3 - Kulit Pisang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🍌

Kemeja putih panjang yang kugunakan sekarang ini, sudah terlihat kucel. Celana panjang merah yang kupakai juga sudah terlihat kotor. Sepatu yang kujinjing dan tas hitam yang melekat di punggung, tentu saja menambah rasa lesu di ragaku. Bukan itu maksudku, aku hanya lelah karena kejadian yang menimpaku tadi.

Pagar tembok dengan pagar besi yang menyatu dengan warna hijau yang sama, membuatku menghela napas panjang. Matahari sudah sedikit tak terlihat hanya menyisakan cahaya jingga yang membuat langitnya terkesan indah.

Aku membuka pintu pagar was-was, apalagi aku belum menunaikan sholat ashar. Kulihat Mamah yang sedang mengangkat jemuran dari tali yang diikatkan pada pagar dan pohon jambu di halaman rumah kami.

"Ada apa? Kenapa terlihat sedih?" tanya Mamah mengangkat baju terakhir.

"Gak Mah."

"Aduh, besok bukannya pake merah putih lagi?" Netra Mamah mulai sedikit marah.

"Eh." Tanganku memegang kening seraya terkekeh.

"Hmm, makanya kalau maen pulang dulu, ganti baju dulu. Kalau udah gini, besok kamu mau pake apa?" tegas Mamah.

"Kalau dicuci dijemur nanti malam, kering gak Mah?" ucapku santai sembari duduk di teras.

"Langsung ke kamar mandi. Gak pake alas kaki lagi!" perintah Mamah tak peduli ucapanku dan bergegas masuk ke rumah.

Aku menghela napas panjang, aku ingin mengadu sebenarnya perihal tadi, cuma, apakah harga diriku sebagai seorang lelaki akan turun? Nanti kalau disebut tukang ngadu gimana?

Ah, sudahlah. Aku segera beranjak pergi untuk membersihkan diri. Menunaikan sholat ashar dan kembali pada aktivitas rutinanku. Mengaji hingga isya lalu pulang setelah sholat isya.

Hari ini Pak Oyon hanya menceritakan cerita-cerita motivasi, padahal aku ingin mendengarkan cerita tentang Nabi kembali. Tapi yasudahlah, semoga saja esok Pak Oyon bisa menceritakannya.

"Pin, tuh Nia," ujar Satria menunjuk gadis berkerudung putih yang sedang berdiri di ambang pintu masjid.

"Ah, udahlah," ucapku santai, namun aku tak bisa menyangkal bahwa hatiku ingin sekali memaki-makinya.

"Ada apa Pipin sama Nia?" Tiba-tiba Autia bertanya tepat di telingaku. Aku sedikit terkejut dan hampir saja memukul kepalanya.

"Apa sih," ketusku.

"Nanya doang kok, emang ada apa Sat?" Autia berpindah posisi, ia mendekati Satria.

"Tanya aja tuh sama Pipin. Emang Pipin belum cerita ke kalian ya?" Aku mendelik, tanganku mengepal ingin sekali menonjok wajah Satria saat ini. Kenapa dia membuat Autia menjadi penasaran? Bagaimana kalau dia menceritakan kepada yang lain bahwa aku punya rahasia?

"Ayolah, emangnya ada apa?" Autia terus berusaha.

"Udahlah Tia, kepo banget. Sana-sana pergi," protesku mendorong bahunya sedikit kasar.

Autia menghela napas gusar, netranya menatap tajam dan pergi dengan sinis.

"Sat, bisa diem gak?" kesalku.

"Ya maap, lagian kenapa gak ceritain ke keluarga? Terus kamu mau tetep di tuduh seperti itu?"

Ucapan Satria ada benarnya juga sih, tapi aku khawatir respon dari keluargaku. Okedeh, aku akan mengadu. Lagian, kesalahpahaman ini harus diluruskan.

🍌

"Tolong ambilkan dandang nasi Novi," perintah Mamah dari ruang keluarga.

Hari ini Mamah memasak tempe goreng, tumis kangkung dan sambal tomat. Bapak segera mengambil tikar dan menggelarnya. Damar membawa piring tumis kangkung, Alwi membawa piring sambal, Autia membawa beberapa piring dan aku membawa piring tempe goreng. Kami meletakkan apa yang kami bawa pada tikar yang sudah Bapak gelarkan.

"Ica sama Opik sudah makan Mah?" tanya Bapak sudah duduk sila.

"Sudah, mereka sudah tidur." Ibu mengambil semua piring dan memberikan nasi pada tiap piringnya.

"Makasih Mah," ucapku sedikit bersemangat.

"Tau gak?" ucap Autia dengan tawa penuh jahat.

"Kenapa?" tanya Alwi melahap tempe gorengnya.

Baru saja mulai makan, apa lagi ini? Padahal, aku akan memberitahu mereka. Kenapa Autia ingin sekali mengadukanku?

"Si Pipin tuh sama si Nia," ujarnya dengan ekspresi dilebih-lebihkan.

"Ada apa?" Mamah mendelikku sembari mengunyah.

"Apa sih Tia. Kalau gak tau apa-apa mending diem!" ketusku melahap tempe kasar.

"Yaudah kasih tau dong!"

"Emang mau kok!"

"Terus ada apa Pin?" tanya Damar lembut.

Dengan berat hati, mulutku mulai berbicara, "Biasa Mamahnya si Nia gar-"

"Si judes itu?" potong Mamah yang sudah menghentikan kunyahanya.

"Dengerin Calvin dulu. Tadi Mamah Nia ..."

"Kenapa?"

"Nampar Calvin," ucapku pelan tapi masih bisa di dengar oleh mereka.

"Ha?!" ucap mereka serentak kaget.

"Kenapa dia nampar kamu?" Mamah benar-benar menghentikan makannya, ia tertuju pada ceritaku sore tadi.

"Yaelah, pasti Calvinnya jail Mah. Alwi pasti tau kok," kata Alwi santai.

"BUKAN!" teriakku membuat Alwi sedikit terperanjat.

"Ya terus apa?" Alwi melotot.

"Nia jatuh sendiri, bukan Calvin yang dorong. Terus, siapa yang kasih tau Nia sebutan Calvin di keluarga?"

"Terus? Kamu diem aja? Marah karena kamu disebut koyo cabe?" Novi buka suara.

"Eee ... "

"Ah, Mamah nanti yang ketemu Mamah Nia," tegas Mamah membuatku takut akan sebutan si pengadu.

"Jangan Mah, udahlah, lagian juga Calvin gak apa-apa kok," ucapku lesu.

"Tia kira ada apa, ternyata kalian musuhan." Autia hanya santai, ia makan cukup lahap.

"Gak gitu, kamu beneran gak dorong diakan?" tanya Mamah lagi.

"Enggak Mah, suer." Tanganku membentuk V dengan dua jari.

"Lurusin masalahnya!" Damar menyetujui Mamah.

"Ah, terserahlah!" Aku segera menghabiskan makananku, tak ingin bertindak lebih jauh lagi atas masalah ini.

Gelapnya malam ini membuat hatiku ikut terlelap dalam kegelapan.

🍌

Seragam merah putihku sudah kering, hanya sedikit basah, tapi tak apa. Mamah mencucinya kemarin malam, tanpa sepengetahuanku. Aku memakai sepatu hitamku dan memakan satu buah pisang. Aku masih kesal dengan kejadian malam tadi, melahap buah pisang kasar dan melempar kulitnya tepat di depan pintu gerbang rumah.

"Semoga, yang namanya Nia jatuh karena kulit pisang ini." Mulutku komat-kamit seperti membaca mantra--bukan, hanya membersihkan serpihan-serpihan buah pisang yang tertinggal di gusi gigi.

MI Al-Manshuriyah adalah sekolahku saat ini, untuk Alwi dan Autia mereka sekolah di SDN Cisari. Sedangkan Damar dan Novi, mereka di SMPN 12 Kota Bandung, Cisari. Tapi tetep saja, Autia dan Alwi harus Sekolah Agama untuk melanjutkan ke jenjang SMP. Di daerahku begitu, harus ada ijazah agama. Sedangkan aku yang sudah sekolah di MI tak perlu lagi Sekolah Agama.

Ah, hari ini benar-benar terasa membosankan. Hanya pelajaran Olahraga yang membuatku tak merasa bosan. Bagaimana tidak, Pak Jenal selalu mengadakan lomba sprint, tanyakan saja pada anak-anak siapa yang selalu memenangkan lomba tersebut. Jelas, Calvin Winata Sidiq.

🍌

Netra jeliku menangkap seorang gadis yang berjalan lumayan jauh di depanku. Memasuki gang perumahan kami, dan pastinya gadis itu melewati rumahku.

Aku ingin sekali menyapanya dan menyangkal kenapa ia berpura-pura bahwa aku yang mendorongnya? Tapi niatku terhenti saat gadis itu terjatuh duduk tepat di depan rumahku. Ada rasa puas yang menyelimuti, namun di sisi lain ada rasa kasihan padanya.

Langkahku terhenti saat Mamah tak sengaja melihat Nia yang terjatuh. Mamah menghampiri dan membantunya berdiri.

"Lain kali kalau jalan liat-liat. Apalagi kalau liat Mamah kamu nampar anak saya. Saya juga pengen nampar kamu sebenernya, cuma gak jadi, Calvin nanti marah," ungkapnya disertai senyum tipis.

Aku terdiam di depan Pos Yandu, mendengar ucapan Mamah yang begitu tegas.

"Ada Mamah kamu di rumah? Pengen bicara tentang masalah kesalahpahaman ini!"

Nia hanya diam dan segera berlari meninggalkan Mamah. Mamah hanya menghela napas panjang, mungkin, ia berpikir apakah pantas membalas perbuatannya dengan seperti itu?

Kulit pisang itu, aku tak sengaja membuang dan mendoakan hal buruk padanya. Bagaimana, kalau kejadian buruk itu berbalik padaku?

Ahhhh, serahlah! Aku tak ingin memikirkannya!

Yang pasti, hatur nuhun¹ Mamah.

🍌

|NOTES|

1. Hatur nuhun : Terima kasih

Sumber foto : google

🍌

LAGI-LAGI AKU BERTANYA, BAGAIMANA DENGAN BAB INI?

CERITA INI AKAN PANJANG, JADI UNTUK AWAL AWAL, MEMANG BERTELE-TELE!

BAGIAN MANA YANG KALIAN SUKA?

DAN APA YANG MEMBUAT KALIAN MELANJUTKAN MEMBACA CERITA INI?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro