12. Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Seperti pesan yang sudah disampaikannya saat mengantarku tadi, William benar-benar sudah tiba di pelataran parkir di depan gedung perkantoran bahkan sebelum pukul sepuluh malam. Aku curiga dia tidak bergeser ke mana-mana sejak tadi. Aku curiga dia sengaja menungguiku.

Sambil mengunyah roti pemberian Will –aku tidak akan mengaku kalau roti ini sukses mengganjal perut kelaparanku—aku mengintip dari jendela besar yang berhadapan langsung dengan tempat mobil Will terparkir. Dari ketinggian pun, aku masih dapat melihat pendar cahaya lampu kabin yang dinyalakannya dari dalam sana. Dia bahkan tidak mencari tempat nyaman untuk menungguiku, bodoh atau kurang kerjaan sih dia?

Kulirik lagi jam digital yang tergantung tepat di atas pintu masuk studio, sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Kalau William benar-benar menungguiku di dalam mobilnya sejak tadi, aku jadi bertanya-tanya ....

Apa dia membeli roti untuknya sendiri?

Apa dia tidak kelaparan dan bosan menungguiku di dalam mobil?

Apa dia tidak kedinginan di bawah sana? Semakin malam, angin semakin dingin menusuk tulang.

Dan ....

Kenapa pula aku harus peduli?

Aku sudah menghabiskan roti, kembali lagi ke bangku, mengenakan headset dan siap untuk melakukan voice over dengan mendekatnya mulut ke depan mic ketika ponselku tiba-tiba bergetar dan menunjukkan satu pesan masuk dari Roy.

Aku lagi otw studio kamu nih, di jalan sambil dengerin kamu siaran. Suara kamu seksi banget deh. Puterin Jason Mraz dong, yang have it all.

"Masih bersama Lena di 97,5 FM, Urbanite Radio, You'll lovin it! Masih juga dengan malam yang semakin dingin dan bikin para jomlowan-jomlowati makin ngenes karena nggak ada yang menghangatkan dengan pelukan. Euhh, Lena kayak lagi curhat ya? Hehehe. By the way, buat kamu-kamu yang mungkin sekarang ini sedang mencari pasangan dan sudah punya target tapi bingung harus seriusin yang mana di antara banyaknya target? (Itu calon nasabah apa calon pacar euy? Pake banyak target? Haha). Nah, mungkin kamu bisa coba satu tips dari Lena nih. Tips yang sangat berguna, terutama buat kamu yang suka sama pasangan yang setia. Tips ini bukan sembarang tips lho, karena tips yang satu ini merupakan hasil penelitin dari salah satu Universitas di London.

"Pengen tahu? Pengen tahu? Pengen tahu? Oke, Lena bocorin ya, jadi menurut penelitian yang dilakukan salah satu universitas di Inggris nih, kalau kamu lagi mencari pasangan yang setia, cobalah cari cowok atau cewek yang cerdas dan punya IQ tinggi. Karena hasil penelitian mereka membuktikan kalau tingkat kecerdasan tinggi lebih memungkinkan orang tersebut untuk menghargai sebuah komitmen jadi secara otomatis bisa menghindari perselingkuhan.

"Nah lhooo ... ini kok kayak semacam menyindir Lena ya? Lena juga lagi jomlo dan pengin cari cowok pinter aja deh, biar nggak diselingkuhi lagi, ups, malah curhat lagi? Hahaha ...." Sambil meracau, jemariku mulai lincah mengetikkan nama Jason Mraz di player untuk diputarkan on air. "Yaudah ah, daripada Lena makin ngelantur ngomongnya. Nih, Lena kasi kamu satu lagu request-an seorang cowok pinter dan masih jomlo yang kayak-kayaknya bakal jadi cowok setia juga nih. S2-nya dari luar negeri! Hei, Roy, setelah aku promosiin kamu begini, jangan lupa traktir makan malam ya, hahaha... here you go, I got Jason Mraz, Have it all! Check it out!"

Aku lantas menggantungkan headset kembali pada cantolan di dekat meja setelah melakukan voice over. Memeriksa kembali lembar script yang sudah disiapkan scriptwriter, aku mencoret pada point tentang penelitian pasangan setia sebagai tanda bahwa aku sudah menyiarkannya. Radio Urbanite tempatku bekerja merupakan radio yang cukup ketat untuk urusan sistem kerja, kami (para announcer) tidak diperkenankan untuk melakukan voice over hanya untuk basa-basi yang tidak berisi. Untuk itu, selalu ada point-point penting dari scriptwriter untuk kami siarkan setiap kali voice over.

Roy mengirimi pesan sekali lagi untuk mengucapkan terimakasih karena lagunya sudah kuputarkan sesuai permintaannya.

Sampai waktu siaranku sudah tiba di penghujung, belum jua kuputarkan lagu Coldplay yang everglow. Kalau saja bukan karena lagu itu adalah lagu yang sama dengan permintaan Will, aku pasti selalu setia memutarkan lagu sesuai playlist dari Music Director. Sekadar mengingatkan, playlist buatan Music Director ini sangat perlu demi mengatur lagu-lagu yang diputar sepanjang hari di radio, ini sekaligus membantu untuk menguatkan air personality radio tersebut. Karenanya, bisa dikenakan sanksi apabila announcer tidak menuruti isi list yang sudah ditentukan MD.

Mencoba bijak, aku akhirnya memutuskan untuk memutarkan lagu Homesick-nya Dua Lipa feat Chris Martin sebagai gantinya. Toh, kedua lagu tersebut (Homesick dan Everglow) memiliki tempo dan genre musik yang hampir sama. Menambah poin ekstra; kedua lagu itu sama-sama ada suara Chris Martin-nya.

Ah, gara-gara Will aku harus melanggar kode etik siaran seperti ini. Will benar-benar pembawa efek buruk!

**

Aku tiba di pelataran parkir bersamaan dengan sebuah Jeep yang sangat familiar mengambil posisi di lot parkir yang letaknya tepat di sebelah pajero milik William. Aku tiba-tiba teringat pesan Roy saat memintaku memutarkan lagu tadi. Katanya dia sedang menuju kantorku dan dia ternyata benar-benar menuju kantorku untuk menemuiku.

Shit!

"Right on time kan aku?" tanya Roy saat mendongakkan kepalanya keluar dari kaca jendela.

"Kita nggak janjian kan?" entah kenapa aku malah salah tingkah melihat kemunculan Roy.

"Aku ingat mobil kamu masih di bengkel, jadi aku secara sukarela datang untuk jadi sopirmu," kali ini Roy memilih untuk turun dari Jeepnya dan berdiri hanya berjarak setengah meter dariku. "Dan kebetulan kamu juga minta ditraktir makan malam karena secara nggak sengaja mempromosikan aku di radiomu, tadi. Jadi, pengen makan apa nih ibu announcer?"

Will juga ikut turun dari pajeronya, saat dia masih menyusuri langkah untuk mendekatiku, Roy tiba-tiba bersuara lagi, "Anyway, daripada mempromosikan, aku sebenarnya lebih suka kalau kita sepakati aja hubungan kita sekarang bukan sekedar teman biasa lagi, Len."

Will tiba-tiba menghentikan langkahnya. Padahal, tinggal empat langkah lagi untuk mencapai tempatku berdiri. Wajahnya konsisten tanpa ekspresi. Ada rasa tidak nyaman menggelayuti hatiku saat mengetahui Will mendengar racauan Roy.

Demi gigi renggang spongebob, aku sama sekali tidak bermaksud memberi kode apa-apa saat siaran tadi. Memang dasar mulutku kadang tidak bisa dikontrol kalau sudah berhadapan dengan mic. Aku sampai lupa kalau ada dua laki-laki yang bisa saja salah paham dengan isi siaranku. Padahal aku sedang menyindir hubunganku yang sudah kandas dengan Gery. Karena aku pernah terjebak dengan laki-laki yang tidak setia. Tukang selingkuh.

"Eh, Will. Lo di sini?" Roy yang baru menyadari keberadaan William, menyapa.

Alih-alih menjawab sapaan Roy, William lebih memilih untuk memutar kepalanya menghadapku, "Jadi kamu mau pulang bareng siapa?"

"Lo juga di sini untuk jemput Lena?" Roy menginterupsi.

Untuk alasan yang belum aku pahami betul, aku mendadak bingung. Seharusnya, dengan senang hati dan dengan senyum penuh kemenangan aku melenggang ke arah Roy dan membuat William menggigit jari karena resmi ditolak olehku. Nyatanya, aku malah merasa kasihan pada William yang sepertinya menahan lapar dan kedinginan selama menungguiku selama siaran tadi. Belum lagi, dia juga sudah cukup berjasa mengangkut barang belanjaanku yang tidak sedikit di supermarket tadi.

Sibuk mempertimbangkan, aku belum merespons. Siapa sangka William menganggap diamku sama dengan penolakan.

"Aku seharusnya nggak perlu bertanya. Dari isi siaran kamu sendiri sudah jelas kamu bakal lebih memilih laki-laki lulusan S2 luar negeri daripada Sarjana dalam negeri kayak aku." Suara William sebenarnya cukup tenang dan pelan, tapi entah mengapa suara itu mampu memberi efek merinding di sekujur tengkukku.

Pilihan kosakata yang digunakan Will sukses menyentil sanubariku. Membuatku terdiam seribu bahasa. Kekakanak-kanakan sekali rasanya kalau aku harus menjelaskan kalau aku sedang menyindir Gery, alih-alih menyindir Will ataupun Roy.

"Kamu bahkan lebih milih lagu homesick daripada everglow buat aku," belum sempat aku mengeluarkan suara untuk mendebat Will, dia sudah mendahuluiku. "Titip Lena, Bro!" katanya lagi setelah memberikan tepukan ringan di pundak Roy lantas masuk lagi ke dalam mobilnya dan pergi dengan suara decit yang berlebihan.

**

Ini sebenarnya kesalahpahaman yang sangat sederhana. Aku hanya perlu menjelaskan pada William kalau aku tidak sedang membandingkan kapasitas otaknya dengan Roy saat membacakan info tentang penelitian yang merujuk kepada kesetiaan seseorang, tadi. Aku tidak sedang memberi kode kalau aku lebih memilih Roy (walau kenyataannya begitu) hanya dengan satu informasi yang dituliskan scriptwriter. Tapi kenapa rasa tidak nyaman ini sepertinya membunuhku. Membuat napasku tercekat.

Pun, bukan sengaja aku memilih lagu "Homesick" untuk mengganti lagu "Everglow" seusai siaran tadi. Aku hanya memilihnya secara random karena kupikir suara Chris Martin cukup untuk menggantikan lagu Coldplay yang tertera pada list laguku hari ini. Semoga Naya selaku MD tidak mengamuk setelah kukacaukan pekerjaannya.

Tapi setelah duduk di mobil Roy dan sibuk mengamati bait demi bait dari lirik lagu Homesick dari layar ponsel, aku mendadak menyesal.

Kenapa lagu ini seperti sedang mengorek luka masa kecil kami berdua? Aku dan William.

Pantas saja Will marah saat mengatakan, "Kamu bahkan lebih milih lagu homesick daripada everglow buat aku" tadi.

Lagu itu seperti sedang menyinggung tentang kepercayaan yang retak, tentang pahitnya dikhianati, juga tentang kesendirian. Persis seperti apa yang kurasakan setelah persahabatanku dengan William hancur berkeping-keping. William pasti mengamati isi lirik lagu itu juga, makanya dia kecewa berat.

"Lagi baca apaan sih, serius banget?" tanya Roy membuyarkan lamunanku.

"Oh, cuma lirik lagu kok," jawabku sekenanya, lantas mengunci ponsel pintarku. "Roy, aku minta maaf banget sekali lagi. Tapi bisa nggak kita langsung pulang aja? Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu makan malam."

Aku tahu Roy akan sangat sakit hati dengan tindakanku ini, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku yang dirambati ketidaknyamanan. Bagaimana bisa nyaman, kalau raga berada di dekat Roy tapi pikiran dipenuhi William? Terlepas dari pikiran itu tentang hal baik ataupun buruk, keberadaan Roy jelas-jelas tidak mampu mengusir William dari pikiranku.

Aku hanya akan lebih menyakiti Roy dengan kebersamaan ini. Sedari tadi saja, aku tidak tahu apa saja yang diobrolkan Roy karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

Kepalaku benar-benar pecah setiap kali harus berpikir tentang Will. Tidak hanya memikirkan kelakuan kekanak-kanakannya dulu, tapi juga sikapnya setelah dewasa. Apa orang itu benar-benar sudah dewasa dengan segala tindakan konyolnya? Menerka-nerka isi siaranku ditujukan untuk siapa segala?

Atau justru aku yang selalu berlebihan setiap kali berinteraksi dengannya? Andai saja aku tidak mengutak-atik isi playlist ....

Roy sudah memasang aksi bungkam sepanjang sisa perjalanan. Aku tahu itu sebagai bentuk kekesalan yang sengaja ditunjukkannya agar membuatku tidak nyaman. Sayangnya, perasaanku lebih terganggu oleh William. Bukan berarti aku tidak menghargai usaha Roy untuk datang jauh-jauh dari kediamannya hanya untuk mengantarkanku pulang. Aku sebenarnya ingin menghargainya dengan sebuah usaha menemaninya makan malam. Tapi apa daya, tindakanku sedang tidak sinkron dengan niatku. Kepalaku selalu eror kalau ada virus semacam William yang menyerang.

Baru saja aku ingin mengucapkan maaf sekali lagi saat mobil Jeep yang kami tumpangi sudah berhenti di depan rumah, Roy malah mendahuluiku. Sorot matanya tampak terluka saat berkata, "Diana selalu menghargai setiap pengorbanan sekecil apapun yang kulakukan untuknya ...."

Kata maaf yang nyaris mencapai ujung lidah terpaksa kutelan kembali. Ini tidak akan berhasil. Sebesar apapun aku dan Roy memaksakan diri, hubungan ini tidak akan berhasil. Karena ....

"Aku bukan Diana, Roy."

**

Aku turun dari mobil Jeep Roy dengan perasaan lebih ringan.

Kalau benar adanya chemistry merupakan salah satu faktor pendukung dalam sebuah hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan, jelas aku tidak memilikinya sejak awal dengan Roy. Kami hanya akan berakhir saling menyakiti kalau terus-menerus melanjutkan misi pelarian ini. Dia menggunakanku sebagai pelarian dari Diana-nya dan aku menggunakannya sebagai pelarian dari William.

Aneh, aku seharusnya sedang dalam misi mencari pelarian dari Gery. Kenapa yang terjadi justru aku rasanya begitu kelelahan lari dari William?

Padahal sejak awal chemistry itu kutemukan dalam setiap interaksi dengan Will. Kutegaskan sekali lagi: sejak awal. Aku ingat bagaimana mataku tidak bisa diajak bekerja sama saat menikmati rupanya lebih dari tiga detik. Aku juga bisa dengan cepat mengenali bau tubuhnya yang beraroma kayu bercampur citrus itu (bahkan setelah bau itu tercampur dengan keringatnya). Aku juga tidak bisa lupa degupan jantungku yang menggila hanya dengan mendengar gombal recehannya—yang entah dia serius atau hanya bercanda.

Andai saja dia bukan William dari masa lalu, mungkin semuanya akan lebih mudah.

Sibuk dengan pikiranku, aku sampai tidak sadar kalau Will sudah berdiri di depan teras dengan kantong-kantong plastik belanjaanku memenuhi lantai. Aku baru tersadar saat Will bersuara, "Sudah pulang?"

"Will?!"

"Aku cuma mau mengantarkan barang-barang kamu. Apa perlu kuangkatkan sampai depan pintu kamar kamu?" Walaupun sudah terbiasa dengan sikap tanpa ekspresi Will, entah mengapa aku merasa nada suaranya jauh lebih dingin sekarang.

Aku menggeleng lemah.

"Oke, kalau gitu aku permisi dulu." Bersamaan dengan kalimat itu, tubuh Will beranjak menjauh, mendekati pagar rumah.

"Will!" panggilku tepat saat Will akan mengayunkan pintu pagar.

Dia menoleh, tapi tidak bersuara.

"Kamu udah makan?"

Dia menggeleng.

"Mau makan dulu nggak? Aku nggak tahu ada apa di rumah, tapi pasta selalu ada. Aku bisa masakin kalau kamu mau," tawarku.

Dia menggeleng lagi, "Sudah malam, kamu istirahat saja."

Tunggu-tunggu! Apa aku baru saja ditolak!?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro