1 - Si Biru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🌊


"Sidiq!"

Panggilan itu membuatku sedikit bergidik ngeri. Aku menelan ludah, seraya memegang bola plastik gemetar. Jika Mamah sudah memanggil nama belakangku, itu berarti ...

"Sidiq!"

Aku menggigit bibir bagian bawah dan membuka perlahan knop pintu berwarna coklat, dengan rasa was-was aku memberanikan diri untuk menghadap sesuatu yang ku takuti. Aku menghela napas panjang dan berjalan pelan menuju dapur.

"Sidiq!"

Teriaknya lagi, yang membuat Mamah menghentikan sodet yang sedari tadi bergerak di atas katel. Salah satu tanganku memegang telinga, menatap Mamah yang sudah berkacak pinggang dengan tatapan tajam. Bayangkan, teriakannya pun terdengar hingga keluar rumah. Apalagi aku, yang berada di hadapannya mendengar teriakan super nyaring itu.

"Jam berapa sekarang?"

Aku menggoyang-goyangkan badan dan mencari jam dinding yang tak kudapat oleh netraku.

"Mana bisa liat jam, orang jamnya gak ada," elakku sembari menunduk takut.

"Ahh, jadi gak bisa bedain mana sore mana siang? Bersihkan badanmu, dan cepat pergi ke masjid bersama Alwi, Damar dan Bapak." Mamah menghela napas pelan dan melanjutkan aktivitasnya. Aku mengangguk dan segera menuju ke kamar mandi, "Sebelum pergi mandi, panggil kakak perempuanmu, Autia dan Novi suruh bantu Mamah bentar sebelum pergi mengaji," lanjutnya yang samar-samar kudengar.

Ahh, rasanya yang kutakutkan di umur 6 tahun ini memang Mamah. Apalagi, kalau keempat kakakku yang lain mengompori lebih dalam akar masalah mainku, itu bisa jadi lebih repot. Tapi tak masalah, lagi pula di umur segini memang itu yang harus kupikirkan. Hanya saja, Mamah selalu terlihat lelah, apalagi masih ada kedua adikku yang masih berumur 4 dan 2 tahun. Sejauh ini, itu tak pernah kupikirkan.

"Ayo lah koyo cabe," decak Alwi menarik lenganku kasar. Aku sedikit meringis dan menatap tajam. Bapak dan Damar sudah duluan, hanya Alwi yang menungguku.

"Sabarlah, buku iqro Calvin gak ada." Aku melepas tangan yang digenggam Alwi sedikit kasar, kembali ke dalam kamar dan mencari apa yang kucari. Netra dan tanganku mengacak-ngacak lemari buku pelajaran, berharap buku itu terselip di sana. Namun, hasilnya nihil.

"Ada tidak?" Alwi menyandarkan bahunya di ambang pintu. Menatapku kesal dan menghela napas berkali-kali.

"Mam--"

"Eehh, jangan-jangan, ayolah bantu Calvin." Aku menatap mohon pada Alwi, berharap ia bisa membantuku kali ini.

Setelah satu menit hanya saling tatap, akhirnya Alwi pasrah dan menatap kasihan.

"Baiklah, ayo cepat, bentar lagi azan. Pake iqro bekas Alwi saja."

Sebelum senyumku merekah, panggilan nama belakangku kembali terucap dari mulut Mamah yang sedikit kencang. Membuatku melupakan sensasi bahagia yang akan kudapatkan tadi. Alwi menatap bulat manikku pasrah. Mamah sudah berdiri di ambang pintu memegang buku iqro yang dari tadi kucari.

Alwi segera menyingkir dan membiarkanku sendiri. Aku menelan ludah dan bola mataku hanya menatap kesana-kesini, tak ingin menatap wajah Mamah.

"Nih, cepat pergi mengaji. Keempat kakakmu sudah siap dari tadi. Jadi, jangan buang waktumu hanya terus bermain," ucap Mamah lembut yang sudah memakai mukena di tubuhnya.

"Iya Mah." Aku segera mengambil dan tersenyum ketika apa yang kupikirkan salah. Mungkin Mamah sudah lelah menasehati ku. Tapi tak apa, detik ini aku tak dimarahi.

Jarak masjid dan rumahku tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar dua menit untuk sampai di sana. Ketika di sana, aku sudah mendapati teman-temanku yang lain sedang duduk di barisan depan. Bapak dan Damar juga sudah siap menanti azan berkumandang. Hari ini, Ujang anak Pak RT yang menjadi mu'adzin, suaranya merdu dan halus. Berbeda denganku, sedikit saja mengeluarkan suara nyanyian, mampu membuat sakit perut--itu si yang pernah di katakan teman-temanku.

Langit hitam yang kosong, menjadi tontonan bagi diriku. Setelah mengaji dalam antrian pertama, membuatku jauh lebih leluasa. Seharusnya, memang tak boleh keluar, tapi aku hanya malas menunggu mereka menunggu bagiannya.

Setelah semuanya selesai, aku bersiap-siap untuk melaksanakan sholat isya, sebelum nanti akan ada cerita tentang Nabi atau pun hal-hal yang kusuka dari Pak Oyon--guru ngajiku.

"Jadi, naon anu kuurang bisa dapet ti kisah ieu¹?" Pak Oyon menatap sekeliling sembari merapihkan kopeah di kepalanya.

Aku terdiam sejenak, dan mengacungkan tangan tinggi. Kupikir, aku orang pertama yang mengacungkan tangan. Ternyata, hampir semua mengangkat tangannya. Aku menggeram.

"Coba Novi, naon anu Novi dapet?" Pak Oyon menunjuk Novi--kakak keduaku.

"Menurut Novi, jangan pernah kita meremahkan waktu. Kenapa? Karena waktu akan terasa lama jika kita menunggu atau sedih, dan waktu akan terasa singkat jika kita bahagia. Apalagi, orang yang gak bisa menghargai waktu, hanya bermain dan bermain," ucapnya penuh penekanan.

Aku menatap tajam Novi yang tidak jauh dariku, dengan kerudung yang berwarna merah muda menambah kesan ngeri. Aku berdecak, sepertinya Novi memang sedang menyindirku.

"Enak aja, Wiwi sama Aa juga sering bermain dan gak menghargai waktu. Kenapa selalu memojokkan Calvin?" Netraku menyerobot udara yang seketika begitu menjadi panas.

"Lah, saha nu nyindir maneh²?" Novi membalas tatapanku.

Seketika anak-anak yang lain mulai gaduh, melihat kami yang hanya terus menatap jengkel.

"Bohong, buktinya Teteh ngomongnya sambil gitu," ujarku tak mau kalah.

"Ngges-ngges, ieu teh di Imah Allah, lain di kebon sato³." Autia buka suara.

"Arek dibejakeun ka Mamah? Apa ka Bapak⁴?" Novi mengatur napasnya dan memutar bola matanya malas.

"Koyo cabe, sopan dikit napa?" Alwi memukul kepalaku.

"Ya lagian, Calvin terus yang disalahin!"

"Udah-udah, Calvin, diam! Tak seharusnya kamu berbicara seperti itu. Kita sebagai sesama umat muslim harus khusnudzon, berprasangka baik." Pak Oyon mencoba menenangkanku.

"Apih, azab apa yang diberikan ketika tidak sopan kepada kakak?" tanyaku polos membuat semuanya tertawa terbahak-bahak. Apih memang panggilan kami untuk Pak Oyon.

Aku mengerutkan kening, menatap sekitar kesal, "Lah, emang kenapa? Gak boleh Calvin bilang gitu?"

"Sutttt, oke-oke, Apih bakal kasih satu cerita lagi yang mungkin bisa membangkitkan motivasi kalian untuk ke depannya."

Perkataan Pak Oyon membuatku kembali antusias, sedikit merapat dan yang lain juga melakukan hal yang sama.

"Kalian tau kisah Si Biru?" Pak Oyon menatap sekeliling dengan tatapan menakuti. Sejenak aku bisa melupakan masalah tadi.

"Biru? Sepertinya pernah mendengar, kalau tidak salah ..." Damar membuka suara dengan wajah mengingat-ngingat sesuatu.

"Laut dan langit?" jawabku asal.

"Emm, benar!" Pak Oyon membenarkan duduknya dan siap untuk bercerita. Aku tersenyum bangga.

"Alkisah, ada seorang pemuda yang sangat tampan. Ia dikagumi oleh siapa pun yang melihat parasnya. Namun sayangnya, ia terlalu tinggi hati. Hingga akhirnya, ia bertemu pemuda dengan tampang biasa-biasa saja. Namun sayangnya, ia terlalu rendah hati. Nah, jika kalian memilih, kalian akan memilih siapa?" Pak Oyon mencoba untuk membuat suasana tidak terlalu hening.

"Kalau Damar, pilih pemuda dengan tampang yang biasa-biasa saja," tegasnya.

"Oke, kita lanjut kembali. Mereka berdua akhirnya menjadi sahabat yang begitu dekat. Saling membantu dan saling memahami, hanya saja pemuda yang tampang biasa saja, mulai meninggikan hatinya. Sedangkan pemuda tampan mulai merendahkan hatinya. Jika kita lihat dari perkataan awal, yang bersifat langit dan laut siapa?" tanya Pak Oyon kembali.

"Eeeee, pemuda tampan, langit dan pemuda biasa saja, laut," jawab Satria--teman sekolahku.

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Pemuda biasa saja mulai meninggikan ombaknya, pemuda tampan mulai menurunkan langitnya."

"Apih, bukannya laut juga luas?" tanya Empit polos.

"Hmm, jadi begini, ketika kita merasa paling tinggi namun mendapat sebuah hidayah, kita akan menurunkan rasa gengsi yang terlalu jauh itu. Sedangkan ketika kita merasa paling rendah, kita selalu ingin menaiki tangga terus menerus hingga tinggi. Itu artinya, jika kita merasa paling baik itu akan menjadi sebuah rasa percaya diri berlebihan. Maka dari itu, kita harus terus menunduk dan menunduk," jelas Pak Oyon merekahkan senyum di wajahnya.

Aku terdiam cukup lama, mencerna kalimat demi kalimat yang ingin ku terapkan dalam hati.

"Kalau begitu, Calvin pengen jadi Si Biru!" teriakku penuh keyakinan.

Semuanya menatapku heran dan sedikit tertawa. Aku bodo amat, yang aku inginkan hanyalah menjadi seseorang yang kuinginkan untuk menjadi seperti apa di masa yang akan datang.

"Jika Calvin ingin seperti Si Biru, kamu harus memilih diantara dua pemuda tadi. Walaupun suatu saat nanti kamu akan membutuhkan sifat keduanya. Artinya, kamu harus memilah dan jangan terus terpaku pada salah satu pemuda!"

Aku menatap netra Pak Oyon teguh. Ragaku seperti terbawa atmosfer keyakinan, jantungku berdegup kencang seperti benar-benar akan kuterapkan dalam hati untuk cerita motivasi kali ini.

Walaupun belum sepenuhnya mengerti akan ucapan Pak Oyon, tapi entah kenapa itu benar-benar mengaitkan hatiku.

🌫️

"Namaku Calvin Winata Sidiq, dan aku adalah Si Biru!"

Tepuk tangan meriah menyapa rungu, wajah-wajah kebahagian terpancar dari semua orang yang melihatku. Membawa banyak hadiah dan tentu saja, ini adalah pencapaian terbesarku dalam hidup.

Harapan dan ekspetasi selalu berdampingan, membentuk sebuah benteng keras yang disebut dengan kehidupan!

🌊

| NOTES |

(1) Naon anu kuurang bisa dapet ti kisah ieu?

Artinya :

(1) Apa yang kita bisa dapat dari kisah ini?

(2) Saha nu nyindir maneh?

Artinya :

(2) Siapa yang nyindir kamu?

(3) Ngges-ngges, ieu teh di Imah Allah, lain di kebon sato

Artinya :

(3) Udah-udah, ini tuh di rumah Allah, bukan di kebun binatang

(4) Arek dibejakeun ka Mamah? Apa ka Bapak?

Artinya :

(4) Mau dibilangin ke Mamah? Apa ke Bapak?

Mamah = Ibu
Bapak = Ayah

Sumber foto : google

🌫️

BAGAIMANA UNTUK BAB INI?

APA YANG MEMBUAT KALIAN KE SINI?

BAGIAN MANA YANG KALIAN SUKA?

JANGAN LUPA VOTE ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro