2 - Koyo Cabe

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🌶️

"Hudang¹!" teriakku pada kedua kakak laki-lakiku. Menarik selimut yang membungkus tubuh mereka dengan rasa sedikit kesal.

Alwi hanya mengerang dan mengambil selimutnya kembali, sedangkan Damar ia mengucek-ngucek mata dan segera pergi ke kamar mandi.

"Hudang Wiwi, engke² Mamah ambek³. Arek dibejakeun teu sholat subuh?"

Alwi terperanjat, ia membuka matanya lebar dan segera pergi menyusul Damar.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka, tersenyum bangga karena hari ini aku bisa bangun lebih pagi. Novi dan Autia sedang membantu Mamah di dapur untuk sarapan kita nanti.

Aku berjalan pelan menghampiri Opik yang masih tidur di ranjang kecilnya. Sedangkan Ica hanya bermain di ruang keluarga. Entah apa yang ia lakukan, tapi tetap saja ia selalu menggigit tali bajunya.

Aku menghela napas pelan dan menghampiri Ica, "Jangan di gigit-gigit tali lagi ya Ica."

Ica hanya memasang wajah gemas, ia berjalan pelan dan mengambil boneka beruang dan mulai mengoceh hal yang aku tak bisa dengar jelas.

"Koyo cabe, mana samping Alwi?" teriak Alwi dari kamar.

"Makannya, pas azan tuh bangun. Untung gak dimarahin Mamah gak sholat di masjid." Aku berdiri di ambang pintu kamar menatap Alwi yang kebingungan.

"Ahh, pake yang Aa dulu aja kali ya," ucap Alwi dan mengambil samping berwarna biru dan hitam di atas lemari coklat.

Aku mengangkat bahu, mencoba tak peduli. Kembali melihat suasana keluarga yang khidmat dengan udara yang begitu sejuk.

"Mau tau, kenapa udara subuh itu sejuk?" Tiba-tiba Bapak bertanya sembari berjalan menghampiri ranjang kecil Opik. Seperti tau apa yang kupikirkan.

"Emangnya kenapa?" Alwi menyerobot dari belakang dan duduk di hadapan Bapak, aku mengikutinya.

"Karena udara subuh, belum tercampur oleh hawa orang-orang munafik."

Aku dan Alwi tertegun, ternyata semua ini ada penjelasannya.

"Jadi maksudnya, orang munafik belum pada bangun ya." Jari telunjukku mengetuk-ngetuk dagu, mencoba berpikir secara luas.

"Hahahaha, kalau di keluarga kita kan ada alarm hidup," ucap Alwi dengan tawa.

"Seharusnya, kita bersyukur diberi keluarga yang seperti ini. Ada Mamah yang selalu bangun tepat waktu," ujar Bapak lembut membuat Alwi terkekeh.

"Heleh, jadi Wiwi pengen masuk ke jajaran orang munafik ya?" geramku.

"Diem koyo cabe!"

Koyo cabe, adalah panggilanku sejak lama. Entah karena apa mereka menyebutku seperti itu. Tapi yang jelas ketika aku tanya mengapa memanggilku dengan sebutan itu, mereka hanya menjawab, "karena dulu rambut kamu keriting!"

Itu yang kubingungkan, apa hubungannya rambut keriting dengan koyo cabe?

"Nih liat rambut Calvin gak keriting lagi!" protesku.

"Tetep aja ikal, ada keriting-keritingnya." Alwi kembali tertawa, disusul Bapak melakukan hal yang sama.

🌶️

Aku mendengus, memikirkan hal-hal yang tak bisa kulakukan. Hari ini, tanggal 10 Februari 2011 Pak Mul mengadakan ujian Matematika dadakan lagi. Bayangkan, kita masih kelas satu sudah disuguhkan ujian dadakan lagi setelah bulan kemarin.

"Woi, Pipin abis sekolah main layangan yuk," ajak Satria santai.

"Beresin dulu noh, ulangannya."

Bagaimana bisa dia sesantai itu? Apa ia sudah menduga-duga akan ujian? Liat, dia mengerjakan dengan cepat, entah ia bisa atau hanya asal.

"Mending main boboiboy⁴ sama kampung sebelah mau gak?" tanyaku pada Satria yang sudah menyelesaikan ujiannya.

"Yaelah, yaudah deh."

Aku mendesah menatap sekeliling, berharap ada sebuah keajaiban nenghampiri untuk membantuku. Pandanganku menatap Isnaeni, anak bungsu dari Nenek tiriku. Ia cukup pintar untuk anak seusia kami, sebelum aku mengetahui rahasia dari kepintarannya.

"Naon!" Sadar akan tatapanku, Isnaeni menatap tajam di sebelah mejaku.

"Boleh liat?" Aku tersenyum polos.

"Dua soal, tanpa nawar!"

"Oke"

Wei, dia benar-benar baik kali ini. Dia menulis di selembar kertas dan memberikannya padaku. Tanpa sepengetahuan siapa pun, aku bisa mengerjakan soal ini dengan cukup baik.

Tapi anehnya, aku tak percaya apa yang ia tulis. Aku memang belum paham sepenuhnya, namun aneh sekali jawabannya. Hingga akhirnya, aku mengerjakan semampuku. Bukan aku tak percaya padanya, tapi firasatku mengatakan itu hanyalah omong kosong.

"Aish, kapan belnya si?"

🌶️

"Gak seru lah main layangan di sawah," ketusku melihat lapangan dengan rumput pendek dan sawah kering dipenuhi oleh anak-anak yang hanya bermain layangan. Sedangkan di sisi lain, anak-anak perempuan sedang bermain apa yang kuinginkan.

"Hayu atuh," kesal Satria menarik-narik lenganku.

"Iya iya, tapi yakin nih, gak mau ganti baju dulu?" Aku pasrah daripada tidak bisa bermain, lebih baik mengisi waktu luang yang amat panjang.

"Gak usah, nanti aja."

Aku menghela napas panjang, dan melepas sepatu, beranjak menghampiri hampir sepuluh anak yang fokus bermain layangan.

Aku memakai nilon agar tidak kalah dengan yang lain. Layanganku terbang bebas dengan gagahnya, mereka selalu menyebutku sebagai pemilih layangan terbaik.

"Yaelah, kayu layangannya si Pipin bagus dah!" Salah seorang anak sengaja memancing.

"Iya, nilonnya juga bagus." Yang lain ikut bersuara.

"Kita serang layangan si Pipin, kita ambil layangannya!"

Aku mendelik, melihat semua anak segera berlari dan mengulur tangan mereka agar tali layangan mereka bisa menembus layanganku. Aku melakukan hal yang sama, ragaku tak santai lagi. Berlari dan terus mengulur tanganku lebih cepat dan kencang.

"WOI!" teriakku.

Mereka tak peduli, hanya fokus pada layanganku.

"KALAU BERANI SATU-SATU!"

Satria yang mendengar teriakanku dari sisi lapangan yang lumayan jauh, segera menggiring layangannya ke lapanganku. Mencoba membantuku, namun sekuat-kuat tali layanganku akan putus juga jika lebih dari sepuluh anak yang mencoba hal tersebut.

Napasku terengah-engah, mencoba menghindari terus menerus. Kayu yang kujadikan sebagai tumpuan tali, kugenggam erat, berbalik arah dan berlari untuk menembus tali layangan yang menghadangku. Memanjangkan tali, memendekkan tali itu yang kulakukan saat ini.

Satu putus! Mereka diam, mereka tak mengejarnya. Aku menggeram, mereka hanya ingin layanganku. Aku mencoba bertahan, menghindar dan menyerang jika ada celah.

Dari arah samping kanan, Satria menembus satu tali layangan yang mencoba menembusku kembali. Taliku mulai menipis, karena diserang bertubi-tubi.

Satria mulai lelah, pandangan nya tak fokus dan berhasil ditembus oleh layangan bergambar lumba-lumba itu.

"Ayo serang lagii!" intruksi dari anak dengan layangan berwarna merah muda dengan gambar tambah di tengahnya.

Aku segera berlari, sebelum berbalik dan berlari ke arah mereka dengan tangan yang terus kuulurkan. Menembus tali-tali yang entah berapa jumlahnya. Tanpa kusadari, kakiku masuk ke dalam letak⁵, menghambatku untuk bisa lebih leluasa menghindari mereka.

"KESEMPATAN KITA!" Lagi-lagi intruksi dari seorang anak dengan layangan berwarna merah muda.

"SATRIAA!" teriakku sebelum anak itu menembuskan tali yang bisa menjadi kemungkinan terburukku.

Aku melempar kayu kepada Satria yang berlari menujuku. Saat kayu sudah digenggaman Satria, tali nilonku terputus begitu saja. Satria menatap kesal dengan napas memburu. Ia terlambat untuk membentangkan tali nilonku agar kuat.

Aku terdiam, itu satu-satunya layanganku. Jika membeli lagi, Mamah pasti marah. Aku menatap segerombolan anak yang berusaha mengejar layanganku. Semakin jauh dari pandanganku dan terduduk lemas. Aku kalah dalam pertempuran mematikan ini.

Satria bergegas dan membantuku berdiri. Aku membersihkan telapak kakiku pada air-air sawah di sekitaran ku.

"Tingali si koyo cabe eleh⁶," ucap gadis dengan rambut di kepang sembari tertawa. Tanpa kusadari, segerombolan anak perempuan tengah memerhatikan pertempuran kami.

"Yang gak tau tentang layangan mending diem!" protesku dengan tatapan tajam.

Eh, tunggu ada yang aneh, mengapa dia ...

"Sejak kapan maneh nyaho⁷ sebutan urang⁸?" Aku mendekati gadis itu.

"Karena rambut maneh mirip pohon cabe." Gadis itu hanya mengangkat bahu dan segera pergi. Aku mengepalkan tangan, ingin sekali mendorong gadis yang bernama Nia itu agar terjatuh.

"NIAA, PULANG!"

Aku mendengar teriakan itu, tapi aku sudah terasa amat kesal. Segera berlari, dan sebelum tanganku menyentuh punggung Nia. Nia sudah jatuh duluan. Anak-anak perempuan lain terkejut, segera membantunya dan menatapku marah.

"Pipin lumpat⁹!" Satria menghampiriku dengan khawatir.

Aku bingung, situasi apa yang sedang kuhadapi hari ini?

"Kenapa?" tanyaku heran.

"KURANG AJAR KAMU!" Suara yang kudengar tadi, kembali terdengar. Wanita paruh baya yang kulihat itu sedang menuju ke arahku dengan tatapan mengerikan.

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Netra kelabuku menatap wanita paruh baya yang berkacak pinggang. Aku terdiam, terkejut dan ragaku sedikit melemah.

"Bahkan, Mamah Bapak gak pernah melakukan ini pada Calvin," lirihku yang aku sadar, tatapan mereka tertuju padaku.

🌶️

|NOTES|

1. Hudang : Bangun

2. Engke : Nanti

3. Ambek : Marah

4. Boboiboy : Lempar sendal yang dibagi dua kelompok sebagai penjaga dan pembangunan (Akan kujelaskan nanti)

5. Letak : Tanah sawah yang basah (lumpur)

6. Tingali si koyo cabe eleh : Liat si koyo cabe kalah

7. Nyaho : Tahu

8. Urang : Aku

9. Lumpat : Lari

Sumber foto : google

🌶️

BAGAIMANA DENGAN BAB INI?

APA YANG AKAN TERJADI?

BAGIAN MANA YANG KALIAN SUKA?

KENAPA KALIAN MELANJUTKAN MEMBACA CERITA INI?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro