BAB 06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Perkembangannya sama Bang Arras," kata Kallan.

"Kan ini masih hari Selasa," balas Leana. "Perjanjiannya adalah kita kasih laporan setiap Rabu sore di Starbucks PIM. Jadi lo nggak akan tau apapun sebelum waktunya datang."

Kallan tertawa mendengar jawaban tersebut. "Loh, nggak ada peraturannya juga."

Leana hanya mengedikkan bahu sambil menyungging senyum. "Sekarang ada."

"Curang!" seru Kallan sambil mengacak-acak rambut Leana. Laki-laki itu sekali lagi tertawa pelan. "Nggak ada persetujuannya, tuh."

Baru Leana mau membalas menarik kaus Kallan dengan gurau, di hadapan mereka tiba-tiba melintas Arras bersama Pita. Keduanya sama-sama memandang ke arah yang sama, yang lain dan tak bukan adalah Leana dan Kallan.

Arras dan Pita yang semula tengah bercakap-cakap, lantas berhenti. Begitu pula dengan Kallan dan Leana. Segala canda tawa di antara keduanya dalam sekejap lantas kandas. Baik Kallan maupun Leana kemudian tersenyum kepada Arras dan Pita, sebelum mereka kembali melanjutkan langkah.

Lalu yang datang adalah rasa menyesal sebab Leana mengiakan ajakan Kallan sarapan pagi ini. Kalau tidak, pasti Leana tidak perlu terlihat oleh Arras sedang berdua dengan Kallan!

Perjalanan Kallan dan Leana pun langsung hening setelahnya. Mereka tidak lagi jalan bersisian seperti sebelumnya. Rasanya begitu canggung. Apalagi ada di posisi Leana yang sudah mengakui kepada Pita dan Arras kalau ia sudah putus dari Kallan?

Tapi, kalau dipikir lebih lanjut, memangnya Pita maupun Arras peduli akan hal tersebut?

Hari ini, kabar yang lebih buruk daripada berpapasan dengan Arras dan Pita di gedung fakultas adalah mereka bertemu lagi di kantin. Arras dan Pita memergoki Kallan dan Leana makan di satu meja yang sama. Meski keduanya masih bisu tanpa percakapan apapun.

Pagi itu, Leana bersumpah tidak mau lagi berpapasan dengan Arras dan Pita dengan alasan apapun. Bahkan ketika Arras dan Pita terlihat berkumpul bersama teman-temannya di pinggir Lapangan Katsu. Leana bersembunyi keluar dari gedung fakultas supaya tidak terlihat segerombolan tersebut.

Leana mau menangis saja di tengah suksesnya Kallan mendekati Thania tanpa ada hambatan apapun, Leana justru dipertanyakan. Padahal, sewaktu awal semester pertama, Leana sudah pernah dekat dengan Arras, meski pada akhirnya Arras kalah saing dengan Kallan.

Sekarang, apa waktunya Kallan menang lagi? Menang dalam arti ia akan mendapatkan Thania, sementara Leana tidak akan memenangkan hati Arras.

Semalaman Leana tidak bisa tidur. Tangannya terus tergerak untuk mengecek WhatsApp, padahal Leana tahu Arras tidak akan memulakan percakapan apapun setelah terakhir kali mereka berkomunikasi kemarin, saat Arras menelepon Leana untuk membicarakan perkuliahan. Leana juga sudah tahu, Kallan tidak akan mengatakan sepatah kata apapun tentang apa yang terjadi hari ini di antara mereka berdua.

Sekali dua kali Leana melihat informasi profil Arras. Sudah lima belas menit berlalu, dan Arras masih online. Kegalauannya mulai terbit.

Leana ingin sekali memulakan percakapan. Tapi, masa iya, Leana memulakan percakapan? Lagi pula, tidak ada topik yang harus dibicarakannya bersama Arras. Jadi, tidak mungkin kalau Leana tahu-tahu mengirim pesan kepada Arras. Di tengah malam begini.

Leana menghela napas. Gadis itu menengkurapkan ponselnya di atas kasur. Niatnya mengirim pesan kepada Arras benar-benar diurungkan. Namun tanpa Leana sadar, beberapa saat setelahnya ponselnya bergetar singkat. Kalau saja Leana melihat nama yang tertera di layar, gadis itu pasti melonjak kegirangan.

-=-=-=-

Selain ada laptop dan ponsel, di meja yang Leana tempati terdapat juga segelas Caramel Coffee Jelly, minuman kesukaannya yang tak pernah tertinggal setiap Leana berkunjung ke Starbucks. Yang kurang sore ini di mejanya hanyalah Kallan, Asian Dolce Latte kesukaan Kallan, serta ponsel yang selalu miring sembilan puluh derajat. Terhitung sampai detik ini, laki-laki itu sudah terlambat sepuluh menit untuk menghadiri pertemuan mingguan kedua dengan Leana untuk melaporkan kemajuan pendekatannya.

Padahal Leana sudah sangat tidak sabar untuk menunjukkan sesuatu kepada Kallan sore ini, setelah sempat down karena kemarin dipergoki sedang bersenda gurau bersama Kallan. Dari pagi tadi sejak detik pertama membaca pesan dari Arras semalam, Leana benar-benar tidak bisa melunturkan senyum dari wajahnya. Leana benar-benar sebegitu girangnya.

Lima menit berlalu, Leana baru bisa mendengar suara Kallan yang samar-samar. Gadis itu menoleh ke arah kasir, mendapati seorang laki-laki dengan kaus converse merah marun yang dipadukan dengan skinny jeans serta sepatu converse berwarna senada dengan kausnya. Itu Kallan, sedang memesan minuman di kasir.

Selepas itu, Leana juga bisa melihat laki-laki itu berjalan menuju ke meja yang Leana tempati. Bibir laki-laki itu melengkung, membuat segaris senyuman. "Maaf ya telat. Tadi gue makan siang dulu," tuturnya.

Leana hanya mengangguk tak acuh. Kallan pun duduk di hadapannya, dan Leana lantas menutup laptopnya yang masih memperlihatkan tampilan aplikasi desainnya.

"Jadi, sia—"

"Gue dulu yang cerita!" selak Leana cepat-cepat. "Soalnya gue udah datang duluan dan lo terlambat dua puluh menit."

Dengan wajah super pasrah, Kallan mengangguk. Tangannya meraih Asian Dolce Latte miliknya, kemudian mulai menyesapnya selagi Leana memulakan cerita tentang kemajuan pendekatannya bersama Arras dalam seminggu terakhir ini.

Leana menceritakan tiap rincian yang menurutnya harus dikatakan kepada Kallan. Tidak ada satu detik pun yang dilewatinya. Termasuk tentang bagaimana reaksi teman-teman Arras pada sore ketika ia mencari Arras di Lapangan Katsu. Dan ini membuat Kallan benar-benar gemas untuk segera menyelak cerita Leana untuk memulai cerita miliknya sendiri. Meskipun pada akhirnya Kallan tetap saja tidak mendapatkan kesempatan apapun sebab kecepatan bicara Leana benar-benar tidak bisa disalip.

Tiga puluh menit Leana habiskan sendiri untuk bercerita panjang lebar dengan sesekali menyesap Caramel Coffee Jelly miliknya. Sementara Kallan sudah sangat menyerah untuk menyelak ucapan gadis itu. Kini laki-laki itu hanya menyimak dengan satu tangan menopang dagu di atas meja. Senyumnya sesekali mengembang. Kallan senang melihat Leana sebahagia ini. Dalam sebelas bulan terakhir, Kallan bisa melihat Leana seperti ini hanya pada waktu-waktu tertentu. Dan selama sebelas bulan kemarin pula, ekspresi Leana yang seperti ini begitu berharga di mata Kallan.

Cerita Leana berakhir dengan tangan kanan gadis itu buru-buru membuka lockscreen ponselnya, lalu memperlihatkan kepada Kallan apa yang tadi pagi Leana terima di ponselnya. Pesan singkat dari Arras.

Arras: Hari Kamis sore kosong nggak, Lea? Gue ada project nih, mau ngelibatin lo kalau lo bersedia.

Sekali lagi, senyum Leana mengembang begitu lebar bahkan sampai gadis itu menutup kembali pesannya, dan mengunci lagi layar ponselnya. Kedua tangannya meraih tangan Kallan, menggenggamnya begitu erat. "Sumpah, Kal! Ini mimpi apa?!"

Senyum Kallan mengembang lagi, untuk menyambut keberhasilan Leana pada pekan pertama misi mereka. "Sebahagia itu?"

Leana mengangguk mantap. Selama beberapa saat, senyumnya masih bertengger di wajahnya, namun, semakin lama Leana menatap Kallan, senyumnya perlahan-lahan pudar. "Tapi, Kal," tuturnya dengan suara lirih. "Gue iri sama lo yang kelihatan deket sama Thania. Bahkan di depan temen-temen, lo deket sama Thania. Tapi gue?"

Senyum Kallan turut luntur dari wajahnya sedikit demi sedikit. "Tapi setidaknya, lo tetap punya peningkatan, Ya," hibur Kallan dengan begitu canggung. Rasanya agak aneh mengakui keberhasilan Leana. "Bahkan lo melebihi target yang minggu lalu gue tentuin."

Meski datar dan getir, Leana tetap tersenyum. Ia mau menghargai Kallan yang mencoba menghiburnya. Padahal jauh di dalam hatinya, Leana begitu cemburu dengan kedekatan Kallan dan Thania sekarang.

"Udahlah, nggak usah dibahas lagi, Kal," ujar Leana. "Perkembangan lo sama Thania gimana?" tanya gadis itu, mencoba mengalihkan pikirannya dari nama Kallan dan Thania.

Senyum Kallan mengembang sekali lagi. Laki-laki itu melipat kedua tangannya di atas meja, siap sedia mencurahkan segala cerita tentang perkembangannya dengan Thania selama satu pekan terakhir ini.

"Not bad, lah. Gue bener-bener ngabisin waktu sama Thania buat main, bahkan sampai malam gitu, sambil voice chat. Kadang juga dia suka nanya-nanya tentang kuliah atau curhat soal kuliah gitu sih, kalau lagi main game sama gue," terang Kallan.

Leana hanya mengangguk-angguk menanggapinya. Dulu, mereka tidak pernah seperti itu. Kallan selalu sibuk bermain game sendiri, sementara kesibukan Leana adalah melarangnya terus-terusan bermain. Setidakcocok itu mereka pada masanya.

Jadi, mungkin ini memanglah pilihanpaling tepat bagi keduanya. Saling melepaskan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro