Mata itu menatap langsung pada kedua matanya.

Tatapan itu biasa ia dapatkan dari kedua orangtuanya, orang lain tak pernah menatapnya seperti itu, kecuali orang di hadapannya.

"Angka tiga baru saja terlewatkan, belum ada kata 'terlambat' untuk menikmati festival," jelasnya. Ia terlihat seperti akan pergi meninggalkan Sive sendirian di bangku kayu itu. "Ah, berkomunikasi dengan penjual termasuk interaksi sosial. Jangan lupakan itu. Kau sudah pernah melakukannya saat berjualan dulu, kan? Sampai jumpa!"

Benar saja. Sive lagi-lagi duduk sendirian. Ia menatap trench coat coklat yang mulai memasuki bazar. Datang dan pergi secara tiba-tiba seperti sudah mendarah daging baginya, jadi Sive tidak terkejut. Sive menghela napas. Hatinya sudah hampir kukuh seratus persen.

.
.
.

To be continued

.
.
.
Wuhuuu semangat, Sive!! Dikit lagi bisa pergi ke teman-teman. Festival nggak seburuk itu, kok! 😉

Thanks for coming! See you next sheet!


Jangan lupa pesan bukunya sekarang!
(Preview ada di Wattpad berjudul The Gilded Cage)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro