Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih untuk mbak mbak cerewet c2_anin atas semua informasinyaaaa...:*

.

.

.

.

Aku harus menekan sedemikian hebat emosiku agar aku bisa melanjutkan pekerjaan. Tapi sungguh, bekerja dengan perasaan sesakit ini bukan hal yang gampang. Tubuhku di samping klien, tapi pikiranku melayang entah ke mana. Selama klienku mendaraskan apa saja keluhannya, kendala yang dia hadapi selama proses pengajuan klaim asuransi, sampai ide tidak masuk akal tentang penipuan dan penggelapan dana itu tercetus, yang bisa aku lakukan hanya duduk mematung. Memberi sedikit respons dengan anggukan, senyum ala kadar, menambahkan komentar "iya" dan "tidak". Selebihnya, aku masih melayang-layang di daerah Kertajaya. Di gang 4B. Di rumah nomor 23A. Kontrakanku. Di kamar Galang.

Aku tidak pernah berpikir bahwa anakku akan mengeluarkan amukan sedemikian lantang. Tentang protesnya terhadap kerjaku. Karena selama ini, yang ada di dalam perkiraanku, hubunganku dengan kedua anakku, terlebih Galang, oke. Tidak ada masalah. Hanya kami yang kekurangan waktu untuk bercengkerama. Setidaknya, itu yang ada di dalam benakku sampai satu jam yang lalu.

Ketika Galang mengemukakan pendapat yang selama ini tidak pernah aku dengar dari mulutnya, entah kenapa aku sepertinya harus meninjau ulang hubunganku dengan Galang dan Kin. Apa saja yang telah aku lewatkan dan aku abaikan. Apa saja yang luput dari pengamatanku—selain merokok yang Galang lakukan. Atau—aku menelan ludah untuk satu informasi yang melintas di ingatanku secara tiba-tiba—jangan-jangan, aku telah melewatkan semuanya.

Jangan-jangan, Galang tidak hanya merokok di luaran sana. Namun, lebih jauh dari itu, keterlibatan dengan anak-anak geng, narkoba, pesta miras, free sex, lalu punya kekasih yang hamil akibat ulah—

Aku memekik tanpa sadar. Kutekan dadaku yang berdebar-debar kencang. Napasku satu-satu, dan perutku seakan diputar-putar lagi.

Jujur saja, aku sakit hati. Aku patah hati. Tapi, sialnya, lebih parah lagi, aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Atau melakukannya seperti apa. Karena ketika aku duduk di samping klien sekarang, dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh Galang, aku menyadari satu fakta bahwa..., aku telah membuat jurang di antara Galang dan kin.

Pertanyaan Galang berdengung di kepalaku dan aku dengan perasaan teramat sakit hati, menyadari bahwa aku tidak tahu keinginan Galang apa. Aku juga tidak tahu keenggakmauan Galang. Tapi, sebagai pelajar, bukankah tugas utamanya belajar? Memang apa lagi? Aku pun sudah memberinya waktu untuk berkumpul dengan para teman berandalnya. Aku mengizinkannya bermain band yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Bahkan, demi mewujudkan keinginannya, di ulang tahunnya yang ke duabelas, aku menghadiahinya gitar klasik. Itu sudah cukup, kan? Dia menginginkan apa lagi yang tidak aku ketahui?

Kalau urusan waktu, aku jelas tidak bisa—entah kenapa tiba-tiba aku mengusulkan 'waktu' menjadi daftar keinginan Galang yang tidak aku ketahui. Aku bekerja mati-matian untuk dia dan Kin. Aku tidak mungkin bisa mendapat uang dengan menganggur di rumah.

Galang dan Kin masuk sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi biaya dari pemerintah. Seluruh biaya ditanggung wali murid. Dari uang gedung, biaya SPP, biaya ekstrakurikuler, biayar les, biaya seragam, buku-buku paket, buku-buku penunjang lainnya. Aku beri tahu kamu satu hal, semua biaya itu tidaklah murah. Aku harus merogoh kocek paling tidak sekitar dua juta perbulan untuk masing-masing anakku. Sementara berapa sih gajiku di perusahaan asuransi? Kalau aku bisa menjual asuransi sesuai target, aku mendapat komisi. Kalau tidak—seperti kasusku selama sebulan kemarin—yang aku dapat hanya gaji pokok. Tidak ada pemasukan lainnya.

Astaga, aku benar-benar buruk. Aku benar-benar kacau. Andai saja—tidak... tidak... tidak.... Jangan berandai-andai, Jen. Jangan berandai-andai. Itu haram. Kamu memilih jalan ini, dan kamu dilarang keras untuk berandai-andai. Sekarang buka matamu, dan jalanilah.

Buka matamu... dan jalanilah.

"Sebenarnya apa, sih, pekerjaan Anda? Saya mengundang Anda ke sini tidak untuk bengong. Saya sudah membayar duapuluh juta dan perusahaan Anda tidak bisa mengeluarkan klaim saya barang satu peser pun. Sementara Anda di sini hanya melamun? Kesabaran saya juga ada batasnya, Mbak Jen."

Aku mendesah. Mengusap muka frustrasi. "Maafkan saya, Ibu Sonya." Klienku, yang menderita diabetes itu, mendengus keras sekali. "Sejujurnya, saya hari ini sangat kacau. Saya sama sekali tidak berniat melamun. Hanya saja, masalah anak sulung saya, tidak bisa saya enyahkan begitu saja."

Ibu senja berusia enampuluhan itu memutar bola mata. Aku sudah bersiap menerima makian dalam bentuk apa pun darinya. Kau tahu, dimarah-marahin klien itu hal yang lumrah dalam pekerjaanku. Aku sudah terlalu kenyang untuk mengonsumsinya. Jadi, yang aku lakukan selama klienku mencerocos, hanya diam dan berpura-pura mendengarkan.

"Anak sulung Anda kedapatan mencuri?"

Cuping kupingku langsung menegak seketika mendengar ucapannya. Aku tidak pernah mengajari anakku mencuri, demi apa pun. Bagaimana bisa wanita yang lebih tua dari aku ini berspekulasi sedemikian kejamnya? Karena masih dalam lingkup pekerjaan, dan aku tidak ingin semakin menambah masalah dengan mendebatnya, aku hanya menggeleng.

"Saya tidak pernah mengajarkan anak saya mencuri," tuturku lugas, lantang, dan tak terbantah.

"Anak Anda kedapatan tawuran dengan sekolah lain?"

Perutku anjlok ke dasar bumi. Galang tidak pernah tawuran, tapi entah bagaimana, pikiranku tanpa aku suruh, sudah membayangkan Galang bersama gengnya berkeliaran di jalan raya. Membawa pentungan, sedangkan di hadapannya, segerombolan siswa SMA dari sekolah lain menghadang membawa celurit, gir motor, rantai motor, belati. Mereka menyerukan kalimat-kalimat kasar, tudingan-tudingan tidak masuk akal, lalu bentrok.

"TIDAK!" Aku praktis memekik tak terkendali. Bayangan itu sungguh tidak bisa dimaafkan sama akal sehatku. Aku bisa kena stroke ringan kalau pikiranku terus-terusan dijejali dengan kenakalan-kenakalan anak remaja. "Semoga tidak, Ibu Sonya. Itu sungguh—" Aku mencari padanan kata selain kosakata: pemikiran biadab. "Itu sungguh... pemikiran yang mengerikan." Aku menggeleng di hadapannya.

"Well, saya rasa Mbak Jen, masalah dengan anak sulung Anda tidak sekritis saat saya berada di usia Anda."

Aku menyipitkan mata.

"Biar saya tebak. Anak Anda suka bolos sekolah?"

Bagaimana dia tahu? Apa paparan kalimat 'Galang suka bolos sekolah' tertulis di jidatku? Dengan berat hati, aku mengiakan.

"Anak Anda sering tidak mengikuti upacara?"

Hei, Ibu Sonya bisa membaca pikiranku? Aku mengangguk lagi.

"Anak Anda mengabaikan sekolah, dan berpikir bahwa dunianya yang lebih penting untuknya saat ini? Dan Mbak Jen, sebagai orang tua, tidak pernah diberi dan memberi kesempatan untuk mengerti dunianya? Untuk paham apa maunya? Semua petuah Mbak Jen tidak ada yang dia tanggapi sama dia? Dan dia—bolehkah saya bilang—sedang berada di masa-masa puncak hormon remaja?"

Entah bagaimana caranya—mengabaikan gaya bicaranya beberapa jam hingga lima menit yang lalu yang begitu menyakiti hatiku—aku menyukai wanita tua ini. Dia memiliki wawasan luas. Dan—tidak seperti yang dikatakan Malam—wanita enampuluh ini keren dengan caranya sendiri. Kemeja batik ungunya sangat kontras di kulit bersihnya. Wajahnya—meskipun dipenuhi dengan kerutan-kerutan—terlihat masih cantik. Dia memakai kacamata yang cocok untuk mata sipitnya. Rambutnya pendek dan disisir dengan rapi. Dari tempat dudukku, aku mencium parfum segar yang menguar dari tubuhnya. Jelas, aku akan merekomendasikan Ibu Sonya kepada Malam jika dia mencari wanita-wanita sepuh untuk diajak peragaan busana khusus orang-orang tua—Malam merupakan modelling freelance yang wajahnya sering nampang di majalan-majalah Ibu Kota.

"Ibu Sonya benar sekali."

"Anakmu memang nakal, kalau begitu, Mbak Jen—"

"Ah—Ibu Sonya cukup memanggil saya Jen saja."

Dia terkesiap barang sesaat. Matanya menatapku dengan lembut. Setelah itu, Ibu Sonya tersenyum yang langsung mengingatkanku pada Mami di Bali.

"Jen." Ia menangguk. Menaikkan ke dua alisnya. "Anakmu memang nakal, tapi masih di area wajar."

"Meskipun dia kedapatan merokok di area sekolahnya?"

"Meskipun dia kedapatan merokok di area sekolahnya. Iya. Masih bisa ditangani."

Aku antusias dengan topik obrolan ini. Kugeser pantat untuk semakin mendekatinya.

"Saat anakku berusia tigabelas tahun, aku dipanggil ke kantor polisi karena anakku kedapatan mencolong uang teman sekolahnya."

Aku menyukai perubahannya menyebut diri sendiri dengan "aku", itu membuatku merasa semakin dekat dengan Ibu Sonya.

"Saat anakku berusia tigabelas lebih delapan bulan, lagi-lagi aku dipanggil pihak berwajib karena anakku tawuran dengan teman sekelasnya."

Aku menahan napas.

"Saat itu, ia kukerasi sedemikian rupa. Untuk menunjukkan eksistensiku sebagai ibu dan kepala rumah tangga. Pada akhirnya, dia memang menurut omonganku. Dan aku berpikir, caraku menanganinya tepat sasaran. Tapi pada saat usianya menginjak enambelas tahun, dia mengatakan kepadaku bahwa dia mau berhenti sekolah."

Mulutku terbuka spontan. Namun, karena aku tidak tahu harus merespons seperti apa, aku kembali mengatupkannya. Dua tahun lagi Galang akan menginjak usia enambelas. Dan apa pun yang menimpa anak Ibu Sonya, tidak akan aku biarkan terjadi pada anakku.

"Dan berkata dengan suara lantang seperti ini—sampai kapan pun, hari di mana dia mengucapkan kalimat yang seakan membuat hidupku hancur, tidak akan pernah aku lupakan—'Mah, aku menghamili kekasihku. Izinkan aku keluar sekolah untuk mengawininya.'"

Aku terperanjat. Lembaran-lembaran form klaim asuransi dari Bu Sonya yang ada di pangkuanku tercecer di lantai. Aku buru-buru memungutnya. Kemudian kembali menegakkan tubuh untuk mendengarkan ceritanya lebih lanjut.

"Apa yang anak Anda—maaf, siapakah nama anak Anda?"

Belum sempat aku mendengar jawaban dari Ibu Sonya, ponselku berdering lantang. Aku meminta maaf kepada klienku, mengecek siapa yang menelepon—ternyata Mulut Hujan. Masalah segera datang. Pikirku. Waktu aku menempelkan ponsel di kuping, Mulut Hujan langsung menghujaniku dengan ceramahannya.

"AKU MENUNGGUMU SATU JAM LAGI, JEN! SATU JAM KAU TAK DATANG KE KANTOR, AKU TIDAK MAIN-MAIN AKAN MEMECATMU HARI INI! JANGAN PERNAH BERMAIN-MAIN DENGANKU SAAT ADA LAPORAN PERUSAHAAN MELAKUKAN PENGGELAPAN DANA DAN PENIPUAN DARI KLIENMU! TUNJUKKAN PADAKU BAHWA KAU TAK MENGANDALKAN TUBUHMU UNTUK KERJA DI TEMPAT INI. TUNJUKKAN BAHWA JANDA SEPERTIMU PUN MASIH PUNYA OTAK UNTUK BERPIKIR APA YANG SEHARUSNYA KAMU LAKUKAN UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH INI!"

Aku tidak sempat menjawab serentetan kalimat-kalimat pedas itu. Mulut Hujan menyudahi teleponnya. Tunjukkan bahwa janda sepertimu pun masih punya otak! Maksudnya apaan coba? Aku tidak akan bisa menjabat marketing direct asuransi investasi selama sebelas tahun kalau hanya mengandalkan tubuh. Maksudku, aku memang janda. Tapi jangan dikira ibu dua anak sepertiku tidak memiliki otak untuk berpikir. Itu sungguh pelecehan. Dan entah, sudah berapa ribuan pelecehan yang aku terima dari Pak Galih, aku masih tetap bertahan sampai sekarang. Ini semua demi—

Tidak, Jen. Tidak! Jangan biarkan dirimu berada di zona menyalahkan diri sendiri terlalu sering. Ini akan menyakitimu, kau tahu. Ini akan menyakitimu.

"Ibu Sonya, maaf... maaf... maaf banget, saya sungguh tertarik dengan obrolan kita—dan jelas, saya sangat membutuhkan referensi cara menangani anak seperti Galang dari Anda. Tapi sungguh, sekarang bukan yang tepat. Atasan saya sudah meminta saya untuk segera mengelarkan proses klaim rumah sakit Anda."

"Oh, Jen, aku minta maaf sekali karena telah membuat laporan tuduhan asal itu kepadamu. Aku merepotkanmu. Aku sungguh-sungguh menyesal."

"Sama sekali tidak, Bu Sonya. Ini sudah merupakan tanggung jawab saya. Saya—berkat teguran dari Bu Sonya—jadi tahu harus meninjau ulang komunikasi presentasi saya kepada klien. Saya yang berterima kasih."

Setelah berpamitan dengan membawa form klaim asuransi dan struk bukti pembayaran Ibu Sonya, aku langsung melesat ke arah rumah sakit kawanan di daerah Dukuh Kupang. Kalau menilik dari aku berada sekarang, paling tidak, aku membutuhkan waktu duapuluh menit untuk sampai di sana.

Begitu sampai di rumah sakit, aku langsung ke kantor rawat inap tempat Ibu Sonya mengamar. Yang mana, letaknya berada di lantai tiga. Aku mendesah ngilu. Melangkahkan kaki ke tempat tujuan. Beruntung, lift tidak dalam keadaan penuh. Sampai di kamar inap, aku meminta izin untuk meminjam rekam medik guna proses pengklaiman asuransi kepada beberapa perawat yang jaga. Berita baiknya, dokumen yang aku cari sudah disetor ke kantor rekam medik. Aku—berkat izin dari para perawat—harus ke kantor rekam medik di lantai satu. Aku memutar bola mata.

Setelah mendapatkan dokumen yang aku cari, aku lagi-lagi harus mengurut dada ketika di dokumen itu tidak ada bukti cetak laboratorium Bu Sonya, sementara di setruk yang aku bawa, jelas-jelas Bu Sonya melakukan tes darah sebanyak dua kali. Aku harus memanuver langkah kakiku ke kantor laboratorium—yang mana letaknya di dekat IGD bagian sayap kanan bangungan, sementara posisiku di sayap kiri bangunan. Meminta dengan sopan—mengingat aku sering melakukan hal ini untuk proses pengklaiman, sehingga kenal dengan beberapa analisnya—cetakan laborat klienku. Sesudah itu, aku menghitung jumlah nominal obat yang ada di setruk pembayaran dengan nota obat aslinya. Lagi-lagi, hari ini agak-agaknya aku memang sedang sial, karena jumlah nominal yang ada di setruk pembayaran dengan nota obatnya tidak sesuai. Masih ada selisih 530ribu. Aku menghitungnya sampai tiga kali, namun tetap saja hitunganku selisih setengah juta.

Aku menderapkan langkah ke apotek. Meminta nota obat pada tanggal sekian yang tidak ada notanya. Ketika aku merasa keabsahan dokumenku sudah lengkap—aku benar-benar bersyukur karena Ibu Sonya sudah mendapatkan catatan dan tanda tangan dokter saat dia datang ke sini tadi pagi—aku melupakan stempel rumah sakit yang wajib ada di dokumen-dokumenku. Terpaksa, aku menggegas kakiku yang luar biasa pegal ke kantor sekretariat—lantai dua, kau tahu kan maksudku: kiamat kecil-kecilan menimpaku.

Aku balik ke kantor hampir pukul tujum malam. Kemacetan di depan mal Delta tidak bisa aku hindari. Aku sudah pasrah kali ini. Kalaupun nanti Pak Galih hendak memecatku, setelah aku sudah melakukan tugasku secara maksimal, aku rela. Aku tidak mempunyai apa-apa untuk membela diri. Akan tetapi, di luar dugaanku, di balik sekelumit kesialanku pada hari Senin ini, Pak Galih tidak menyambut kehadiranku dengan amukan. Ibu Sonya sudah meminta maaf kepadanya karena telah kemakan emosi saat menuduh kami melakukan penggelapan dana—padahal yang dilakukannya tidak melengkapi dokumen sebagaimana seharusnya, sehingga aku yang bolak-balik di rumah sakit. Aku, dengan cara yang unik, tersenyum lepas di penghujung hari.

Meletakkan kepala di atas meja.

Aku ingin istirahat. Ujarku pada diri sendiri.

Aku ingin istirahat.

Aku ingin istirahat.

Ponselku berdering. Tidak. Jangan kali ini. Please. Aku mohon. Aku benar-benar capai.

Ponselku masih berdering. Aku mohon. Aku hanya kepengin istirahat. Aku mohon.

Dan... setelah terdiam cukup lama, ponselku kembali berdering. Aku mengangkat kepala. Melihat caller ID yang terpampang di layar ponsel.

Mami is calling....

Telepon kanjeng Mami jelas haram hukumnya untuk di tolak.

Aku menegakkan tubuh, merapikan blus yang kupakai, kemudian memaksakan seulas senyum meskipun Mami tidak mampu melihat senyumku.

"Mi...."

"Kalian baik-baik saja di sana?"

Mendengar kelembutan di dalam suaranya, mendengar ketenangan yang merambati ponselku, mendengar bagaimana Mami begitu memedulikanku, aku terenyuh. Dadaku kembali penuh sesak dengan berbagai masalah yang menghimpitku. Terutama tentang Galang. Dan itu cukup untuk mendesak gumpalan-gumpalan air mata menggerayangi kelopaku. Aku menengadah.

Aku tidak boleh menangis!

Tidak, Jen!

Kau tidak boleh menangis!

Kau telah berjanji pada dirimu sendiri, kau tidak bakal menangisi apa pun yang terjadi di dalam kehidupanmu di depan siapa pun!

Di depan siapa pun!

Aku menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan-lahan. "Aku baik, Mi." Aku patut mendapat penghargaan atas perubahan emosiku secepat ini. "Mami gimana kabar? Semua baik-baik saja di Bali? Oh, iya, aku minta resep bolu kukus buatan Mami, dong. Kin nafsu makannya menurun tadi pagi. Dan itu bukan berita baik. Aku ingin membangkitkan kembali nafsu makannya dengan bolu kukus resep spesial dari omanya. Nggak ada yang bisa menolak bolu kukusmu, Mi."

Dan aku berpikir, dengan bersenda gurau dengan ibuku, hariku kembali normal. Setidaknya begitulah pikiranku. Tetapi, setelah aku menyelesaikan laporanku pukul sepuluh malam, dan pulang dengan ditemani Kribo, aku menyadari bahwa, aku telah membiarkan masalah yang lebih besar dari pekerjaanku, untuk menjauhkanku dari kata normal.

Aku menemukan tubuh menggemaskan Kin sedang bergelung nyaman di balik selimut tebalnya. Ada luka lebam di janggut Kin. Kenapa anakku? Aku mengusapnya. Kin melenguh kecil, menggeliatkan tubuh, mengubah posisinya. Dan aku mengira bahwa mungkin itu hanya benturan yang akan aku permasalahkan esok hari, ketika gadis kecilku kembali mendengkur halus dengan tenang.

Segala penat yang melandaku seperti terulur melihat bagaimana tingkah polah buah hatiku. Ada kehangatan dalam dada, ada sayang yang membengkak, ada cinta yang tidak pernah bisa aku tukar. Aku mengecup kening Kin, membenarkan letak selimutnya, mematikan lampu belajar di meja samping tempat tidurnya.

Kamar Galang mencirikan anak remaja cowok pada umumnya. Gitar terletak sembarangan di lantai dekat kaus kaki dan sepatu. Bola basket tertimbun seragam Galang yang hari ini ia kenakan. Bungkus-bungkus makanan kecil berserakan campur singlet serta celana dalam. Buku-buku tercecer di lantai. Sementara anak sulungku tidur dengan posisi tidak keruan di atas tempat tidurnya. Aku mendekatinya perlahan. Mengusap wajah tampannya yang terlihat lelah. Mencium keningnya yang berkeringat. Pada saat itu, kembali ucapan-ucapan Galang tadi siang terngiang-ngiang di kepalaku. Bersusulan dengan suara Mami di seberang telepon. Yang semuanya bersatu padu menusukku dalam-dalam.

"Demi Tuhan, Mama tidak pernah memiliki niat untuk menelantarkanmu, Galang. Mama mati-matian memperjuangkanmu dan adikmu. Mama hanya menginginkan yang terbaik untuk kalian. Mama hanya nggak ingin kalian bernasib seperti Mama. Nggak enak, Sayang. Nggak enak." Kusap lagi kening Galang. Lalu aku mencium keningnya penuh sayang, dan pergi dari sana.

Dengan keadaan otak yang seakan hendak meledak di kepalaku, aku memasukkan diri ke toilet. Menyalakan shower di atas kepalaku. Membiarku tubuhku basah oleh air dingin yang menggigit tulang. Merunduk di sana. Menekuk lutut untuk melindungi diriku sendiri, kemudian, secara perlahan-lahan, seperti yang sudah-sudah, aku menangis, sesenggukan, seorang diri, dengan tubuh yang bergetar hebat.

Aku ingin menyerah, sungguh. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa.

Kalimat-kalimat Mami di telepon menyundul-nyundul kupingku. Semakin membuatku ingin menjerit keras-keras.

"Kapan kamu mau membuka dirimu dan segera menikah, Jen? Anak-anakmu sudah besar. Mereka membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi pertumbuhkembangan mereka. Kamu nggak bisa membiarkan Kin dan Galang tubuh tanpa pengawasan dua orang tua utuh. Kamu harus menikah, Jen. Untuk Kin. Untuk Galang."

Aku masih terus menangis. Membekap mulut kuat-kuat agar, baik Galang maupun Kin, tidak mendengar suara isakanku. Tubuhku bergetar. Hebat. Air mataku hambur tanpa bisa aku tahan. Segala kekecewaanku, segala sakit hatiku, segala kesedihanku, seolah bercampur jadi satu. Menggores luka yang sama di tempat yang sama. Menginjak diriku di luka yang sama di tempat yang sama. Aku ingin berteriak kepada dunia bahwa aku pun tidak ingin menjadi seperti ini. Janda. Kau tahu kan stigma negatif masyarakat yang harus ditelan bulat-bulat oleh seorang janda? Tapi aku bisa apa, selain bertahan, iya kan? Aku harus bertahan, dan berjuang, meskipun aku dimaki-maki, dihina-hina, dilecehkan. Demi apa?

Kalau bukan demi Galang maupun Kin.

Kalau bukan untuk masa depan mereka.

Kalau bukan untuk kesuksesan mereka.

Lalu, apakah dengan menyuruhku nikah lagi semua masalah akan berakhir? Akan selesai?

Aku tersenyum miris.

Tertawa sambil menangis.

Tidak segampang itu.

Masalahku tidak akan hilang hanya dengan menyuruhku menikah.

Karena mungkin apabila aku menikah lagi...

... rasa sakit hati lain yang tidak pernah dilihat orang akan menguntitku.

Ketika aku berpikir tubuhku sudah tidak mampu menolerir suhu air dari shower, aku mengentaskan diri, berjalan mendekati kotak obat untuk mengambil sebungkus rokok yang aku sembunyikan di sana. Menyulut sebatang, dan membiarkan asap menyesakkan itu memenuhi rongga dada dan pikiranku. Merasakan bagaimana lintingan tembakau itu mampu meredam sedikit camuk angan yang bergulung-gulung di kepalaku seperti permen kapas. Membiarkan diriku menjadi diri sendiri untuk sesaat. Mencoba untuk melepaskan segala kepenatan dan keperihan yang meremas dadaku.

Di detik itulah, titik aku merasa berada di putaran takdir paling bawah, kalimat Galang tadi siang kembali terbersit di kupingku. Aku tersenyum miris mengingatnya.

"Untuk mengetahui kenapa aku merokok di gudang sekolah, mungkin Mama bisa menanyakan pada diri Mama, apa yang menyebabkan Mama merokok di kamar mandi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro