Sheet 32: Can't Wait, Right?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 32 Can't Wait, Right?

.
.
.



Kniga menatap jalanan di depannya sembari menunggu gadis di sebelahnya untuk mengeluarkan alat-alat melukis.

Sebenarnya Mr. Oliver memberinya dua alternatif tugas yang harus ia kerjakan selama liburan, ia memilih untuk mengerjakan esai tentang kesehatan daripada melukis pengalamannya selama musim dingin.

Kniga sudah menyelesaikan esainya, hanya perlu sedikit tambahan dan editan, maka semuanya menjadi sempurna.

Namun di menit-menit pergantian tahun ini, ia memilih untuk mengerjakan pilihan tugas yang lain. Jika diperbolehkan, maka ia bisa mengumpulkan kedua tugasnya.

Pemandangan bazar di hadapannya menjadi pilihan Kniga. Ia memiliki waktu kurang dari satu jam sebelum berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Ini sebuah tantangan tersendiri baginya.

Kniga menatap lembaran kanvas yang sudah siap ia goreskan dengan pensil. Ia akan memulainya sekarang.

Aida menyesap coklat hangatnya. Baunya harum dan manis, tiga marshmellow panggang yang mengapung terlihat menggiurkan. Ia bersenandung mengikuti irama musik yang berasal dari panggung di dekat sungai.

Saat ia sudah menghabiskan coklat panasnya, Kniga sudah hampir menyelesaikan sketsanya. Gerakan kasar pensil pada kanvas terhenti dan dilanjutkan dengan dua pasang mata yang tertuju pada obyek yang sama.

Di seberang mereka, tak jauh dari bangku yang mereka duduki, teman-teman mereka ada di sana. Saling bertukar lelucon satu sama lain di saat menunggu pesanan mereka selesai.

"Tidak berniat menghampiri mereka?" tawar Kniga pada gadis di sebelahnya.

Tanpa menjawab, Aida berdiri. Ia menatap gelas kosong yang ada di tangannya dan meletakkannya di atas kepala Kniga sebelum ia pergi.

Pemuda berkacamata itu tetap duduk dan melanjutkan kegiatannya, tidak menyadari gelas kertas yang ada di kepalanya.

Kehadiran Aida membuat heboh yang lainnya, tentunya hanya bagi teman perempuannya saja, teman laki-lakinya hanya melihat sekilas kepadanya dam menanyakan kehadiran Kniga.

Jadi, Aida menunjukkan tempat kehadiran pemuda itu pada mereka. Kniga melambaikan tangannya saat mendengar namanya terpanggil. Mereka tertawa saat melihatnya dan Blue berlari mendekatinya.

Gadis pirang itu mengarahkan lensa kamera ke arahnya dan memotretnya tanpa memberi aba-aba. Setidaknya Blue tidak menggunakan flash saat memotretnya, jika itu terjadi, maka ia mungkin akan protes.

Aida kembali berlari mendekatinya beberapa saat setelah Blue memotretnya. Teman-temannya kembali melanjutkan kegiatannya menyusuri bazar dan Kniga kembali berfokus pada kertas di pangkuannya

"Sive dan Iris masih ada di belakang," cerita Aida, ia tak peduli jika Kniga mendengarnya atau tidak.

Aida menoleh dan mendapati Kniga tengah memegang ponsel cerdasnya. Layar di sana menunjukkan foto yang diam-diam pemuda itu ambil saat Aida berada di sana.

Ada bagian kosong di sketsa yang baru saja Kniga hapus dan digambar ulang dengan gambar yang lain. Gambar yang hampir serupa dengan foto yang Kniga ambil sendiri.

Sebuah senyuman terukir di bibir Aida. Ia mulai menyadari jika perlahan mereka mulai berubah. Kniga yang dulu ia kenal biasanya hanya menggambar potret dirinya, tetapi kali ini berbeda, ada teman-temannya yang lain di sana.

***

Sepasang mata heterochromia itu menatap jauh ke arah panggung yang terdengar sangat meriah dan sama ramainya dengan bazar. Di sana terlihat menyenangkan saat suara alat musik saling bersahutan. Bukan berarti Sage tidak suka mengelilingi bazar bersama teman-temannya. Ia hanya penasaran.

"Kudengar mereka mempersilakan penonton ikut bernyanyi di atas panggung. Mereka juga memberikan suvenir bagi yang berani tampil." Suara yang entah berasal dari mana itu membuat Sage semakin tertarik untuk ke sana.

"Kau memang payah!" seruan Zwart membuat Sage tersadar dan kembali mengalihkan tatapannya ke arah teman-temannya.

Di dekat Sage berdiri, Zwart dan Argia lagi-lagi berselisih karena permainan yang mereka pilih untuk saling mengadu kemampuan. Sementara keduanya sibuk beradu mulut, mereka tak menyadari jika Raven mendapat nilai yang paling tinggi, disusul dengan Zelts di posisi ketiga dan Argia di posisi keempat.

"Apa di sini membosankan?" tanya Blue saat menyadari jika Sage selalu menatap tempat lain daripada memperhatikan temannya.

Sage menoleh dan membantah, "Bukan seperti itu. Aku hanya penasaran dengan apa yang ada di sana."

"Nanti kita juga akan ke sana, kan?" kata Blue saat Sage secara tak langsung menunjuk panggung besar dengan kerlingan matanya. Panggung itu tampak ramai, siapa pun pasti akan berpikiran jika ada sebuah grup musik yang tampil di sana. "Apa ada band kesukaanmu di sana?"

Sage tersenyum dengan kaku. "Bukan apa-apa. Abaikan saja perkataanku tadi."

"Apa benar tidak apa-apa?" tanya Blue untuk memastikan sekali lagi keyakinan pemuda itu. Sage mengangguk sekali.

"Jika kau tidak jujur, kau akan menyesal, lho! Bisa-bisa terbawa sampai tidurmu, bahkan hingga beberapa hati ke depan."

Sage terdiam karena tidak tahu harus berkata apa.

"Ingin aku temani?"

Sage menimbang tawaran gadis itu. Sebenarnya ia bisa saja pergi sendiri tanpa orang lain yang menemani. Lagipula ia seorang pemuda berumur enam belas tahun.

"Raven!" panggil Blue dengan menyentuh pundak pemuda itu.

Jika ia tidak melakukannya, maka pemuda itu tidak akan menoleh karena suaranya yang tenggelam di antara keramaian bazar sebelum sampai ke pendengaran Raven.

"Ada apa? Apa kau mau pergi?" tebak Raven.

Blue mengangguk. "Aku akan ke panggung itu duluan. Akan aku carikan tempat untuk kita di sana. Akan susah jika kita tidak menemukan tempat untuk duduk nanti. Jangan lupa belikan sesuatu untuk di makan di sana nanti, ya?!"

Raven menatap Blue datar. Kalimat terakhir gadis itu terdengar menyebalkan, tetapi ia mengangguk setuju. Blue berjalan dengan memegang lengan baju Sage, tetapi Raven melihatnya seperti Blue yang sedang memaksa Sage untuk mengikutinya. Wajah Sage terlihat terkejut, tetapi kakinya berjalan mengikuti Blue.

Blue berhenti melangkah sebelum ia benar-benar jauh dari teman-temannya. Hanya Raven dan Sophia saja yang sedang menoleh ke arahnya. Ia mengangkat kameranya dengan satu tangannya sementara tangan yang satunya memegang Sage agar tidak tersesat.

Ckrik!

Blue kembali melanjutkan perjalanannya mengantar Sage hingga sampai di tempat tujuan sembari menatap foto-foto yang ia ambil. Ia tersenyum puas. Meskipun foto yang ada di kamera itu di ambil di malam hari dengan cahaya yang tak tentu, tetapi hasil yang ia dapatkan sangat bagus.

Ia tidak perlu menggunakan flash untuk mengambil foto dan hal itu membuatnya banga dengan kamera canggih yang ia gunakan.

Gadis pirang itu berpikir jika foto yang ia ambil sudah cukup banyak—meskipun tidak ada potret Sive dan Iris, jadi dia bisa mengambil foto yang lain, foto selain teman-temannya, lagipula kakinya sudah lelah melangkah.

Itulah sebabnya kenapa gadis itu mau repot-repot menemani Sage. Ia bisa meninggalkan pemuda itu di sekitar panggung sementara dia duduk di pinggir sungai dengan kain besar yang ia bawa.

Blue tidak berniat menemani Sage di dekat panggung. Ia memang suka dengan keramaian, tetapi ia tidak suka dengan suara bising yang dapat membuat jantungnya ikut berdebar cepat, seperti efek saat mendengarkan speaker dengan volume keras.

Namun rencana terkadang dapat berubah sewaktu-waktu. Rencana yang sudah ia susun dengan sempurna selama perjalanannya melewati jalan pintas menuju pinggiran sungai hilang seketika saat ia melihat tatapan berbinar yang Sage berikan pada panggung yang berada beberapa meter di depan mereka.

Tepuk tangan penonton terdengar meriah saat penyanyi amatir itu selesai menyanyikan lagunya. Pembawa acara itu mengapresiasi penampilan itu dan memberikan sebuah tas kertas yang mungkin berisi hadiah.

"Sebelum kita ke acara puncak, kami memberikan kesempatan terakhir bagi siapa pun yang ingin maju menampilkan bakat menyanyi mereka! Angkat tangan kalian!!"

Blue melihat sekeliling. "Apa tidak ada yang ingin mengangkat tangannya?" tanyanya, tetapi beberapa detik kemudian seseorang yang berada di sisi lain mengangkat tangannya.

"Ya! Pemuda bersyal kuning! Kau yang mengangkat tangan pertama!" pembawa acara itu menunjuk seseorang, yang jelas bukan orang yang dilihat oleh Blue sebelumnya. Blue menyadari bahwa pembawa acara itu menunjukkan arah yang sama dengan Blue berdiri.

Blue menganga karena terkejut. Ia tidak menyangka jika pemuda yang berdiri di sebelahnya sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Dia menunjukmu Sage!" seru Blue. Jika pembawa acara itu tidak menunjuk Sage, mungkin Blue tidak akan menyadarinya.

Sage menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyadari jika hanya dirinya yang mengangkat tangannya dan seluruh pasang mata menatap dirinya.

To be continued



.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro