Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gk usah bingung. Ini cerita Djenar yang mau saya republish 😅😅😅 dah itu aja
.
.

KYAAAAAAH akhirnya update cerita baruuu... terima kasih untuk mak veradsh atas cover unyunya 😚😚😚 terima kasih untuk c2_anin untuk semua informasinya. Terima kasih untuk NisaAtfiatmico yang telah mengenalkanku pada ODOC.

.
.
.

Didedikasikan spesial untuk Frans_ss yg udah mau aku recokin ngahahhahhaa...

.
.
Selamat membaca
.
.
.
,

Aku ingin mutilasi orang. Memeluntir lehernya. Mencongkel kedua matanya. Memasak usus duabelas jarinya. Mengebiri anunya. Melakukan hal-hal jahat padanya. Kribo. Musuh besarku hari ini. Laki-laki kesayangan yang mencampakkanku hari ini. Pahlawan bertanda jasa, yang, hari ini mengkhianatiku.

"Mbak Jen...."

"Jangan sebut namaku, Kribo!" Aku menudingkan telunjuk tepat di hadapannya. Laki-laki berkulit hitam dengan rambut keriwil bak pohon beringin itu berjengit. Meringis. Meminta ampunan dari tatapan matanya. "Cepat benerin motormu atau kita PUTUS!" Sengaja aku menekan kata putus agar Kribo tahu, aku tidak sudi dicampakkan. Okelah dia ojek langgananku. Baiklah dia laki-laki garda terdepan yang mengurusi masalah transportasi keluargaku, tapi tidak seperti ini juga kali.

Motor macet di saat aku sudah terlambat tigapuluh menit itu dosa! Haram hukumnya! Aku tidak hanya bisa dipecat, aku pun bisa digantung setengah tiang. "Aku sudah terlambat demi Tuhaaan!" Aku memekik. Membiarkan orang-orang memperhatikanku. Ini tidak baik tentu saja. Aku harus tampil selalu cantik. Tapi, di waktu genting seperti ini, siapa, sih yang memedulikan masalah penampilan? Walaupun cantik itu sebuah keharusan.

"Mbak Jen lihat sendiri, kan? Dewi Persik sedang diservis. Kita lagi di bengkel. Nanti kalau Dewi sudah selesai diperbaikin, aku bakal ngebut demi Mbak Jen."

"Dasar pendusta! Janjimu itu palsu! Motor bututmu selesai dibenerin, aku selesai digantung di Tugu Pahlawan."

Dewi Persik yang dimaksud Kribo adalah motor bebeknya yang berwarna pink. Yang selalu setia mengangkutku ke kantor. Yang selalu setia menemaniku pulang dari kantor. Namun hari ini, motor butut itu mengkhianatiku. Aku terluka. Jiwaku tergores-gores.

"Mbak Jen naik ojek lainnya saja, gimana?"

"Maksudmu, aku harus mengeluarkan uang lagi demi ojek lainnya?" Tentu saja tidak bisa! Maksudku, aku tidak mau mengeluarkan uang lebih atas sesuatu yang bukan kesalahanku. Jarak bengkel ke kantor masih jauh. Paling tidak, jika aku naik ojek lain, aku harus kehilangan uang limabelas ribu secara percuma, sementara aku sudah menggaji Kribo tiap awal bulan. Limabelas ribu banyak loh. Dapat cabai seperempat. Atau minyak goreng satu liter. Atau telur satu kilo. Atau beras satu kilo. Banyak, kan? Tentu saja aku ogah mengeluarkan uang sebanyak itu demi ojek lain.

"Jangan mengkhianatiku, Krib." Sebenarnya namanya, sih, Anang. Tapi aku kan lagi marahan sama dia. Aku jelas tidak mau dong memahkotai namanya seindah Anang. "Cepat benerin motormu!" Untuk lebih mendramatisir lagi, aku menendang motor yang tengah diutak-atik seorang montir. Kribo memutar bola mata. Sedangkan montir yang tidak ganteng itu mengataiku sinting. Sialan!

"Mbak Jen, naik ojek temenku saja. Dia orangnya terpercaya. Mendapat Sertifikat Ojek Surabaya. Aku panggilkan-"

"Aku tidak sudi mengeluarkan limabelas ribu demi pengkhianatan yang tengah kamu lakukan padaku! Aku terluka, kamu tahu, nggak, sih? Sebagai laki-laki seharusnya kamu mengerti perempuan, dong, Krib. Jangan seperti ini, dong! Main nggak mau-"

"Aku yang ongkosin, Mbak Jen. Tigapuluh ribu pulang pergi!"

"Kalau kamu memaksaku, baiklah. Perempuan rapuh sepertiku bisa apa sih kalau sudah dipaksa?" Tigapuluh ribu jelas nominal uang yang tidak boleh ditelantarkan, tentu saja. Nanti pulangnya aku nebeng Anye, biar aku bisa menyimpan limabelas ribu untuk membeli barang pokok lainnya, pembalut misalnya.

Kribo-karena telah berbaik hati memberiku ongkos naik ojek sebesar tigapuluh ribu, aku panggil Anang-tengah mencoba menelepon temannya. Aku berjalan mondar-mandir sambil menengok jam tangan yang melingkar di tangan kananku. Astaga, hampir empatpuluh menit dan aku masih di tengah jalan? Aku benar-benar akan dipanggang Mulut Hujan itu. Gimana ini?

Ponselku memekik-mekik. Dari layarnya, nama Anye berkedip-kedip. Buru-buru aku menekan tombol jawab dan menjepit benda pipih tersebut di antara pundak dan kuping, sementara aku merogoh-rogoh tas untuk mengeluarkan ikat rambut.

"Tamat riwayat lo!" Suara Anye menyembur. Aku nyaris menjatuhkan ponsel akibat lengkingan suaranya.

"Astaga suaramu, Nyoya!" Aku memutar mata. Begitu aku mendapatkan benda yang aku cari, aku menegakkan tubuh, kembali mencangklong tas, kemudian mengikat rambut sebisa mungkin.

"Pak Galih murka, Jen! Kamu di mana, sih? Kita rapat sedari tadi dan kamu belum muncul-muncul juga? Astaga! Aku sudah kehabisan stok alasan untuk membelamu. Aku didepak dari ruangan Pak Galih. Dia menunggumu seorang. Mungkin sebentar lagi bendera kuning berkibar di depan kontrakanmu."

"Dewi Persik mogok. Dan Kribo main melemparku ke ojek lain. Harga diriku benar-benar diinjak motor sialan itu. Aku akan datang dalam waktu duapuluh menit lagi."

"Orang gila! Kamu harus datang dalam waktu sepuluh menit! KAU DENGAR AKU? SEPULUH MENIT ATAU KAU YANG AKU CINCANG!"

Telepon ditutup. Kupingku berdenging hebat akibat jeritan wanita sialan itu. Aku membalik tubuh untuk mencaci maki Kribo ketika seseorang menabrakku. Tubuhku tersundul ke belakang. Sebelah kakiku kugunakan untuk menopang tubuh, tapi itu bukan berita baik. Hak sepatuku sukses melesak ke penutup gorong-gorong. Dan tersangkut secara tidak manusiawi di sana.

"Hei, Pemuda! Jangan main nubruk orang!" Aku menjerit, tapi laki-laki yang melanggar tubuhku itu tetap berjalan pergi. Apalagi ini? Aku berusaha mengeluarkan hak sepatu yang tersangkut itu. Tapi tidak bisa. Aduh, gimana ini? Kenapa pagi ini aku sial banget, sih? Aku memanggil Kribo untuk meminta bantuannya. Tapi sama saja, hak sepatu kananku tidak mau beranjak dari penutup gorong-gorong itu. Aku meringis. Benar-benar tamat riwayatku pagi ini. Aku harus apa? Kalau aku dipecat dari perusahaan, aku bakal makan apa? Biaya sekolah Galang dan Kin gimana? Tagihan listrik? Uang sewa rumah? Tagihan air? Oh, tidak! Aku tidak boleh dipecat. Neraka! Neraka!

"Kribo, tolong pinjemin gergaji pada bengkel." Tanpa pikir panjang, begitu Kribo datang tergopoh-gopoh dengan gergaji yang aku minta, aku segera mengiris hak yang masih belum mau keluar dari sana. Agar aku tidak berjalan pincang, hak sepatu yang masih utuh, aku iris sekalian.

Tujuhbelas menit kemudian, aku mendarat di kantor dengan tampang yang mengerikan; rambut acak-acakan karena tidak aku ikat sempurna; keringat membasahi wajah dan tubuh; make up luntur; gerah; busanaku basah; burket. Sempurna sudah penderitaanku.

"Jen!" Anye, ibu satu anak berambut pendek dengan tubuh kurus, nongol di hadapan kubikelku. "Ya. Tuhan. Apa yang terjadi padamu, Jen? Kamu mengenaskan! Game over! Game over! Tampangmu ini benar-benar menakutkan. Aku nggak akan heran kenapa kamu nggak pernah bisa mencapai target akhir-akhir ini, kamunya aja mengerikan. Anakku bakal menjerit kalau ketemu kamu."

"Bedebah! Tutup mulut, Nye! Aku benar-benar kacau nih pagi ini." AC yang disetel di ruangan nyatanya tidak mampu mengusir keringat yang meleleh di tubuhku. Aku menyeka jidat, membetulkan ikatan rambut yang semrawut, membenarkan tali kutang yang terpuntir, kemudian mengelap mukaku yang basah dengan tisu. "Mimpi apaaa aku semalam bisa sampai sekacau ini?" Aku menatap Anye dengan tatapan putus asa. Keringat yang melekat di tubuh membuatku gatal-gatal. Aku jelas harus mandi kalau mau kembali fresh.

"Galang pulang hampir pukul satu dini hari." Aku menyeka mulut sehabis menenggak air mineral. Kembali kutatap Anye sambil mendesah. "Aku kelimpungan mencarinya ke sana kemari. Semua teman-temanya aku telepon, tapi ABG itu nggak aku temukan. Aku ke sekolahnya, siapa tahu saja dia ada acara sama bandnya, tapi nihil. Di sekolah yang gelap gulita itu, aku nggak menemukan Galang. Aku pergi ke tempat biasa dia main futsal, tapi Galang nggak juga aku temukan. Aku meminta Kribo untuk membantuku mencarinya, nyatanya, hampir pukul duabelas malam, anak itu nggak nongol di depan hidungku. Bisa kamu bayangkan betapa khawatirnya aku? Ini Surabaya, bahaya di mana-mana. Dan aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Galang."

"Lantas kamu menemukan dia di mana? Bukannya kamu sudah memperingatinya untuk nggak main sampai larut malam? Atau dia ada acara dengan teman-teman ekskulnya? Aku dulu waktu menjadi murid SMA baru juga gitu. Hormon anak remaja. Biasa."

"Ini nggak biasa, Nye. Kamu tahu ini nggak biasa. Pukul duabelas tepat aku mondar-mandir di depan rumah. Menenggak sepuluh cangkir kopi agar nggak ngantuk, supaya aku nggak ketiduran saat anak laki-lakiku pulang. Dan kamu tahu, ketika aku sudah berpikiran yang buruk, hendak melaporkan pada polisi tentang kehilangan anak, remaja itu memasuki halaman rumah dengan sepedanya. Bisa kamu bayangkan betapa murkanya aku semalaman? Galang. Anak laki-laki empatbelas tahunku. Nggak meminta maaf karena telah pulang dini hari. Dia malah membentakku. Dan mengatakan bahwa ini urusan anak muda. Sialan! Aku hampir menjerit tapi dia hanya berekspresi seperti itu."

Kembali kugasak air mineral dari botol yang selalu kubawa kerja. Anye berusaha menenangkanku. Kata-kata sabarnya sudah aku hafal di luar kepala. Aku tidak membutuhkan kata sabar sebenarnya, tetapi mengingat aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalani ini semua, aku pun menelan ribuan "pil" sabar yang sangat tidak enak itu bulat-bulat.

"Dan tadi pagi-" aku meneruskan ceritaku dengan menggebu-gebu. "-mendadak Kin nggak mau makan. Aku sudah membuatkan pancake kesukaanya, tapi anak gadisku nggak mau makan. Ya Tuhan, Nyeee, ini benar-benar Senin yang luar biasa. Kin selalu bersemangat dengan makanan sepanjang aku hidup sebagai ibunya. Lalu kenapa dia menolak sarapan yang aku buat? Aku membuat kesalahan? Kamu tahu, di saat kamu bangun dan berdoa semoga hari ini terlewati dengan lancar, tahu-tahu hasil kerasmu memasak demi buah hati nggak mendapat perhatian secuil pun, rasanya sungguh seperti diterbangkan ke kandang babi, kemudian diambrukkan ke tai ayam, ditendang ke laut lepas, lalu ditelan hiu yang sedang masa kawin. Sungguh nggak enak."

"Kamu tahu, semacam hormon anak muda. Kinar terlalu besar untuk anak gadis seusianya. Keponakanku seusia Kin saja sudah bisa berciuman dengan anak laki-laki. Sementara Kin? Well, bukannya aku menghakimi atau apa, tapi kurasa dia juga sedang dalam fase seperti itu. Ingin menjajal hal-hal yang nggak pernah dia dapatkan di rumah."

"Menjajal hal-hal apa saja itu tepatnya?" Mataku menyipit menatap Anye.

"Semacam, yah, aku tahu kamu tahu, Jen. Hanya... lebarkan mata saja dan mulailah menerima."

"Sayangnya, aku nggak tahu kamu ngomongin apaan?" Apa sih yang dimaksud Anye? Kenapa dia berbelit-belit seperti ini? Dia kira dia lagi ngomong sama siapa? Onggokan kotoran kucing? Aku mendesaknya.

"Yah, hal-hal seperti berciuman, mungkin. Berpacaran. Petting. Necking. Mengenal bahasa bercinta, semacam itulah."

"Kamu bercanda?" Aku memelotot. Memekik. Botolku sampai terjatuh dari genggamanku. "Kinar baru duabelas tahun, demi Tuhan." Ini terlalu mengagetkan. Sungguh. Semua bualan Anye, semua omong kosongnya. Aku tidak mau mendengarnya. "Dia masih jauh untuk kata berciuman dengan anak cowok. Bahkan, petting, necki-Astaga, kupingku terasa tersambar gledek."

"Jangan berlebihan, Jen. Aku dan Malam sudah memperingatkanmu tentang ini berkali-kali. Kin dan Galang sudah remaja. Mereka berada di masa-masa hormon-hormon ingin menjadi hebat di mata teman-temannya. Dan, kamu benar-benar harus membuka pikiran kolotmu. Usia duabelas tahun sudah sangat layak untuk berciuman. Shaloom kalau sudah masuk SD nanti saja, akan aku ajarkan organ reproduksi, supaya dia nggak terlalu kaget dengan kehidupan seksual."

"Kau gila! Nggak waras, Nye. Kamu benar-benar nggak waras!"

"Nggak ada yang gila, Jen. Orang-orang tumbuh dan berkembang. Come on, sekarang jaman modern. Jamannya kondom dijadikan hadian dari ibu buat anak laki-lakinya saat ulang tahun. Dua bocah yang ada di bawah atap rumahmu sudah beranjak dewasa, dan kamu jelas nggak bisa mengontrol tindakan mereka, atau, well, kamu akan kehilangan mereka."

"Bahkan kalau aku nggak punya pikiran sama sekali mau menghadiahi Galang apa di ulang tahunnya, aku nggak akan pernah menghadiahinya kondom. Astaga!" Itu bohong! Aku tidak mau mendengar hal itu. Sama sekali tidak. Kalimat-kalimat yang ditusukkan Anye benar-benar menyakitkan. Racun. Berbisa. Aku mendengus gusar di hadapan Anye. Kalau tidak mengingat bahwa dia sahabatku sejak kami masih duduk di bangku SMA, aku sudah pasti akan meninju mukanya.

Sayangnya, bahkan terlalu sayang, di ujung hatiku, terletak menyempil di pojok ruangan yang tak pernah aku singgung, aku membenarkan ucapan Anye. Kin dan Galang sudah beranjak remaja. Bukan bayi lima tahun lagi yang bisa aku pakaikan baju lucu-lucu di tubuh mereka. Tapi sungguh, demi Tuhan, hal itu tentunya masih sangat lama, kan? Aku jelas tidak menginginkan siklus pergantian itu berlangsung secepatnya. Maksudku, kalian bisa melihat diriku?

Aku, Jen, pegawai asuransi bertubuh seksi dengan tinggi yang menawan, berkulit hitam eksotis dan rambut hitam panjang yang berkilau indah, sangat nggak banget kalau harus memomong cucu akibat pergaulan bebas anak-anakku semacam petting, necking secepat ini.

Oh.Tuhan.

Apa yang baru saja aku pikirkan?

Cucu?

Cucu?

Gila!

GILAAA!

Aku menjadi nenek? NO! Maksudku, tidak untuk hari ini pun sepuluh atau duapuluh tahun ke depan.

Astaga....

Aku benar-benar harus mandi agar pikiranku tidak sekacau ini. Ngomong-ngomong, boleh aku jeritkan sekali lagi bahwa aku BELUM SIAP MEMOMONG CUCU.

BELUM SIAP MEMOMONG CUCU.

Kin dan Galang masih terlalu menggemaskan untuk menyandang .... Sialan! Otakku agak-agaknya kudu dicuci pakai sitrun. Kalimat-kalimat Anye benar-benar polusi untuk kemaslahatan kupingku.

"Oh, Jen, aku nggak tahu, ya, apa yang tengah kamu pikirkan saat ini. Tapi percaya deh, ini bukan saatnya kamu merenung."

Aku mendongak, menyipitkan mata, menatap penuh tanya ke arah Anye. "Ini semua gara-gara kamu meracuni otakku, Anyelir Dirundung Hujan! Kalau kamu nggak ngomong hal yang aneh-aneh tentang anak-anakku-"

"Apa pun itu, Ibu Muda." Anye menukas. "Sayangnya, sekarang bukan saatnya untuk marah-marah. Ada hal yang lebih besar yang harus kamu hadapi." Anye mengarahkan ujung dagunya ke samping.

Aku mengekor kode yang dilempar Anye. Dan aku membeku seketika. Menelan ludah dalam-dalam. Menyengir lebar semanis mungkin. Mendadak, kutangku terasa penuh sesak. Bukan karena isinya yang terlalu besar, bukan, tapi karena, well, laki-laki mengerikan yang berdiri menyeramkan tak jauh dari kami bercengkerama sekarang, tentunya tidak boleh aku abaikan kalau aku tidak ingin nasibku tamat sampai di sini.

"JEEEN. Saya. Membutuhkan. Laporan. Penjualanmu. Sekarang. Juga."

Tamat riwayatmu, Jen. Tamat!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro