BAB 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah sepuluh menit ruang fotografi supergaduh dengan anak-anak angkatan 2018 di dalamnya. Lima menit lagi pukul delapan, yang mana artinya kelas akan dimulai. Sejak tadi, Leana hanya terdiam di sudut ruangan, duduk sendirian sambil memantau feeds Instagram. Di sudut lainnya, ada Kallan yang sibuk dengan permainan di ponselnya. Selalu.

Leana menghela napasnya. Arras belum tiba juga di ruangan, padahal laki-laki itu janji untuk datang lima belas menit sebelum kelas karena mereka akan pergi ke Bundaran HI pagi ini untuk merampungkan tugas dari Pak Hisyam yang tidak hadir.

Satu menit sekali Leana mengecek WhatsApp. Melihat nama Arras yang beberapa kali terlihat online tanpa memberikan kabar apapun kepadanya. Leana sudah sukses menjalani misi pertama dari Kallan, bahkan mendapat bonus nomor telepon Arras.

Bermenit-menit Leana menunggu, akhirnya getaran menghampiri ponselnya. Selain melihat notif terbaru dari Arras, Leana melihat nama Kallan masih berada di urutan teratas di antara chat lainnya. Gadis itu belum menghapus pin yang ia tandai di kontak Kallan.

Sebelum memutuskan untuk membaca pesan dari Arras, Leana terlebih dahulu menghapus pin yang ia tandai di kontak Kallan. Namun, belum selesai ia melakukannya, Arras tiba-tiba menelepon. Ponsel Leana bergetar panjang. Jantungnya berdebar kencang.

"Halo, Leana. Udah pada kumpul di kelas, ya?" tanya Arras tanpa berbasa-basi panjang. "Gue baru sampai kampus, nih. Sori, kayaknya hari ini nggak jadi ke HI, soalnya di luar mendung. Sebagai gantinya, hari ini kita foto lighting aja di dalam ruangan. Tolong siapin ruangannya, ya. Terus tolong satu atau dua orang, pinjam kamera sama trigger ke ruang dosen. Bilang aja buat mata kuliah fotografi Pak Hisyam. Arras yang tanggung jawab."

Leana butuh waktu agak lama untuk mencerna semua ucapan Arras. Selain karena kecepatan bicara Arras yang di atas rata-rata, juga karena Leana memang tidak fokus menyimak apa saja yang harus disiapkannya.

"Gue sebentar lagi sampai di ruangan," kata Arras sebagai penutup. Tanpa pamit, sambungan telepon di antara mereka terputus secara sepihak. Arras mengakhiri telepon. Bahkan Leana belum sempat mengatakan apapun.

Jangankan sempat mengatakan apapun di telepon. Leana bahkan tidak sempat menetralkan debar jantungnya! Tangannya masih gemetar hebat. Debar jantungnya masih mendukung secara penuh. Pagi ini Leana kehilangan kesadarannya.

Apa yang baru saja terjadi tidak pernah dibayangkan olehnya akan terjadi.

Pandangan Leana kemudian teralih kepada teman-temannya yang duduk berkelompok dengan masing-masing kubu. Ada yang sarapan, ada yang bergosip, dan ada yang bermain game seperti Kallan. Melihat semuanya begini, Leana putuskan untuk keluar sendiri dari ruang fotografi dan mengambil peralatan yang Arras pinta.

Namun, sebelum itu, Leana memberi kabar terlebih dulu, "Di luar mendung. Kata Bang Arras kita foto lighting aja di dalam ruangan. Dia minta ruangannya diberesin. Kayaknya sofa-sofa ini dipindah ke tengah sini, atau gimana pun dekorasinya."

Respons teman-temannya bermacam-macam. Ada yang senang karena tidak jadi pergi ke luar, ada pula yang kecewa karena tetap belajar di kelas. Tidak ada satu pun yang Leana gubris. Setelah memberi kabar, gadis itu lantas meninggalkan ruangan.

Leana berjalan ke ruang dosen, menemui Mas Amil, salah satu orang yang hari ini bertugas menjaga dan membersihkan gedung fakultas.

"Mas Amil, mau pinjam trigger sama kamera buat kuliah fotografi Pak Hisyam," ujar Leana kepada pria yang tengah berbaring di atas kursi kayu tersebut.

"Pak Hisyam kan nggak ada, neng," balasnya sambil bangkit dari posisinya.

Leana mengangguk, sudah tahu. "Iya. Kan sama asdosnya Pak Hisyam. Nanti yang tanggung jawab Bang Arras," kata Leana.

Mas Amil mengangguk-angguk paham. Pria tersebut segera melangkah menuju lemari kaca di sudut ruangan, membuka gembok kecil yang menjaga segala isi dari lemari tersebut. "Kamera yang mana? Trigger-nya satu atau dua? Memorinya juga pakai punya fakultas atau pakai memori mahasiswa?"

"Hah?" Leana terbengong mendengar semua pertanyaan tersebut. Leana tidak tahu yang mana yang Arras maksud, dan tadi Arras tidak memberi tahu apapun. Sialnya lagi, sekarang Leana berdiri sendirian di sini, harus menjawab semua pertanyaan itu tanpa bisa berdiskusi dengan siapapun.

"Iya, kamera fakultas kan ada empat. Mau pakai yang mana? Canon atau Nikon? EOS 3000D, EOS 750D, D750, atau D610?" tanya Mas Amil lagi. Leana semakin pusing. Angka-angka apa semua yang disebutkan Mas Amil barusan? Apa bedanya?

"D750 sama EOS 3000D aja, Mas Amil." Dari lain arah, suara yang tak asing terdengar. Suara Arras. Penyelamat Leana. "Sama trigger-nya, Mas, tolong. Dua-duanya."

Mas Amil dengan sigap mengambilkan semua yang Arras sebutkan. Laki-laki yang baru datang itu kemudian menuliskan namanya di buku daftar peminjaman. Setelahnya, ia meninggalkan ruang dosen, memimpin langkah Leana kembali ke ruang fotografi di lantai tiga gedung.

"Lo bingung, ya?" tanya Arras. Di pertengahan langkah mereka menaiki tiap-tiap anak tangga. Leana hanya terkekeh menanggapinya. "Sori, sori. Gue nggak tau kalau lo nggak ngerti kamera. Lagian, gue pikir lo bakal nyuruh temen lo buat ngambil."

Tidak ada respons apapun dari Leana. Gadis itu hanya tersenyum menanggapinya. Sisa perjalanan mereka sampai ruangan pun hening. Arras mulai memulai perkuliahan, menggantikan posisi Pak Hisyam yang hari ini tidak hadir di kelas.

-=-=-=-

"Ya." Panggilan itu mengalihkan perhatian Leana dari layar ponselnya yang memperlihatkan tampilan Instagram. Perempuan di sebelahnya, Kila, duduk mendekat. "Lo sama Kallan...." Kata-kata Kila sengaja dihentikan di sana. Gadis itu hanya menatap mata Leana. Ia tahu Leana pasti paham apa maksud Kila memotong ucapannya di sana.

Namun, tidak seperti yang Kila harapkan, Leana hanya tersenyum. Memang benar Leana tahu apa kelanjutan ucapan Kila. Tapi Leana tidak mau memberi penjelasan apapun. Tentang hubungannya yang kandas, tentang alasannya, maupun tentang Kallan dan Thania yang akhir-akhir ini sering terlihat bersama di sekitaran kampus.

Leana tahu, tidak sedikit teman-temannya yang menyadari Kallan sering bersama dengan Thania. Leana juga tahu, tidak ada satu pun temannya yang menyadari kalau Leana juga tak kalah cepat dengan Kallan.

"...putus, ya, Ya?" tanya Kila. Leana tidak menduga pertanyaannya dilanjutkan. Sejujurnya Leana benar-benar benci menjawab pertanyaan semacam ini. Apa pentingnya orang-orang mengurusi perjalanan hubungannya dengan Kallan?

Namun, sebelum benar-benar muak dengan Kila, Leana memutuskan untuk merespons gadis ini. "Kata siapa gue putus?" Leana mengembalikan pertanyaan tersebut kepada Kila.

Kila mengedikkan bahu. "Ya, habisnya gue lihat dia beberapa kali sama si maba itu—nggak tau siapa namanya lah—di kampus. Pernah juga ketemu mereka di parkiran. Kayaknya Kallan nganterin cewek itu pulang. Jadi, ya, kemungkinan apa lagi emangnya kalau kalian bukan putus?"

Leana mengangguk-angguk. "Oh, gitu." Hanya itu yang sanggup keluar dari mulut kecilnya. Dengan suara pelan pula. Dua detik setelah itu pun, pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Kallan dengan setelan khasnya—kaus oblong hitam dan skinny jeans—datang. Percakapan mereka terhenti secara paksa.

Baru beberapa hari berlalu dan selalu menaruh mata pada Kallan, ternyata Leana ketinggalan satu berita. Bahwa Kallan pernah mengantar Thania pulang. Leana pikir ia sudah selangkah lebih maju daripada Kallan karena Arras pernah mengantar Leana pulang. Tapi ternyata tidak begitu. Kallan juga pernah mengantar Thania pulang. Skornya satu sama.

"Ya." Hampir semenit percakapan Leana dan Kila terhenti, panggilan itu terdengar dari belakang ruangan. Kallan memanggil Leana sambil melangkah mendekatinya. Baik Kila dan Leana sama-sama menoleh sekilas, memastikan kalau yang memanggil memang Kallan. "Udah sarapan belum? Temenin gue ke kantin, yuk."

Leana mematung sesaat. Jantungnya tahu-tahu berdebar kencang. Apa-apaan ini?

Namun, daripada menolak yang memungkinkan adanya perpanjangan masalah, Leana lebih memilih untuk mengangguk. Gadis itu merapikan barang-barangnya yang bersepah, kemudian melangkah keluar dari ruangan bersama Kallan.

Kila geming memandangi keduanya jalan seiringan.

"Kok nggak makan sama Thania aja?" tanya Leana di langkah pertama keduanya meninggalkan ruangan.

Kallan yang memimpin jalan lantas memperlambat langkahnya hingga keduanya bersisian. Senyumnya mengembang. "Thania belum sampai di kampus. Jadi ngajak lo aja," katanya dengan begitu enteng. Selanjutnya, tidak ada respons apapun dari Leana selain anggukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro