3. Tahap Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sungguh terkejut karena bisa berada dalam tubuh kecilku lagi. Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa harus di masa ini kuulangi momen buruk yang menyesakkan.

Aku tahu setelah ibu meraih tubuhku, dia memelukku dan memindahkanku ke kamar sesegera mungkin. Bersamaan dengan itu, ayah tampak pergi keluar rumah sambil membanting pintu. Ibu mengelus kepalaku dengan penuh kelembutan untuk menenangkan kemudian menyuruhku segera pergi tidur.

Dulu, aku akan menurut meski tidak akan bisa tidur dengan tenang. Namun, sekarang aku memilih untuk berjalan mengendap-endap ke kamar ibu demi melihat kondisinya secara langsung setelah melalui pertengkaran dengan ayah. Benar saja, ibu menangis tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Tubuhku mendadak kaku lagi, bimbang antara ingin menghampirinya atau menuruti perkataannya untuk tetap terlelap di kamar. Pemandangan itu sungguh menyesakkan, sebab aku tahu hal yang terjadi setelah momen ini, yaitu kabar kematian ibu yang datang tanpa diduga-duga.

Aku berlari menuju kamar, menenggalamkan diri di bawah selimut dan bergelung di sana. Air mata lancang sekali meluncur di pipi. Aku sungguh tidak ingin mengulangi kejadian ini, tetapi apa yang bisa kulakukan? Apakah lebih baik kucoba mengubah takdir? Ya, aku akan mengubah alur hidupku jika pada kenyataannya waktu hidupku kembali terulang.

Tanpa berpikir lebih jauh, aku lekas berlari kembali ke kamar ibu. Dari sela-sela pintu yang tidak terkunci, kulihat ibu telah memasang tambang yang sengaja diikat di atas sambungan atap. Dia juga sudah berdiri dengan kaki gemetar pada kursi kecil.

Sesaat ibu melihat kehadiranku yang berdiri di ambang pintu. Sorotnya tampak menyesal, tetapi tidak mengurungkan niat untuk menghentikan tindakannya. Lidahku terasa kelu untuk melontarkan kata larangan. Menyuruhnya untuk turun dari kursi dan melepas semua ikatan tambang yang sudah dijalin. Bukannya segera memutus sambungan yang terpasang, yang kulakukan adalah memeluk kaki ibu yang sudah menggantung dan berteriak sambil tersedu.

"Aku sayang ibu!"

Akan tetapi, semua itu sudah terlambat. Karena pada akhirnya aku tetap menjadi anak bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, sebuah sinar yang sama seperti yang membawaku pada momen ini muncul dari pintu lemari kamar ibu. Kakiku melangkah dengan segera untuk mencapai cahaya itu. Hingga sesaat kemudian aku berada di sebuah ruang hampa serba putih dan mendapati tubuhku telah kembali seperti semula, menjadi pemuda berusia enam belas tahun.

"Bagaimana rasanya, Bardi?"

Suara itu lagi-lagi berasal dari arah belakang. Lekas aku menoleh dan mendapati Lilja berdiri di sana. Dia tersenyum penuh kepuasan kemudian berjalan mendekat dan menepuk pundakku.

Senyum Lilja sangat berbanding terbalik dengan perasaanku kini. Bila Lilja tampak cerah ceria, aku seperti langit yang berkecamuk oleh guntur.

"Aku sungguh tidak ingin kembali pada momen itu. Mengapa kau membawaku ke sana?" protesku tidak terima. Namun, Lilja tampak tidak tersinggung atau terganggu, malah dia seakan takjub karena aku telah melewati momen buruk itu sekali lagi.

Alih-alih menjawab pertanyaannku, dia kembali bertanya. "Tadi itu, kenapa kamu tidak mencegah ibumu untuk tidak bunuh diri?"

Lilja benar, bisa saja aku melakukan sesuatu untuk menggagalkan aksi nekat yang dilakukan ibu pada malam itu. Tapi, pada kenyataannya tidak kulakukan.

"Entahlah, aku hanya merasa ... tidak seharusnya aku mengubah takdir."

Lja mengangguk-anggukkan kepalanya. "Begitu ya. Aku sudah menduga kamu akan membuat keputusan itu."

"Jadi bisa katakan padaku mengapa kita ada di sini? Seingatku kita berada di ruang tamu Keluarga Mondolf dan menikmati hidangan aneh yang kamu buat," cecarku karena sudah muak dengan yang kualami barusan.

"Bicaramu kasar sekali," sanggah Lilja. Aku sebetulnya jadi merasa tidak enak. Lilja tidak sepatutnya mendapat perlakuan kasar dariku, terlebih dia sungguh manis.

"Maaf," lirihku.

Lilja kembali tersenyum. "Selamat! Kau berhasil melalui tahap awal dan punya kesempatan bermain ke tahap berikutnya. Selamat datang di permainan penyihir muda yang akan membawamu pada akhir bahagia," katanya dengan riang gembira.

Serius? Apa maksudnya dengan permainan? Jadi tadi itu adalah ilusi? Aku sungguhan tidak mengerti. Tetapi ... Ah! Lilja seorang penyihir rupanya. Apa aku bisa memercayai perkataan itu? Kita lihat saja apa yang akan terjadi setelah ini.

"Apa yang akan kudapat jika berhasil sampai akhir?"

"Kedamaian."

Kata itu bagiku seakan kemustahilan. Damai bukanlah suatu hal yang mudah untuk didapat setiap orang. Bahkan, setiap hari pun kita selalu memiliki masalah yang harus dipecahkan.

"Di mana yang lain?" tanyaku.

"Ada yang gugur dan ada yang berhasil sepertimu. Ayo, kita ke tahap berikutnya. Di tahap ini kamu tidak akan bermain tunggal, tapi akan ada partner yang bisa jadi menjadi saingan juga. Semoga beruntung," seru Lilja dan menarik tanganku untuk mengikutinya menuju sebuah pintu kayu yang entah dari mana tiba-tiba muncul.

Baiklah, jika ini akan membuatku bersenang-senang dengan Lilja, akan kulakukan apa pun itu.

Stage two, aku datang.[]

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro