Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku hari ini nggak masuk sekolah, Ma."

Gerakan tanganku menciduk nasi untuk Galang terhenti. Tubuhku menegak. Kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Dari pintu kamar Kin, gadis menggemaskan itu cemberut. Bibir merahnya mencebik. Wajah tembamnya tampak murung. Ia menggeleng, membuat poninya bergoyang-goyang.

Aku mengernyit, menuang nasi di centong ke piring Galang, lalu menanggapi ucapannya. "Kamu sakit, Nak? Kenapa nggak sekolah? Jangan bercanda sama Mama. Pikiran Mama lagi kacau, Mama nggak mau kamu tambahi dengan hal-hal lain."

"Mah...."

"Cepat mandi, Kin. Kenakan seragam, lalu makan bareng Mas. Mama nggak mau mendengar kamu bolos." Aku berjalan ke sisi meja makan yang lain. Mengambil sepiring mi goreng kesukaan Galang, lalu menambahkannya di atas nasi anak laki-lakiku. "Kin—"

"Mah, aku nggak mau berangkat sekolah hari ini. Titik."

Bunyi pintu terbanting terdengar kupingku. Aku memejamkan mata. Kenapa lagi ini? Kin selalu berkelakuan menyenangkan hatiku. Kenapa sekarang dia mogok sekolah? Padahal ini bukan hari libur. Jelas, aku tidak akan mengabulkan keinginannya.

"Galang, habiskan makananmu, buruan berangkat sekolah, Mama mau ke kamar Kin."

Galang tidak menyahut. Dari ujung mata, aku melihat bocah itu hanya memutar-mutar rubiknya, tanpa sedikit pun memiliki keinginan untuk menyantap masakanku.

"Galang... habiskan makananmu, dan segera berangkat sekolah. Mama nggak ingin mendengar kabar dari Ibu Tuti kamu bolos lagi."

Anakku tetap tidak mau menyahut. Melirikku saja, tidak. Apa sih yang ada di pikirannya? Kenapa dia selalu ogah-ogahan seperti ini? Dulu, seingatku, sekolah adalah hal yang paling aku sukai. Tapi kenapa kedua anakku malas sekali berangkat sekolah? Mereka pikir, biaya sekolah mereka murah apa? Gratis? Aku harus berdarah-darah dulu untuk melunasi tunggangan biaya mereka. Tapi anakku sendiri, malah menyepelekan pendidikannya. Aku menggeleng. Lagi-lagi aku mengurut dada agar tidak termakan emosi. Ini masih pagi, demi Tuhan. Dan aku tidak akan memulai hariku dengan cek-cok kecil melawan anakku.

"Galang...." Langkahku mendekatinya terhenti saat aku melihat tas gitar bersandar tak jauh dari tempat Galang duduk. Aku memutar bola mata. "Kamu mau bawa gitar ke sekolah?" Aku tidak pernah menyukai anakku terlalu bergaul dengan teman-teman bandnya. Mereka itu berandalan. Tidak punya sopan-santun, dan membawa pengaruh buruk terhadap Galang. Lihat saja apa yang terjadi pada bayiku. Galang jadi suka menentang dan membentakku. Aku yakin sekali, teman-teman Galang turut andil mengubah peringai cowok gondrong itu—kan, aku bilang apa, gara-gara band sialan itu, anakku memiliki syle rambut yang tidak banget; gondrong, jarang dicuci lagi. "Nggak ada gitar ke sekolah." Aku mengambil tas gitar hitam itu.

"Mah...."

Nah, urusan ginian dia baru meresponsku. Sedari tadi ngapain? Aku bicara sampai berbusa, tidak dia tanggapi sekalipun.

"Mama bilang nggak ada gitar ke sekolah."

"Mama nggak bisa melakukannya."

"Oh, ya, kamu pikir, Mama kenapa sampai nggak bisa melarangmu membawa gitar ke sekolah?"

"Kembalikan gitar itu padaku, Ma."

"Lalu membiarkanmu membolos kembali seperti yang sudah-sudah? Membiarkanmu bergaul dengan para begadulan itu? Nggak, Nak. Mama nggak akan membiarkannya."

"Mereka teman-temanku, Ma! Mereka baik padaku! Mama nggak tahu apa-apa tentang mereka, jangan seenaknya menghakimi mereka secara sepihak seperti ini!" Mata cokelat itu menantangku. Dia berdiri dengan rahang yang mengeras—mengabaikan sarapan yang aku buat entah untuk yang ke berapa kali. "Kembalikan gitarku!"

"Yah, baik untuk membuatmu ikut berandalan? Membuatmu berkelakuan buruk? Menentang dan membentak Mama? Seperti itu yang kamu bilang baik? Nggak ada gitar!" Aku memeluk defensif apa yang menjadi prioritas anakku. "Nggak setelah kamu diskors dua hari karena kedapatan merokok. Segala aktivias musik kamu, Mama larang!"

"Mama nggak bisa melakukan itu padaku!"

"Oh, kah? Mama bisa melakukan semua yang kamu pikir Mama nggak bisa melakukannya!" Aku menuding tepat di bola matanya. Kurapatkan gigi untuk menunjukkan bahwa ucapanku tidak bisa diganggu gugat. Aku sudah sangat frustrasi sekali melihat kelakuannya. Minggu kemarin merupakan minggu terburuk bagiku. Dan, aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku tidak akan membiarkan anak sulungku mendapatkan apa yang dia mau. Sudah cukup aku memanjakannya. Dia harus dewasa. Dan untuk itu, aku harus tegas terhadapnya.

"Kembalikan gitarku, Mah. Aku akan mengikuti festival musik tingkat Jawa Timur. Dan aku nggak ingin Mama menghambat cita-citaku!"

"Cita-cita, hah?" Aku mendengus keras. "Semua musik yang kamu lakukan itu sia-sia! Hal yang nggak ada manfaatnya nggak patut dijadikan cita-cita! Nggak ada gitar, Galang! Nggak ada gitar di sekolah. Mama sangat kecewa mendapati kamu merokok minggu lalu, dan Mama bersumpah, Mama nggak akan membiarkan itu terjadi lagi. Nggak ada gitar. Nggak ada gitar!"

Galang meninju meja makan dengan keras, membuat piring-piring yang ada di sana berdentingan. Aku terpejam erat. Menahan kuaran emosi yang menggerayangi anakku agar tidak menyulut emosiku.

"Kenapa aku berpikir, lebih baik aku nggak pernah ada di muka bumi ini aja, ya? Daripada punya ibu arogan seperti Mama." Anak laki-laki empatbelas itu melengos, mengambil rubiknya, menyahut ranselnya, lalu enyah dari hadapanku.

Aku menggigit bibir agar air mataku tidak tumpah. Kalimat itu. Kata-kata yang diucapkan Galang, sungguh menusukku tanpa ampun. Menekan perutku sedemikian rupa. Mengiris perasaanku begitu dalam. Membuatku merasa... benar-benar berantakan.

Membuatku merasa... aku adalah ibu yang gagal membesarkan anak.

Kuletakkan gitar di tempat asalnya. Kutekan dadaku yang terasa ngilu akibat ucapan Galang. Aku kasih tahu kamu satu hal, mendengar buah hati yang kamu perjuangkan nasibnya—hingga membuatmu mengemis-ngemis bahkan merendahkan diri di hadapan orang lain—mengatakan kalimat: 'Aku tidak ingin dilahirkan dari rahim Mama' adalah kesakitan yang tidak akan pernah ada obatnya. Itu sangat menyakitkan, dan aku tidak pernah tahu bisa sembuhkah luka yang sedemikian menusuk ini?

Aku menelan ludah. Mengembuskan napas besar sebelum kulangkahkan kaki ke kamar Kin.

"Kin, Sayang." Aku membuka pintu kamar Kin. "Kamu kenapa nggak mau sekolah, Nak? Ada masalah?" Aku benar-benar pantas mendapat penghargaan di bidang "Menekan Emosi". Baru semenit lalu aku marah sama Galang, satu detik yang silam aku ingin menggerungkan tangis, sekarang aku bisa seceria biasanya. Tentu saja, hal ini aku pelajari dari Mami. Satu kalimat Mami yang membekas sejak aku memutuskan bercerai dengan mantan sialanku adalah: anak-anak tidak perlu tahu ibunya menangis. Yang dilakukan seorang ibu hanya tersenyum dan ceria. Menjadi ibu harus pandai menekan emosi.

Dan sampai saat ini, kalimat itu yang aku amalkan dalam berhadapan dengan kedua anakku.

"Kin... kenapa, Sayang?"

Kali ini, aku ceritakan sedikit tentang Kin terhadapmu. Anakku itu berusia duabelas tahun. Selisih dua tahun dari mas-nya. Seperti kata Anye, Kin memiliki tubuh yang... ya agak gendut. Kuakui, semangat makannya memang menyenangkan dari kecil. Aku selalu antusias memasakkan makanan yang enak-enak untuk anak bungsuku. Karena gadis itu tidak akan pernah menyisakan masakan buatanku—well, hal ini sungguh berbeda dengan abangnya. Dia paling suka bolu kukus, cokelat, bronis, kue mentega, dan makanan-makanan manis lainnya. Dan, ya, aku harus mengakui, dampak dari makanan penuh gula itu, postur tubuh anakku lebih subur daripada teman-temannya.

Tetapi, Kin tidak pernah memasalahkan hal itu. Maksudku, biarpun Kin bertubuh gendut, dia merupakan gadis penuh semangat di rumah—Kin-ku agak memiliki sifat tertutup jika sudah keluar dari rumah ini, kalau boleh aku tambahkan. Dia selalu merajuk padaku—hal yang sangat aku sukai dari dia. Namun entah mengapa, semenjak dia mulai menolak sarapan yang aku siapkan, Kin berubah drastis. Dia tidak hanya jarang merajuk padaku, Kin juga hampir tidak pernah menceritakan lagi kegiatan sekolahnya—hal yang selalu dia lakukan sebelum tidur—padaku. Aku kan jadi khawatir. Aku jadi bingung harus berbuat apa. Aku bukannya tidak pernah menanyakan hal ini pada para gurunya—tentu saja aku tidak akan tinggal diam jika hal-hal buruk terjadi pada anak-anakku—tapi kau tahu jawaban apa yang aku terima dari mereka? Kin tidak memiliki masalah di sekolah. Dia rajin seperti biasa. Dia disiplin seperti biasa. Dia berprestasi seperti biasa. Lalu, apa yang harus aku lakukan kalau gadisku bersikap normal? Kalian memiliki ide?

"Sayang."

Seperti halnya dengan Galang, Kin mewarisi gen dari ayahnya—mantan suami bajinganku. Dia putih, bersih, dengan rambut ikal berwarna gelap—satu-satunya gen dariku yang aku wariskan secara membanggakan pada Kin dan Galang, tubuhnya tinggi, dan, aku mencintainya.

"Hei, kamu kenapa? Kenapa nggak ingin sekolah?" Aku melesakkan bokong di sampingnya tidur. Selimut tebalnya menutupi seluruh tubuhnya. "Kamu ada masalah di sekolah? Cerita sama Mama." Aku membelai tubuh Kin dari luar selimut. "Sayang."

"Maaah...." Anakku berkata parau. Kedua tangannya terlihat mencekal tepian selimut, detik selanjutnya, wajah gembil itu menyundul selimut. "Kinnn...."

"Ya, Sayang."

Dia menggigit bibir. Seolah ragu dengan apa yang akan dia lontarkan. Mata cokelatnya berputar-putar di dalam rongga, seakan enggan untuk menatapku.

"Hei, kenapa? Cerita dong sama Mama? Kamu sakit, Nak? Panas?" Kutelungkupkan punggung tangan di keningnya. Tidak panas. Kutelungkupkan lagi ke lehernya. Dingin. "Kamu nggak panas, Sayang. Kamu kenapa? Sakit perut?" Aku hendak menyibak selimut anakku, tapi Kin mencegahnya dengan tangkas.

"Mah. Aku memang sakit."

Dadaku mencelus seketika. Mataku memelotot. "Kamu sakit apa, Kin? Bilang pada Mama? Perut? Punggung? Kaki? Atau—"

"Maaah...."

"Kin, jangan bikin Mama panik. Kamu sakit apa?" Aku tidak tenang sama sekali. Anakku sakit adalah berita paling mengerikan yang sangat aku takuti. Aku memang mengasuransikan kesehatan anak-anakku, tapi demi Tuhan, aku tidak menginginkan anak-anakku sakit apa pun.

"Mah, aku sakit tapi... ini menjijikkan sakitnya."

Cuping hidungku berkerut. Sakit tapi menjijikkan? Apaan? Jangan-jangan. "Kin—"

"Nggak seperti yang ada dalam bayangan Mama."

"Memang kamu tahu apa yang ada dalam bayangan Mama?" Mataku separuh memicing.

"Kin nggak tahu, tapi apa pun yang sedang Mama pikirkan saat ini, pasti sungguh lebai."

Ya, tidak bisa dibilang lebai, sih. Aku kan hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa si gembil. Aku cuma memikirkan dia terkena wasir itu saja. Atau penyakit tidak bisa berak. Atau penyakit tidak bisa pipis. Atau penyakit borok yang membutuhkan proses operasi itu saja. Tidak lebai, kan? Kalau kau menjadi ibu sepertiku, kau akan tahu gimana rentannya perasaanmu jika hal yang tidak baik dialami buah hatimu.

"Oke, Mama nggak akan lebai." Tentu saja itu hanya bualan. Aku tidak pernah bisa tidak tenang jika anak-anakku mengalami gangguan soalnya.

"Kiiin...." Masih dengan sangat raguuu sekali, anakku bersuara.

Perutku kembali mulas. Perasaan tegang yang merangsangku kepengin berak hadir tiba-tiba. Kenapa untuk memberitahuku apa penyakitnya saja, Kin justru selebai ini, sih? Maksudku, kan pengumumannya tidak seperti acara pencarian bakat di teve yang mengharuskan pesertanya dieliminasi. Ini hanya bilang: 'Ma aku sakit tidak bisa kencing (misalnya)', lalu sudah. Masalah selesai, aku ambilkan obatnya dan semua bisa berjalan dengan lancar. Tapi kayaknya impianku hanya tinggal impian, deh. Pernahkah kamu berharap memenangkan undian di acara jalan sehat yang diadakan pemerintah kota saat kotamu melangsungkan ulang tahun, tapi kamu tidak pernah memenangkan undian itu? Nah, seperti inilah rasanya yang aku alami.

"Kin jerawatan, Ma."

Aku sampai menundukkan tubuh mendekati bibir Kin supaya aku bisa menangkap kalimatnya barusan. Suara yang dikeluarkan tak ubahnya bunyi kentut itu terdengar begitu putus asa, penuh tekanan, penuh ketakutan, dan keinginan untuk melenyapkan diri. Anak gadis, kawan-kawanku, akan merasa sangat cemas jika mendapatkan jerawat untuk pertama kali di sepanjang hidupnya. Saat aku pertama kali ditempeli kutil menjijikkan itu pun, aku berteriak histeris kepada Mami. Aku bahkan, mogok sekolah selama hampir seminggu agar tidak ada teman-temanku—terlebih para cowok—melihat bintil sialan di wajahku.

Menegakkan tubuh, mengangguk-angguk kecil, aku membelai rambut anakku. Jadi itu masalahnya. Penyakit menjijikkan versi gadis kecilku? Jerawat. Bukannya aku menenangkan gadisku, kalimat Anye justru terngiang-ngiang memenuhi kepalaku.

"Dua bocah yang ada di bawah atap rumahmu sudah beranjak dewasa, dan kamu jelas nggak bisa mengontrol tindakan mereka, atau, well, kamu akan kehilangan mereka."

Ya ampun, dengan berdirinya jerawat di medan wajah anakku, apakah merupakan pertanda bahwa Kin sudah menginjak dewasa? Tapi kan dia masih duabelas. Aku ulangi sekali lagi: duabelas. Aku capslock sekalian biar pada tahu: DUABELAS. Ini merupakan usia masih kecil untuk menuju dewasa, kan? Maksudku, lihat saja abangnya, sudah empabelas tapi kelakuan kayak anak TK. Masa Kin menggemaskanku sudah dewasa, sih? Kenapa dia tidak bertahan di posisinya sebagai anak-anak saja? Kenapa dia dewasa sebelum waktunya? Aku membatasinya menonton tontonan orang dewasa. Aku mengunci internet di ponselnya. Aku tidak langganan majalah yang ada cowok-cowok cakepnya—

Anjir—

Aku menelan ludah dengan gugup.

Ataukah jangan-jangan, jerawat di wajah Kin akibat dari adanya cowok yang dia taksir? Sialan! Kalau itu memang benar, akan aku mutilasi siapa pun cowok yang sudah merangsang hormon anakku memberakkan jerawat. Anakku masih unyu, gembil, menggemaskan untuk tumbuh dewasa secepat itu, demi Tuhaaan.

"Maaah, gimana dong, Maaah.... Aku berjerawat. Di sini, Mah. Di jidat aku, Mah. Besar lagi. Aku nggak mau sekolah ah kalau jerawat ini masih ada di sana. Aku pokoknya mau sekolah kalau aku sudah sembuh. Pokoknya, mau bagaimana pun Mama memaksaku, aku nggak mau sekolah. Ayo dong, Mah. Bantuin aku."

Aku mengembuskan napas. Selama seminggu, Kin hampir tidak pernah merajuk padaku. Sekalinya merajuk, masalah jerawat. Aku menatap jendulan memakan hati di jidat anakku. Besar. Merah. Mengilap. Sudah mateng-matengnya. Sudah siap untuk meletus. Pasti rasanya tidak enak banget. Sakit. Bikin tubuh meriang. Dan emosi menanjak ugal-ugalan. Jendulan itu seolah sedang menertawaiku, menungging di hadapanku, dan meneriakkan kalimat paling menakutkan di depan hidungku: 'Anakmu sudah dewasa, Jen. Sebentar lagi punya pacar, free sex, hamil, lalu keluar dari sekolah. Mirip kasus anak Ibu Sonya'.

Sorry, aku tadi mikirin apaan?

Sebentar lagi punya pacar, free sex, hamil, lalu keluar dari sekolah. Mirip kasus anak Ibu Sonya.

Maaf, apaan?

Sebentar lagi punya pacar, free sex, hamil, lalu keluar dari sekolah. Mirip anak kasus Ibu Sonya.

Tidaaak! Astaga, astaga, astaga! Itu mengerikan banget, sumpah. Itu nakutin banget, sumpah. Mengganyang perasaanku tanpa ampun. Bikin sekujur tubuhku panas dingin. Bikin perutku melesak ke dasar kaki. Ya ampun, tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal-hal buruk terjadi pada anakku. Kin tidak akan pernah melakukan pelanggaran sedemikian ekstremmnya. Dia kan imut banget. Masa mau melakukan tindakan amoral gitu, sih? Tidak akan, kan?

"Kok malah Mama sih yang teriak? Mama jangan melamun dong. Ini jerawatku harus diapain, Maaah?"

Aku mengusap wajah, memfokuskan tatapanku pada Kin. Luka lebam di janggutnya sudah menghilang. Saat aku mempermasalahkannya sehari setelah aku melihat luka itu, Kin hanya bilang terbentur pintu mading—oh, anakku merupakan ketua ekskul mading kalau boleh aku tambahkan.

"Iya, Sayang. Maafkan Mama. Nggak! Maksud Mama, jerawat bukan perkara besar. Percayalah, Mama dulu pernah mendapatkan yang lebih buruk dari itu. Kita akan olesi jerawat di wajah kamu pakai krim khusus jerawat, dan besok jendulan itu akan menghilang. Kamu bisa kembali ke sekolah."

"Beneran, Ma?" Mata cokelat itu berpijar bak kejora.

"Pasti. Kamu meragukan ucapan Mama?"

"Nggak, sih, cuma ini kan jerawatnya gede banget. Aku kira bakal lama kempisnya."

"Ini sih masalah kecil, Baby. Biarkan Mama yang menangani. Kamu di sini dulu, ya. Mama mau ke apotek di gang sebelah. Di sana menyediakan krim khusus jerawat yang sangat kita butuhkan pagi ini. Jangan biarkan jerawat ini membuatmu sakit hati. Jerawat bukan masalah besar. Sama sekali bukan. Oke?"

Sebenarnya sih aku enggan banget ke gang sebelah tempat apotek terdekat dari kontrakanku—bahkan terkadang, aku menghindari jalan itu jika aku menemukan jalan alternatif lainnya. Tapi kan ini demi Kin. Aku tidak akan membiarkan anakku sedih hanya gara-gara jerawat tentu saja. Biarpun aku harus bolak-balik ke gang sebelah, itu tak mengapa.

Oke. Aku berbohong.

Aku jelas sangat apa-apa sekali jika harus melewati gang itu. Jalan sempit yang aku kutuk keberadaanya. Tidak, tidak, tidak. Bukan keberadaan jalannya yang aku kutuk, melainkan—

Aku menelan ludah. Kedua tanganku merapat pada sisi tubuh. Badanku berdiri dengan kaku. Perutku mulas lagi. Kepengin berak lagi. Jantungku melompat-lompat liar, semakin membuat perutku melilit. Mataku membelalak lebar. Keringat dingin mulai berseluncur di punggungku. Aku mencoba menarik napas panjang, tetapi aku kesulitan melakukannya. Seakan ada sekatan yang menggagalkan niatku mengambil dan mengembuskan napas.

—melainkan pada himpunan makhluk yang sedang berongkang-ongkang kaki di sana.

Aku menelan ludah lagi. Mataku awas memelototi segerombolan bapak-bapak maupun anak-anak cowok bermain catur di sana. Ada yang menggenjreng-genjreng gitar—dan ingatanku langsung berpusat pada Galang; anak itu tidak bolos lagi, kan? Ada yang mengepul-ngepulkan asap rokok—lagi-lagi, bayang wajah Galang di ruangan Ibu Tuti mencolot dari benakku. Ada yang duduk di lincak bermain kartu. Atau bergoyang-goyang mengiringi musik dangdut dari suara radio.

Aku menggegas langkah. Memepetkan tubuh pada tembok. Berdoa, entah bagaimana caranya, semoga mereka tidak melihatku melintasi gang itu.

Tapi tentu saja, itu doa paling konyol yang selalu aku rapalkan dan tidak pernah terkabul. Gang ini sangat sempit. Mereka nongkrong di depan warung kopi. Dan onggokan tubuhku segede gaban untuk tidak bisa dilihat dari berbagai sudut. Jelas saja, mereka melihatku.

Atau menerkamku.

"Eh ada Mbak Jen." Aki-aki bau tanah berkepala pelontos memulai nerakaku.

"Eh, Mbak Jen, apa kabar?" Yang itu, pemuda bangsa yang membikin malu nenek moyang. Cowok duapuluh tahunan dengan chasing masa depan suram. Berambut gimbal. Bercelana butut. Dari mulut hitamnya, keluar asap bak lokomotif. Dia adalah produk gagal terhadap siapa pun yang menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga.

"Makin seksi aja nih, Mbak Jen." Laki-laki berperut buncit, bermuka menjijikkan—hidungnya besar dan berlubang kecil-kecil banyak sekali; merupakan musuh terbesar bagi pengidap fobia trypophobia—dan tubuhnya, percayalah padaku, sangat tidak enak. Seakan dari ujung kepala sampai ujung kaki ditumpahi minyak wangi beraroma jelantah.

"Mbak Jen jangan buru-buru, dong. Duduk sebentar sini dengan kami."

Aku sudah tidak bisa memfokuskan mata melihat mereka semua saat satu per satu dari mereka berdiri mendekatiku, menowel-nowel tubuhku.

"Payudaranya tambah gede aja, Mbak Jen. Banyak yang mik di sana, ya?"

"Ih, Mbak Jen diam saja, jadi ngegemesin deh."

"Eits, jangan lari-lari dong, Mbak Jen, kami kan masih mau ngobrol sama Mbak Jen."

"Ih, bokongnya Mbak Jen gede sekali. Beda banget sama bokong istri saya."

"Mbak Jen makin cantik saja, ya? Mbak Jen perawatan, ya? Perawatan di mana?"

"Aduh, nih janda sombong banget. Jual mahal banget. Mau ditawar berapa, sih, Mbak Jen? Sini kami beli rame-rame. Ayo, dong, Mbak Jen. Jangan gini terus dong, Mbak Jen. Duduk sebentar, Mbak Jen." Yang ini sudah keterlaluan. Melebihi batas ambang kesabaranku.

Aku menepis tangannya yang memukul bokongku. Mataku menatapnya tajam. Laki-laki itu balik menghunuskan tatapannya. Kemudian dia menyeringai.

"Kenapa, Mbak Jen? Enak, ya?"

Aku tidak bisa melawannya, pemuda produk gagal itu merupakan anak pemilik kontrakanku. Kalau aku melawannya, aku bakal didepak dari sana. Aku mendengus keras. Gigiku gemerutuk menahan amarah. Aku sangat ingin meninju wajahnya yang memuakkan. Tetapi sekali lagi, aku tidak bisa. Pindah-pindah tempat tinggal tidak bagus untuk psikologi Galang dan Kin.

Aku meneruskan derap langkahku. Memilih untuk tidak menghiraukan mereka dengan perasaan yang sangat menyakitkan. Tetapi tiba-tiba, dari bibir pemuda bobrok itu—aku menghafal suara menjijikkannya seperti aku menghafal gang sempit mematikan ini—mencolot kalimat yang sangat menyakitkan.

"Ih, Mbak Jen sombong. Beda banget sama anaknya. Si Galang. Galang ramah-ramah. Suka ngajarin main gitar. Suka ngerokok bareng. Bahkan, sering nonton film bokep bareng. Mbak Jen, temenin kami, dong."

NAJIS!!!

Apa yang dia bilang?

Galang sering nonton film bokep?

Maksudnya film....

Film anu masuk ke lubang anu?

Ya ampun.

Saat itu, aku tidak bisa menahan emosiku. Aku berbalik, merebut kaus bagian depannya, dan akan melayangkan tinjuan jika saja dari balik tubuh orang itu, sang pemilik kontrakan menyapaku—menggagalkan niatanku melesakkan bogem ke anak biadab ini.

Aku berdecih, menjawab salam ala kadar dari ibu anak ini. Kemudian pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro