Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jelas itu bukan berita baik.

Galang merokok? Anakku merokok? Bagaimana bisa? Tanganku bergetar saat memegang ponsel. Perutku seperti diaduk ke dalam mesin cuci. Jantungku seolah-olah membengkak memenuhi rongga dada. Pita suaraku seakan terjepit sedemikian rupa, sehingga yang keluar dari mulutku hanya serupa cicitan.

Galang merokok? Mataku membulat. Lebar. Ketika aku mencoba untuk memejam, bayang wajah Galang yang tertawa terbahak-bahak dengan teman-temannya, mengepit sebatang rokok di ruas jari-jarinya, menyedotnya tanpa ampun, lalu mengembuskannya hingga membuat kepulan asap-asap putih berkeliaran dari mulutnya, menari-nari di pikiranku.

"TIDAAAK!" Aku menjerit spontan. Pelototan Anye dan Malam menyadarkanku bahwa teleponku dengan wali kelas Galang masih terhubung. Aku gelagapan. Meminum serampangan air putih yang masih tersisa di gelas Malam untuk meredakan sekatan di kerongkongan.

"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud—" Aku menelan liur. Ucapan wali kelas Galang menyuruk-nyuruk kupingku. Aku masih tidak menyangka bahwa... anakku... merokok. Galang? Demi apa? Dia masih empatbelas tahun, ya Tuhan. Kenapa kelakuannya senakal itu? Apakah selama ini Galang sudah merokok, tetapi tidak aku ketahui? Apakah selama ini dia menyembunyikan bungkus rokok di bawah kasur yang jarang aku periksa? Lalu berpesta rokok dengan teman-teman bandnya? Dan sama sekali tidak terendus cuping hidungku? Ataukah jangan-jangan tadi Malam Galang pun berpesta rokok sehingga pulang dini hari? Oh tidak. Oh tidak. Oh tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.

"Saya menunggu kedatangan Ibu Jen secepatnya di ruangan saya. Terima kasih, selamat siang."

Emosi akibat dimarahin habis-habisan oleh Pak Galih yang sudah aku coba hilangkan dengan timbunan makanan, mendadak meluap-luap lagi. Butuh disalurkan secepatnya. Dan aku tahu kepada siapa amarah ini harus aku entaskan. Galang, apa yang kamu perbuat kepada Mama, Nak? Salah apa Mama kepadamu, Galang?

Aku menurunkan ponsel, meletakkan begitu saja di atas meja, memutuskan untuk menghabiskan sisa tahu campur sebelum aku beranjak ke sekolahan Galang.

"Semua baik-baik saja, Baby?"

"Ehn," sahutku sangat tidak yakin. Semua baik-baik saja? Jelas tidak ada yang baik-baik saja saat mendengar wali kelasmu mengabarkan bahwa anak empatbelas tahunmu kedapatan merokok di gudang sekolah bersama kawan-kawannya. Aku memalingkan wajah kepada Malam dan Anye. "Galang merokok," ucapku putus asa. "Aku harus ke sekolahan sekarang juga."

"Lo butuh gue untuk menemani lo?" Malam menawarkan bantuan, tetapi aku menolaknya secara halus.

"Kami akan di sana kalau kamu ingin kami ikut." Anye mengelus lenganku dan meremasnya dengan lembut. Aku anggap itu sebagai rasa belasungkawanya terhadap berita mengejutkan ini. Tetapi sekali lagi, aku menggeleng.

"Nggak usah, oke. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Apa kata Galang jika ibunya datang ke sekolah bersama gengnya? Aku akan semakin dianggap ibu nggak berkredibel di mata Galang."

"Nggak ada yang menganggapmu ibu nggak kredibel, Jen." Anye mencoba menenangkanku. "Kamu ibu paling hebat yang pernah aku kenal."

Aku mengangguk berterima kasih, buru-buru membereskan ponsel, notes, dan dompet di atas meja lalu memasukkan ke dalam tas. Setelah aku membayar duapuluh ribu atas porsi makan siang merangkap sarapanku, aku bergegas ke sekolahan Galang.

Aku ceritakan sedikit hal tentang Galang padamu. Remaja empatbelas tahun itu anak sulungku. Aku melahirkannya di saat usiaku menginjak duapuluh satu. Kunamai bayi pertamaku dengan nama anak sulung penyanyi favoritku sepanjang masa. Namanya juga—ah, kenapa jadi melantur begini. Sampai di mana kita tadi? Oh, tentang Galang.

Dia mewarisi gen dari ayahnya—kau boleh menyebutnya mantan suamiku. Sebetulnya, sih, mantan suami biadabku itu mewariskan gennya kepada kedua anakku. Berkulit putih—mengingat bekasku itu bule bajingan asal Australia—dengan rambut kriwil berwana hitam, mata berwarna cokelat, dan tinggi yang hampir menyusul tinggi badanku. Galang orangnya kurus. Susah makan—beda sekali dengan adiknya yang doyan makan, nanti aku akan menceritakan tentang Kin padamu jika aku punya waktu. Dan, yeah, dia, seperti yang kamu ketahui selama ini, agak nakal. Semenjak aku menyunatnya dan Galang kedapatan mimpi basah—secara tidak sengaja aku melihat seprainya basah ketika dia berusia sebelas—bayi manisku berubah seratus delapanpuluh derajat. Dia jadi—

Bolehkah kita meneruskannya nanti saja? Karena saat ini, berandalan berambut gondrong itu tengah duduk jigrang tidak tahu diri di depan wali kelasnya. Emosiku kembali meluap-luap. Aku tidak pernah mengajarinya duduk seperti itu.

"Silakan duduk, Ibu Jen."

Bersamaan dengan suara wali kelas Galang, pemuda itu menoleh ke arahku, memutar bola matanya, kemudian kembali menekuri rubik yang selalu dia bawa ke mana-mana. Sialan! Dia memutar mata di hadapanku? Ibunya sendiri? Aku mengelus dada agar tidak sampai kalap memuntahkan amukan terhadapnya di sini juga. Mematuhi anjuran wali kelas, Ibu Tuti, aku melesakkan bokong di kursi di samping Galang. Kulirik ABG itu. Tetapi dia tidak mengacuhkanku sama sekali. Aku sebenarnya ibunya apa bukan, sih? Kenapa dia cuek gitu terhadapku?

"Dengan berat hati, saya mendapati anak Ibu sedang merokok di gudang seperti yang saya ceritakan melalui telepon."

Suara Ibu Guru akan selalu aku kenang sepanjang masa, Bu. Berita sangat menyakitkan itu hampir membuat sekujur tubuhku lolos dari persendian, masalahnya. Perutku kembali melilit waktu aku bertatapan dengan Ibu Tuti dan kacamatanya. Pernahkan kau merasakan kepingin berak ketika suasana tegang sedang mencekammu? Nah, seperti itulah yang sedang aku rasakan kali ini. Aku meremas kedua tanganku yang basah.

"Perbuatan Galang sungguh sangat mencoreng nama baik sekolahan. Belum pernah ada murid kelas sepuluh yang merokok di lingkungan ini. Dan, baik saya maupun pihak sekolahan, akan menegur keras perbuatan Galang dan teman-temannya."

Jantungku seakan mau mencolot dari tempatnya. Bisakah kauulangi lagi untukku?

Menegur keras?

Sekeras apakah tepatnya itu?

Aku menggigit bibir bawah, menyelipkan jumputan rambut ke belakang telinga. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa anakku, tentu saja. Dikeluarkan misalnya. Astaga, memikirkan hal itu, sekujur tubuhku kembali menegang. Perutku keram. Dan aku seakan kesulitan untuk bernapas. Aku meringis. Meminta izin untuk menguncrit rambut, aku merogoh tas demi mencari ikat rambut. Begitu dapat, aku langsung menguncir surai yang tiba-tiba membuatku gerah. Kuusap titik-titik keringat di pelipis.

"Galang akan kami skors selama dua hari atas perbuatannya. Jika kami melihat Galang merokok di area sekolah lagi, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan Galang dari sini."

Bunuh aku saja, Tuhan. Lempar diriku ke sekawanan babi sedang kawin. Belit diriku di tubuh anakonda. Remukkan tulangku di bawah roda-roda tronton. Lumat diriku di mesin penggilingan beras.

Apa yang baru saja Ibu Tuti bicarakan?

Galang diskors dua hari? Kalau kedapatan merokok lagi, dia akan dikeluarkan? Kau gila? Bukan, maksudku, mungkin aku sudah gila. Mungkin sekarang aku sedang bermimpi. Mungkin sekarang aku lagi mengigau. Tapi, demiii, ini nyata banget. Aku mencubit lenganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Galangku diskors dua hari. Diskors.

Diskors.

Diskors.

Perutku seperti anjlok ke dasar lantai. Kepalaku pening bukan main. Kemeja yang aku pakai seakan menyempit bersamaan dengan napasku yang tersekat. Aku kembali menoleh ke arah Galang. Namun, seperti tidak ada kejadian berat yang menimpa dirinya, bayiku tetap santai dengan rubiknya. Sama sekali tidak menunjukkan respons yang mendramatisasi seperti ibu-ibu menyedihkan di sampingnya. Sama sekali tidak terpengaruh dengan ganjaran yang ia dapat akibat ulahnya yang bengal. Oh, Tuhan. Dia masih empatbelas dan kena kasus merokok? Bukankah itu masih terlalu muda? Aku usia empatbelas dulu saja masih suka main bongkar pasang.

Aku menghela napas panjang, memijit pelipis yang berdenyut nyeri, dan akan mengeluarkan jurus persuasif andalan untuk menego Ibu Tuti pasal skors ini, ketika ponselku tahu-tahu menjerit. Galang menoleh ke arahku—aku merasakan tatapan tajam mata cokelatnya. Kembali aku meminta izin kepada Ibu Tuti untuk mengangkat telepon, lalu keluar dari ruangan.

"Maaf, ya, Mbak Jen, apakah perusahaan asuransi Anda merupakan perusahaan penipuan? Saya kemarin habis dirawat inap, tapi saya sama sekali tidak bisa mengklaim biaya asuransinya! Apa-apaan ini? Perusahaan asuransi bodong! Penipuan! Jangan main-main sama saya, ya. Saya setiap bulan mengeluarkan uang limaratus ribu hanya untuk dimakan Mbak Jen dan pimpinan Mbak Jen? Jangan dikira saya orang tua, Mbak Jen bisa menipu saya seperti ini! Saya akan melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib bahwa saya telah ditipu habis-habisan. Akan saya unggah berita ini ke Jawa Pos biar orang-orang tahu, perusahaan Anda melakukan praktik penggelapan dana asuransi!"

Astaga! Apalagi ini? Aku gelagapan, mengecek caller id di layar ponsel. Ternyata salah satu klienku yang menderita penyakit diabetes.

"Maaf, Ibu. Bolehkah kita bicarakan ini nanti dulu?" Kukumpulkan stok kesabaran sebanyak mungkin agar aku tidak tersulut emosi. Marah kepada klien itu haram. Kejadian seperti ini—klien tidak mengerti prosedur pengklaiman dan menyalahkan pihak asuransi—sudah wajar terjadi. Aku tidak boleh ikutan marah atau semuanya akan kacau. "Saya akan mendatangi Ibu untuk meluruskan masalah ini. Kami—dengan tegas saya ucapkan—sama sekali bukan seperti yang Ibu tuduhkan. Tidak ada penipuan, terlebih lagi penggelapan dana—saya berani bersumpah atas pernyataan saya. Saya akan ke sana secepatnya, hanya saja, tolong jangan sekarang. Saya sedang di sekolah anak saya. Mohon pengertiannya."

"Saya habiskan dana duapuluh juta untuk perawatan saya di rumah sakit rekanan asuransi perusahaan Anda! Tapi, saya sama sekali tidak bisa mengklaim sepeser pun dari biaya rumah sakit saya! Buktikan omongan Anda! Jangan sekali-kali menipu saya! Anda mencari korban yang salah kalau Anda memiliki niat seperti itu!"

"Saya jelaskan sekali lagi, tidak ada penipuan sama sekali di perusahaan saya. Mungkin ini kesalahpahaman antara Ibu dengan pihak rumah sakit. Saya akan ke sana secepatnya, demi Tuhan. Saya akan bantu Ibu sampai tuntas. Sebentar lagi, Ibu. Saya sedang ada urusan dengan wali kelas anak saya."

"Saya pegang janjimu, Mbak Jen. Kalau Anda tidak ke sini secepatnya, jangan salahkan saya apabila saya melaporkan perusahaan Mbak Jen ke polisi! Selamat siang!"

Aku menghela napas lebih panjang lagi. Sepertinya apa yang diucapkan Malam ada benarnya. Aku kena kutukan jomblo deh kayaknya. Setahun tidak berhubungan intim dengan laki-laki agak-agaknya membawa sial pada diriku. Atau jangan-jangan, ini kesialan akibat ludah dari Mulut Hujan? Kampret. Perutku kembali melilit.

Aku memasuki ruang guru. Galang menatapku dengan mata setengah merem. Apa sih yang ada di pikiran anak itu? Dia diskors tenang saja, giliran aku mendapat telepon, anakku kelihatan sewot. Dia pikir aku mendapat telepon dari kekasihku seperti dirinya yang sering aku dengar? Giliranku yang memutar mata di hadapannya. Anak yang di mataku masih kecil itu mendengus, balik memutar-mutar rubik agar serempak warnanya.

"Maaf atas gangguannya, Ibu Tuti. Masalah pekerjaan." Aku memasukkan ponsel ke dalam tas. "Balik ke masalah Galang, tidak adakah keringanan sedikit saja untuk anak saya? Setidaknya, hukuman apa saja selain skors? Saya tidak bisa membayangkan anak saya terkurung di rumah selama dua hari, sementara teman-temannya melangsungkan kegiatan belajar mengajar. Maksud saya, ini kan baru pelanggaran pertama Galang di sekolahan ini. Errr... pelanggaran di bidang merokoknya." Aku buru-buru mengimbuhkan kalimat terakhir ketika kulihat mata di balik kacamata persegi itu melotot. Mengingat betapa banyak pelanggaran yang dilakukan Galang—salah satunya hampir tidak pernah ikut upacara, tidak memakai atribut seragam dengan lengkap, tidak membawa buku pelajaran— selama ini, ibu itu pasti tidak suka aku membela anak kesayanganku. "Saya mohon—"

Ponsel sialanku kembali memekik. Aku berniat mematikannya ketika layar itu mengedipkan nama Pak Galih. Jelas, ini tidak boleh aku abaikan atau nasibku berakhir nahas. Dengan segala hormat, aku meminta izin lagi. Kutekan tombol jawab, dan aku bersyukur Pak Galih tidak berada di hadapanku waktu menjertikan sederet kalimat begitu sambungan telepon aktif—bisa kaubayangkan berapa liter ludah yang akan mendarat di kulitku jika hal itu terjadi?

"KUGANTUNG KAU KALAU TIDAK SEGERA MENYELESAIKAN MASALAH INI!" Kalimat pertama dia menyemburku. "KANTOR MENDAPAT EMAIL YANG MENGATAKAN PERUSAHAAN DITUDING MENIPU DAN MENGGELAPKAN UANG! DARI KLIENMU! SUDAHKAH KAU MENGGUNAKAN BAHASA KOMUNIKASI YANG BENAR? JANGAN MEMBUAL SAAT PRESENTASI! HARAM HUKUMNYA BERKATA BUSUK SAAT PRESENTASI! CEPAT KE KANTOR ATAU KAU KELUAR SAAT INI JUGA!"

Sambungan telepon tertutup. Tamat riwayatku. Tamat. Aku tidak bisa diselamatkan kali ini. Ya, Tuhan, semalam aku makan apa, sih, sampai aku kena serentetan sial kayak sekarang? Apakah aku harus mandi kembang tujuh rupa dulu agar aku bisa selamat dari kutukan sial? Aku tidak boleh dipecat! Aku tidak boleh dipecat! Kalau aku dipecat, ya Tuhan, nasib mengenaskan yang didaraskan Malam bakal-bakal terjadi. Menganggur tanpa kekasih. Mengapa hidupku sepelik ini, sih? Kapan aku bisa keluar dari masalah ini? Aku menggeleng putus asa. Kukantongi ponsel dan—dengan wajah super lesu—memasuki ruangan Bu Tuti.

"Maaf, Bu, saya—"

"Enough. Im done. Mau diskors atau dikeluarkan sekalipun, bukan urusanku." Galang mendorong kursinya ke belakang, beranjak dari sana, menyenggol pundakku saat berpapasan, dan keluar begitu saja dari ruangan tanpa dosa.

Apa-apaan itu tadi? Dia anggap aku ini siapanya? Pembantu? Yang tidak dianggap sama sekali? Yang tidak dihiraukan kehadirannya sama sekali? Maksudnya apaan tadi? Mau diskors ataupun dikeluarin bukan urusannya? Sementara aku jungkir balik mencari sesen demi sesen hanya untuk dirinya? Mengais-ngais duit sampai merendahkan harga diriku di hadapan Pak Galih hanya untuk kebutuhan hidupnya? Dan sebagai ganjarannya dia bilang: mau diskors atau dikeluarkan sekalipun bukan urusanku? Ini tidak bisa dibiarkan.

Aku meminta maaf sebesar-besarnya kepada Ibu Tuti atas kelakuan anakku. Jelas, kalau seperti ini kasusnya, mau aku memohon di lutut wali kelas paruh baya itu agar Galang tidak diskors, akan sia-sia—sementara anakku saja tidak peduli sama sekali dengan hukumannya. Aku memburu anakku. Meraih sikunya, kemudian menariknya keluar.

Di dekat gerbang sekolah, Kribo dengan Dewi Persik yang sudah sembuh dari sakitnya, menanti kami dengan setia.

"Ikuti Mama, Galang! Nggak ada maaf untukmu kali ini!" Aku menyuruh Kribo duduk di jok penumpang, Galang di tengah, dan aku yang mengendarai motor—rokku jelas tidak memungkinkanku untuk duduk satu jok dengan Galang.

Sampai di rumah, aku menatap Galang dengan tajam. Aku adu sorot matanya tanpa cela. "Maksudnya apaan itu? Mau diskors atau dikeluarkan bukan urusanmu? Kamu pikir kamu siapa, Galang? Mama mati-matian mencari duit hanya untukmu, tapi ini yang kamu berikan pada Mama?"

Galang tidak meresponsku. Bibir tipisnya terlipat ke dalam.

"Dan kamu merokok? Kamu masih empatbelas demi Tuhan, dan kamu berani-beraninya merokok? Seperti ini kelakuanmu terhadap Mama? Kaukencingi Mama seperti Mama ini serupa jongosmu? Mama nggak pernah mengajarimu merokok! Tidak pernah! Apa ini yang kamu dapat dari grup band sialanmu? Ini yang kamu dapati dari keluyuran nggak ada gunanya dengan teman-teman berandalanmu? Merokok? Apa seperti ini—"

"Lalu apa urusannya dengan Mama?"

Aku berjengit mendengar tukasan Galang.

"Apa urusannya dengan Mama?"

Aku kehilangan napas saat Galang mengulangi pertanyaannya. Aku tidak pernah sedikit pun memiliki cita-cita dibentak seperti ini oleh anak yang aku kandung sembilan bulan. "SEMUA YANG KAMU LAKUKAN ADALAH URUSAN MAMA!" Aku menjerit kalap.

"MAMA TIDAK TAHU APA-APA TENTANGKU!" Galang balas berteriak di hadapanku.

"UNTUK MENGINGATKANMU, AKU IBUMU! SEMUA KELAKUANMU ITU URUSAN MAMA! MAMA NGGAK PERNAH MENGAJARIMU MEROKOK!"

"MAMA NGGAK PERNAH MENGAJARIKU, TAPI MAMA MEMBERIKU CONTOH!"

Aku terkesiap seketika.

"Mama selalu merokok di kamar mandi, kan? Iya, kan?"

Aku tidak bisa membantah ucapannya, karena apa yang diucapkan Galang... benar.

"Aku anakmu dan aku mencontoh apa pun yang kamu tunjukkan kepadaku."

Aku membeku.

"JANGAN PERNAH URUSI PRIBADIKU, MAMA! MAMA TIDAK TAHU APA-APA TENTANGKU!"

Untuk hardikan kali ini, dia salah besar. "Bagaimana Mama bisa tidak tahu apa-apa tentangmu, sementara Mama mengandungmu selama sembilan bulan! MAMA MENYUSUIMU DUA TAHUN! Kamu salah besar Galang. Kamu salah besar! Kamu anak Mama dan Mama akan selalu mencampuri urusanmu sampai Mama mati! Nggak ada yang bisa menggugat takdir itu!"

"AKU TIDAK MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIMMU HANYA UNTUK DITELANTARKAN, MAMA! PERNAHKAH MAMA PIKIR APA MAUKU? PERNAHKAH MAMA BERPIKIR APA YANG SAAT INI AKU INGINKAN? PERNAHKAH MAMA TAU KEENGGAKMAUANKU APAAN? KALAU MAMA NGGAK BISA BERTANGGUNG JAWAB, JANGAN PERNAH MELAHIRKAN ANAK!"

Tanganku terangkat seketika, melayang cekat ke arah pipinya. Namun, belum sempat daging ini bertemu pipi Galang, aku menghentikan laju tanganku. Napasku terengah-engah. Dadaku naik-turun dengan cepat. Di mataku, genangan air mulai memburami penglihatanku.

Jangan menangis, Jen.

Jangan menangis!

Kau dilarang menangis di hadapan anak-anakmu!

Kau haram menangis di hadapan mereka!

"Kenapa berhenti, Ma? Kenapa nggak diteruskan sekalian mukulnya?" Galang mencekal pergelangan tanganku, menepuk-nepukkannya di pipinya. "Pukul aku, Mah. Pukul aku. Ini kan yang Mama inginkan? Iya, bukan?"

Aku menggigit pipi bagian dalam kuat-kuat, agar air mata yang akan tumbang ini kembali melesap ke dasar mata. Kalimat terakhir yang diucapkan Galang begitu meremas dadaku tanpa ampun.

Aku tidak ingin dilahirkan dari rahimmu!

Aku tidak ingin dilahirkan dari rahimmu!

Aku tidak ingin dilahirkan dari rahimmu!

Aku tidak ingin dilahirkan dari rahimmu!

Bagaimana mungkin bayi yang aku banggakan mampu mengucapkan kalimat menyakitkan itu secara fasih? Bagaimana mungkin anak laki-laki yang aku gadang-gadang begitu lincah mengatakan hal sedemikian mengerikannya? Dadaku terasa panas. Banget. Aku memegang pinggiran kursi agar tubuhku tidak roboh. Kalimat Galang tak ubahnya cemeti yang memecut punggungku. Mengikat seluruh sendiku. Merajam perasaanku. Aku terluka. Dan aku tidak tahu bagaimana harus berdamai dengan luka yang sedemikian menganga secara tiba-tiba ini. Mendengar Galang meneriakkan kalimat itu di hadapanku, aku merasa bahwa... aku....

"Galang—" Ucapanku terhenti oleh suara dering ponsel. Saat aku mengecek siapa yang menelepon, nama Pak Galih kembali berpendar di layarnya. Oh, tidak, jangan sekarang. Aku tidak ingin mengangkat telepon ini, aku masih ada urusan dengan Galang.

"Urus saja pekerjaan Mama. Nanti, kalau aku bikin ulah, Mama akan datang untuk menyalahkanku. Mama nggak pernah menemaniku, tahu-tahu menuding semua ulahku. Seperti itu kan yang bisa Mama lakukan selama ini?"

"Galang, Mama...." Ponselku masih terus bergetar. Nama Pak Galih berkedip-kedip. Kalau aku tidak segera mengangkatnya, nasibku di perusahaan benar-benar tamat. Aku tidak mau dipecat, demi apa pun yang ada di dunia ini. Kalau aku dipecat, seluruh keluargaku akan mati.

"Anggap aja aku nggak ada, Ma. Anggap aja aku mati. Lagian, selama ini kan Mama nggak pernah menganggapku ada. Melahirkanku, membesarkanku, kemudian menelantarkanku begitu saja. Aku ini apa sih, Ma, buatmu? Manekin bego yang nggak punya perasaan? Patung tolol yang nggak punya hati?"

Aku menggeleng berkali-kali. Kenapa Galangku menjadi seperti ini? Apa yang telah aku lakukan terhadapanya, Tuhan? Nama Pak Galih masih terus menyala di layar ponselku. Aku benar-benar menggantung leher sendiri kalau aku sampai nekat memutus teleponnya. Kalau masalah tadi pagi saja aku bisa dilumatnya tanpa ampun, bagaimana jika aku dengan sembrono tidak mengangkat teleponnya untuk kasus penipuan dan penggelapan dana asuransi? Aku dipastikan mengucapkan selamat tinggal sebelum bulan depan.

"Maafkan Mama, Galang." Maka dari itu, dengan berat hati, setelah menelan bulat-bulat air liur, aku menjawab telepon Pak Galih, bersamaan dengan suara Galang yang terus meledak-ledak.

"Pernahkah terpikirkan oleh Mama, kenapa aku berbuat seperti ini?"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Galang. Aku menutup speaker ponsel agar Pak Galih tidak mendengar kalimat-kalimat Galang. Pikiranku bener-bener ruwet. Kacau.

"Untuk mengetahui kenapa aku merokok di gudang sekolah, mungkin Mama bisa menanyakan pada diri Mama, apa yang menyebabkan Mama merokok di kamar mandi." Anakku membalik tubuh, masuk ke dalam kamar, dan membanting pintu tepat di hadapanku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro