Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih, terima kasih kepada c2_anin yang telah bersedia menjadi narasumberkuh :*

.

.

.

Kalian pernah dengar istilah mulut hujan? Yaitu, ketika seseorang berbicara, dari mulutnya muncrat ludah ke mana-mana? Di kantorku, Pak Galih merupakan penganut paham mulut hujan garis keras. Apabila manusia berkepala botak itu berdakwah tentang target, hujan ludah dari moncongnya bakal menyembur tak terkira. Alhasil, setelah tubuhku sukses bermandikan peluh, sekarang sukses bermandikan air liur. Tidak enak banget. Basin. Bau jengkol. Bau kematian. Bau mayat. Bau bangkai. Semua tumpah jadi satu. Nge-blend dengan burket yang membuat kepala pening. Terjemahan: Aku semakin tidak sedap dipandang, pun diendus.

"Dari semua agen yang bekerja di timku, kamu yang paling buruk!" Percikan ludah mendarat di kulit mulusku lagi. "Dalam satu bulan kemarin, tak ada satu pun klien yang berhasil kamu tawarin asuransi." Ludah itu kembali melayang bebas dan mendarat manis tanpa dosa di wajahku.

Klien adalah orang yang menjadi target agen asuransi. Bolehkah aku tambahkan, mencari klien lebih sulit dari mencari jodoh, Mister Mulut Hujan? Mereka, para klien, tidak mudah dirayu sebagai mana jejantan yang berkeliaran di bumi pertiwi-yang apabila aku mempertontonkan belahan dadaku, langsung klepek-klepek seketika.

Aku sudah mengeluarkan jurus persuasif paling andalan. Aku mencoba berbagai macam teknik menarik klien yang aku baca di buku Menjual Asuransi Itu Mudah. Aku mendatangi mereka sesuai jam senggang mereka. Aku sudah menghabiskan berbotol-botol parfum mahal-aku benar-benar menyesal telah membeli parfum itu di sales kosmetik seharga limapuluh ribu, seharusnya aku bisa membeli beras lima kilo daripada parfum beraroma ikan asin sialan itu-hanya agar klien tertarik berlama-lama denganku. Aku sudah mengeluarkan jurus marketing juara. Aku menjelaskan detail benefit apa saja yang bakal klien dapatkan jika berasuransi di perusahaanku sesuai dengan premi (sejumlah uang yang dikeluarkan setiap bulan untuk membayar asuransi) yang mereka inginkan. Semuanya. Tapi, sampai sekarang, aku benar-benar sial. Tak ada satu pun klien yang tertarik dengan rayuanku. Semua presentasiku mental. Semua penjelasanku balik kandang.

"Kamu harus mengikuti pelatihan lagi, Jen. Kamu benar-benar buruk."

Oh, please, jangan pelatihan lagi. Itu benar-benar merepotkan. Seharian di ruang pertemuan. Mendengarkan trainer ngoceh segala macam teori yang harus aku hafal dan praktikkan. Aku tidak bisa ke mana-mana. Datang pagi, pulang bisa sampai malam hari. Aku kasih tahu kamu satu hal, nanti jika usiamu mencapai tigapuluh enam sama halnya denganku, kemampuan otak untuk menyerap ilmu tulis itu akan menurun. Sekali kamu mengingatnya, nanti, jika kamu gunakan untuk mengobrol dan bergurau, ingatan itu akan hilang. Dan ini sungguh menyiksa.

"Perusahaan menggajimu tidak hanya berongkang-ongkang kaki di kantor tanpa sedikit pun kontribusi apa-apa!"

Ludah lagi. Aku mengelap muka. Aroma basin menusuk-nusuk hidungku. Ngomong-ngomong, aku tidak pernah berongkang-ongkang kaki, ya. Itu fitnah. Aku keluar masuk rumah orang sampai kakiku sempor, update info asuransi di semua media sosialku (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dsb-dsb) sampai kuota internetku jebol, itu semua demi mencari klien dan hanya dihargai dengan hukum ongkang-ongkang kaki? Kaukira aku ini apa? Jamban?

Aku melirik Pak Galih dengan gemas. Kemeja telur asinnya hari ini tidak cocok banget dipadupadankan dengan kulit hitamnya yang kusam, dengan celana hitamnya, dengan dasi bergaris diagonal kuningnya, dengan kepala botaknya. Apakah istrinya tidak tahu bagaimana meng-mix and match busana untuk lelaki gundul itu?

"Makanya, jangan ke dealer hanya untuk berkenalan dengan sales-sales cakep tapi tidak membuahkan hasil! Buang-buang bensin! Buang-buang waktu! Kamu di sana ngapain saja? Menjual status jandamu? Agar ada yang tertarik denganmu dan mengawinimu? Atau numpang makan gratis sama sales-sales motor? Dan tidak menyinggung sedikit pun tentang asuransi investasi di perusahaan kita kepada kepala HRD-nya? Keterlaluan kamu, Jen! Kamu memang karyawan paling seksi di kantor sini, tapi jangan jual tubuhmu demi keperluan keluargamu! Kami semua tahu, kamu butuh banyak duit untuk kedua anakmu, tapi sekali lagi, JANGAN PERNAH KORBANKAN PEKERJAAN!"

Mataku terpejam erat. Kalimat-kalimat Pak Galih sungguh menamparku tanpa ampun. Kedua tanganku terkepal di atas pangkuan. Rahangku terkatup rapat. Gigiku bergemelatukan menahan emosi yang ingin aku semburkan di hadapannya. Aku tersinggung. Aku memang janda. Tapi tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku untuk menggunakan status jandaku ini demi mencari pasangan-apalagi ketika aku masih bekerja. Itu tidak masuk akal. Ngawur. Konyol. Pak Galih dapat informasi slebor ini dari siapa, sih?

"Aku tidak bisa menolerir, Jen. Jika sampai bulan depan tidak ada satu pun laporan klien darimu di atas meja kerjaku, katakan selamat tinggal secepatnya."

Dadaku mencelus. Perutku berjempalitan. Jantungku seakan melopat di kerongkongan. Aku meringis. Aku jelas tidak mau dipecat. Hari gini mencari kerja itu susah banget. Terlebih untuk wanita seusiaku dengan status janda berbuntut dua. Nasib Galang dan Kin bagaimana? Biaya sekolah mereka? Uang jajan mereka? Uang transport mereka? Biaya les mereka? Uang-Oh. Itu buruk. Mimpi buruk. Aku tidak akan membiarkan hari itu muncul. Pecat? Ya, Tuhan, jangan sampai, deh. Amit-amit.

Setelah mengeluarkan janji-janji bahwa aku akan membawakan klien secepat mungkin-dengan menekan emosi yang meluap-luap-aku mengundurkan diri dari ruangan Mulut Hujan. Buru-buru aku melangkahkan kaki ke toilet kantor. Mandi tentu saja. Aku tidak mau limbah busuk bau minyak tanah dari mulut Pak Galih awet dan berfosil di tubuhku, ya. Itu membawa sial. Aku kudu menolak bala ini dengan-well, paling tidak-luluran kilat, misalnya.

Sepuluh menit aku mandi-oke, oke, aku berbohong sedikit, maksudku lima belas menit aku mandi. Iya. Iya. Iya, aku tidak akan membual lagi, kau tahu saja aku sedang menyembunyikan fakta bahwa aku menghabiskan hampir setengah jam untuk mandi-aku kembali melesakkan bokong ke kursi. Menyalakan monitor komputer. Membuka kembali media sosialku untuk mengecek adakah klien potensial yang bisa membuatku memiliki masa depan cerah. Menjawab pertanyaan dari para follower-ku seputar asuransi-biasanya sih tentang keuntungan apa saja yang akan klien dapatkan dari perusahaanku, berapa premi yang harus dibayarkan, caranya mengklaim asuransi jika ada klien yang dirawat inap, ya seperti itulah. Follow up­ beberapa perusahaan yang aku kirimi proporsal. Dan-ya, setidaknya ada satu-dua gelintir klien-membuat jadwal ketemuan.

Jam makan siang, aku bergabung dengan Anye dan Malam di depot samping kantor. Menghabiskan sepiring besar tahu campur-setelah aku menumpahkan segala uneg-uneg yang disemburkan Pak Galih padaku tadi kepada dua sahabatku itu-sampai aku merasakan perutku akan meledak. Aku tidak menanggapi sindiran orang-orang mengenai porsi makanku yang menggila. Biar saja. Kalau aku tidak makan banyak, pikiranku yang ruwet tidak bakal terulur dan akan terus membusuk. Jelas, itu bukan kabar baik.

"Santai, boo, lo makan kayak orang kesurupan aja, Jen." Malam mencibir. Aku hanya mengangkat muka dari atas piring untuk menanggapi responsnya. "Parah banget nih kayaknya Senin ini. Lo berantakan banget, deh, Jen."

"Kok, kamu ada di sini, sih, Lam? Ngapain?"

"Yawla, laki gue ngamuk-ngamuk gue kerja terus. Makanya, gue cuti dari kerja biar Siang nggak marah-marah mulu gue cuekin karena kesibukan."

Aku putar-putar bola mata. Ngomong-ngomong, Malam, atau nama lengkapnya Malam Jagatraya ini, sahabatku sejak aku bekerja di perusahaan asuransi investasi-hanya saja, beberapa waktu yang lalu, dia dimutasi ke Sidoarjo. Orangnya cakep. Banget. Tingginya mungkin sampai 180 senti. Berkulit putih. Dada bidang yang terlatih gym. Otot-otot bisep-trisepnya (meminjam istilah Malam) gedong. Pas banget untuk dicengkeram saat ngen-maksudku, berpelukan. Homo. Dengar-dengar, sih, posisinya dalam hubungan sesama jenis sebagai wanita. Atau, kalau kata Malam, namanya uke, bottom, apalah itu. Ketika ngobrol, kelingkingnya suka banget ngetril. Nah, seperti saat ini, nih. Saat dia meraih gagang gelas bercentel, kelingkingnya keseleo ke luar. Lentik gitu.

"Kalau gue trawang-trawang, sih, lo kelamaan jomblo, deh, Jen. Makanya selangkangan lo karatan. Kurang asupan nutrisi P bisa bikin pikiran kacau, tauuuk. Wajah lo aja udah kayak wanita tua butuh P yang mengenaskan gitu, loh. Suwer, deh. Lo kapan sih terakhir kewong? Terakhir ngejepit anu?"

Aku menggumam tidak jelas di antara kesibukan mengunyah kikil. "Kapan, ya?" bunyi krauk-krauk terdengar dari mulutku. Mataku berputar-putar untuk mengingat. "Emmm...." Krauk-krauk. "Duh, aku lupa." Krauk-krauk.

"Setahun lalu." Anye memberi jawaban. "Sama Indro. Perawat rumah sakit rekanan."

"Ih, ya ampun, pantesan lo menderita gini. Aktivitas seksual bisa meningkatkan produktivitas kita saat kerja. Dan astaga, selama setahun selangkangan lo nggak beraktivitas sama sekali? Kutukan! Kutukan!"

Mataku setengah memicing. "Kutukan apaan? Enak aja ngatain aku kena kutukan. Kamu pikir aku Malin Kundang apa? Nggak, ya."

"Kutukan jomblo, maksudnya, Maaak. Ya, Tuhan, lo udah jomblo, kemampuan otak lo berpikir mengalami degenerasi pun. Sial banget, sih, nasib loh."

Dasar homo keparat.

"Lo nyari lekong sana, Jen. Biar lo bisa seger lagi. Biar target lo terpenuhi lagi. Biar si Mulut Hujan itu nggak nyembur lo lagi. Miris, tahuk, nggak, kalbu gue kalau lihat lo mengenaskan kayak gini. Lo kayak perempuan butuh dikasihani. Ibu-ibu tua yang tinggal di atas kursi goyang dengan ditemani piaraan puluhan kucing. Bau apak. Bau lumut."

"Aku nggak mengenaskan, demi Tuhan." Kembali aku memutar mata. "Kamu tahu sendiri, kan, kesibukanku mencari klien, mengurusi dua remaja yang lagi dalam masa-masa bergejolaknya. Galang yang semalam pulang pukul satu dini hari. Kin yang tadi pagi nggak makan sarapan buatanku. Mikirin harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik. Mikirin tagihan kontrakan. Mana sempat aku nyari cowok. Bisa kenalan di luar bangun kerja aja udah syukur banget. Lah sekarang, aku mana bisa ajojing ke luar rumah tanpa tujuan pasti." Kulahap satu sendok penuh selada dan irisan tahu dengan gemas. "Dan satu lagi,"-aku menelan suapan terakhir tahu campurku, menyeka mulut yang belepotan kuah kacang, lalu menenggak es teh-"aku nggak bau lumut. Aku menghabiskan limapuluh ribu hanya untuk sebotol minyak wangi yang habis pakai dalam dua minggu. Sales kosmetik sialan."

"Kamu benar-benar terdengar mengenaskan." Anye mengimbuhkan, menyedot es kelapa dengan pipet putih. "Kamu baru tiga enam tapi kehidupanmu seperti nenek-nenek tua yang hanya memikirkan kebutuhan pokok. Demiii, kita masih muda. Masih produktif. Jangan sumpel otak kamu dengan hal-hal yang bisa bikin kamu cepat keriput, dong, Jeeen."

"Mama Muda, dengerin gue." Malam menarik janggutku. "Gue tanya lo, jawab jujur, kapan terakhir lo punya me time?"

"Errr...."

"Kapan terakhir lo pergi ke spa?"

Dan menghabiskan uang seratus ribu dalam sekejap saja? Mataku membulat.

"Kapan terakhir lo menikur pedikur?"

Tujuhpuluh ribu. Noooh....

"Kapan terakhir lo ganti gaya rambut?"

Dua ratus lima puluh tujuh ribu. Siyal. Beras berapa kilo itu?

"Kapan terakhir lo belanja? Paling nggak, beli CD keluaran terbaru? BH terbaru?"

Aku kemarin sempat lihat di katalog, harga sepasang celana dalam dan bra keluaran terbaru sampai tigaratus ribu. Itu duit?

"Kapan terakhir lo liburan?"

Ke mana? Jogja? Bandung? Jakarta? Berapa juta, tuh? Sejuta? Tiga? Lima? Astaga.... Uang segitu banyaknya bisa buat bayar uang gedung anak-anak, bayar buku paket anak-anak, bayar perlengkapan sekolah Galang dan Kin, gaji Kribo sebulan penuh.

"Errr...." Aku menggigit bibir bawah. Meringis.

"Wah, Jen, tamat riwayat lo."

Aku pura-pura tidak mendengar cibiran Anye. Dia paling suka kalau melihatku dicecar habis-habisan sama Malam. Teman durhaka. Belum sempat aku menjawab rentengan pertanyaan tiba-tiba dari Malam, pemuda tigapuluh tahun itu menggeleng-geleng dramatis. Bibir merahnya meletot-letot-aku menyangsikan ada kata 'jancuk' tak kentara yang dicetuskan di balik bibir sosorable-nya. Dari hidung bangirnya, terdengus napas beraroma mint. Dia kemudian mencampakkan janggutku. Aku-seperti biasa setiap kali dimarahin mereka, walaupun tumpukan masalahku menggunung-kembali menyantap makan siang sekaligus sarapanku tanpa dosa-makanan, Kawan-kawan, adalah obat mujarab untuk mengenyahkan sebentar masalah di balik otak kita.

"Lo benar-benar berada di masa-masa kritis ibu-ibu tua. Kalau nggak buru-buru diselamatkan, lo bakal kecemplung ke rutinitas membosankan wanita-wanita tua. Dan kalau lo udah tercebur ke zona ibu-ibu-tua-super-membosankan, lo nggak hanya nggak dilirik klien, lo pun bakal dicampakkan dari timnya Mulut Hujan. Kalau lo merasa nyaman di teritori ibu-ibu-tua-super-membosankan, lo nggak akan dapat jodoh. Bisa lo bayangkan, jadi pengangguran miskin dan nggak punya lekong menderitanya seperti apa?"

"Apakah itu berbahaya? Aku baru mendengar istilah itu soalnya."

"Bahaya banget." Anye menimpali. "Bahayanya seperti kamu kehabisan sisa saldo di tabunganmu, sementara semua tungganganmu harus dibayar saat ini juga." Dia meringkas kalimat superpanjang Malam untukku.

Aku melotot. "Itu sih bahaya tingkat paripurna." Aku menoleh ke arah Anye dan Malam secara bergantian. Keningku berkerut-kerut. "Ini serius?"

"Gue nggak akan ngomong ke lo kalau nggak serius, keleees." Malam memutar mata.

"Terus apa yang harus aku lakukan dong agar aku keluar dari zona-ibu-tua-apalah-itu-namanya. Kamu tahu, aku benar-benar kudu keluar dari zona itu agar, well, paling nggak, awal bulan depan aku membawa satu klien aja di hadapan Pak Galih. Aku nggak mau dipecat."

"Sayangnya, gue punya banyak cara, Baby. Cara pertama dan paling utama, please lo jangan suka mengernyit." Malam mengurut dahiku. "Lipatan di jidat lo seperti ini bisa bikin lo cepet keriput. Lo nggak mau, kaaan, kulit hitam eksotis lo dihiasi keriput-keriput manjaaah?"

Aku menggeleng tegas.

"Nah, langkah kedua...."

Malam menggantung kalimatnya secara mendramatisasi. Menoleh sebentar kepada Anye sambil menaikkan kedua alis lebatnya. Di sampingku, Anye cekakak-cekikikan. Mereka mengode bahasa apaan, sih? Kenapa bisa sekompak ini? Ngomong-ngomong, sudahkah aku bilang bahwa kemeja floral slim fit lengan pendek yang dikenakan Malam cocok banget sama tubuhnya? Tuh laki-laki ranum banget, masa. Sayang homo. Coba kalau normal. Bisa khilaf tiap hari aku.

"Langkah kedua apaan?" seruku menggebu. Aku benar-benar membutuhkan perubahan besar pada diriku sendiri agar aku bisa menjalankan pekerjaanku-paling tidak-dengan sukses. Ya, walaupun tidak sukses-sukses amat, sih. Setidaknya, satu klien lah sebelum bulan depan aku betul-betul didepak dari perusahaan ini. Hiii... kok merinding ya mikirin hal itu.

"Langkah kedua...."

Tepat saat Malam hendak mengucapkan apa pun yang ingin dia lontarkan, ponselku berdering. Aku merogoh saku rok sepan yang aku pakai. Mengeluarkan ponsel dari sana, dan melihat nama wali kelas Galang berkedip-kedip di layarnya.

"Siapa?" tanya Anye.

Aku menoleh ke arah Anye dan Malam. Menggeleng dengan tubuh mendadak kaku. "Wali kelas Galang," desisku di sela-sela gigi. "Aku berharap nggak ada berita buruk." Kutekan tombol jawab, kuletakkan ponsel di kuping, dan kusapa guru di seberang sana. "Selamat siang."

"Selamat siang, Ibu Jen, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu kesibukan Anda. Tapi, ada satu hal yang harus saya sampaikan mengenai Galang kepada Anda."

Perutku mulas. Tiba-tiba aku kepingin berak. Keringat dingin perlahan-lahan merayap di punggungku.

"Saya mendapati Galang sedang merokok di gudang sekolah bersama teman-temannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro